Saya kembali lagi~
dengan one-shot yang planningnya akan saya rangkum dalam satu judul cerita, Jadi untuk berikut-berikutnya pun, saya akan terus posting one-shot dalam fic ini, entah sampe kapan... liat aja ke depanya, hahaha.
Warning!
This first chapter contains alittle bit of M-rated (But not that much for me to put it on M-rated fiction).
Disclaimer : Hiro Mashima
Warning : OOC and typo(s)
Pair : Gray Fullbuster and Juvia Loxar
Genre : Romance/Humor
1. Sweetness.
.
.
Cklek-
"Belum tidur?"
Manik biru yang sedari tadi sibuk memandang langit dari balik jendela kini bergerak ke sisi pintu, Mendapati seorang pemuda berambut raven tengah berdiri menyandarkan tubuhnya di daun pintu dan tersenyum kecil.
Ia balik tersenyum, "Belum." Jawabnya lembut sambil terus memandang pemuda bertubuh tegap yang kini tengah melangkahkan kaki mendekatinya. Kedua tangan pemuda itu ia selipkan di saku celananya. Permata gelap bergerak mengait manik birunya yang bersinar terang terpantul sinar bulan.
"Jangan bilang kau menungguku pulang?" Pemuda itu berucap kemudian, ikut duduk di atas tempat tidur miliknya.
Ia tertawa pelan, "Bukannya Gray-sama sudah tahu jawabannya." Balasnya tersenyum manis. "Sudah selesai? Bukannya Gray-sama bilang akan pulang pagi karna kau dan yang lain ada acara minum-minum?" Lanjutnya tertawa pelan.
Gray _pemuda itu_ tak melanjutkan ucapannya, lantas kembali terdiam memandang dalam manik biru milik gadis manis yang ada di hadapannya.
"Ada apa?" Juvia memiringkan kepalanya sedikit. Ia sudah terbiasa dengan Gray yang tak banyak bicara, namun biar sudah berapa lama-pun ia mengenal pemuda dingin itu, ia tetap tak akan sanggup bertahan lama dalam tatapan Gray.
"Tak apa." Gray menjawabnya pelan. Bau sake dapat tercium jelas dari hembusan nafas yang pemuda itu hembuskan tepat di wajah Juvia. Perlahan, tangan kiri yang sedari tadi ia selipkan di saku celana terangkat, menyentuh pipi pualam milik Juvia lembut. "Kau cantik malam ini." Ucapnya kemudian.
"Dan kau mabuk malam ini." Balas Juvia pelan, mengabaikan kedua pipinya yang telah memanas karna kalimat singkat yang barusan Gray ucapkan.
"Aku serius." Gray membantah, tertawa pelan mendapati kedua pipi gadis di hadapannya yang memerah.
"Juvia juga." Dengan menghembuskan nafas pelan, Juvia menyentuh kedua bahu Gray lembut. "Gray-sama kau bau sake, lebih baik cepat ganti bajumu." Juvia bersiap bangkit dari ranjangnya. "Juvia akan siapkan makanan." Dan kaki jenjangnya pun siap melangkah sebelum sebelah tangan Gray yang tadi sempat mengelus pipinya kini menggenggam pergelangan tangannya.
"Aku lapar." Gray, masih dengan tingkah anehnya bangkit, kini memeluk tubuh Juvia erat. "Tetaplah di sini." Perintah pemuda itu kemudian.
Juvia mencercah dalam hati. di sisi lain hatinya berdegup penuh kebahagiaan mendapati tingkah manis milik pemuda yang kini merangkulnya erat, tepat di hadapannya.
Namun di sisi lain, dirinya berdesisi pelan begitu menyadari kalau pemuda itu sedang dalam keadaan tak sadar,
"Aku lapar." Gray kembali bergumam pelan. Menjatuhkan kepalanya di atas bahu Juvia.
Lagi pula mana mungkin Gray yang dalam keadaan sadar akan bertigkah seperti anak kecil.
"Makanya lepaskan Juvia." Kedua tangan mungilnya bergerak menggenggam tangan Gray. "Mandilah selagi Juvia masakkan makanan kesukaan Gray-sama."
Namun bukannya melepaskan genggamannya di tubuh Juvia, Gray malah semakin mengeratkannya. "Tidak mau." Ucap Gray, membuat Juvia bergidik oleh hembusan nafas yang membelai bahu polosnya. Perlahan kepala pemuda itu kembali terangkat, mendekatkan kedua bibirnya tepat di samping telinga Juvia yang memerah. "Kau saja."
Juvia tersentak sedikit memundurkan kepalanya. Bersiap melepaskan diri dari dekapan pemuda di hadapannya yang kini... tengah mabuk.
Sret-
Bruk.
"Hmph." Namun belum sempat menghindar, Gray telah membawanya kembali ke atas tempat tidur. menjatuhkan Juvia _dan juga dirinya sendiri_ di atas ranjang empuk milik Juvia.
"Aku mau makan kau saja."
Jantung Juvia hampir meledak, malahan dirinya yakin kalau jantungnya kali inipun memang sudah meledak begitu telinganya kembali menangkap bisikan pemuda yang tengah menindih tubuhnya ini.
Demi Mavis,
Ia tak mau mati sekarang. Ia masih harus melanjutkan hidupnya. Dia bahkan belum mendapatkan lamaran dari Gray. mereka belum menikah dan memiliki anak. Juvia masih ingin tumbuh tua dan melihat cucunya berlari-
"Juvia." Suara pelan dan gerakkan tangan Gray menyadarkannya dari khayalan gilanya. Tangan kanan pemuda itu berada tepat di sisi kepalanya selagi yang satunya, entah sejak kapan, telah bergerak menyusuri lengan polosnya yang tak tertutup gaun tidur.
"Y-ya?" Suara Juvia bergetar, tak berani membalas tatapan intens yang sedari tadi pemuda itu berikan padanya.
"Heh-." Gray mendengus geli, semakin mendekatkan wajanya pada leher Juvia.
"G-gray-sama?" Jantung gadis manis itu seketika berdetak empat kali lipat lebih cepat dari biasanya, setidaknya itu yang ia rasakan kini selagi nafas Gray berhembus pelan seakan menghirup dalam aroma tubuhnya dan sebelah tangannya terus mengelus lembut lengannya.
"G-gray-sama, ba-bangunlah." Ucapnya menggerakkan kedua tangannya menuju dada Gray yang entah sejak kapan, tak lagi terbalutnya kemeja putih miliknya.
Dan di saat itu pula, uap panas seakan keluar dari kedua telingannya.
"Aku ingun makan sesuatu yang manis." Gray kembali berbisik, membuat tubuh Juvia merinding.
"O-kay?" Juvia meneguk ludahnya pelan. tak tau harus membalas apa.
"Kau manis, Juvia.."
"A-apa?!"
"Aku jadi ingin memakanmu." Dan bersamaan dengan kalimat yang Gray ucapkan, tanpa Juvia sadari, pemuda itu telah membuka mulutnya dan menancapkan hampir seluruh giginya di kulit Juvia, menghisapnya dan-
"Gray-sama!"
-Seketika Juvia berteriak, tanpa sadar mengeluarkan sihirnya dan mendorong Gray dengan air yang entah darimana ia dapatkan, hingga pemuda itu terpental ke dinding kamar yang ada di sisi ranjangnya.
"-Ah!" Juvia kembali berteriak, entah karna lega telah berhasil melepaskan diri dari tingkah aneh pemuda itu atau karna dirinya kini mendapati Gray yang pingsan di atas lantai kamarnya.
"Gray-sama... maafkan Juvia!"
.
.
.
"Kepalaku rasanya pusing sekali." Gray berucap selagi mulutnya tengah sibuk melahap omelette yang ada di atas meja.
Tek.
Seketika, Juvia yang sedari tadi terdiam kini menatap pemuda itu takut. Ia letakkan sepasang sendok-garpu yang ia gunakan di samping piring menarik perhatian Gray.
"Kau sudah selesai?" Tanya Gray bingung begitu ia lihat piring Juvia yang masih terisi penuh oleh makanan.
"Ju-juvia tak begitu lapar." Ucapnya tanpa memandang Gray. Membuat pemuda itu mengangkat sebelah alisnya bingung. Tak biasanya gadis bersurai biru itu diam. Biasanya pula, sejak pagi Juvia sudah siap dengan segala kicauanya yang ia tumpahkan pada Gray saat sarapan pagi tiba.
"Kau sakit?" Tanyanya lagi begitu mendapati kedua pipi Juvia yang mendadak bersemu merah.
"Ti-tidak." Jawab Juvia singkat.
Benar, tak seperti biasanya. Ucap Gray dalam hati selagi kedua manik gelapnya bergerak seakan meneliti setiap sisi tubuh Juvia kalau-kalau ia menemukan luka baru yang ia tidak tau alasannya apa.
Dan sepertinya, gadis itu menyadari perbuatannya begitu Juvia bergerak tak nyaman di atas kursi tempatnya duduk.
"Ju-juvia akan bereskan dapur-"
"Tunggu dulu," Baru saja Juvia akan mulai bangkit. Sebelah tangannya kembali berhasil menahan Juvia. "Apa.. itu?" Tangan Gray bergerak menunjuk ke lehernya sendiri, membuat Juvia meneguk ludahnya. "... Yang ada di lehermu?" Tanya pemuda itu ragu.
"A-a.. ini..." Keringat dingin seketika mengalir di pelipisnya. "Emm.. Ju-juvia tak sengaja mencakar, Ya, mencakar lehernya sendiri kemarin.. Ahahaha.." Jawab Juvia tak jelas. Membuat kedua alis Gray tertekuk tak percaya.
Gadis itu tak pintar berbohong di hadapannya.
"Ini bukan seperti bekas cakaran." Juvia kembali tersentak kaget begitu mendapati Gray yang kini tengah kembali berdiri tepat di hadapannya.
"G-gray-sama?"
Tangan Gray terus bergerak, menyentuh bekas kemerahan yang kini menggantung menghiasi leher putih Juvia, membuat tubuh gadis itu bergidik. "Ini seperti..."
Deg.
Seketika kedua matanya terbelalak lebar. Kaki panjang pemuda itu dengan cepat menarik langkah mundur menjauhi Juvia. Membuat Juvia menatapnya kebingungan.
"Gray-sama?"
"I-tu bukan bekas cakaran... " Kini gantian Gray yang meneguk ludahbya pelan. "Juvia, itu-" Kedua pipi Gray memerah seketika. "A-apa aku mabuk semalam?" Tanyanya ragu.
"Ah-" Juvia menggigit bibirnya. Rasa gugup meyelimutinya seketika begitu menyadari maksud dari pertanyaan Gray. "Emh- Itu..."
"Apa aku... yang melakukannya?"
"Gray-sama mabuk kemarin. Mungkin k-kau tak sadar." Permata Juvia bergerak mencoba menatap Gray dan mendapati kini seluruh wajah pemuda itu telah memerah malu. "T-tak apa! Ju-juvia janji takkan bilang siapa-siapa!" Lanjut Juvia panik, kaki jenjangnya melangkah mencoba mendekati pemuda yang ia cintai itu.
"Gray-sama..."
"Bukan begitu, bodoh!" Dan sebelum Juvia sempat menangkapnya, Pemuda bernama Gray telah berlari ke luar menghindari Juvia, yang kini bingung terdiam di tempatnya.
.
.
.
"Gray-sama marah?" Tanya Juvia menempatkan dirinya untuk duduk tak jauh dari sisi Gray. Helaian biru milik gadis itu terbang terhembuskan angin yang bertiup di antara pepohonan.
Gray meliriknya sebentar dari sudut mata, sebelum akhirnya kembali memandang aliran sungai yang ada di hadapan mereka. Gray meneguk ludahnya, Tidak akan butuh waktu lama sebelum akhirnya gadis cantik itu menemukannya, lagipula kemanapun ia pergi, sejauh dan selama apapun, Juvia pasti akan berhasil menemukannya. Seperti saat inipun, saat dirinya berusaha lari untuk menyembunyikan semburat merah yang terus menggantung di kedua pipinya, Juvia dapat dengan mudah menemukannya. "Harusnya aku yang bertanya, bodoh." Jawabnya kemudian.
"Haah..." Juvia mengehembuskan nafas pelan mengabaikan ucapan Gray. Permatanya ikut memandang aliran sungai yang begitu jernih mengalir menuju laut. "Juvia 'kan sudah bilang tidak akan bilang ke siapapun." Lanjut gadis itu kemudian. Kedua alisnya tertekuk selagi ia gembungkan pipi mulusnya.
Gray tertawa dalam hati. Menikmati pemandangan menggemaskan di hadapannya.
"Juvia takkan lagi mengucapkan hal-hal yang akan membuat Gray-sama malu. Juvia sudah bilang sebelumnya, jadi jangan khawatir." Omel gadis it. Tak menyadari tatapan geli yang kini Gray berikan padanya.
"Bukan begitu, Juvia." Gray tersenyum berucap, ia geserkan tubuhnya mendekati Juvia, menarik perhatian gadis itu. "Aku bukan marah karna takut kau akan bilang pada yang lain." Gray menggaruk lehernya tak gatal, menandakan kegugupan yang kini merangkul pemuda itu. "Hanya saja, aku merasa perbuatanku salah." Maniknya bergerak, berusaha memandang apapun kecuali tatapan intens milik Juvia yang yang ada di hadapannya. "Maksudku- aku mabuk dan kau tahu, tak baik berbuat seperti itu pada seorang... seorang gadis saat kau sedang mabuk... 'kan?"
"Maaf kalau itu membuatmu tak nyaman." Kepalanya terakngkat kemudian, mencoba menatap Juvia. "Eh- Juvia?!" Namun terkejut begitu mendapati air mata kini telah menggenangi kedua kelopak mata pucat milik gadis itu.
"Hiks..."
"A-ada apa?!" Tanya Gray panik menyetuh kedua bahu Juvia lembut.
"Ju-juvia pikir Gray-sama marah." Gadis itu tersenyum kemudian, menyipitkan kedua matanya memandang Gray senang.
"Kenapa aku harus marah?" Gray mengangkat sebelah alisnya.
"Ha-habis, Memar yang ada di kepala Gray-sama.." Juvia menggigit bibir bawahnya. menarik permata Gray untuk bergerak menatap bibir merah yang begitu menarik perhatiannya itu. "I-itu karna Juvia... mendorong Gray-sama dengan water slicer ke dinding kamar." Lanjut gadis itu jujur.
"Jadi itu kenapa kepalaku sakit pagi ini?" Dan Juvia mengangguk menjawab pertanyaan Gray. Membuat Gray kembali menghembuskan nafas pelan.
"Tak apa, aku pantas menerimanya." Balasnya Gray, menyeringai aneh di hadapan Juvia. "Dan... Kau tak perlu menutupi tanda itu." Kini jemari Gray bergerak, mengibaskan helai rambut Juvia yang sempat menutupi leher jenjang milik gadis itu. "Biar saja yag lain melihatnya." Gray tersenyum semakin lebar. Membuat bulu kuduk yang ada di balik leher Juvia berdiri begitu Pemuda itu kembali mendekatkan bibirnya pada telinga Juvia. "Biar tak ada orang lain yang berani menyentuhmu..."
"Kecuali aku." Lanjut Pemuda itu mencium telinga Juvia.
Dan sedetik kemudian, Ia sukses membuat wajah gadis merah itu memerah bagai kepiting rebus tepat di hadapannya.
