Summary: Fang adalah tuna wicara yang sudah dikurung tanpa pernah melihat dunia luar selama bertahun-tahun. Hari ini ia ingin memberikan kakaknya sesuatu untuk mengenang ibu mereka. Sementara itu, Detektif Halilintar terus berusaha melacak mereka. KaiFang, HaliTau. Untuk event #AppreciationDay. Oneshot ini prolog ff baru saya nanti.

.

.

BoBoiBoy milik Animonsta Studios

Tak ada keuntungan materi apapun dari sini.

.

.

Fang menatap keluar jendela. Hujan deras.

Pagi-pagi Kaizo sudah tiada, pergi entah kemana. Kaizo tak pernah bercerita seperti apa pekerjaannya tapi setiap hari Kaizo selalu meminta Fang agar tidak keluar rumah. Fang mematuhinya karena ia percaya apapun yang Kaizo lakukan selalu ada alasannya. Meski Fang tahu sudah 8 tahun ia tak pernah keluar dari sangkar ini―ia dikurung semenjak berumur 10 tahun. Sekarang Fang telah berumur 18 tahun.

Rumah yang menjadi penjaranya sangat besar dan bergaya Renaissance―arsitekurnya detil dan elegan seolah dihuni para bangsawan zaman dahulu. Kaizo yang merancangnya sedemikian rupa agar Fang betah. Di sana ada ruang musik, Fang senang menghabiskan waktu disini. Ada juga perpustakaan besar dengan tangga melingkar, penuh dengan buku-buku yang Fang minati. Ada juga ruang permainan yang dipenuhi berbagai film yang dianggap Kaizo tak mengapa Fang tonton dan mainan papan seperti catur, monopoli, atau dek kartu... sayangnya tak ada teman yang bisa diajak bermain. Sebab itu Fang lebih suka duduk di ruang hijau yang penuh tanaman, atapnya berupa kubah kaca besar agar cahaya matahari masuk. Di ruang hijau juga ada teropong bintang namun Fang jarang menggunakannya karena langit malam senantiasa mendung.

Rumah itu besar dan indah. Lengkap. Mempesona. Tapi Fang dipenjara di dalamnya tanpa diberi satupun alasan oleh Kaizo. Kaizo menyetel sistem alarm dan penguncian begitu ketat, kamera selalu mengintai di berbagai sudut. Dunia luar yang bisa Fang lihat hanyalah halaman rumah mereka dari jendela―halaman itu luas sekali dikelilingi pepohonan rimbun seolah menyembunyikan keberadaan rumah tersebut. Kaizo berkata jika Fang keluar maka Fang akan ditangkap oleh orang-orang bermaksud tak baik, dan itu cukup untuk menakutinya. Fang tak mau keluar karena rumah ini menawarkan keamanan. Ia juga tak mau mengecewakan kakaknya.

Tanpa terasa, Fang bertahan dalam rumah itu selama 8 tahun tanpa pernah sekalipun keluar dari sana. Bahkan ia tak pernah menjejakkan kaki di halamannya sendiri. Fang telah terbiasa dalam sangkar emasnya dan ia malah takut jika ia harus keluar rumah. Ia merasa terekspos dan tidak aman.

Setiap hari jam 8 pagi akan ada guru privat homeschool datang ke rumahnya, sebenarnya ia adalah rekan dekat Kaizo juga yakni Koko Ci. Kaizo takkan membiarkan orang lain masuk ke rumahnya dan menemui adiknya jika Kaizo tidak mengenal betul-betul siapa ia. Fang pikir Koko Ci itu salah satu orang kepercayaan Kaizo. Koko Ci itu wataknya ramah dan berbadannya agak pendek, Fang senang padanya. Gurunya itu mengajarkan dengan sabar dan tahu banyak hal―Fang bahkan belajar cello dan piano padanya, sekarang ia sudah bisa memainkan komposisi Mozart, Smetana, Dvořák dan Saint-Saëns meski masih terbata. Homeschool berhenti saat jam 12.00. Lepas itu, Fang biasanya memasak makan siang untuk dirinya saja, Kaizo biasanya pulang sangat larut.

Fang merasa kesepian. Teman-temannya hanya Koko Ci dan dua ekor kucingnya―Mali dan Hestia―serta alat musiknya. Dahulu Kaizo adalah orang terdekatnya tapi entah sudah berapa lama Fang tak duduk akrab dengan Kaizo karena kakaknya selalu sibuk. Fang hanya ingin teman baru. Bagaimana kau bisa mendapatkan teman baru tanpa keluar rumah? Online? Kaizo melarangnya menggunakan internet dan ponsel pintar, apalagi media sosial populer. Satu-satunya alat komunikasi yang boleh Fang pegang adalah pager atau penyeranta untuk mengetik pesan darurat ke Kaizo. Penyeranta itu kecil dan telah dimodifikasi khusus, tidak seperti penyeranta zaman dahulu. Kaizo selalu menyuruh Fang untuk membawa penyeranta itu kemanapun ia berada.

Kaizo sangat membatasi dunianya. Dunia Fang adalah apa yang dibangun Kaizo untuknya. Fang menerimanya karena ia percaya ada suatu alasan bagus mengapa Kaizo mengurungnya. Ia kesepian tapi ia harus mematuhi kakaknya. Kaizo selalu benar. Kaizo selalu tahu apa yang baik untuknya.

Fang menutup tirai jendela dan beranjak dari sana―ia ingat pesan Kaizo yang melarangnya menatap jendela lama-lama, takut ada yang melihat keberadaan Fang. Seperti semua perintah Kaizo, Fang menurut. Ia lalu meletakkan lagi cello yang ia mainkan barusan―Fang tengah menghafal komposisi Bach di waktu luangnya. Hari ini Koko Ci tidak datang, katanya sibuk ada urusan dengan kakaknya. Fang mengiyakan saja meski ia agak kecewa. Koko Ci satu-satunya temannya sekarang, jika Hestia dan Mali tak dihitung.

Fang merapikan kembali peralatan bermain musiknya dan keluar dari sana menuju ruang tengah. Biasanya Mali dan Hestia ada di sana, tidur atau bermain. Tapi sebelum itu Fang hendak ke dapur mengambil makanan mereka dahulu.

Fang berbelok melewati koridor yang diterangi temaram lampu bercahaya hangat. Deretan lukisan klasik pemandangan berjejer rapi di dinding, karpet merah tebal meredam suara langkah kaki Fang. Ia kemudian melewati sebuah ruang makan besar dengan chandelier atau lampu kristal raksasa bergantung di langit-langit―kristalnya berkilat-kilat ditimpa cahaya lampu seolah ratusan bintang tengah bersinar. Sebuah meja besar memanjang dengan kursi-kursi empuk berjumlah 19 buah, dan seluruh perabotan makanan yang cantik bersepuh emas dan perak... tapi Fang merasa hampa. Apa artinya memiliki rumah seluas ini namun tak ada yang datang untuk dijamu?

Menepis kearah mana pikirannya itu, Fang cepat-cepat berjalan ke dapur dan mengambil makanan kucing dan pergi dari sana. Hestia dan Mali pasti sudah lapar.

Ketika berjalan menuju ruang tengah, Fang berpas-pasan dengan sebuah kalender tergantung di pojokan. Sekarang tanggal 22 Desember. Hari Ibu.

Fang samar-samar masih ingat wajah ibu mereka, meski semua foto dan gambar telah tiada namun Fang masih memiliki memorinya. Ibu mereka adalah wanita yang cantik, anggun dan penuh kasih sayang. Tutur katanya santun namun ia juga tegas dan tangguh. Fang sangat ingin merayakan hari Ibu yang entah sudah berkali-kali ia lewati tanpa ada seorang ibu untuk diberikan hadiah. Ia hanya memiliki Kaizo sekarang dan Kaizo selalu sibuk meski ia sudah berperan sebagai orang tua Fang.

Fang akhirnya tiba di ruang tengah. Ia membuka pintunya dan tampak dua ekor kucing berjenis ragdoll menyambutnya dengan antusias. Hestia mengelus-elus kepalanya pada kaki Fang dan Mali mengeong riuh mengendus bau makanan. Fang tersenyum lebar. Jika saja ia tidak bisu, ia pasti sudah membalas kicauan kedua kucingnya dengan tawa kecil.

Fang bisa mendengar suara, namun ia tak bisa berbicara. Ia pengidap mutism atau tuna wicara. Dahulu ia bisa berbicara namun entah mengapa sudah berapa tahun ini Fang tak bisa bicara lagi. Kaizo terkesan merahasiakan alasan mengapa Fang tak bersuara, namun Fang percaya penuh pada kakaknya. Pikir Fang, Kaizo pasti memiliki alasan bagus. Bagi Fang, Kaizo tahu yang terbaik. Kaizo selalu mengutamakan keluarganya di atas segalanya, ia begitu keras pada musuh-musuhnya dan lunak pada sekutunya.

"Orang lain selain kita adalah musuh, Fang."

Mungkin karena itu Kaizo membangun istana ini dan mengurung Fang di dalam. Setidaknya alasan itu yang selalu Fang dengungkan pada dirinya. Ia sayang pada kakaknya namun takut padanya. Ia memerlukan Kaizo namun segan padanya.

Karena keterbatasan fisiknya, Fang berkomunikasi dengan menuliskan sesuatu bila ia ingin bercakap. Terkadang pada papan putih kecil, terkadang di kertas. Ia juga belajar bahasa isyarat namun Fang kadang lebih suka menuliskan isi pikirannya. Tapi ia tak banyak menuliskan sesuatu pada Kaizo semenjak Kaizo senantiasa sibuk dan sering pulang larut.

Masa-masa itu begitu menjemukan bagi Fang―hidup sendirian tanpa teman. Seolah tahu pemikiran adiknya, suatu hari Kaizo membawa dua ekor anak kucing ragdoll padanya. Selain kedua kucing itu, sebulan kemudian Kaizo juga memberikan dua ekor burung berwarna biru-kelabu padanya yang bisa berkicau merdu. Fang senang sekali mendapat empat peliharaan, karena ia menjadi lebih sibuk dan tidak kesepian lagi. Terutama Mali dan Hestia benar-benar manja dan suka bermain dengannya, membuat Fang melupakan rasa sunyi rumah ini meski sementara.

Fang tertawa geli tanpa suara. Hestia sekarang memanjat bahu Fang sementara Fang mencampurkan makanan kucing ke dua mangkuk berbeda. Setelah usai mengaduk makanan kering dan basah, Mali dan Hestia langsung menyerbu kedua mangkuk itu. Sambil memandangi kedua kucingnya makan dengan lahap, Fang kembali menimbang-nimbang pemikirannya barusan. Mengenai hari ini, tanggal 22 Desember.

Telah lama mereka tidak berkumpul merayakan sesuatu. Dahulu sewaktu mereka kecil, Kaizo dan Fang selalu merayakan hari ibu. Mereka akan membuat kue bersama-sama dan menghadiahkannya pada ibu mereka. Namun itu dahulu sekali saat Kaizo menjadi kakak dan sahabatnya. Sekarang Fang tak pernah lagi melihat Kaizo tersenyum, setiap hari kakaknya selalu tampak serius dan sedikit marah. Fang agak ragu untuk merayakannya tapi ia ingin mereka mengenang ibu mereka.

Mungkin mereka bisa kembali dekat seperti dulu. Mungkin dengan bersama-sama mengenang apa yang hilang bisa menjadi langkah awal bagi Fang untuk bisa kembali bersahabat dengan kakaknya.

Memang Kaizo tidak memukul Fang, tidak mengumpatkan kata-kata kasar atau tidak pula berbuat keji padanya. Tapi Kaizo menjadi lebih dingin dan menjaga jarak. Rumah besar ini seolah berukuran raksasa dengan rasa sunyi Fang. Nasib baik ada Hestia dan Mali yang dapat menemani Fang, kalau tidak entah bagaimana rasanya tanpa mereka. Mungkin rumah ini terasa lebih menakutkan dengan kerasnya suara kesunyian.

Fang ingin mereka dekat seperti dulu. Ibunya selalu mengajarkan Fang untuk berbaik sangka, maka Fang pun berupaya berbaik sangka pada dinginnya sikap Kaizo. Mungkin dia memiliki masalah besar, mungkin dia memiliki kesulitan. Jika Fang memberikan sesuatu padanya, mungkinkah sikap Kaizo akan melunak? Boleh jadi gestur kebaikan akan menyadarkan orang tersebut―terkadang perbuatan baik itu cara paling ampuh untuk merubah seseorang.

Boleh jadi kenangan pada ibu mereka bisa mengingatkan Kaizo pada masa lalu. Fang juga ingin menyenangkan Kaizo sebagai balasan sudah melindunginya. Meskipun ia harus dipenjara di sini, Fang tahu ini yang terbaik. Ia percaya pada kakaknya. Kaizo selalu benar.

Atas pemikiran itu, Fang memutuskan untuk memberikan Kaizo sesuatu untuk merayakan hari ini. Ia tak bisa keluar dan membeli barang, tapi ia bisa memasakkan sesuatu mungkin? Di perpustakaan ada buku resep masakan, bisa ia lihat-lihat barang kali. Muatan buku resep itu ada pula mengenai olahan wortel. Bukan hanya sup saja, tapi ada sautee, tart, es krim, kue cangkir, tumis, panggang, dan sebagainya. Bahkan ada juga yang dibakar dengan madu dan sirup maple. Fang bisa memilih mana saja yang bisa ia masak menggunakan bahan yang ada di dapur.

Fang mengelus kepala kedua kucingnya yang sudah menjadi temannya itu dan segera beranjak ke perpustakaan untuk mencari buku resep. Ia setengah berlari menuju ruangan tersebut.

Abang pasti terkejut, pikir Fang semangat.

.

.

.

Kaizo mengamati jam tangan yang menggenggam pergelangannya. Telah pukul 11.45 p.m. Ia pulang termasuk cukup awal, karena biasanya ia sampai ke rumah pukul 2 dinihari dan segera berangkat lagi pergi pukul 8 pagi.

Kaizo menekan tombol pada layar sentuh di kemudi mobilnya. Seketika itu gerbang berat raksasa itu terbuka, mempersilahkan mobil Kaizo masuk. Dengan bunyi sehalus bisikan, roda mobil itu menapaki jalan masuk ke rumah tersebut.

Rumah besar itu tampak agak gelap di tengah-tengah lapangan luas berumput. Kubah kaca rumah itu terlihat mengkilap tertimpa sinar rembulan, seolah kristal raksasa. Pepohonan rindang menyembunyikan rumah itu dari pandangan manusia dan sebuah kolam raksasa tampak berkilauan terpantul sinar. Patung wanita dan anaknya berdiri anggun di tengah kolam air mancur tersebut, seolah melambai menyambut. Lampu-lampu taman bersinar menerangi jalan mobil Kaizo menuju garasi.

Pintu garasi itu terbuka otomatis, Kaizo segera memarkirkan mobilnya dan menguncinya. Tak lupa ia menyalakan sistem alarm garasi sebelum ia keluar dari sana.

Kaizo keluar dari garasi dan menaiki tangga berbatu putih menuju pintu utama. Tuxedo biru cobalt miliknya tampak berkibar karena angin kencang, kemeja hitamnya menangkal panas tubuh hilang terlalu banyak.

Berdiri di depan sebuah pintu besar berdaun dua, Kaizo memasukkan kata sandi pada layar sentuh dan kemudian memindai kelima jari tangannya. Sedetik kemudian tampak ucapan "welcome back Mr. Kaizo" pada layar itu. Kedua daun pintu itu terbuka lebar dan Kaizo masuk. Setelah Kaizo masuk, pintu itu berdebam menutup dengan otomatis.

Ruangan itu cocok disebut ruang terima pesta karena keindahannya. Lukisan-lukisan cantik bermodel malaikat tergantung rapi. Interiornya luas berlantai batu pualam. Dua buah tangga melingkar tinggi menuju tingkat atas. Kaizo sebenarnya tidak menyukai kemewahan berlebihan, namun ia sengaja membuat rumah seindah dan selengkap mungkin agar adiknya kerasan disini. Ia pikir bila ia membangun sebuah manor house atau rumah kastil, kemungkinan Fang ingin lari dari sini lebih kecil. Fang akan lebih betah.

Mengingat adiknya itu, Kaizo harus mengecek dimana ia terlebih dahulu sebelum ia istirahat malam.

Kaizo segera menaiki tangga besar yang menuju tingkat atas, sebuah chandelier raksasa tampak tergantung tinggi namun buram karena tak dinyalakan. Kamar Fang terletak di lantai atas seperti kamarnya juga. Kaizo hendak mengecek keadaan adiknya dahulu untuk berjaga-jaga kalau adiknya tiba-tiba berhasil melepas kekang besi pada jendela dan lari dari rumah itu.

Sang pria muda itu berjalan dengan langkah tegas menyusuri koridor berhiaskan lukisan-lukisan. Pintu-pintu kamar berdetil rumit ia lalui hingga ia sampai pada pintu berukiran mozaik violet dan hijau. Kaizo memutar kenop pintu itu dengan perlahan dan mendorongnya.

Kamar itu gelap. Tapi Kaizo bisa melihat kalau Fang tidak ada di sana. Pria itu sedikit curiga.

Fang mungkin di ruang perpustakaan, sebab Kaizo pernah menemukan Fang tertidur di antara tumpukan buku-buku. Kaizo segera pergi ke perpustakaan dengan langkah terburu, melewati koridor-koridor panjang seolah hampir tak berujung. Namun sesampainya ia di perpustakaan, hasilnya nihil. Tak ada Fang.

Kaizo semakin waspada namun ia tak mau terlalu cepat mengambil keputusan. Dengan perlahan ia mengambil sebuah pistol Glock 26 jenis 9mm yang tersembunyi pada jasnya. Ia menggenggam handgun itu dengan erat dan bersiaga kalau-kalau ada penyusup yang menawan adiknya. Rumah ini besar, bisa jadi Fang berada pada ruangan lain. Selain di perpustakaan, Fang juga kerap berada di ruang tengah bersama kucingnya, di ruang musik atau di ruang hijau.

Namun boleh jadi Fang sudah bersama si penyusup, bukannya tidur di tempat lain seperti dugaan Kaizo. Terlampau banyak musuh Kaizo yang mencari titik lemahnya, bisa jadi salah satu di antara mereka sudah tahu dimana keberadaan Fang dan menculiknya.

Dengan tenang dan menajamkan seluruh indera, Kaizo bergegas menuju ruang tengah. Dia melewati koridor yang menembus ruang jamuan. Tangannya mengacungkan handgun kepercayaannya itu, jarinya siap menekan pelatuk. Kunci handgun telah di buka sedari tadi, siap menembakkan 9mm tanpa ampun. Kaizo menapaki lorong menuju ruang tengah, namun anehnya tampak cahaya dari ruangan jamuan. Kaizo memeriksanya.

Di sana tampak Fang sedang duduk sambil memainkan cello, menghadap jendela besar yang memperlihatkan halaman mereka. Lampu kristal raksasa itu menyala terang menerangi ruang jamuan dengan kerlip ratusan bintang. Meja panjang itu tampak kosong kecuali seperangkat perabotan makanan bersepuh perak. Kaizo tak paham apa yang sedang di perbuat adiknya tapi karena Fang baik-baik saja, maka Kaizo segera mengunci lagi Glock miliknya dan menyembunyikannya dalam jas. Ia berjalan menghampiri Fang.

Karena Fang tengah asyik memainkan cello―Kaizo tahu adiknya sedang memainkan komposisi Erik Satie, Gymnopédie No. 1―maka adiknya tak mendengar kakaknya sudah datang. Ia terus menggesekkan utas cello tersebut sambil sesekali memandang keluar jendela.

"Fang."

Sontak musik beralun lembut itu langsung berhenti. Fang menoleh ke arah sumber suara dan wajahnya tampak ceria melihat Kaizo sudah datang. Ia menaruh cello-nya dan menghampiri kakaknya.

"Ada apa ini?" tanya Kaizo sambil menunjuk meja yang dihias dua perangkat silverware dan dua piring. Fang menuliskan sesuatu pada papan tulis kecilnya dan menunjukkanya pada Kaizo.

"Selamat hari ibu. Adik membuatkan sesuatu untuk kakak."

Ekspresi Kaizo melunak. Pundaknya yang tadi tegang segera mengendur. Hari Ibu? Ia bahkan tidak peduli mengenai itu namun jika itu berarti Fang selamat dan tidak diculik, maka Kaizo pikir tidak mengapa. Hal sepele.

Kaizo kemudian merangkul Fang begitu erat, Fang agak terkejut namun segera ia balas memeluk kakaknya. Rangkulan mereka hanya bertahan selama beberapa detik, tapi bagi Fang itu lebih dari cukup jika itu berarti kakaknya bereaksi positif. Perlahan, Kaizo melepas pelukannya dan mengusap kepala adiknya. Wajahnya tidak menampilkan ekspresi apapun namun sorot matanya lebih lembut.

"Baiklah. Ayo makan sama-sama," ujar Kaizo. Fang tersenyum lebar dan segera pergi menuju dapur.

Terdengar bunyi berisik dari arah dapur. Kaizo menunggu adiknya seraya duduk di kursi dan ia membuka ponsel. Rupanya ada sebuah pesan masuk dari tangan kanannya, Lahap.

[Tn. Kaizo. Detektif Halilintar berhasil menyegel klub Anda di Selatan. Beberapa sekutu kita dibekuk olehnya. Ada mata-mata di antara kita yang membocorkan informasi.]

Kaizo mengepalkan tangan dalam amarah besar. Detektif ingusan itu sedang bermain api dengan seekor naga. Kaizo akan membalas apa yang sudah detektif itu curi darinya dan ia akan bereskan Halilintar secepatnya sebelum operasinya diacak-acak olehnya. Kaizo akan menyusun rencana baru. Ia hanya perlukan sedikit waktu, karena naga takkan melupakan apa yang sudah musuhnya lakukan. Naga akan selalu ingat.

Tunggu saja. Kau dan keenam saudaramu, pikir Kaizo, geram.

Sebuah tangan terulur dan meletakkan piring di depan Kaizo, membuyarkan renungannya. Kaizo dengan alis berkerut menatap ke pemilik tangan pucat itu dan menemukan Fang tengah tersenyum lebar.

Fang duduk di kursi bersebrangan dengan kakaknya, di hadapannya ada hidangan miliknya pula. Kaizo melihat masakan ini memang terbuat dari wortel tapi resepnya berbeda. Ia lalu menatap adiknya yang tampak menunggunya mencicipi makanannya tersebut.

Kaizo meraih sebuah garpu dan mencicipinya sedikit. Wajah Fang tampak penuh harap menantikan komentar Kaizo.

"Ini enak."

Fang sumringah. Mereka lalu menghabiskannya dalam kesunyian yang familiar.

.

.

End.

.

.

Ok ini prolog untuk ff baru saya yang bertema crime. Ff ini boleh menjadi rating M BUKAN karena adegan lemon/seksual. Tapi M karena adegan kekerasan (bukan penyiksaan) dan tema berat berkaitan crime/kejahatan dan dunia kegelapan. Saya mesti banyak membaca dulu baru saya bisa tulis ffnya. Mungkin jadi buat, mungkin tidak.

Dan ff ini mohon dipetik saja hikmahnya ya. Kejiwaan Fang memang agak bermasalah di ff ini karena terlalu lama dikurung dan kekurangan perhatian. Jadi meski memang bermaksud mengamankan, setidaknya jangan egois tak memikirkan perasaan orang lain.

Masalah ff saya yang lain akan ada delay lagi karena saya ada project lain. Harap dimaklumi. Tapi pasti akan saya lanjutkan kok. Sebelum itu ada sedikit ekstra di bawah ini.

.

.

.

Extra

"Ada perkembangan?" tanya Taufan pada seorang detektif berjas merah-hitam. Halilintar menoleh dan melihat adik sepupunya berjalan menghampirinya dengan wajah cerah seperti biasa. Mereka sedang berada pada markas besar kepolisian kota, suasana masih sibuk dan ramai akibat pasca penyerbuan di salah satu klub milik Kaizo.

"Mereka semua telah diinterogasi dan mereka hanya memberitahu informasi yang sudah kita ketahui," gerutu Halilintar. "Kita belum bisa menyeret Kaizo keluar dan menghadapi pengadilan. Bukti-bukti masih samar."

Mereka berjalan berdampingan di koridor bercat putih tersebut. Beberapa petugas berseragam tampak hilir-mudik di koridor dengan tugas masing-masing. Taufan berusaha menyejajarkan langkah kakak sepupunya itu―Halilintar berjalan begitu tergesa.

"Di TKP ada bukti apa sejauh ini?"

"Hanya beberapa botol minuman keras dan senjata api tak berizin. Kalau begini terus mereka hanya akan dijerat hukum dengan kepemilikan senjata ilegal saja, bukan karena asosiasi Kaizo."

"Jangan khawatir kita masih bisa membuat mereka berguna untuk penyelidikan kita."

Halilintar hanya tersenyum miring mendengar optimisme Taufan. Ia kemudian menyambar dua cangkir kopi di meja lobi dan memberikan sebuah untuk Taufan. Seraya berjalan tergesa, dua bersaudara itu menikmati hangatnya kopi itu pada telapak tangan dingin mereka. Halilintar mencicipi sedikit kopi itu―agak pahit dan cukup kental.

"Masalahnya adalah mereka sulit dijadikan saksi melawan Kaizo kalau mereka hampir tak tahu apapun tentangnya."

Halilintar mendengus pada dirinya sendiri sementara Taufan menghirup kopinya sedikit. Ia menjilat bibirnya.

"Kaizo memang tak pernah berhubungan langsung dengan bawahannya, karena itu sulit mengorek informasi. Jika saja Fang masih hidup, dia bisa menjadi saksi kunci atas semuanya," gumam Taufan. Halilintar menghentikan langkahnya dan memutar badannya menghadap adik sepupunya. Ada pusara badai berkecamuk di mata itu.

"Jangan menyebut nama Fang lagi di depanku. Dia mati dibunuh Kaizo. Cerita selesai."

Wajah Taufan menampakkan raut kasihan pada saudaranya, Halilintar benci rasa simpati adiknya itu. Baginya, Fang adalah epitom abadi kegagalan Halilintar melindungi seorang tak bersalah. Seorang anak kecil. Halilintar memikirkannya saja sudah marah pada dirinya. Ia tak mau dikasihani bahkan oleh saudara terdekatnya yang memang suka membela. Meski kebanyakan orang menganggap Taufan jahil, berandalan dan suka mempermainkan perasaan wanita, Halilintar tahu ia tidaklah begitu. Taufan sebenarnya memperlakukan orang lain lebih baik daripada dirinya sendiri, karenanya Taufan dengan mudah menawarkan rasa simpatinya meski ia tahu Halilintar takkan suka.

"Waktu itu kau masih anggota rookie Halilintar. Kau takkan tahu jika Kaizo bisa berbuat sekeji itu untuk meloloskan diri. Semua orang berbuat kesalahan."

Halilintar tertawa pahit mendengarnya. Ia lupa kalau Taufan juga suka melihat sisi positif dari semua kejadian buruk.

"Semua orang memang berbuat salah. Tapi kesalahan mereka jarang menyebabkan seseorang mati."

Halilintar berjalan meninggalkan Taufan yang terdiam mendengar kalimatnya. Lorong itu tak pernah terasa begitu menyesakkan nafasnya dan begitu gelap meski lampu terang menyilaukan mata.

"Sampai kapan kau mau mau begitu, Halilintar?"

.

.

.

Fin.

.

Silahkan bila ada tanggapan/saran/kritik membangun/pertanyaan di kolom review!