Sudah lama sekali ia menjual hidupnya dan menjatuhkan hatinya pada lelaki itu, pemimpin mafia yang memiliki seluruh dunia, sang Phoenix, Park Chanyeol. Karena baginya, di dalam kehidupannya yang menyedihkan, bersama dengan Chanyeol adalah tragedi yang paling indah.


Life For Sale


Hidup di jalanan, di bawah jembatan dengan sebuah koran tipis, dengan botol botol kosong berlabel minuman keras yang bergulir kesana kemari setiap kali kendaraan melintas, adalah hal yang mengerikan. Mungkin bagimu juga, tapi tidak bagi seorang yang sudah di takdirkan memiliki hidup seperti itu.

Bagaimana mereka akan menjalani hidup dengan preman yang menutupi ujung gang, menyalak dan merengut seluruh uang mereka? Kau mungkin bertanya tanya. Bagaimana mereka akan hidup? Pertanyaan yang bagus. Sejak mereka lahir, mereka dikatakan hidup. Lalu bagaimana mereka akan hidup seterusnya? Mereka hanya bergantung pada sesuatu yang bisa mengisi secuil bagian dari perut mereka yang selalu kosong.

Dan bergantung pada seseorang yang kuat, seseorang yang bisa menjamin jiwanya lebih dari propaganda sebelum pemilihan dewan.

Mereka, orang orang yang kalian panggil dengan kata 'menyedihkan', yang sering menjadi sasaran janji manis pemerintahan yang ujungnya hanya menjadi omong kosong di atas kertas pencalonan pemimpin yang terinjak di jalan, yang kalian tatap dengan prihatin setiap kali ia melintas, telah menjual hidup mereka kepada sekelompok mafia agar dapat bertahan hidup.

Kepada kepala mafia yang mana memberi mereka tanah untuk di tiduri, yang mana memberi mereka kerak roti untuk di hargai, yang mana memberi mereka perlindungan untuk di syukuri siang dan malam.

Kepada ; Park Chanyeol.

Siapa?

Park Chanyeol.


...


Teriakan.

Bunyi nyaring dari tong sampah kosong yang tergeletak di jalan.

Trotoar yang terketuk oleh alas sepatu para konglomerat yang kehabisan kesabaran untuk menunggu mobil mewahnya menembus kemacetan.

Asap dari dapur restoran oriental di seberang jalan yang membawa aroma makanan yang di jajakan mereka.

Semua itu adalah bagaimana Byun Baekhyun memulai harinya. Tapi hari ini tidak lagi. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia bangun dengan selimut putih tebal yang membungkus tubuhnya. Di atas sebuah kasur empuk yang besar beserta lengan kekar di sekitar tubuhnya. Baekhyun mengelus permukaan selimut hangat yang melindunginya dari terpaan dinginnya pendingin ruangan, memperkirakan harga selimut yang bisa ia genggam ini.

Jadi inilah yang dia dapatkan, segala rumah mewah dan makanan penuh di atas meja ini, setelah ia menjual hidupnya pada Park Chanyeol—seseorang yang sedang mendekap pinggangnya dan membuatnya enggan untuk bangkit.

Baekhyun bergerak sedikit. Tangan mungilnya dikepalkan, lalu dilepas. Hanya untuk memastikan tanda itu masih terlingkar manis di jemari tengahnya ; tanda bahwa dia telah menjual hidupnya pada Park Chanyeol.

Mengerikan? Mungkin bagimu iya. Tapi bagi mereka, hal ini sama biasanya dengan menjual sebuah roti dan mendapatkan uang. Di dunia kotor yang mana terisolasi dari kepesatan pembangunan di televisi, menjual hidup pada kelompok mafia yang bisa dipercaya lebih dari sekelompok orang di bangku dewan merupakan satu hal yang biasa.

Setiap orang yang tinggal di jalanan dimana Baekhyun tidur sebelum usianya genap dua puluh dua tahun, melakukan hal ini—menjual hidupnya. Mereka akan bekerja untuk Phoenix, bekerja apa saja. Beberapa menjadi mata mata atau tukang pukul Phoenix. Beberapa menjadi kaki tangan para elit di sana dan beberapa lagi dikirim ke berbagai negara untuk menghasilkan uang. Mereka semua melakukan itu untuk suatu timbal balik, suatu imbalan. Mereka menjual hidup mereka kepada Park Chanyeol dan Chanyeol akan meminta kesetiaan mereka pada Phoenix. Sementara mereka akan mendapat makanan dan perlindungan, seumur hidupnya.

—Biarpun makanan yang mereka terima, mungkin hanya berupa secuil roti yang telah dibagi beberapa kali, atau sepotong besar roti bila mereka beruntung.

Lalu, mereka semua memiliki tanda transaksi. Setiap orang memiliki tanda, namun dengan letak yang berbeda. Tanda itu dapat berupa sebuah tatoo, atau sebuah cetakan leleh dari besi panas, atau sebuah cincin. Mereka semua memiliki tanda yang menggambarkan kebesaran kelompok mafia itu, seekor burung phoenix.

Dan Baekhyun, memiliki sebuah cincin di jari tengahnya sebagai tanda. Yang mana setiap sisi lengkungnya memiliki ornamen phoenix yang samar. Ia memilikinya sedari kecil, tanda transaksi yang merupakan satu-satunya yang berbeda dari yang lain.

Byun Baekhyun, kau boleh berpikir dia adalah salah satu orang yang menjual hidupnya pada Park Chanyeol, namun dia berbeda.

Baekhyun menjual hidup miliknya pada lelaki itu, dan Chanyeol tidak meminta lelaki mungil itu untuk menjadi salah seorang tukang pukulnya. Ia meminta lelaki itu untuk ;

Menjadi pendampingnya.


...


"Lihatlah para lintah penjilat menjijikkan ini. Bagaimana bisa dia bangga dengan dasi yang mencekik di lehernya itu?"

Baekhyun tertawa menyetujui sebagai suatu tata krama sebelum menyeduhkan teh panas ke atas cangkir ayah angkatnya.

"Kita semua tahu dia mengemis di kaki Phoenix demi duduk di kursi emas itu. Haha, lucu sekali. Apakah dia bahkan tahu Phoenix bisa merengut semua yang dia miliki bila membuatnya marah?"

Baekhyun, sekali lagi mengangguk. Mencuri pandang ke arah televisi dimana pemimpin dewan negara mereka tengah berpidato dengan wajah berseri.

"Dasi itu membuatnya lebih terlihat seperti boneka yang menurut pada tuannya."

Pria paruh baya itu tertawa keras sehingga cangkir teh di nakas bergetar samar.

Uap yang mengepul dari cangkir itu mengudara, menarik atensi Baekhyun sesaat sebelum menghilang. Ia mengalihkan pandangannya dari televisi mewah itu pada lantai porselen yang putih—sesuatu yang mungkin tidak berani dia bayangkan saat masih kecil dulu.

Lantas, pandangannya menuju lebih jauh pada mansion yang indah, gorden yang menari-nari di belakang beserta hijau pemandangan di balik kaca jendela. Semua itu adalah sesuatu yang bahkan tidak pernah sekalipun ia bayangkan di masa kecilnya yang tidak lebih berharga daripada gantungan kepala banteng di ruang tamu. Tidak lebih berharga daripada satu setel mantel musim dingin Phoenix yang agung.

"Baekhyun, Phoenix datang."

Baekhyun terdiam, beberapa saat. Ia segera menoleh pada pintu utama dan mendapati kekasihnya, berjalan masuk dengan gagah. Wajahnya yang terangkat dengan harga diri setinggi gedung pencakar langit itu membuatnya seperti dewa hidup yang sesungguhnya. Baekhyun membungkuk begitu lelaki itu masuk ke ruangan. Dengan perlahan dan penuh rasa hormat, Baekhyun berkata ;

"Selamat datang, Chanyeol."

"Phoenix."—Sambung ayah angkatnya.

Chanyeol tidak menjawab sebelum meraih bahu miliknya dan menariknya masuk ke pelukan. Baekhyun tersipu, menyamankan dirinya di pelukan dada bidang itu dan diam-diam—menikmatinya. Chanyeol memeluknya erat, seperti ingin menenggelamkan Baekhyun ke dalam erat pelukannya.

"Selamat pagi, Baekhyun." Bisiknya pelan di telinga yang lebih mungil sebelum melepas pelukan selamat paginya.

Baekhyun tersenyum, mundur beberapa langkah sehingga Chanyeol bisa melewatinya dan berjalan ke ruang makan. Ia mengikuti setelah ayah angkatnya. Mereka bertiga duduk di depan meja makan dengan peralatan makan berbahan porselen yang sudah penuh dengan makanan hangat—dapat membuat siapa saja meneguk ludahnya.

"Ke mana kau akan pergi hari ini, Phoenix?"

Chanyeol menatap Suho—Seseorang yang ia tempatkan menjadi ayah angkat dari kekasihnya, selama beberapa saat. Ia kemudian mengangkat cangkirnya dan meminum beberapa teguk kopi hangat sebelum menjawab ;

"Ke mana pun dimana aku bisa melihat darah."

Baekhyun berusaha untuk tidak merinding di bangkunya.

Suho mengangguk sebagai tanggapan, pada dasarnya ia hanya berbasa-basi karena ia tahu semua jadwal Chanyeol. Ia adalah salah satu tangan kanan Chanyeol yang diangkat derajatnya. Ia tahu bagaimana kecintaan Chanyeol dengan darah dan pertarungan.

"Aku akan pergi sekarang."

Suho dan Baekhyun segera berdiri, bersamaan dengan Chanyeol yang berjalan ke ruang tengah dimana ia meninggalkan mantelnya tadi. Menyisipkan pistol kebanggaannya disana dan melempar lirikan terakhir pada Baekhyun.

"Aku akan pulang lebih malam, Baekhyun." Ujarnya lembut, "Buatlah makanan untuk dirimu sendiri dan jangan tunggu aku. Jangan lupa lakukan panggilan pada Luhan untuk membawa Jongin agar ia menemanimu."

"Ya, Chanyeol." Baekhyun tersenyum manis, "Hati-Hati di jalan."

Dan tubuh tegap itu hilang dari balik pintu, hanya seperti itu. Suho tidak mengalihkan pandangannya sama sekali sebelum pintu besar itu tertutup dan suara ketukan sepatu yang bertabrakan dengan keramik menghilang. Baekhyun membungkuk lagi saat ia berbalik padanya dan pria paruh baya itu meringis, "Dia selalu manis padamu."

Baekhyun tidak menjawab apapun, hanya tersenyum sebagaimana yang mereka ajarkan padanya. Namun ketika Suho berjalan masuk untuk melanjutkan sarapan paginya, Baekhyun menatap lama pada cincin yang melingkar di jemarinya.


...


Sebelum usianya dua puluh dua, hidupnya sama seperti gelandangan di jalan. Ia tinggal dimana pun yang bisa ia pijak. Di sela sela paralon, di bawah gedung setengah jadi maupun setengah terbongkar, di dalam kotak telepon, dan yang terakhir di gang sempit dimana ia akhirnya mencapai umur dua puluh.

Dalam hidupnya, ia mungkin dapat dikatakan sebagai seseorang yang lebih dari beruntung. Ia tidak pernah merasakan harus membagi sepotong besar roti dengan dua belas orang yang sama kelaparannya. Ia tidak pernah merasakan pahitnya makanan yang dikais dari tong sampah besar yang ada di tengah kota. Dia tidak merasakannya karena biarpun ia adalah salah satu dari orang yang tidak diinginkan oleh kedua orang tuanya ; ia tetap adalah seorang calon pendamping dari Phoenix.

Baekhyun tidak tahu, bahkan sampai sekarang, mengapa ia harus menunggu sampai usianya dua puluh dua untuk diserahkan pada Park Chanyeol. Mengapa Park Chanyeol memilihnya diantara ribuan carrier lainnya yang jelas lebih layak. Baekhyun hanya di ajarkan bahwa dia harus membungkuk, bahwa dia harus patuh. Chanyeol menyukai sesuatu yang patuh, sesuatu yang punya tata krama dan sesuatu yang cantik. Baekhyun harus berusaha sekeras mungkin agar Chanyeol tetap mencintainya dan tidak membuangnya kembali ke jalanan.

Baekhyun harus menjadi bunga yang cantik. Bunga yang diam. Bunga yang patuh.

Karena dengan itulah, dia bisa tetap hidup.


...


"—Dan kami pergi ke sana, kau tahu, Baekhyun? Ada banyak petasan dan confetti disana!" Jongin berkata dengan menggebu, "Juga banyak sekali daging, semua orang berpakaian seperti orang penting. Aku bahkan bisa mencicipi sepiring penuh daging panggang milik mereka tanpa diusir! Pesta itu sangat menakjubkan! Kapan aku bisa pergi lagi ke sana?"

Baekhyun menatap adiknya dengan antusias, walaupun terselip rasa bersalah melihat lelaki kecil yang baru genap empat belas berceloteh tentang daging panggang seperti seakan ia melihat Tuhan. Luhan menatapnya dengan pandangan yang sama, mengerti.

"Jonginie bisa kesana kapan pun," Luhan menghibur, "Selama Phoenix mengizinkan.."—Tambahnya.

Baekhyun mengangguk, tersenyum manis pada adik kecilnya. Satu satunya keluarganya yang tersisa.

"Aku akan membawamu ke sana lain kali, Jongin."

"Benarkah, Baekhyun?"

"Ya." Baekhyun tersenyum lebih lebar, "Katakan kau ingin kesana kapan pun."

Jongin mengangguk bersemangat dan kembali mengunyah kue yang di ambil Baekhyun dari kulkas.

"Bagaimana denganmu?" Luhan bertanya setelah beberapa saat diam.

"Baik."

Baekhyun menjawab singkat. Selain kata singkat sederhana itu, yang mana lagi yang bisa menggambarkan keadaannya saat ini? Dia punya selimut hangat dibanding tikar, dia punya kasur dibanding lantai kotor, dia punya makanan sendiri dan tidak ada yang memarahinya karena mengambil porsi terlalu banyak. Semuanya baik.

Chanyeol memperlakukannya dengan baik. Dia tidak memarahi Baekhyun, atau melayangkan tangan padanya. Belum. Ia hanya memeluk, kadang berbicara, kadang meminta untuk dilayani dan itu semua wajar. Lagi pula, apa yang bisa terjadi sementara ia baru saja genap dua hari berada di mansion agung ini?

Luhan mengeluh saat melihat Baekhyun termenung dengan pikirannya sendiri, "Kau mulai lagi. Mengapa kau melamun?"

"Aku.. Tidak."

Luhan menghela nafas, menepuk pundak Baekhyun dan berbisik karena ia tahu Phoenix bisa mendengar bila ia mengucap lebih keras ;

"Kau sedang khawatir tentang perjanjian itu?"

Baekhyun mengerjap karena Luhan persis membaca pikirannya.

"Baekhyun, kau tidak perlu berpikir terlalu banyak. Kau tidak akan di tendang dari sini bila kau tidak dapat mengandung, bagaimanapun kau milik phoenix sekarang."

Yang lebih mungil tidak menjawab, karena ia tahu itu semua adalah ketenangan dari kata-kata yang tidak ada artinya, sia-sia. Ia akan dibunuh, ia mungkin akan di tendang dan dikembalikan secara tidak hormat ke jalanan dan tidak dapat lagi tidur di wilayah Phoenix. Semua itu akan terjadi apabila Baekhyun gagal memberikan calon pewaris bagi Park Chanyeol. Ia harus mengandung, secepat yang ia bisa agar ia dapat mempertahankan posisi serta keselamatan adiknya.

Ngomong-ngomong soal adiknya ; Bila kau bertanya, mengapa Jongin dengan tidak sopannya memanggil Baekhyun dengan namanya tanpa tambahan apapun? Semua itu karena, sejak ia masuk ke mansion besar yang harganya bisa menghabiskan seluruh hidupnya ini, ia sudah tidak lagi punya keluarga.

Karena itu Jongin tidak diperbolehkan memanggil Baekhyun dengan sufiks kekeluargaan lagi. Mereka akan berbicara seperti atasan dan bawahan biarpun kadang Chanyeol membiarkan mereka bicara lebih santai. Memang pada dasarnya Chanyeol adalah seseorang yang baik, dia tetap mengizinkan Jongin datang ke mansion nya sekali kali—untuk menemani Baekhyun.

"Luhan." Baekhyun sadar dari lamunannya dan segera menatap lelaki itu, "Apakah kau sudah makan?"

"Sudah, terima kasih." Luhan mengerutkan dahi, menyadari Baekhyun berusaha berkelit dari pembicaraan. "Apa Phoenix mengungkit perjanjian itu? Kau tidak perlu takut, kau bisa menceritakannya padaku—"

"Tidak." Baekhyun menyela, terlihat sedikit panik namun menyembunyikannya dengan baik, "Chanyeol sangat baik padaku."

Luhan tahu, ia tahu mungkin Chanyeol mengungkit hal itu semalam. Tapi ia bungkam, bukan karena ia tidak mencoba untuk peduli, ia hanya mencoba membuat Baekhyun nyaman—membuat lelaki itu yakin bahwa di rumah besar ini, tidak akan ada seorang pun yang bisa memaksanya untuk mengatakan suatu hal.

"Baiklah, baik untukmu kalau begitu." Luhan tersenyum palsu, "Sudah siang bagi kami, apakah aku bisa membawa Jongin untuk pulang sekarang?"

"A—Aku masih ingin bersama Baekhyun." Cicit yang paling kecil diantara mereka, "Tidak bolehkah?"

"Sayang, Baekhyun punya banyak sekali pekerjaan. Kita akan datang lagi besok, oke?"

Baekhyun mengusap pucuk surai Jongin, "Ya, aku akan mengajakmu berkeliling besok."

"Benarkah? Baiklah! Ayo kita pulang, Luhan!"

Luhan tersenyum kecil, ia menatap Baekhyun sebentar sebelum membungkuk ;

"Kalau begitu kami pamit."

Baekhyun berdiri, mendengus tidak nyaman, "Luhan, kau tidak perlu membungkuk seperti itu—"

"Kau adalah pendamping Phoenix, sudah sepantasnya aku meletakkan kepalaku lebih rendah dari milikmu." Luhan berujar, masih dalam posisinya yang membungkuk, "Sekarang terima penghormatanku atau aku tidak akan pernah bangkit."

Baekhyun menghela nafas, "Baiklah, kau boleh berdiri."

Yang dipersilahkan tersenyum jenaka, "Sampai jumpa di lain waktu, aku pamit."

"Dah, Baekhyun."

"Dah, Jongin."

Ketika debaman pada pintu mansion Chanyeol terdengar, Baekhyun menghela nafas sekali lagi. Ia menatap sekeliling rumah besar itu dan secara mengerikan tersadar bahwa mungkin, bila dia tidak dapat memberikan seorang pewaris untuk Phoenix, dia akan kehilangan hidupnya saat itu juga.


...


"Ahh—C—Chanyeolhh—"

Baekhyun mengerang saat Chanyeol menekuk kakinya hingga menyentuh bahu, secara otomatis mendorong miliknya yang panas dan keras itu lebih dalam.

"Uhhh.. Ahn—"

Ia berusaha mencari sesuatu sebagai pelampiasan sehingga Chanyeol menawarkan telapak tangannya yang bebas, lelaki berparas dingin yang bahkan tetap amat tampan ketika dipenuhi oleh nafsu dan keringat itu tersenyum saat Baekhyun memejamkan mata dengan segala kenikmatan di bahunya—membuatnya merendahkan tubuh untuk mengecup paras cantiknya yang benar-benar membuat gairahnya melambung.

"Mendesah untukku, Baekhyun." Bisiknya seduktif, "Aku ingin mendengar bagaimana rasanya—"

"Ohh—Hahh—Ahhn!"

Chanyeol menggoyangkan pinggulnya lebih cepat, sedikit lebih kasar tapi entah bagaimana tetap begitu kembut. Ia meremas jemari Baekhyun yang ada di genggamannya dan menggeram saat kenikmatan akan remasan dari rektum kekasihnya datang bertubi-tubi seakan ingin meremas seluruh penisnya.

"C—Chanyeolhh—"

Chanyeol memelankan gerakannya, menatap penuh perhatian pada kekasihnya yang berada di bawahnya, yang mana wajahnya itu penuh dengan keindahan yang fatal. Chanyeol mengentakkan miliknya sekali lagi dengan keras hingga Baekhyun menjerit tertahan sebelum menjawab ;

"Apa tidak terasa nikmat bagimu?"

"Tidakkhh—Hahh—Uhh.." Baekhyun menggeleng, "B—Bukanhh.. B—Bukan begitu—Ahh!"

Chanyeol tersenyum miring, mengentak lebih keras lagi dan lagi, "Lalu mengapa, sayang? Kau ingin sesuatu yang lebih?"

"Ti—Tidak.. hh," Baekhyun akhirnya membuka maniknya, "B—Bolehkah aku—Uhh, menciummu?"

Chanyeol merasakan hatinya berdentum ribuan kali saat ia merendahkan wajahnya untuk dapat mencapai bibir ranum milik kekasihnya yang terbuka sedikit. Ia menyesap kedua bilah bibir itu dengan ke hati-hatian di setiap tarikan nafas, dan ketika Baekhyun melenguh lebih keras, ia tahu Baekhyun akan segera tiba pada puncaknya.

Chanyeol mempercepat gerakannya tanpa melepas pangutan mereka. Sehingga bunyi kecipak kini terdengar beradu di antara lidah dan di bawah sana. Baekhyun meremas jemari Chanyeol lebih kuat ketika lelaki itu mendorong miliknya lebih jauh ke dalam—menyentuh dirinya seakan tidak ingin membiarkan satu titik pun tersisa.

"Keluarkan untukku, sayang. Biarkan aku melihat wajahmu yang begitu cantik saat kau melepas segala hasratmu."

Baekhyun mulai kehilangan nafasnya, satu-dua kehilangan penglihatannya juga, maniknya memburam oleh air mata kala Chanyeol menghantam semakin kuat dan dalam di titik yang tepat, langit langit terasa menjauh dan saat itulah ia merasakan gejolak paling hebat yang akan mengantarkannya pada surga.

"Ahh—Chanhh—!" Lolongnya panjang saat tubuhnya melengkung ke atas sehingga dadanya membusung. Chanyeol terpesona saat paras Baekhyun menusuk tepat pada hatinya, begitu cantik, begitu indah, begitu menakjubkan.

Ia pasti sudah memiliki seorang malaikat.

Ia membiarkan Baekhyun menikmati surganya, memelankan gerakan pinggulnya—mengubahnya menjadi entakkan satu-satu yang berirama. Baekhyun akhirnya jatuh kembali ke kasur ketika seluruh hasratnya tumpah ruah ke kasur di bawahnya dan tubuhnya segera terkulai lemas. Chanyeol tersenyum dan mengecup setiap inci wajah Baekhyun sebelum mengagahinya kembali, dengan kecepatan yang perlahan lahan semakin bertambah—karena ia berada di puncak hasratnya.

"Ohh—" Baekhyun melenguh, merasakan tubuhnya tersentak dengan keras, "Lagi.. Hh—"

Chanyeol meraih jenjang kaki kasihnya dan menaruhnya ke pundaknya, hanya untuk mengentak miliknya masuk lebih dalam dan membuat penis si mungil yang sudah melemas perlahan bangkit kembali. Baekhyun menggeleng, mendesah tidak beraturan ketika Chanyeol ikut meremas penis miliknya, membuat rasa nikmat itu terasa semakin kuat.

"Ahh—Aku—hh—Uhh, Chanyeol!"

Baekhyun menyemburkan hasratnya untuk yang kedua kali, Chanyeol terkekeh sebentar sebelum berfokus pada pelepasannya—tidak ingin membuat Baekhyun kelelahan untuk esok pagi.

"Sedikit lagi—hh." Chanyeol menggeram saat pencapaiannya terasa begitu dekat, Baekhyun membuka bibirnya namun kehilangan tenaga untuk bersuara—semua hanya terasa begitu nikmat dan membuatnya ingin gila. Sampai akhirnya ia merasakan sesuatu membesar dan semakin panas di dalam rektumnya dan ia mempersiapkan diri untuk menerima pelepasan kekasihnya.

"Ohh—Damn." Chanyeol mengentak miliknya dalam dalam saat cairan miliknya keluar dengan begitu deras, nafasnya terengah engah, ia menumpukan lengannya di antara Baekhyun agar tidak berakhir menindih kekasih mungilnya.

"—Ahn!"

Baekhyun memejamkan mata ketika rektumnya dibasahi oleh sesuatu yang panas, ia mendesah saat tanpa sengaja kepala penis Chanyeol yang masih berada di dalam dirinya menyentuh prostatnya.

"Kau manisku yang hebat." Chanyeol perlahan berbisik, "Milikku."

Baekhyun mengangguk, "Milikmu."

Mereka terdiam hingga seluruh cairan Chanyeol berhenti dan masuk sepenuhnya. Terdiam beberapa menit dalam posisi seperti itu, hingga Baekhyun perlahan mengetatkan rektumnya—yang mana dihadiahi oleh denyutan suatu yang bangkit kembali di dalam sana.

Dengan sebuah kecupan panjang pada keningnya, Chanyeol menarik miliknya yang setengah menegang itu keluar. Baekhyun yang menyadari bahwa Chanyeol belum sepenuhnya puas segera mendekati lelaki itu dan membungkuk untuk kemudian mengulum penis besarnya hingga ujung kepala jamur itu menyentuh pangkal tenggorokannya.

"Ohh, Baek—hh."

Chanyeol mengarahkan jemarinya untuk meremas surai Baekhyun dengan lembut—tidak mencengkeramnya. Chanyeol menarik miliknya dari rongga mulut Baekhyun, memangku lelaki mungil itu sehingga sekarang mereka berhadapan satu sama lain.

"Apa kau keberatan jika kita melakukannya lagi?" Chanyeol bertanya, yang dibalas oleh gelengan Baekhyun.

"Aku milikmu—Ahh!"

Chanyeol mengentak miliknya masuk, mendesah bersamaan dengan Baekhyun namun lebih samar. Ia menaik turunkan tubuh mungil di pangkuannya dan mendekap pinggang Baekhyun. Perlahan ia menarik wajah Baekhyun sehingga mereka dapat saling menautkan bibir.

Suara kecipak, maupun suara pertemuan kedua alat kelamin di bawah sana terdengar begitu kental dan vulgar. Bahkan Chanyeol mengabaikan langit yang sudah malam. Ia mengentak miliknya dengan keras, lagi dan lagi. Dan ketika mereka berdua mencapai puncaknya bersama, seperti tadi, Chanyeol mendorong miliknya masuk sehingga cairan miliknya menyembur tepat mengenai prostat Baekhyun—yang mana membuat Baekhyun datang sekali lagi dalam kurun waktu dua menit.

"Hahh—" Baekhyun menjatuhkan wajahnya pada bahu kokoh Chanyeol, "A—Apa—Uhh, apa kau puas, Chanyeol—hh?"

Chanyeol tersenyum, mengecup kening lelaki mungil itu dan menarik miliknya perlahan lahan.

"Sangat puas, sayang." Ia menatap pada wajah kekasihnya yang mulai tertidur, "Kau melayaniku dengan sangat baik. Kau kekasihku yang sangat cantik saat ia mencapai pelepasannya."

Baekhyun tersenyum, masih mengatur nafasnya.

"Aku merasa jatuh cinta berkali kali padamu." —Chanyeol menambahkan sebelum membaringkan Baekhyun disampingnya, menyelimutinya sehingga ia tidak akan merasa kedinginan.

Baekhyun membuka matanya, terdiam. Ia tersenyum tipis sementara hatinya tahu kata-kata itu tidak akan pernah terjadi.

Bila di dalam dirinya tidak ada kehidupan dari seorang pewaris, maka semua akan sama saja.

Hati seorang pemimpin sepertinya—Phoenix, hanya akan berlabuh pada siapa pun yang berhasil mengandung pewarisnya yang kuat, pewarisnya yang dominan.


...


Mungkin karena mereka melakukannya secara rutin. Atau mungkin karena rahimnya tengah berada pada masa yang sangat subur saat mereka melakukannya. Apapun alasannya, suara muntahan yang terdengar di pagi hari yang damai pada mansion Phoenix itu nyatanya telah menyita atensi semua orang. Dengan dorongan dari Chanyeol dan sedikit paksaan milik Luhan, Baekhyun akhirnya memberanikan diri untuk pergi ke toilet bersama benda kecil putih di genggaman. Ia menunggu dengan cemas, dan ketika garis benda kecil itu berubah, ia tertegun sementara dadanya meledak ledak.

Baekhyun keluar dari toilet, menatap semua orang yang menatapnya dengan penasaran dan—harapan. Ia memilih untuk berjalan ke arah Chanyeol, balas menatap lelaki itu dan perlahan menaruh benda kecil yang telah terbalut tissue itu ke telapak tangan kekasihnya.

Chanyeol menunduk, segera menatap pada tanda garis di bawahnya dan ia tidak dapat menahan senyum lebarnya. Lantas segeralah ia mendekap Baekhyun erat-erat, membiarkan yang lainnya larut dalam rasa penasaran.

"Jadi, apa hasilnya?" Desak Luhan penasaran, "Apakah akan ada seorang bayi kecil disini?"

Chanyeol tersenyum pada Luhan sebelum berkata dengan kilatan bangga di matanya, "Positif. Aku akan menjadi seorang ayah, bisa kau bayangkan itu?"

Semua orang dalam ruangan terlonjak bahagia, terutama Luhan yang langsung berlari ke bawah untuk menghubungi Jongin. Baekhyun menyembunyikan wajahnya dalam dekapan hangat Chanyeol karena Suho terus menggoda mereka tentang betapa sering mereka melakukan itu sehingga Baekhyun bisa hamil dalam waktu tiga minggu sejak ia berada disini. Namun saat ucapan selamat itu mereda, ia memberanikan diri untuk menatap wajah Chanyeol yang penuh dengan kebahagiaan.

Chanyeol yang menyadari keterdiaman Baekhyun, menunduk untuk menangkap segala ekspresi dalam wajah kekasihnya. Ia merendahkan wajahnya sehingga kini wajah mereka dalam satu garis yang sejajar, mengecup kening Baekhyun kemudian.

"Apa ada yang salah?" Chanyeol berbisik lembut, "Kita akan bahagia."

Baekhyun mengerjapkan maniknya dan seketika air mata merebak di pelupuk matanya, ia menggeleng dan lalu menatap Chanyeol dengan emosi dalam dadanya.

"Apa kita akan baik baik saja?" Cicitnya kecil.

Chanyeol tersenyum, menautkan kedua jemari mereka dan menjawab ;

"Kita akan baik baik saja, Baekhyun."

Baekhyun ikut tersenyum. Seluruh kepingan dan potongan dalam tubuhnya seperti meleleh dalam kebahagiaan karena ia tahu ; tugasnya untuk memberikan pewaris pada Chanyeol akan usai. Ia tidak akan dibuang ke jalanan dan dia tidak akan ditinggalkan. Baekhyun tidak dapat menahan dirinya untuk tidak mengelus perutnya yang masih datar, berkali kali mengucapkan syukur dalam pikirannya sehingga rasanya hatinya hampir kelu.

Menatap manik coklat Chanyeol yang berkilat bahagia, Baekhyun perlahan mulai menaruh harapan pada masa depan yang indah dengan lelaki itu.

Tapi mungkin..

Mereka memang tidak seharusnya bahagia akan kabar itu.

Karena dalam hidupnya, bersama dengan Park Chanyeol hanyalah menjadi sebuah tragedi yang indah.


TO BE CONTINUED


Phew, nulis ini auto inget sama Stay With Me, kekekek~. Semoga suka ya, semua. Ini sebenernya ff yang kubilang mau kupublish setelah SWM selesai, eh tapi baru sekarang kukeluarin wkwk, nggak apa lah ya.

Next? Leave your review below~!