Saat Hinata masih kecil, satu ingatan paling berkesan baginya adalah tentang seorang anak berambut merah darah yang tiba-tiba mengambil gambarnya dengan kamera mainan.

"Kamu cantik. Aku jadi ingin memajang wajahmu di pigura samping tempat tidurku."

Memori yang sangat sederhana. Namun sanggup merubah segalanya.

Termasuk masa depan si gadis bermata bulan.

.

…*…

.

Naruto belongs to Masashi Kishimoto

Saya tidak menerima keuntungan berupa material apapun dari pembuatan fanfiction ini.

Warning: OOC, Modern!AU, Typo(s), etc

Kesalahan data sangat mungkin terjadi akibat kurangnya materi yang membahas setting dan detail mengenai kehidupan seorang model. Nama brand hanya imajinasi semata, kalau ada kesamaan dengan brand dunia nyata, hanya kebetulan semata.

.

…*…

.

"Paris, je suis à la maison!"(1)

Hinata tersenyum melihat tingkah Ino yang sedikit berlebihan. Namun ia bisa memakluminya. Sudah hampir tiga tahun sejak terakhir kali sang gadis pirang menginjakkan kaki di tanah kelahirannya. Tentunya ada perasaan rindu yang amat sangat bersarang pada putri bungsu keluarga Yamanaka itu.

"Hei, Ino. Kau yang mengajak kami datang ke Paris tiga hari lebih cepat dibandingkan jadwal pemotretan. Harusnya kau sudah menyiapkan segala yang kita perlukan bukan?" Sakura berkata sambil merapikan kacamata hitamnya, menghalau cahaya lampu bandara yang menyakiti mata mengantuknya.

"Oh, Forehead. Kau tak perlu mengkhawatirkan apapun selama di sini." Ino merangkul pundak sahabatnya sambil tersenyum puas. "Aku sudah merancang segalanya sesempurna mungkin sebelum pemotretan."

"Baguslah kalau begitu."

Tenten menguap, sebelah tangannya ia gunakan untuk merapikan cepol rambutnya yang kusut akibat dibawa tidur selama perjalanan Jepang-Perancis. "Jadi ini yang namanya Bandara Charles de Gaulle? Besar juga ya?"

"Semua penerbangan internasional selalu mendarat di sini," Ino yang entah sejak kapan merangkap sebagai guide tour bagi teman-temannya memberi penjelasan. Sebuah senyum lebar tersungging di wajahnya. "Hei, kalian semua, jangan bermalas-malasan. Kita masih harus menuju pusat kota sebelum malam tiba."

"Memangnya jauh?" tanya Hinata yang sejak tadi diam sambil menyeret kopernya yang entah bagaimana terasa lima kali lebih berat dibandingkan saat dia mengepak barang kemarin malam. Mungkin dia bisa menjadikan Neji, kakak sepupunya, sebagai tersangka. Pasti pemuda itu yang memasukkan berbagai perlengkapan lain ke dalam koper. Sifatnya yang terlalu over protektif pada adik sepupunya terkadang membuat Hinata kesulitan.

Ino menyeringai lebar mendengar pertanyaan sang gadis berambut indigo. Dikedipkannya mata dengan cara yang membuat punggung Hinata terasa merinding. Pasti ada yang tidak beres. "Hanya dua puluh tiga kilometer. Tidak terlalu jauh, lagipula aku sudah meminta secara khusus pada kakakku untuk menjemput. Hanya saja…"

"…tempat parkirnyalah yang jadi masalah."

.

…*…

.

Ahirnya Hinata mengerti mengapa Ino berkata jika tempat parkir Bandara Charles de Gaulle adalah sebuah masalah. Akhirnya Hinata mengerti alasan Ino yang biasanya tampil sempurna dengan sepatu hak setinggi sepuluh senti memilih menggantinya dengan pantofel di dalam pesawat. Dan akhirnya Hinata mengerti mengapa tak pernah ada satu film pun yang menyertakan adegan mengejar pesawat di bandara internasional Paris ini.

"Kakiku…"

Keluhan yang sama diulang delapan kali oleh Sakura. Gadis itu berhenti dan memijat pergelangan kakinya yang kaku. Jangan salahkan dia, salahkan siapapun yang mendesain bandara ini sehingga tempat parkir dan terminal utamanya dipisahkan oleh jarak yang keterlaluan jauhnya.

"Kau mengerjai kami ya, Pig?" tuduh sang gadis merah muda sambil memasang wajah kesal. "Kenapa kau tak bilang jika sejauh ini? Tahu begini aku akan pakai sepatuku yang biasa saja."

Ino hanya terkekeh mendengar protes dari Sakura. "Salah siapa kau tak bertanya?"

Sebenarnya Hinata ingin melemparkan protes yang sama, namun dia hanya diam saja sambil tersenyum kecil. Bersyukur dia menuruti perintah Neji untuk tidak menggunakan sepatu hak tinggi dalam perjalanan ke Perancis. "Kalau kau mau, kita bisa bertukar sepatu, Sakura," tawarnya.

"Kau lupa kalau sepatumu dua nomor di bawahku?" tanya sang gadis merah muda sambil bangkit berdiri. Mengernyit saat merasakan kakinya kembali berdenyut menyiksa. "Lagipula kita hampir sampai di tempat parkir kan, Ino?"

"Tiga menit lagi kita sampai kalau tak ada yang berhenti."

Sakura mendecih kesal mendengar sindiran halus dari Ino. "Bagus. Mari selesaikan ini secepatnya."

Hinata tertawa kecil mendengar pembicaraan Sakura dan Ino. Meski sering menghabiskan waktunya dengan berdebat, siapa yang tak tahu jika mereka adalah sepasang sahabat akrab? Kabar tentang kedekatan mereka tak hanya menyebar di kalangan model agensi semata, sudah banyak pemotretan berdua yang menonjolkan tema persahabatan telah mereka lakoni. Namun itu tidak berarti gosip bertemakan romansa tentang mereka yang akhir-akhir ini santer beredar adalah hal yang nyata.

"Hinata, kau pernah bertemu dengan kakak Ino sebelumnya?" tanya Tenten sambil berbisik misterius di sampingnya.

Hinata menggeleng pelan. "Belum. Tapi Ino sering menceritakannya dengan nada bangga."

"Kalau begitu kau pasti akan terkejut melihatnya," Tenten tertawa riang saat mengatakan hal itu. "Saat pertama kali aku melihatnya adalah saat dia datang ke Jepang untuk menengok Ino. Aku nyaris tak percaya."

"Memangnya kenapa?"

Tenten tersenyum mendengar pertanyaan Hinata dan merangkul pundaknya. "Kakak laki-laki Ino adalah seorang model yang sangat terkenal. Aku yakin kau pasti pernah satu atau dua kali melihat wajahnya di majalah, bahkan mungkin menonton fashion show-nya. Tapi aku jamin kau tak akan tahu jika itu kakak Ino."

"Mereka tidak mirip?" terka Hinata lagi. Dalam hati dia membayangkan sosok pemuda yang lima tahun lebih tua dengan rambut pirang cepak dan tubuh yang tegap yang selama ini terbayang jika Ino menyebut kata 'kakak laki-laki'. "Kupikir dia akan tampak sedikit banyak mirip dengan Ino atau Naruto—yang sepupu mereka."

"Mirip sebenarnya. Tapi bukan dalam konteks muka," jawab Ino yang diam-diam menguping dari depan. Sebuah senyum aneh tersungging di bibirnya saat mengatakan hal itu. "Rambutnya tak terlalu jauh berbeda denganku, maka dari itu jika dilihat dari belakang kami akan tampak sebelas dua belas. Tapi untuk masalah karir, Naruto adalah epigonnya."

"Aku tak mengerti…" gumam Hinata lirih.

Sakura tertawa sambil memeluk pundak Hinata, jarinya menole-noel pipi Hinata dengan gemas. "Hei, dia baru setahun bergabung dengan agensi, dia pasti tidak tahu soal itu."

Hinata hanya bisa terdiam. Setahun, kau dapat mengkategorikannya sebagai jangka waktu yang lama atau singkat. Seseorang bisa dinggap pemula ataupun senior dalam waktu setahun. Hinata mungkin cukup beruntung, dalam waktu yang tergolong singkat, dia sudah masuk dalam jajaran model papan atas. Hanya saja, terkadang dia merasa buta jika rekan-rekannya membicarakan perihal kejadian di masa di mana dia masih gadis kalem yang senang mengurung diri rumah.

"Ah! Itu dia mobilnya!" Ino melambaikan tangan ke arah sebuah mobil berwarna merah mengkilat yang kelewat mencolok. "Ayo ke sana!"

Sementara si pirang berlari riang ke arah mobil yang ditunjuknya, tiga gadis lainnya hanya saling pandang sambil mengangkat bahu. Ino memang bukan gadis yang bisa diam, apalagi jika sudah bertemu dengan keluarga yang lama tak dijumpainya.

"Deidara!"

"Deidara?" Hinata mengernyit saat membeokan nama itu. Seingatnya Ino selalu menggunakan frasa 'kakak laki-laki' untuk memanggil kakaknya. Tapi yang dia tahu Deidara adalah nama… perempuan?

Masa iya kakaknya transgender?

Seorang gadis—pemuda?—bersurai pirang panjang keluar dari dalam mobil. Kacamata hitam menutupi warna matanya. Dia mengenakan pakaian kasual yang tampak cocok dengan tubuh kurus tingginya. Sampai saat ini Hinata masih belum dapat menerka gender aslinya.

"Yo, Ino! Lama tak jumpa." Suara maskulin terdengar sampai telinga Hinata.

Laki-laki ternyata.

Ino langsung meloncat ke pelukan pemuda tersebut. "Kenapa kau tak pernah mengunjungiku di Jepang, bodoh! Kudengar kau ada pemotretan di Jepang akhir tahun lalu, kenapa tak mampir?"

"Jadwalku padat." Deidara mengusap rambut Ino dan melepaskan pelukan kangennya pada sang adik. Dilepaskannya kacamata hitam yang menutupi wajahnya, menampilkan seraut wajah dengan perpaduan feminin dan maskulin sekaligus di dalamnya. "Fotograferku saat itu orangnya sangat dingin, begitu selesai pemotretan kami langsung pulang tanpa diberi waktu libur."

Ino memasang wajah cemberut tanda jika belum dapat menerima penjelasan sang kakak. Namun segera dihapusnya ekspresi itu saat mendengar suara ketukan sepatu dengan lantai dari belakangnya. Ia menoleh. "Oh ya, aku sudah mengabarkan kan, Deidara, aku datang bersama teman-temanku untuk menikmati paronama Paris sebelum dipenatkan oleh pekerjaan."

"Haruno Sakura, Tenten, lama tidak bertemu. Bagaimana karir kalian?" sapa Deidara ramah pada dua gadis yang berjalan di depan.

"Tanyakanlah kabar kami dulu, bodoh!" Sakura menjitak kepala Deidara sambil tersenyum kecil. Deidara memanfaatkannya untuk memeluk Sakura erat.

"Hei, dadamu masih sama ratanya dengan dadaku ternyata!"

JDUAK!

"Bodoh."

Tenten tertawa melihat Deidara yang berjongkok sambil mengelus kepalanya yang menjadi korban jitakan dari sahabat adiknya. "Aku menonton peragaan busana yang melibatkanmu kemarin lalu, Deidara. Aku benar-benar iri gaun bunga-bunga itu cocok sekali untukmu."

Gaun? Hinata merubah kembali kesimpulannya. Mungkin Deidara seorang perempuan. Mungkin.

"Ho, aku tersanjung mendengarnya. Kau tak tahu seberapa banyak kain yang harus dipotong untuk menyesuaikannya dengan dadaku." Deidara—si nekat, mulai sekarang Hinata sudah memutuskan karakternya—memandang Sakura sambil mengerlingkan mata jahil. Menghindar saat satu bogem mentah nyaris mengenai rusuknya. Dia menoleh pada Hinata. "Lalu, gadis baru yang di belakang itu, apa kalian tak ingin mengenalkannya padaku?"

Ino menepuk dahinya pelan. "Namanya Hinata, Hinata Hyuuga. Baru setahun menjadi model, namun namanya sudah cukup tenar hingga membuat Sahara mengikatnya sebagai model tetap untuk cabang Jepang."

Hinata merasakan pipinya memanas mendengar cara Ino memperkenalkannya. "Sa-salam kenal."

"Hyuuga. Hm, Hyuuga ya?" Deidara menoel-noel dahunya dengan pose berpikir yang gagal. "Oh, kamu masih saudara dengan…er… siapa namanya? Negi? Legi? Leji?"

"Neji. Neji Hyuuga," Tenten dengan cepat mengkoreksi.

"Oh ya, apapun itu."

Hinata mengangguk malu-malu. "Aku adik sepupunya."

"Pantas saja aku merasa familier melihatmu." Deidara mengalungkan tangannya di pundak Hinata dengan akrab. "Matamu mirip dengan si Neji itu. Pucat, tapi di satu sisi juga memiliki nilai estetika yang tinggi."

Jangan salahkan Hinata jika wajahnya kian merona mendengar kata-kata itu. Otomatis dia memainkan jarinya di depan dada karena gugup.

Sayangnya hampir semua orang selalu salah membaca gerak tubuhnya.

"Menjauh dari Hinata Dei bodoh! Dia takut padamu!" Sakura mendorong tubuh Deidara agar segera melepaskan pelukannya pada gadis bersurai indigo. Ganti Sakura yang memeluknya dengan protektif. "Hinata tidak suka disentuh sembarangan oleh laki-laki tahu!"

Deidara mengerucutkan wajahnya untuk menampilkan ekspresi kesal. Hinata nyaris tertawa melihat betapa miripnya orang itu dengan sang adik, Ino. "Tega sekali kau padaku, Sakura. Padahal aku hanya ingin mengecek siapa tahu Hinata adalah calon istri yang ditakdirkan untukku."

Calon istri? Laki-laki? Hinata semakin tak dapat menerka gender seorang Yamanaka Deidara.

"Kau selalu berkata begitu pada setiap wanita yang kau temui!"

Deidara tertawa sambil menggaruk kepalanya. Tampak sama sekali tak tersinggung dengan kata-kata yang diucapkan oleh Sakura. Tangannya merogoh ke saku dan mengeluarkan sebuah kunci mobil dengan gantungan yang merupakan miniatur dirinya sendiri—dasar narsis. Dimainkannya benda itu di jarinya.

"Oke, para tuan putri. Kita tak bisa terus mengobrol semalaman di sini. Pukul tujuh nanti aku ada pekerjaan. Jadi, biarkan aku mengantar kalian ke istana kalian."

.

…*…

.

"Katakan padaku, Ino." Sakura menyilangkan kedua tangannya di depan dada dengan gaya yang meyakinkan. Alisnya berkedut tanda dia mulai kesal. "kenapa kita menginap di hotel?"

"Kalau kau mau menginap di tepi jalan, silakan saja."

Itu jawaban dari si pirang.

Sakura memijat dahinya dengan gemas. Dapat Hinata lihat gadis merah muda itu menggemeretakkan giginya untuk menahan marah. "Maksudku bukan itu! Kupikir kita akan menginap di rumahmu! Kenapa sekarang kita malah terdampar di tempat ini?"

"Memang kenapa? Hotel du Pantheon ini walaupun tua tapi letaknya strategis, dan lagi pelayanannya juga cukup baik, kok."

Sepertinya Ino benar-benar gagal menangkap maksud Sakura.

"Mu-mungkin maksud Sakura mengapa kita menginap di hotel kalau bisa di rumahmu," Hinata berusaha membantu.

Ino menepuk dahinya. "Rumah keluargaku sudah pindah ke Marseille setahun yang lalu. Kesehatan Grandmere memburuk, Dad berpendapat jika udara Paris tak baik untuk paru-paru Grandmere. Hanya Deidara saja yang masih ada di Paris. Tuntutan profesi. Itupun dengan menyewa apartemen dari upahnya bekerja…"

Ah, bicara soal Deidara, Hinata lupa meminta kepastian tentang gender sulung Yamanaka itu.

"…dan yakinlah. Kau tak akan sudi harus berbagi rumah dengan Deidara. Kamarnya selalu dipenuhi barang-barang mencurigakan seperti replika bom atau awan jamur pengeboman di Nagasaki. Belum lagi sikap malasnya akan membuatmu gila. Jangan kaget kalau kau menemukan pakaian dalam di pot bunga saat mengunjunginya."

Dalam hati Hinata mengamini keputusan Ino untuk menginap di hotel. Ia tak yakin sanggup melihat pakaian dalam—entah itu bra, lingerie, celana dalam laki-laki, boxer atau apapun yang dikenakan Deidara di balik pakaiannya—berserakan di mana-mana.

"Lagipula apa bedanya menginap di hotel atau di rumah?" tanya Tenten yang mulai menata pakaiannya dalam lemari kecil di sudut ruangan.

"Setidaknya kita tidak perlu keluar rumah untuk mencari makan," jawab Sakura cepat.

"Kau dan perut karungmu. Sepertinya kau terlalu lama bergaul dengan Naruto, Forehead." Kesal, Ino mendecih. Dibaringkannya tubuh di atas ranjang single yang ia klaim sebagai ranjangnya selama menginap di sana. "Lagipula, kalau kau sebegitu inginnya tinggal di sebuah rumah, mengapa kau tak telepon saja Temari, sepupumu itu, dan minta dia menerima kita di rumahnya."

Sakura mendecih kesal. Diletakkannya alat kosmetik di atas meja. "Keluargaku sudah putus hubungan dengan keluarga Sabaku sejak lima tahun lalu." Lipstik menggelinding jatuh. Sakura membungkuk untuk mengambilnya. "Ini kali pertama ada keluargaku yang berhubungan dengan keluarga Sabaku. Itupun dalam urusan pekerjaan."

"Eh?" Hinata bertanya kaget setelah mendengar pembicaraan dua gadis lainnya. Tangannya yang sedang merapikan tempat tidur terhenti segera. "Jadi Temari Sabaku, perancang busana sekaligus pemilik brand Sahara adalah sepupumu, Sakura?"

"Ibunya adalah kakak ibuku," Sakura menjelaskan dengan singkat. Menggerutu sejenak saat menyadari lipstik-nya patah akibat kejadian tadi. "Tapi seperti yang kau dengar tadi, keluargaku tak pernah lagi berhubungan dengan keluarga Sabaku. Terpilihnya aku sebagai brand ambassador Sahara murni kebetulan. Tak ada pengaruh dari ikatan keluarga di dalamnya."

Hinata menangkap ekspresi aneh dari wajah Sakura. Bukan, itu bukan ekspresi aneh. Justru sebaliknya, tak ada ekspresi di dalamnya. Mungkin sudah saatnya Hinata menutup percakapan ini.

Hening yang tidak nyaman melingkupi ruangan itu.

"Oh, shit!" suara makian Tenten terdengar dari sudut ruangan. Gadis bercepol dua itu mengangkat sebuah celana dalam cokelat dengan renda menghiasinya. "Celana dalam keberuntunganku robek!"

Suara tawa riang dan cemoohan menjadi batas akhir dari suasana tak nyaman yang tadi meyelimuti ruangan itu.

.

…*…

.

Hinata mengetuk-ngetuk gelas koktailnya dengan tidak sabar, memainkan Marchan Vin yang ada di dalamnya dengan gemas. Teman-temannya sudah turun untuk menari, dan dia masih setia berada di depan konter bar. Bukan karena ketidakmampuan dalam menggerakkan tubuh—sejak kecil dia sudah terbiasa memeragakan beberapa tarian khas Jepang yang diajarkan ibunya—melainkan keengganan untuk saling bersinggungan dengan bagian tubuh orang lain yang bahkan terlalu pribadi.

Sebut dia kolot. Namun dia masih memiliki malu untuk tidak melakukannya.

Dan dia juga masih mempertanyakan mengapa dia mau saja ikut ke tempat seperti ini hanya karena Ino sudah menjadwalkannya. Ia akui, L'Étoile memang bukan tempat yang buruk. Dia suka kesan klasik yang berpadu dengan sentuhan modern sebagai tema bar ini. Meja dan kursinya yang terbuat dari kayu juga memberikan rasa nyaman berbeda dari bar yang biasa dia temui. Namun sekalinya bar, tetap saja bar, tak ada yang membedakannya.

Seharusnya dia tak usah ragu menjawab tidak saat Ino mengatakannya seperti anak hilang jika tetap berdiam diri sendirian di dalam hotel.

"White cap."

Suara seorang pria memecahkan konsentrasinya. Diliriknya seseorang yang baru saja mendatangi konter bar dan memutuskan untuk duduk di sampingnya—tempat yang tadi dipakai Sakura. Dalam keremangan dan cahaya yang berputar-putar di sekelilingnya, Hinata dapat melihat rambut merah segar sang pemuda.

Mungkin sudah menjadi alam bawah sadarnya yang selalu mencari sosok berambut merah, diam-diam dia memandangi pendatang baru itu dari lirikan-lirikannya.

Rambut merah darah, mata hijau segar yang dibingkai kantung mata gelap—tanda seorang pekerja keras, kulit putih dan kenihilan alis. Oh, jangan lupakan sebuah tato unik dengan kanji 'cinta' yang terpajang indah di dahinya. Perpaduan yang aneh, namun sayangnya tampak memesona jika dimiliki oleh pemuda itu.

"Bonsoir, Gaara. Kau datang sendiri?" bartender yang memiliki rambut putih disisir ke belakang itu bertanya sambil tertawa. "Ke mana perginya si cantik yang selalu menemanimu itu?"

Gaara. Hinata mencatat namanya dalam hati. Sayang sekali, si Gaara ini sepertinya sudah memiliki seorang kekasih.

"Kalau yang kau maksud Matsuri, aku baru putus denganya sebelum pergi ke sini."

Ralat. Sudah tidak memiliki kekasih.

Hinata tersenyum bahagia dalam hati. Baru sedetik dia menyelami kebahagiaannya, sebuah kernyitan aneh muncul di dahinya. Harusnya kau turut berduka cita, Hinata, hati kecil gadis itu berteriak, memakinya. Oh, bukan salahnya jika dia tertarik pada pria berambut merah dan berharap jika setiap dari mereka masih lajang bukan?

"Baru dua bulan kau berkencan dengannya," komentar sang bartender. Hinata melirik tag nama di dada pria yang tengah beratraksi untuk menyajikan pesanan Gaara. Hidan. "Kau ini memang tak pernah beruntung dengan gadis-gadis itu. Cobalah sesuatu yang baru, siapa tahu kau dapat menjalin hubungan serius dengannya."

"Kalau yang kau maksud itu laki-laki, maaf saja. Aku bukan homo."

Hinata tersedak napasnya sendiri.

Hidan tertawa mendengar nada sinis yang dikeluarkan oleh tamunya. "Oh, sayang sekali. Padahal aku mau saja menawarkan diri untukmu. Harus kuakui, kau pria yang menarik."

Hinata tersedak udara untuk kedua kalinya. Segera dia dekatkan gelasnya untuk menutupi batuk yang muncul.

Gaara mengalihkan fokus matanya sejenak pada gadis yang tengah memalingkan wajah sambil meminum pesanannya. Sedikit terlalu terburu-buru untuk menutupi kekagetannya. Gadis polos yang baru kenal dunia malam, itu yang muncul di benak sang pemuda. Namun dia kembali menatap bartender yang tengah mengocok campuran bahan dan es untuk white cap-nya.

"Lupakan tawaran menjijikkanmu, tapi kurasa saranmu tidak buruk juga—mencari sesuatu yang baru maksudku, bukan menjadi gay. Aku mungkin butuh angin segar untuk kehidupan romansaku," pria itu menyunggingkan sebuah senyum tipis sambil menggerakkan matanya ke arah Hinata sebagai kode pada sang bartender.

"Ow, sang penakhluk wanita mulai beraksi rupanya!" Hidan yang menangkap isyarat dari Gaara terkekeh pelan. Diamatinya Hinata sejenak. Sebuah senyum tersungging di wajahnya. "Tipe oriental. Sepertinya kau masih belum bisa melupakan tanah kelahiranmu. Padahal kau sudah tidak mengunjunginya sekitar dua puluh tahun lamanya."

"Baru tahun lalu aku ke sana untuk pekerjaan sebenarnya."

"Biar kutebak. Kau memaksa untuk segera pulang setelah pekerjaan rampung kan?"

Decihan singkat menjawab pertanyaan berbau pernyataan itu.

Sang bartender eksentrik tertawa melihat sikap dingin pengunjungnya. "Kau dan segara sikap keras kepalamu itu, Gaara. Tapi ternyata seleramu masih tak berubah. Atau kau masih terbayang sosok ibumu yang orang Jepang hingga memilih gadis oriental seperti dia sebagai mangsamu berikutnya?"

"Setengahnya salah. Tapi setengahnya lagi aku tak akan membantah."

Hinata merasakan merinding di bagian tengkuknya. Sadar sepenuhnya jika dia adalah objek yang dibicarakan oleh dua pria itu. Sesuatu dalam dirinya yang sudah lama tertidur bergejolak, campuran antara senang dan tertantang, mungkin Sakura akan menyebutnya sebagai nafsu dan adrenali. Tapi dia tak ingin mengakuinya.

Tatapan mata pria itu, meski tak dapat dilihatnya langsung, ia tahu sangat tajam. Tatapan itu seolah menembus segala perisai pakaian yang dikenakannya dan langsung mengulitinya. Masuk ke dalam tiap pembuluh darahnya dan membuat cairan merah yang mengalir di sana berdesir panas. Mengingatkannya akan tatapan mata seekor serigala yang ia lihat di foto. Tajam, lapar dan ganas. Perpaduan yang menakutkan. Sekaligus indah.

Namun tetap saja bulu di belakang leher Hinata meremang dibuatnya.

Oke, mungkin lantai dansa tak terdengar seburuk tadi.

Hinata bangkit dari tempat duduknya dan berniat menyusul kawan-kawannya. Dari posisinya dapat dia lihat sepintas warna merah muda mencolok yang tenggelam di antara berbagai macam warna rambut lainnya. Sakura sepertinya adalah orang yang tepat untuk dimintai perlindungan saat ini.

"Menghindariku, Nona?"

Sial. Suara berat itu menghentikan langkah Hinata. Seolah ada magnet yang membuat Hinata tak dapat lepas darinya.

"A-apa ada larangan untuk menari di sini?" Hinata mengumpulkan segenap keberanian yang ada dalam dirinya untuk menjawab pertanyaan pemuda itu. Tapi jari-jari tangannya menghianatinya, mereka bergetar hebat, tanda jika sang pemilik tengah merasa terancam.

Gaara menyeringai lebar dan melirik Hidan dengan tatapan memerintah.

Sang bartender mengangkat bahunya. "Khusus ntuk malam ini dan khusus untuk Anda, ada."

Hinata menggigit bibirnya panik. Matanya jelalatan mencari sosok kawan-kawannya, namun cahaya yang terbatas dan otaknya yang sudah teracuni minuman keras membuat segalanya tampak kabur. Inginnya dia berkata 'Kalau begitu, aku pergi,' hanya saja dia tak mau terpisah dari kawan-kawannya dengan resiko tersesat di kota asing ini.

Dengan kesal gadis itu kembali ke tempat duduknya dan membelakangi sang pemuda. "Bu-bukan berarti a-aku patuh padamu." Kamuflase sikap ketusnya tersamarkan oleh kegagapan alami saat berbicara dengan orang asing.

"Katakan namamu."

"Hinata." Dan dalam dua detik Hinata langsung menyesali mengapa bibirnya dapat semudah itu terbuka.

Sebuah dengusan halus terdengar dari pria di belakangnya.

Tak salah jika Hinata menganggapnya sebagai bentuk penghinaan atas nama yang dimilikinya sejak kecil. Gadis itu bangkit berdiri, tak memerdulikan teman-temannya yang lenyap entah ke mana. Pokoknya ia akan kembali ke hotel. Sekarang juga. Peduli setan jika akhirnya dia tersesat dan jadi gelandangan di Perancis."Bu-bukan hakmu untuk menertawakan namaku."

Andai saja mata hijau itu masih berhiaskan sepasang alis, tentunya benda itu sudah mengernyit mendengar kata-kata Hinata. "Tak ada yang menertawakan namamu di sini."

Jika menjawab dengan 'Kau melakukannya' maka sudah pasti Hinata akan dianggap sebagai anak kecil oleh Gaara. Jadi gadis itu hanya mengetukkan sepatunya pada lantai dan berjalan menuju pintu keluar setelah melemparkan entah berapa euro ke atas meja bar. Dia sudah telanjur kesal dengan sikap seenaknya pemuda itu.

"Kutunggu kau di tempat ini jam tujuh besok malam, Hinata." Suara itu menggema mengalahkan hentakan lagu yang merajai udara sekitarnya. Dirasakannya pipinya kembali memerah saat nama kecilnya diucapkan, namun ia tak menoleh lagi.

Dan dia bersumpah tak akan datang keesokan harinya.

.

…*…

.

Saat pintu kamar terbuka, Hinata sudah berbaring di atas ranjangnya dengan gaun tidur berwarna laverder dan berlapiskan selimut tebal nyaman dengan bau pewangi mahal.

Tidak, ia tak sedang tidur. Ia hanya sedang melarikan diri dari ceramah panjang lebar teman-temannya tentang kau-tak-tahu-betapa-khawatirnya-kami-saat-kau-hilang atau apa-yang-akan-terjadi-pada-gadis-polos-jika-berkeliaran-di-malam-hari.

Atau mungkin dia hanya ingin menikmati detak jantungnya yang mengalami anomali sejak suara berat itu memanggil nama kecilnya. Gara-gara itu juga dia dihadiahi tatapan aneh dari supir taksi yang membawanya kembali ke hotel, wajah merahnya tak semudah itu disembunyikan.

Bergelung dalam selimut dan bernostalgia tentang anak laki-laki berambut merah di masa kecilnya, lalu membandingkan dengan Gaara. Semua itu membuatnya merasa brengsek. Ke mana perginya gadis kalem yang lemah lembut itu? Mengapa yang tersisa sekarang hanyalah seorang gadis yang terus membandingkan setiap pemuda berambut merah dengan sosok anak kecil di masa kanak-kanaknya?

Apa kata keluarga besar Hyuuga nanti jika tahu Hinata yang manis dan pemalu sudah berubah terlalu jauh?

Gadis itu mengeratkan selimutnya.

Mungkin… memenuhi undangan Gaara bukan sesuatu yang buruk juga.

Hinata memejamkan matanya. Tak ingin lagi mengamati debaran jantungnya yang berpacu menyebalkan.

.

…*…

.

Hidan tengah menghias gelas koktail dengan ceri saat sebuah pertanyaan menghampiri otaknya. Kembali diliriknya pemuda bersurai merah bata yang duduk di depannya, bergeming selama nyaris tiga jam, satu-satunya gerakan yang dilakukannya hanyalah menyeruput minumannya yang sudah mencair sejak berjam-jam lalu.

"Tak turun ke lantai dansa?"

Pemuda itu mengangkat pandangan matanya sejenak. "Aku sedang memikirkan gadis itu."

"Gadis bermata lavender itu?" Hidan menyajikan koktail racikannya pada tamu yang menunggu dan mendudukkan dirinya di hadapan Gaara. "Tak biasanya kau memikirkan seorang gadis hingga seperti ini."

Gaara mengangkat bahunya. "Aku hanya menuruti saranmu saja."

Hidan terkekeh. Tak menyangka jika si pemuda tampan berambut merah darah itu akan serius memikirkan sarannya. Apalagi jika objek dari saran itu adalah gadis yang baru saja dikenalnya di bar. "Memangnya kau yakin bisa menjalin hubungan dengannya? Dia tak tampak seperti seleramu."

Gaara mengangkat pundaknya. "Dia gadis yang berbeda dengan gadis lainnya yang pernah kutemui. Aku tak akan menilainya sebelum dapat menggenggamnya dalam tanganku."

"Sadis sekali," decak sang barternder. Matanya berkilat jahil sejenak. "Kupikir kau sudah pernah berhubungan dengan segala tipe perempuan."

"Memang. Sebenarnya aku pernah menemukan gadis dengan sikap yang nyaris sama beberapa tahun lalu. Sayangnya aku sama sekali tak bisa mengingatnya."

Hidan menyangga dagunya dengan sikap serius. "Gadis itu sedikit mirip dengan laki-laki yang kau ajak ke bar ini tiga tahun lalu. Terutama bagian matanya. Aku nyaris berpikir kalau si pemuda itu yang datang dengan dandanan perempuan kalau tak melihat belahan dadanya." Ia terkekeh pelan.

"Jangan bicarakan dia lagi di hadapanku." Gaara memutar matanya malas. Diletakkannya beberapa euro di atas meja dan melenggang pergi.

"Hei, Gaara! Gadis bermata bulan itu tadi datang dengan gadis beriris identik denganmu!" sang bartender eksentrik berteriak, berusaha menarik atensi dari pemuda yang dengan kasualnya berjalan pergi. Merasa tak mendapatkan atensi dari Gaara, Hidan terkekeh pelan. "Benar-benar anak yang menarik dia itu."

.

…TBC…

.

(1). Paris, je suis à la maison! : Paris, aku pulang!

Terima kasih sudah membaca FF ini.

Aku harus bilang apa. Berniat membuat slice of life tentang anak sekolahan, malah berakhir dengan kisah seputar dunia model yang sudah nggak akrab lagi di kehidupanku.

FF ini juga aku persembahkan untuk Shen Mei Leng sebagai traktiran yang pernah dibahas saat biweekly sebelumnya. Dia hebat, dapat wangsit apa ya dia sampai tahu aku sedang nulis soal dunia model #gelundungan.

Harusnya FF ini hanya one shot, tapi apa daya, otakku berkeliaran hingga alur yang kelewat rumit.

Soal brand, Sahara memang brand nyata. Tapi aku baru tahu setelah menuliskan kisah ini. Dan karena nggak ada ide lain untuk namanya, aku tetap menggunakan nama Sahara untuk brand milik Temari.

Mungkin ini saja yang bisa aku katakan. Kalau ada kesalahan, aku minta maaf dan mohon kritiknya ya. ^^

Wonosobo, 31 Juli 2014