.
Trettioré les Ar-Dor
Kingdom of Ar-Dor
Orsträtt les Indié
Continent of Indies
Beberapa wanita dalam pakaian seperti biarawati yang dibordir dengan emas di sepanjang lorong istana tersebut segera menyingkir dan memberi hormat kepada sang lelaki muda berambut kuning kotor yang nampaknya terpelajar dan dirundung kekesalan, sampai-sampai tidak merespon balik sapaan mereka seperti biasanya.
Kemarahannya nampak memuncak ketika lelaki itu menggebrak sebuah pintu besar yang menampilkan ruang kerja besar sang raja. Sontak, semua pengawal dan beberapa tamu yang berada dalam ruangan tersebut terkejut bukan kepalang. Sementara sang raja hanya dapat mendesah dari kursi kerjanya, seakan sudah menduga bahwa lelaki yang menjabat sebagai Kardinal—seorang penasihat raja—itu akan datang dengan muka mau meledak seperti ini.
Para tamu dan pengawal yang ikut terjebak dalam kesunyian yang mendadak datang tanpa diundang ini segera undur diri tanpa perlu diinstruksikan oleh siapa pun. Lantaran mereka tahu bahwa sekali Kardinal Arthur Kirkland mengamuk, tak akan ada yang dapat menghentikannya kecuali yang diajak bertengkar oleh Kardinal jenius tersebut sudah menyelesaikan perkaranya—atau dalam kasus ini, tentu semua tahu bahwa Kardinal muda tersebut ingin menyelesaikan perkara-yang-entah-apalah-itu dengan King Lovino Vargas.
"Jadi...?" Desahan kembali keluar dari bibir milik King Lovino, wajahnya seperti berkata 'I am not even the least entertained' yang sangat kontras dengan ekspresi lawan bicaranya yang sebentar lagi akan meledak—yang sebenarnya tak mungkin, kecuali kalau ia bersedia digantung oleh rajanya sendiri. "Kuharap kau punya alasan yang cukup baik untuk 'mengusir' semua tamuku tadi."
"Apa maksud semuanya ini!" Dan ia, Arthur, benar-benar meneriakkan kata-katanya seolah tak peduli kalau orang di depannya ini adalah rajanya sembari menunjuk-nunjuk pada surat yang sepertinya berisi duduk perkaranya. "Seenaknya saja memberiku pekerjaan tak masuk akal semacam ini! Kau tak tahu apa kalau aku sudah kesusahan mengusir bandit-bandit sekaligus mengurusi illegal trafficking yang kemarin masuk ke pelabuhan dan sekarang kau menyuruhku untuk menjadi guru?!"
Yah, bukannya si Kardinal ini tidak berkualifikasi untuk seorang guru, tapi ia bukan seorang yang sabar dan tidak pernah mengajar siapa-siapa sebelumnya. "Kesusahan bukan berarti tak bisa, 'kan?" Jawab sang raja dengan santai. "Mengajar itu tidak sesusah mengusir bandit—"
"Argh, astaga! Demi Bunda Letria yang Perawan, bukan masalah susah-gampangnya, tapi aku lelah!" Kali ini Arthur meremas surat perintah yang sejak tadi ia pegang di tangannya. "Ini sudah ketiga kalinya kau memotong jatah liburku! Berikan aku hari libur!"
Lovino meraih pada sebuah buku bersampul kulit dan membalik halamannya. Ia lalu mengenaan kacamata dengan tepian hitamnya, model half-rimmed glasses sebagai alat bantunya untuk membaca. "Tiga minggu yang lau kau sakit dan tidak masuk kerja—"
"Itu tidak termasuk!"
"—lalu sepuluh hari yang lalu kau tidak masuk karena kamarmu diserang pembunuh bayaran dari Kutub Uta—"
"Masih lebih bagus aku sempat mencegah mereka sebelum masuk ke ruanganmu, dasar raja tak tahu diuntung!" Lanjut, Arthur berseru kesal. Persetan dengan perannya sebagai Kardinal yang harus jadi panutan bagi para bawahannya untuk berlaku sopan, ini semua sudah keterlaluan! "Kamarku juga belum kau perbaiki setelah serangan itu dan sekarang aku terpaksa harus tidur sekamar dengan si chef jabrik tulip brengsek! Liburanku dipotong, waktu istirahatku disela terus, malam-malam kau membangunkanku, privasiku menipis... Intinya pekerjaanku terlalu banyak, terlalu aneh, dan belum ada satu pun yang selesai, kau menyuruhku mendidik anak... Entah siapa ini pokoknya! Mana mungkin aku menyelesaikan pekerjaanku yang lain, hah?!"
Tapi sang raja hanya diam, dengan wajah datar, tak merespon apa-apa. Ikut membawa sang Kardinal dalam kesunyian yang membuatnya jengah.
"Oke, aku tak punya pilihan lain, 'kan?" Arthur berkata lagi. Tahu bahwa rajanya yang kni tengah menguap lebar tidak mendengarkan dirinya. Sial.
"Pilihan lainnya, kau akan kukirim ke Ar-Lacrima dan bertemu King Francis untuk men—"
Sang Kardinal mendecak kesal, "Kau tahu aku tidak akan memilih apa pun kalau sudah menyebut si kodok gila itu." Tuturnya, "ya sudah, aku terima. Hanya mengajar saja, 'kan?"
Sementara sang raja tersenyum penuh kemenangan.
.
'Sialan… kenapa aku harus bekerja di bawah raja semacam ini…"
Kyelestä ~Picturesque~
Iryél Ly ~Prelathena~
[Chapter Zero ~Prelude~]
.
Hetalia : Axis Powers © Hidekazu Himaruya
謳う丘 ~Ar=Ciel Ar=Dor~ / Singing Hill ~This World, This Land~ © 志方あきこ / Shikata Akiko
I own nothing except the damn crazy plot
.
WARNING
Magicians!AU/Multipairs in slash and straight, mainly focusing on USUK & RomaMona/Extreme OOC/Lots of Description/Multiplots/Crack pairs might possible/Major plague of typos
Il-Li Iryél Vie en Priér
Dalam Chapter ini terdapat pair berupa
.
US/UK, Romano/Monaco, Slight France/Joan d'Arc
Fracta reima prosthi, kyérestye syar mardierié frantheriestä Ar-Thaleir Iridieum paster
Janganlah kau terkesima dahulu, sebab kau belum melihat apa pun dari negeri yang akan menyuguhkanmu lebih dari keajaiban ini.
"ASTAGA, AKU BENAR-BENAR AKAN MEMBUNUHMU, LOVINO!"
Suara lantang yang terkesan sangat kurang ajar tersebut kembali berseru. Sebenarnya sudah menjadi hal yang bisa dibilang sering juga untuk melihat sang Kardinal Arthur Kirkland nampak emosi, tapi dalam taraf berteriak? Hmm, sepertinya ini baru pertama kalinya.
"Tapi yang akan kau didik 'kan bukan Francis—"
"Ya, tapi anaknya Francis, si kodok Ar-Lacrima brengsek itu. Sama saja!"
Sungguh, ia benci dengan King Lovino yang benar-benar bertingkah seenak jidatnya. Kau tahu apa seharusnya tugas Kardinal di kerajaan ini? Penasihat. Yap, penasihat raja dan tak lebih. Tapi apa jadinya ketika ia diposisikan sebagai Kardinal dari kerajaan terbesar di planet ini? Kesal cetar membahana. Awalnya sih, berkesan sangat dihormati, tapi ternyata punya atasan semerawut nan brengsek kalau memberikan tugas ( dan rata-rata, tugas yang dilimpahkan kepadanya juga bukan merupakan tugasnya ) telah sukses menghilangkan rasa hormatnya. Iri sekali ia pada Kardinal dari kerajaan lain, pasti tak ada yang bernasib seperti dirinya, si Kardinal Arthur Kirkland yang naas, kebanyakan dikasih tugas.
Tugas?
Yup, 'tugas' yang sama sekali bukan bagiannya dia—maksudnya, ayolah, bahkan kedengarannya saja aneh jika ada divisi khusus untuk pemberantasan bandit, dan sekarang lebih terdengar tak jelas lagi karena Arthur sendiri lah yang mengatasi serangan bandit yang akan memasuki istananya di kerajaan sihir terkuat ini, Ar-Dor. Setelah itu ditambah dengan dirinya yang diserahi tugas untuk inspeksi pelabuhan dan jalur pelayaran yang memasuki kawasan kerajaan, mencegah terjadinya ada budak atau penumpang ilegal yang masuk ke kota yang hanya dikhususkan bagi para penyihir ini. Ya, terima kasih atas alasan "Karena hanya kau yang bisa kupercaya" tapi sungguh, sekarang ia merasa sangat dibudaki, kalau rajanya tidak memberikannya libur minimal dua minggu setelah semua pekerjaan tak masuk akal yang dilimpahkan kepadanya!
Masalah bandit, Arthur tak heran sama sekali. Lovino Vargas masih tergolong sangat muda, sampai kemampuannya saja awalnya diragukan untuk memperkuat hegemoni Ar-Dor. Nyatanya? Negeri ini jadi jauh lebih makmur dari apa yang pernah ada sebelumnya. Dengan tangan dinginnya, ia rombak semua pemerintahan Ar-Dor yang dulunya korup. Ia babat habis-habisan sehingga ia berusaha menciptakan masyarakat yang tidak lagi berbasis pada kekayaan dan keturunan, namun berdasarkan akan kemampuan mereka, menciptakan suatu sistem permasyarakatan yang adil dan menghapuskan sifat eksklusif yang dulu hanya diberikan pada mereka, yang memiliki harta atau keturunan yang dipandang elit.
Jadi jelas saja banyak yang tak suka dengan Lovino, raja yang dicintai para masyarakat kecil.
Selagi sang Kardinal dan sang Raja tengah berdebat, nampaklah dari ujung langit sebuah kereta yang dijalankan oleh empat pasang rusa terbang menuju mereka, sementara beberapa pengawas yang sedang berjaga yang berada di puncak menara pengawas istana berseru akan kedatangan tamu dalam kereta kerajaan. "Ar-Lacrima!" Teriaknya, menyebutkan asal negeri sang representatif yang berada dalam kereta rusa itu. Mendengarnya, Arthur dan Lovino yang sedari tadi berada di tepi lapangan rerumputan hijau yang berada di atas istana, segera bersiap-siap untuk menyambut kedatangan mereka, para petinggi Ar-Lacrima yang akan mengirimkan anaknya untuk belajar di bawah bimbingan Arthur.
"Ingat, ini yang terakhir kalinya aku menuruti permintaan konyolmu ini." Desis Arthur, sebelum ia maju ke tengah lapangan hijau tersebut untuk menepuk kedua tangannya dan menciptakan sebuah jalan khusus bagi kereta tersebut sekaligus membuka kubah sihir peli dung yang mengelilingi istana. Mata hijau itu pun menutup dan tangannya melindungi wajahnya dari terpaan angin akibat hasil angin kencang yang menerpa, imbas dari menapaknya kereta itu di tanah. Sang raja sendiri hanya mendengus sembari tertawa kecil, tahu bahwa ucapan itu tak mungkin sungguh-sungguh.
Ujung coat biru besar milik sang Raja berkibar, mengikuti tubuhnya yang kini berjalan menuju pintu kereta tersebut untuk menyambut sekeluarga yang sudah membelakan dirinya datang dari benua seberang.
"Selamat datang di Ar-Dor, King Francis dan Queen Joan." Lovino menyambut mereka, "oh, dan juga kalian, Alfred dan Matthew. Semoga kalian nyaman tinggal di sini."
Kalian pasti bertanya-tanya, apa sebenarnya yang terjadi di sini?
Oke, sebelumnya kuucapkan kepada kalian selamat datang ke Szalbrié, planet yang terletak pada ujung konstelasi Virgo dimana semua yang hidup di sini adalah mereka, para manusia dengan kemampuan untuk memanfaatkan energi planetnya, atau mungkin kalian akan lebih familiar jika aku menyebutnya dengan sihir.
Planet ini tak besar, barangkali lebih kecil dari bumi kalian, sehingga jangan heran jika aku berkata bahwa planet ini hanya memiliki 4 benua yang dibagi dalam 6 kerajaan saja, dengan spesialisasinya masing-masing. Terlalu biasa, mungkin? Yah, tapi apa lagi yang mau kau harapkan dari sebuah planet yang sistem kultur campuran ditambah dengan gaya arsitektural yang masih setara dengan campuran Kerajaan Ottoman dan European abad 17 di tempat kalian?
Setidaknya kalian bisa mengharapkan sihir.
Ya. Sihir. Dunia ini digerakkan oleh satu arus yang mirip seperti magnet bumi kalian, yang masing-masing oleh setiap negara diubah dan digunakan untuk kehidupannya masing-masing.
Ada Ar-Lacrima, negeri pertanian yang mampu melakukan sihir dalam bentuk membawa gambar dan segala figur menjadi nyata, beberapa dapat melakukannya sampai menjadi benda hidup.
Lalu ada Ar-Lucria, negeri teknologi yang sangat ahli dalam alkimia.
Negeri militer di sebuah lembah yang tenang, Ar-Filia, yang mampu mengendalikan empat elemen dasar bumi—api, air, tanah, dan udara.
Ar-Rayvena, negeri tambang dengan kemampuannya untuk memanfaatkan segala energi negatif yang keluar dari para makhluk hidup.
Dan yang paling kuat dari semuanya, Ar-Dor, negeri maritim yang juga merupakan yang termaju dan telah membawa sihir sa,pai pada tingkatan dimana mereka mampu menciptakan sesuatu dari ketidak-adaan.
Semua negeri ini menjalin relasi antar satu dan yang lainnya dengan cara yang berbeda-beda, tetapi yang jelas, mereka selalu dipantau di bawah satu negeri paling utara dengan netralitas absolut yang diliputi es abadi, Ar-Teflecia. Tempat di mana sihir tertua dari generasi pertama muncul, dan tempat tersuci bagi seluruh manusia yang menghuni planet Szalbrié ini.
Tipikal, ya, aku tahu kalian akan berkata seperti itu lagi.
Tapi jangan berani kalian bicara seperti itu dulu, sebab kalian sama sekali belum melihat apa yang mereka dapat lakukan, dan kisah apa yang akan mereka buat hanya untuk menghibur kalian.
Ruang makan besar tersebut dipenuhi suara alat makan dari keramik yang berdencing antara satu dan yang lainnya, sayup-sayup terdengar suara para pelayan yang sibuk mempersiapkan tata makanan bagi raja mereka dan tamunya malam ini.
"Ayo, Ve! Tinggal sepuluh menit lagi sebelum tamu kita datang!"
Suara milik Feliciano Vargas selaku head butler dari istana Ar-Dor ini terdengar bergema di satu ruangan yang didesain ala Baroque yang antik dan rumit, di mana pada setiap bagian dari dindingnya, dilukis sendiri olehnya, mengisahkan masing-masing bagian satu cerita yang berbeda. Ah, betapa bangga dirinya bahwa ia diperbolehkan oleh sang kakak untuk melukis dindingnya agar dapat digunakan sebagai perias ruangan ini.
Tapi sudah tak ada waktu untuk mengagumi lukisannya tersebut saat ini. Feliciano bergegas mengenakan coat hitamnya dan mengenakan topi pantofel layaknya seorang bangsawan, sebab inilah perintah kakaknya agar semua pelayan juga ikut mengenakan pakaian yang sama indahnya seperti para bangsawan, setidaknya untuk terlihat lebih elegan dan nampak rapi.
Pintu mahoni setinggi empat setengah meter tersebut dibuka oleh beberapa penjaga manusia berkaki kambing—mereka memanggil diri mereka sebagai Fawn. Tak salah jika butuh setidaknya dua orang hanya untuk membuka satu sisi, lantaran tebal pintu tersebut memang besar. Masuklah dari balik pintu tersebut, seorang Arthur Kirkland, Kardinal yang diperintahkan oleh King Lovino untuk datang terlebih dahulu dan menginspeksi semuanya.
"Ada apa saja malam ini?" Pertanyaan itu ia berikan kepada Feliciano yang memang khusus memasak pada malam ini.
"Konsep fine dining dengan pilihan berupa Risotto con Funghi atau Pureé Scallop untuk makanan pembuka, lalu ada daging sapi cincang yang saya buat ulang menjadi hamburger steak dengan keju leleh di atasnya sebagai makanan utama. Untuk penutupnya, saya sudah sediakan pilihan berupa tiramisu, creme brulee atau salad buah." Feliciano segera membacakan daftar makanan yang telah ia buat pada malam ini. "Untuk minuman, ada anggur dan teh hasil impor dari Ar-Lacrima, Ve."
"Bagus. Semua sudah siap?"
"Sisa scallop dan tiramisu yang sebentar lagi ja—"
Sebelum sang head butler yang hari itu tengah merangkap sebagai chef selesai berbicara, terdengar tapak kaki sepatu hak dari ujung ruangan. Nampak sang ratu dengan kepang besarnya, berlari menghampiri Arthur yang sedang berbicara dengan Feliciano, sementara di belakangnya, dayang-dayang sang ratu sibuk mengikutinya dengan wajah yang tak kalah kuatir.
"Queen Moria!" Arthur berdesis kecil, wajahnya nampak cemas melihat tampang ratunya. "Persiapan makan malamnya belum selesai, mengapa anda sudah kemari?" Sungguh, mungkin di satu hari, ia akan memutuskan untuk menulis surat pernyataan mengundurkan diri, dengan alasan sudah terlalu lelah melayani ratu dan raja yang kadang berlaku seenaknya dan senang melanggar tradisi semacam ini.
Tapak-tapak tersebut diikuti dengan tiga orang lainnya, Lovino, Francis, dan istrinya, Joan. Dari desahan nafasnya yang bisa dikata memburu tersebut, mungkin mereka sehabis berlari berkeliling istana. "Apa lagi sekarang!" Kali ini Arthur benar-benar berseru. Lelah ia dengan semuanya ini, dan persetan bahwa dua pasangan yang tengah ia hadapi adalah raja dan ratu dari dua kerajaan yang berbeda. Toh mereka semua juga merupakan orang-orang yang telah ia kenal dan sekaligus membimbingnya sejak semasa kecilnya.
"Alfred hilang..." Queen Joan adalah orang pertama yang mulai menjelaskan. "Sebenarnya dia suka keluar tanpa bilang-bilang terlebih dahulu, tapi kami khawatir kalau nanti ia ada apa-apa..."
Bicara ada apa-apa, benar juga. Bawah tanah istana ini ada sesuatu yang tak boleh dilihat siapa-siapa selain sang Raja, Ratu, dan dirinya. Tak perlu disebut lagi akan penjara dan peralatan aneh di sekitar istana. Dan yang lebih menjengkelkan lagi kalau seandainya dia ada di luar sana, tentu saja ia tak mau itu terjadi kepada si pangeran yang baru datang. "Dan Matthieu sudah mencarinya sejak satu jam yang lalu, tapi anak itu masih hilang entah kemana." Giliran Francis yang angkat bicara, masih dengan mengusap bagian belakang kepalanya. "Mon Dieu! Anak itu benar-benar harus kuhukum nanti!"
"Salah sendiri kau tak bisa menjaga anak. Aku heran kenapa Ar-Lacrima masih berdiri sampai sekarang dengan raja sepertimu." Arthur menyindir sang raja yang merupakan mantan kakak asuhnya tersebut.
"Kata seseorang yang bisanya hanya menumbuhkan alis tumpuk." Francis ganti membalas sindiran barusan. "Kasihan sekali, akhirnya bernasib jadi Kardinal, tidak bisa merasakan apa itu l'amour."
Sementara itu, Lovino langsung menepuk pundak Arthur sebelum adu mulut tersebut berlanjut, dengan wajah datar dan mata hazel penuh intensitas. Bukan, bukan marah karena ia berbicara kasar pada sang raja dari Ar-Lacrima, tapi karena—
"Kau tahu tugasmu 'kan, Arthur?"
Arthur menatap jengkel kepada rajanya, sekali lagi.
"Cih..."
—karena dia lagi, dia lagi yang disuruh...
Tunggu, kenapa dulu ia memutuskan untuk menjadi Kardinal?
Oh, karena gengsi. Gengsi karena direndahkan mentang-mentang dirinya seorang anak yatim piatu. Anak yatim piatu yang tak bisa apa-apa kecuali menumbuhkan alis tujuh tumpuk yang semerawut di atas matanya tersebut. Memutuskan bahwa menjadi Kardinal, sang penasihat raja yang diharuskan memiliki kemampuan intelektual, wawasan luas dan fisik yang tak kalah dari seorang jenderal besar dan rajanya sendiri adalah jalan keluar dari omongan busuk manusia-manusia tak berguna yang akhirnya bernasib menjadi membajak sawah lagi.
Dan lihat sekarang, ia menjadi Kardinal Ar-Dor, Arthur Kirkland yang sangat majestic.
Sekarang ia merasa lelah sendiri, mungkin membajak sawah masih lebih enteng ketimbang mengerjakan hal-hal aneh seperti mengusir bandit sendirian, mengurusi perdagangan dan keamanan laut sendirian, dan sekarang harus mencari pangeran nyasar, sendirian lagi.
Ia menatap pada kota besar di bawah istana yang berdiri di atas kawasan tanah yang melayang ini. Berdiri pada lapangan rumput tempat dimana ia menyambut sekeluarga inti kerajaan Ar-Lacrima beberapa waktu lebih awal tadi, lalu bergumam akan betapa indahnya senja di Ar-Dor. Dari kejauhan ia bisa mendengar sesayupan alunan musik jazz yang dimainkan di salah satu kafe yang berada di areal downtown, sambil menatap pada langit yang mulai berubah kemerahan, bagaikan api besar tengah membakar langit.
Arthur hanya bisa tersenyum melihat semuanya. Setelah dipikir lagi, mungkin ini salah satu keuntungan kecil yang bisa ia nikmati, sebuah taman eksklusif hanya diperuntukkan bagi mereka yang punya autoritas khusus, dengan salah satu pemandangan terindah di satu Szalbrié.
Tapi sekali lagi, ini bukan waktunya untuk bermain-main, dan akan susah baginya jika waktu sudah malam, tentu siapa pun tak suka bersusah-susah, apalagi pekerjaan ini saja sudah tergolong berat. ( sialnya, begitulah Lovino. Merasa bahwa dirinya adalah Mr. Perfect yang tak perlu dibantu siapa-siapa lagi. )
Arthur menepuk kedua tangannya sembari membacakan mantra dalam bahasa kompleks para penyihir. Membuat di sekitar tangannya muncul lingkaran sihir berisi mantra dalam bentuk tulisan di lapisan luarnya, sementara dalamnya bergambar emblem kerajaan berupa bentukan salib, bersinar berwarna hijau toksin. Bertebaran lah di sekitarnya, bulu-bulu putih dalam jumlah banyak yang kemudian seakan menurut, berkumpul dalam dua kepal tangannya saat cahaya lingkaran sihirnya meredup. Arthur kembali tersenyum, mengumpulkan dua kepal bulu putih tersebut dalam satu genggaman lalu meniupkannya, mengikuti arah angin berdesir kala itu. Ajaib, bulu-bulu tersebut berubah menjadi burung-burung merpati putih tatkala bulu-bulu itu diterbangkan melalui tiupannya.
"Carikan Alfred Fitzgerald Jones." pesan itu diucapkannya kepada para burung yang kini berhamburan di langit, beterbangan ke seluruh penjuru negeri. Ia mendesah berat akan menyaksikan burung-burung palsu kreasinya tersebut, sementara dalam pikirnya terbayang betapa malas dan susahnya mengajar pada pangeran yang sepertinya gemar keluyuran sendiri.
Ia menjatuhkan dirinya dari istana melayang ini, membiarkan dirinya jatuh selama beberapa saat sebelum kembali membacakan mantra lain yang tidak sekompleks sebelumnya dan kini membuat suatu kumparan angin di sekitarnya, membawa dirinya perlahan ikut melayang bagaikan angin. Bagi Arthur, sudah biasa merasakan sensasi jatuh dan terbang seperti ini, tapi kata biasa itu tak pernah sama dengan bosan baginya, yang tengah tersenyum sembari meretas bijih kalungnya. Bijih kalung serta rantainya itu pun berubah menjadi sebuah tongkat panjang dengan ujung tongkatnya berhiaskan salib dari emas putih yang juga ditemani dengan berlian dalam berbagai warna yang meramaikan bagian dalam salib tersebut.
"Nah, sekarang dimana kau, pangeran merepotkan..."
Tak lama ia melayang sebelum salib pada tongkatnya bersinar, pertanda bahwa salah satu merpatinya telah menemukan subjek yang ia cari. Ia tersenyum penuh kemenangan, dan segera mengayunkan tongkatnya saat ia berada tujuh tingkat dari permukaan tanah, membuat pakaian resmi Kardinal Ar-Dor tersebut berganti menjadi pakaian penduduk lokal para petani yang simpel―sebab memang begitulah dirinya, malas jadi tontonan masyarakat.
Kota mulai menggelap dan perlahan para lelaki menghidupkan obor serta lampu minyak mereka, menerangi jalan tak rata dari salah satu desa yang cukup besar di Ar-Dor ini. Tak perlu heran jika belakangan ini keadaan desa dan kota sekitar mulai ramai, sebab tak lama lagi datanglah Eilä-Litha, puncak perayaan keagamaan Ra-Litha. Semua orang melambungkan senyumnya, perlahan demi hari menghiasi kota dan desa mereka dalam kebersamaan, sebab bukankah itu inti dari kenapa kita hidup di sini? Arthur pun hanya terdiam sambil berjalan dan melontarkan senyumnya bagi siapa saja yang menyapanya.
Jalan menuju pusat kota semakin ramai akan manusia beriringan dengan terangnya kerlip lampu lilin yang hangat. Membawa dirinya terbawa dalam arus musik folk yang dimainkan di pusat kota, tepatnya di pasar malam tempat ia berdiri di tengah-tengah kerumunan manusia yang berdansa mengikuti ritme banjo dan tabuhan gendang yang bermain harmonis. Susah bagi Arthur untuk menyelip di antara kerumunan itu, dan entah apakah Dewi Fortuna sedang meliriknya karena ia cepat menemukan sang pangeran dari Ar-Lacrima tersebut, atau sial karena telah menjumpainya dalam keadaan setengah mabuk.
"Alfred!"
Seruan milik sang Kardinal sama sekali tidaklah kentara di tengah-tengah keramaian dari para penduduk yang masih larut dalam kegembiraan, maka tak dihiraukan panggilannya oleh sang empunya nama Alfred. "Hei, Alfred!" lagi, suara dewasa tersebut kembali terdengar dalam volume yang lebih tinggi, namun lagi-lagi kembali pada usaha yang sia-sia.
Geram, Arthur pun langsung menarik lengan sang pangeran, tak peduli akan seruan gadis-gadis desa―yang harus ia akui, manis. Tapi terima kasih, saat ini ia tak tertarik―yang sejak tadi ia ajak bicara, atau pun peduli akan seruan merendah dari para lelaki yang mengatainya anak ibu. "Hei! Apa-apaan kau?!" dan tentu sang pangeran memprotes akan tarikan mendadak dari sang Kardinal. Wah, rupa-rupanya tubuh kurus itu punya tenaga yang lumayan juga.
Sang Kardinal menarik lengan milik Alfred, sama sekali tak menggubris umpatan dan protesan sang pangeran yang sepertinya lupa akan siapa dirinya. Sialan, mentang-mentang dirinya adalah pangeran, jadi dia dapat melupakan orang seenaknya, ya? "Hilang kemana otakmu, hah?! Apa kau kira itu perlakuan yang pantas bagi calon raja?" dan peduli setan jika Arthur meneriakkan hal itu di tengah kerumunan orang banyak, toh sebentar lagi mereka akan menghilang dari sini
"Da-darimana kau tahu aku―"
Sebelum kata-kata itu selesai terucap, sang Kardinal telah bersiul kencang, sangat memekakkan telinga. Siulan tersebut mampu menarik balik semua merpati putih yang telah ia terbangkan tadi, berkumpul menyelubungi dirinya dan sang pangeran yang masih tak sanggup untuk mengutarkan kata-katanya, sebab apalah arti kata bagi seorang Alfred jika mendadak dipertunjukkan dengan segala hal yang begitu... Mendadak dan mencengangkan. Inikah kekuatan asli Ar-Dor?
Rasanya tidak hanya sampai di sini.
Kumpulan merpati yang menyelubungi mereka memancarkan sinar yang terang, sesaat Alfred mampu menangkap bayangan tongkat salib yang dipegang lelaki beralis tumpuk itu―tunggu, memang tadi lelaki ini membawa tongkat semewah itu?―dan cahaya yang mengelilingi mereka semakin terang sampai mata biru Alfred tak kuat menangani cahaya putih terang yang juga diiringi bunyi kepakan sayap yang sangat berisik. Pusing, dan rasanya ia ingin semuanya cepat berakhir.
Lalu mendadak hening.
Ia rasakan intensitas cahayanya mulai menurun, dan perlahan membuka matanya, menyesuaikan pandangan sekelilingnya dengan mata biru laut di balik kacamata rimless tersebut. Kaget, menyaksikan pemandangan yang berubah dari kota yang mulai berpesta menjadi sebuah taman luas berupa hamparan rumput di ketinggian. Barulah suatu realisasi akan dirinya dan penyihir di sampingnya telah berpindah tempat sampai padanya setelah beberapa saat termangu.
"Ka-kau siapa?"
Kata-kata itu diucapkan Alfred dengan sedikit bergetar pada Arthur yang baru saja mengucapkan mantra untuk mengubah bajunya kembali menjadi pakaian resminya. Sesaat sang Kardinal tak menjawabnya, sampai membuat pangeran dari Ar-Lacrima tersebut kembali bertanya. "Ku-kutanya, siapa kau?!"
Arthur mendengus, seakan menahan tawanya terhadap reaksi sang pangeran. "Ah, kita belum berkenalan dengan benar sebelumnya." Arthur mendesah, lalu merapikan pakaian Kardinal yang baru saja dikenakannya sebelum membantu sang pangeran yang masih tercengang, terpekur di rerumputan halus ini. "Namaku Arthur Kirkland, Kardinal Besar Ar-Dor yang akan menjadi pendamping serta pengajarmu selama kau berada di sini, Yang Mulia."
Tumpukan kayu bakar tersebut sudah tertata rapi pada perapian kamar terbesar di istana tersebut, kamar milik sang raja dan ratu Ar-Dor. Sang penata dengan rambut brunette dan kriwil aneh yang mencuat agak menurun tersebut. Ia tepuk kedua tangannya, dan perlahan ia angkat sebelah tangannya, sehingga muncullah sebuah lidah api di atas telapak tangan milik sang head butler. Ia sulutkan lidah api tersebut pada tumpukan perapian yang kini mulai menyala dengan konstan.
"Terima kasih, Feli." Sang Ratu, Moria Borques, melayangkan senyum kecilnya kepada sang head butler.
"Sama-sama, yang mulia." Feliciano balas tersenyum, ia pun bergegas untuk keluar dari ruangan tersebut, tepat saat sang Raja muncul dari balik pintu masuk kamar tersebut. "Selamat malam juga, fratello." Tuturnya, halus, kepada sang raja yang mengangkat ujung bibirnya sedikit.
Merasa pasti bahwa sang head butler sudah keluar dan berjalan agak jauh dari ruangannya, Moria berjalan mendekati Lovino, kemudian menatap suaminya tersebut sembari melepaskan coat berat berhiaskan bordiran emas dan emblem serta dekorasi mencengangkan yang merupakan pakaian resmi seorang raja Ar-Dor. Keheningan kembali tercipta, sementara samar-samar dari kejauhan di taman istana, terdengar simfoni dari jangkrik yang menjadi satu-satunya pengisi malam selain dari deru angin yang perlahan berdesir memasuki celah ventilasi ruangan itu.
"Katakan."
"Eh?"
"Jangan pura-pura bodoh, Moria. Aku sudah mengenamu cukup lama untuk tahu arti wajah berkerut jengah itu." Lovino lanjut berkata, sambil membuka sarung tangan kulitnya. "Jadi apa yang mau kau katakan?"
"Tidak, aku…" ia tidak menatap langung pada kedua mata hazel milik Lovino, melainkan membuang pandangannya kepada bulan besar yang nampak dari satu bagian dinding yang seluruhnya dilapisi kaca dengan bingkai emas tipisnya, sementara kali ini, tangannya membuka satu per satu kancing vest suaminya. "Aku hanya ragu, kenapa kau mau menerima Alfred belajar di sini—bu, bukan maksudku aku kesal dengannya atau bagaimana, tapi kau tahu 'kan keadaannya sekarang ini?"
"Ya, Ar-Lacrima sedang beraliansi dengan Ar-Lucria yang kini tengah diincar oleh Ar-Rayvena. Aku tahu." Lovino menjawabnya. "Lihat saja besok, mereka pasti akan mulai mendiskusikan soal aliansi."
"Dan kau akan terima? Bagaimana jika sampai kita harus ikut berperang?"
Lovino terdiam. Ia melepaskan kacamata half-rimmed milik Moria dan meraih dagunya untuk membawanya dalam satu ciuman yang cukup dalam. Masih agak tak menangkap ada apa yang tengah terjadi, namun Moria segera larut dalam ciuman hangat tersebut. Ia ikuti ritme Lovino sampai di mana keduanya membutuhkan nafas kembali di paru-paru mereka.
"Hei," ia memanggil istrinya tersebut, yang masih memerah karena dicium tiba-tiba seperti barusan. "dengan keadaan seperti sekarang, perang tak akan jauh. Apa pun yang kujawab besok, perang akan tetap terjadi, tapi bukan berarti aku tak bisa mengambil keputusan, bukan?"
"Apa itu artinya iya?"
"Mungkin." Kali ini ia membiarkan dirinya bertelanjang dada, lalu duduk pada ranjang dan memangku Moria. "Setidaknya aku tak akan menjawab sampai aku tahu pasti apakah Ar-Rayvena terlibat dalam serangan belakangan ini atau tidak."
Dan satu malam pun kembali berlalu, akan diliputi dengan sebuah kekuatiran besar bagi dua penguasa terbesar Ar-Dor.
Saat ini, planet kecil yang diberkahi dengan sihir ini tengah terancam akan tanda-tanda perang besar.
Szalbrié dihuni oleh enam negeri yang masing-masingnya memiliki kekhasannya sendiri. Kekhasan yang selama ini akhirnya dibawa pada sebuah miskonsepsi kolot akan absolutisme, strata dan keturunan murni.
Bagi Ar-Rayvena, negeri yang memegang teguh pada berbagai macam aturan dan tradisi, merasa sangat tak sependapat dengan negeri-negeri yang dirasa masuk dalam golongan Low Magic, yang kini telah mengembangkan negeri mereka atas dasar teknologi. Mereka telah dianggap sebagai pemusnah tradisi dan kini merasa bahwa selamanya negeri yang berada di pangkat sihir bawah tak pantas untuk dianggap sejajar dengan baik para Moderate Magic, apalagi sejajar dengan Top Magic.
Tapi apalah yang bisa Ar-Lucria lakukan? Negeri yang memegang keahlian dalam alkimia dan memang bergantung pada kemampuan teknologi adalah sasaran empuk Ar-Rayvena. Susah menghadapi gencetan dari 'negeri senior' yang benar-benar membuat mereka menjadi harap-harap cemas dan seringkali dilimpahi kebingungan, salahkah mereka karena hidup dan hanyj mampu dalam kungkungan alkimia dan segala teknologinya?
Atau bahkan bagi Ar-Lacrima yang selama ini dipandang sebelah mata atas kemampuan sihir yang paling tidak efisien. Maksudnya, ayolah, tidakkah sangat merepotkan jika satu-satunya sihir yang dapat dilakukan adalah menghidupkan gambar dan skulptur? Akan sangat merepotkan dan memakan banyak waktu jika harus membuat segalanya dari selembar kertas putih atau seonggok tanah liat. Mau tak mau, negeri agrikultur ini harus pasrah menerima tekanan politik.
Dan tak pernah ada yang mampu menebak tepat apa pikiran Ar-Filia, negeri penguasa empat elemen dasar bumi dengan kekuatan militer dan pertahanan terkuat dengan segala taktik culasnya untuk mengeruk untung dalam semua aspek. Siapa yang tahu akan pikiran Macan Culas dari Timur ini? Hah, sekali-kali pun, tak ada yang dapat memprediksi pikiran dan akal liciknya yang sangat tak terjangkau.
Juga akan Ar-Dor, negeri yang tak pernah tertebak keputusannya, dengan tingkatan sihir tertinggi di antara empat lainnya yang dilimpahi segala pengetahuan yang pernah, ada, dan akan ada di dunia ini. Begitu ditakuti, tapi juga begitu diincar bagi keempat negeri lainnya akan menjadi satu-satunya negeri yang paling dikasihi oleh negeri suci dan paling berlimpah dari segalanya.
Meninggalkan Ar-Teflecia di ujung paling utara sebagai negeri suci dan pengadilan tertinggi di Szalbrié dalam kebimbangan akan kondisi lima negara di sekitarnya dan kelangsungan netralitasnya saat ini.
Pada dasarnya, semua negeri yang ada tak ada ubahnya. Semua dapat menggunakan sihir dengan hasil yang sama, dengan caranya masing-masing. Bahkan bagi masing-masing negeri, setidaknya ada beberapa sihir yang tak dapat dilakukan jika tidak menggunakan teknik khas setiap negara.
Tapi kembali lagi, apakah penting, sebuah pertentangan yang didasari oleh kecemburuan dan budaya yang berbeda...?
.
.
To Be Continued
Moria Borques = Monaco
A/N : Sebenernya ini baru mau saya publish bulan Maret… Tapi kayaknya saya harus publish sekarang untuk mengajukan satu pertanyaan.
Cerita ini berawal dari ngedengerin lagu ajibnya Shikata Akiko, terus berlanjut dengan terinspirasi sebuah konsep dimana Alfred bisa bikin semua gambar jadi idup, dan dia pun akhirnya ngebawa Arthur hidup dari gambarnya. Dan karena cerita itu udah pernah saya buat dalam bahasa inggris versi horornya, saya pun ngerombak konsepnya habis-habisan... Sampai jadi semerawut gini. Yah, kalian tahu saya ini gimana lah wahahaha #disepak
"Kok ini OOC?" Yesh. Saya punya modifikasi karakterisasi dari tiap karakter yang sengaja saya buat khusus untuk cerita ini. Saya berusaha sedapat mungkin untuk bikin karakterisasinya se-IC mungkin dengan memenuhi guide characterization khusus milik saya, tapi kalau seandainya ini terlalu OOC, mohon beritahu saya dimana dan bagaimana supaya saya bisa perbaiki OwO
Yep, this is the end of prologue, dan menurut kalian, apakah ini cukup menarik untuk dilanjutkan?
NB: Saya nggak akan update ini dalam waktu dekat kalau memang mau dilanjutkan, tapi pasti akan saya update, itu juga seandainya kalau saya sudah bisa menerima respon dari anda-anda sekalian. Seandainya ini tidak terlihat menarik, saya akan hapus cerita ini dan akan saya rombak habis-habisan. Terima kasih~
