Tittle : Distress (The Sorrow by PurpleIchigo93)
Pairing : B. Ice & Yaya
Author : Summer Nami / 7Shafa's Diaz Afifah
Genre : Drama
Rating : T (teen)
Disclaimer : All of Charas are Monsta's
Story by Ariana-Senpai
"Sudah Ibu katakan berkali-kali padamu, jangan memaksa kakakmu main di luar, terlebih saat kesehatannya baru mulai membaik!" suara teriakan menggelegar terdengar dari ruang tamu sebuah rumah sore itu. Kemalangan merundungi nasib anak yang duduk di kelas tiga sekolah dasar itu.
Mungkin semuanya akan baik-baik saja jika cuaca hari itu cerah. Tapi menjadi salah ketika hujan turun di tengah keasyikan mereka bermain. Dan semakin salah saat keduanya memutuskan untuk menerobos hujan agar cepat sampai di rumah.
Akibat kesalahan itulah, kini anak beriris biru es itu harus menerima semua perkataan keras dari sang ibu. Ibunya itu terlalu menyayangi si anak sulung sampai lupa bahwa ia juga putranya.
"Sampai kapan kau ingin terus membahayakan kakakmu sendiri?!"
"Ibu, sudahlah. Ini semua bukan kesalahan Ice. Ia hanya ingin mengajak kakaknya main bersama, ia tidak bermaksud membahayakan siapapun," sang kepala keluarga berusaha membela Ice yang sudah tertunduk dalam siap menelan semua omelan dari ibunya.
"Kenapa kau selalu membelanya? Padahal masalah demi masalah selalu datang karenanya!"
"Karena dia putraku!" Ice langsung mendongak, menatap haru ayahnya. Ia tahu ayahnya lah yang akan selalu membelanya. "Dan semua masalah itu bukan dia penyebabnya."
"Apa maksudmu bukan ia penyebabnya?"
Waktu di ruangan itu terasa berjalan lambat, seolah ingin memperlihatkan dengan jelas pertengkaran kedua insan itu. Sedangkan kedua eksistensi kembar yang lain hanya diam. Mengkonsumsi adegan itu seperti menonton drama TV.
"Apa kau tidak pernah berpikir, dia yang membuat Blaze sakit-sakitan seperti ini?! Seandainya dia tidak ada "
Satu tamparan keras dilayangkan sang kepala keluarga untuk menghentikan ucapan istrinya yang sudah berlebihan. Ia tidak ingin kedua putranya mendengar kata-kata yang tak pantas diucapkan oleh seorang ibu. Tapi sayangnya, Ice yang berada di dekat mereka tentu saja mendengar potongan kalimat yang menyakitkan itu.
Tanpa pikir panjang, Ice segera berlari meninggalkan ruangan itu. Ia pergi keluar, melangkahkan kakinya sejauh dan secepat yang ia bisa. Sama sekali tak peduli dengan hujan deras yang mengguyur tubuhnya, begitu juga dengan rasa sakit dan rasa dingin yang menusuk permukaan kulitnya.
Ia mengabaikan kakinya yang mulai terasa nyeri, tidak peduli dengan paru-paru yang meraung memintanya berhenti agar bisa mengisi maksimum setiap bronkusnya. Ia hanya ingin berlari sejauh-jauhnya.
Satu tangan besar menarik pergelangan tangannya, membuat ia berhenti. Tak memberontak karena tahu siapa yang membuatnya berhenti, sang ayah. Pria berumur tiga puluhan itu mencoba menetralkan napasnya yang tidak teratur karena ikut berlari mengejar si anak.
Mata anak itu berkaca-kaca saat mendongak dan melihat tatapan teduh ayahnya. Ia langsung memeluk erat pria yang selalu peduli dan membelanya itu.
"Ayah.." terisak di pelukan ayahnya yang kini berlutut dan menepuk punggungnya penuh sayang. "Maaf.."
"Sst.. tidak apa," pria itu berbisik untuk menenangkan putranya.
"Maaf, aku bukan anak yang baik. Selalu membuat ibu dan ayah bertengkar dan membuat Blaze jatuh sakit. Maaf.."
Pria itu mendekap erat tubuh putranya, membiarkan Ice melepas semua rasa sesak dan menangis sepuasnya. Tak peduli hujan deras mengguyur tubuh mereka yang memang sudah basah.
Setelah berapa lama, Ice berhenti menangis. Hujan pun sudah mulai reda dan hanya tersisa rintik-rintik kecil.
"Ayah, boleh aku menginap di rumah kak Taufan?"
Pertanyaan itu membuat sang ayah melepas pelukannya dan menatap wajah sembab itu lekat. Tak lama satu anggukan diberikannya. Ya, ini bukan pertama kalinya Ice meminta izin untuk menginap di rumah sepupunya dan tidak mungkin juga ia melarang sang putra di saat seperti ini.
"Baiklah, Ayah akan mengantarmu ke rumah Taufan."
"Terima kasih.." Ice segera menghapus bekas air mata di kedua pipinya. Kemudian menggenggam tangan sang ayah. Rona wajah anak itu terlihat lebih cerah. Selalu seperti itu, baginya rumah sepupunya adalah tempat yang aman dan nyaman. Disana ada keluarga yang menyayanginya dengan cara yang sama seperti sang ayah menyayanginya.
Dengan senyum yang merekah, anak sembilan tahun itu memimpin jalan menelusuri trotoar yang cukup sepi. Suara langkah kaki yang terdengar memijak jalanan basah membuat senyum lega tergantung di wajah pria yang ia genggam tangannya.
Tak ada obrolan antara ayah dan anak itu. Sang ayah sibuk memenuhi kepalanya dengan apa yang harus dilakukan untuk mengubah sikap istrinya, berusaha memikirkan bagaimana membuat rumah mereka nyaman untuk Ice. Sedangkan kepala anak sembilan tahun itu dipenuhi rencana-rencana yang akan ia lakukan bersama sepupunya nanti.
Mereka berdua berhenti sebentar di sebuah perempatan jalan, menunggu lampu lalu lintas berganti agar mereka bisa lanjut berjalan.
Beberapa kali Ice menoleh untuk melihat perubahan lampu lalu lintas dengan tidak sabar. Sementara sang ayah hanya diam, menatap lurus ke depan.
…
..
.
Lampu lalu lintas berganti. Dengan sangat bersemangat Ice tanpa sadar melepas pegangan tangan ayahnya, mulai menyeberang.
Ia yakin sudah melihat lampu lalu lintas berganti warna. Ia sangat yakin.
Tapi, sepersekian detik setelah anak itu menjejakan kakinya di tengah lintasan zebra cross, sebuah mobil box melaju menghampirinya dengan kecepatan tinggi.
.
.
Entah bagaimana, waktu seolah begitu lambat. Dengan kedua matanya ia melihat sosok sang ayah berlari menghampiri tubuhnya, menarik ia ke dalam lindungan kedua lengannya tepat sebelum mobil box itu menghantam tubuh mereka.
Gendang telinganya masih bisa mendengar dengan jelas bunyi decit tajam dari mobil box yang berusaha mengerem sebelum berhenti karena menabrak sebuah mobil lain di depannya. Ia pun bisa mendengar dengan jelas suara debam keras tubuh ayahnya yang berusaha melindunginya dalam pelukan membentur jalanan aspal yang basah, setelah terlempar cukup jauh dari titik tabrakan.
Seluruh tubuhnya mati rasa, kepalanya sangat sakit karena benturan tak langsung yang baru saja terjadi. Pandangannya sedikit kabur. Meski begitu, penciumannya masih bisa berfungsi dengan baik sangat baik untuk mengenali bau yang menelusup ke hidungnya. Bau anyir yang membuatnya mual.
"Ayah.."
Isak tangisnya pecah dan terdengar samar diantara suara riuh rendah orang-orang yang mulai berkumpul menyesaki satu titik di pusat jalan raya itu.
"Ayah.. bangun..!"
Suara isak tangis itu berubah, saat tahu tak ada reaksi apapun dari ayahnya. Tubuhnya mulai menggigil ketakutan. Gemetar di tubuhnya semakin menjadi tatkala seluruh fokus penglihatannya kembali sempurna dan melihat pemandangan yang belum pernah dilihatnya. Crimson yang mengerikan itu menyelimuti tubuh orang yang paling disayanginya.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia melihat cairan merah sebanyak itu, mengalir dari kepala ayahnya juga bagian tubuh yang lain. Dan untuk pertama kalinya juga, ia merasakan seperti apa rasa darah itu dengan lidahnya sendiri.
Rasa yang membuatnya sungguh sangat mual..
"Ayah.. bangun.. kumohon.. Ayah.."
.
.
.
.
.
"Ice.. Ice.."
.
"Ayah.."
Satu tangan terulur menepuk pelan pipi kiri pemuda yang tengah mengigau itu, mencoba membangunkannya.
"Ice.. bangun.. Ice.."
Kini bisikan pelan disertai guncangan pelan di bahu. Tepukan pelan tadi ternyata tak cukup untuk membuatnya tersadar dari mimpi buruk yang hampir selalu menghantui tidur malam pemuda itu.
Suara isak tangis akhirnya terdengar dari bibir pemuda yang masih belum tersadar itu, wajahnya pucat dan gelisah.
"Ice..!"
"Ayah..!" mata itu akhirnya terbuka, ketakutan.
Melihat wajah ketakutan Ice, sekali lagi tangan itu terulur mendekap kepala si pemuda, perlahan menariknya agar wajah mereka berdekatan, membuat dahi mereka saling menempel.
"Tidak apa-apa, Ice.." bisikan pelan itu mencoba menenangkan dan menghilangkan rasa takut dalam diri pemuda yang baru saja tersadar dari mimpi buruknya itu.
"Blaze.. aku.. kematian ayah.. salahku.." suaranya bergetar penuh penyesalan.
"Ssstt.. itu bukan salah siapa-siapa.. bukan salahmu, sudahlah Ice.. tidurlah.."
Ice menggeleng pelan, menatap mata lembut milik saudara kembarnya dengan gelisah. Ini bukan pertama kalinya ia seperti ini, didatangi mimpi buruk yang sama dan membuatnya selalu takut untuk memejamkan mata kembali setelah tersadar dari mimpi buruk itu.
Mimpi buruk itu berawal di hari hujan, dua belas tahun yang lalu..
"Blaze.. aku, di hari itu harusnya aku mati.. pasti keluarga kita, akan bahagia bukan..?"
Mendengar adik laki-lakinya mengucapkan kata-kata mengerikan itu membuat Blaze menggeleng sambil menarik tubuh sang adik semakin dekat padanya, memeluknya lebih erat.
"Sudah.. tidurlah Ice, hari esok akan lebih baik.."
...
..
.
Satu helaan napas berat terhembus dari satu sosok yang duduk di bawah naungan sebuah pohon besar dan kini sedang sibuk merapikan buku-buku yang berserakan di sekitarnya. Kuliah terakhirnya untuk hari ini sudah selesai sejak tiga jam yang lalu, dan sudah tiga jam pula ia duduk sendirian di sana, mengerjakan tugas-tugasnya sambil menunggu seseorang yang sampai saat ini tak juga muncul.
Dengan kasar ia memasukan beberapa buku diktat kuliahnya ke dalam ransel, lalu bangkit sambil mengecek ponselnya yang sejak tadi diam tanpa kontraksi.
Satu helaan napas keluar lagi dari bibirnya..
"Kenapa si bodoh itu tidak datang juga..?"
Ia mulai melangkahkan kaki meninggalkan tempatnya berdiam diri tadi, pergi dengan wajah sebal karena lelah menunggu. Siapa yang tidak lelah menunggu tiga jam tanpa hasil. Kalau yang ditunggu bukan saudara kembarnya, ia pasti sudah pergi sejak tadi.
"Haaahh…" belum bosan rupanya, masih saja ia mengeluh di sepanjang jalan yang ia telusuri untuk sampai ke gerbang universitasnya, dan tak ketinggalan wajah kusut dan kesalnya.
Begitu kesalnya ia sampai tak menyadari ada dua orang yang sejak tadi mengikutinya. Salah satu diantara mereka terlihat tertawa kecil, entah apa yang ditertawakannya.
"Icceee..."
Suara yang terdengar tiba-tiba itu membuatnya kaget, tapi seketika kembali kesal karena orang yang memanggilnya kini bergelayut manja di punggungnya. Ia pikir ia anak kucing yang ringan mungkin.
"Hey.. maaf membuatmu menunggu sangat lama," Blaze masih saja bergelayut manja. Sepertinya ia tak tahu kalau adiknya itu meringis karena menahan berat tubuhnya.
Mereka Ice dan Blaze, selalu bersama dan berbagi segala hal yang pernah mereka miliki di sepanjang hidup mereka yang sebentar lagi genap dua puluh satu tahun, sebagai saudara kembar.
Ah, tentu saja ada beberapa hal yang tidak mereka bagi bersama, salah satunya seseorang yang berdiri tak jauh dari tempat mereka saat ini, orang yang hanya berdiri diam sambil mengamati tingkah laku mereka.
Um.. tingkah laku Blaze lebih tepatnya.
Dan ia adalah Yaya, sahabat mereka sejak empat tahun yang lalu. Yaya adalah orang yang selama hampir empat tahun ini ada di samping Blaze. Blaze's First Love.
Kalau untuk urusan cinta, siapapun pasti enggan berbagi kan? Meskipun mereka adalah saudara kembar yang sudah berjanji untuk saling berbagi apapun.
Sekali lagi Ice hanya menghela napas saat melihat kakaknya tersenyum padanya lalu berganti melempar senyum pada Yaya. Ia jengah melihat sang kakak bermanja-manja seperti ini, tapi mau bagaimana lagi?
"Mau sampai kapan kau bergelayut seperti Ochobot begitu, hah?! Berat tau.." Ice mencoba lepas dari dekapan kakaknya itu, ia sudah tak kuat menahan tubuhnya.
"Jangan sama kan aku dengan Ochobot!" Blaze mengembungkan kedua pipinya.
"Lepaskan aku kalau begitu.."
Satu helaan lega terhembus dari bibir pemuda berambut hitam yang tertutup topi biru gelap bercorak biru es itu. Beban di punggungnya sudah lepas, tapi rasa jengahnya masih belum juga berkurang karena senyum menyebalkan itu masih tergantung di wajah Blaze yang sudah berdiri di dekat Yaya.
"Kenapa kau tidak bilang kalau ada janji dengan Yaya? Aku kan tidak perlu menunggumu," Ice memasukan kedua tangannya ke saku sambil menatap dua orang yang berdiri tenang dan melempar senyum padanya. "Aku menunggu tiga jam. Dan aku juga belum makan siang.."
"Maaf Ice, kau keluar kelas dengan terburu-buru tadi. Aku tidak sempat mengatakannya," Yaya menjelaskan dengan tenang. "Kupikir kita akan bertemu di ruang senat."
"Kau belum makan, Ice? Kalau begitu, ayo kita makan siang dulu..!" Blaze menghampirinya dengan wajah khawatir.
"Haaahh.. sudahlah. Kalian ada janji kan?" Ice melempar pandangan pada gadis yang berdiri dengan jarak dua meter darinya dan hanya mendapat balasan berupa senyuman. "Lalu kenapa masih disini?"
"Menemanimu makan siang.."
Ice mendelik kesal pada kakaknya yang memasang wajah polos tanpa dosa. "Hmm.. sementara aku makan siang, kalian leluasa mempertontonkan kemesraan kalian di hadapanku, begitu?"
"Hehe.. tidak apa kan? Agar kau iri dan segera menembak Hanna."
Mendengar apa yang dikatakan kakaknya entah mengapa membuat perasaan Ice berubah buruk. Tanpa berkata apapun, ia langsung membimbing langkahnya berjalan meninggalkan dua insan menyebalkan yang merusak moodnya hari ini.
Ia terus saja berjalan dan tak menghiraukan suara Blaze yang terus memanggil namanya, membuat kegaduhan di tengah cuaca terik siang ini.
Mereka itu saudara kembar kan? Tapi kenapa dengan bodohnya Blaze sama sekali tidak menyadari apa yang ia rasakan? Empat tahun bukan waktu yang sebentar bukan?
Empat tahun adalah waktu yang sangat panjang, dan selama empat tahun itu pula ia harus menyembunyikan perasaannya atau bahkan mengubur perasaannya terhadap orang yang selama empat tahun ini mengisi dan mewarnai hidup kakaknya, melupakan orang yang selalu dibicarakan sang kakak dengan wajah bahagia selama empat tahun ini.. Yaya.
...
..
.
'Meeow.. meow..'
Suara eongan pelan dari seekor kucing berambut hitam kuning keemasan berhasil menarik pemuda dengan topi dominan biru gelap itu kembali ke dunia nyatanya. Sudah hampir gelap dan taman bermain tempat ia menghabiskan waktu sore ini sudah sepi. Lampu-lampu taman sudah dinyalakan untuk menerangi beberapa sudut taman itu.
"Kita pertama kali bertemu dengannya di sini kan, Ochobot?" rangkaian kata yang keluar berupa bisikan. Ia memeluk kucingnya, mengusap pelan rambut kucing itu dengan maksud membuat dirinya sendiri lebih tenang dan nyaman.
Lagi-lagi Ice mengingat masa lalu empat tahun lalu, di taman ini ia pertama kali bertemu dengan Yaya, ketika gadis itu pertama kali datang ke kota ini. Hari itu adalah hari pertama keluarga Yaya pindah.
"Kita pulang, Ochobot.." Ice bangkit dari kursi di sudut taman, berjalan pelan masih sambil mendekap kucing kesayangannya.
.
.
.
"Ice.."
Suara ketukan pintu mengiringi suara ringan menerobos masuk ke telinga Ice yang tengah berbaring di atas ranjangnya, melepaskan semua lelah dan mood buruk yang menyelimuti harinya.
"Ice, buka pintunya..!"
Masih belum mau bangkit untuk membukakan pintu agar saudaranya bisa masuk, ia justru menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuh sampai kepala. Ia tidak ingin bertemu dengan siapapun lagi hari ini, termasuk saudara kembarnya sendiri.
"Ice, kau masih marah padaku karena membuatmu menunggu tadi?" Blaze masih bersikeras untuk bisa masuk ke kamar saudaranya. "Maaf.."
Ice masih saja diam dan semakin menenggelamkan diri di bawah selimut, berusaha untuk tidak peduli dengan apa yang Blaze katakan. Ia lelah..
Sunyi..
Ketukan pintu dan suara Blaze sudah tak lagi terdengar. Mungkin ia menyerah dan membiarkan adiknya itu untuk beristirahat. Saat itulah Ice berusaha memejamkan mata, tidur.
Tenang sekali..
Suasana tenang itu tiba-tiba koyak karena seseorang yang tiba-tiba menyibak selimut Ice dan menyusup ke dalam, ikut berbaring di ranjang itu. Wajahnya berhadapan langsung dengan wajah lelah pemuda beriris biru es itu. Senyum lebar yang sedikit jahil tergantung di wajahnya, wajah yang serupa dengan milik Ice. Serupa.. bentuk wajah, hidung, bibir, lengkung senyumnya, juga bentuk mata walau milik Blaze beriris merah api.
Ya, mereka serupa. Dan Yaya lebih memilih Blaze meskipun mereka memiliki penampilan yang sama.
Satu helaan napas panjang keluar bersamaan dengan terbukanya kedua kelopak mata Ice, menampilkan dengan jelas sepasang mata biru yang terlihat lelah. Ia belum benar-benar tidur, tentu saja ia menyadari kedatangan Blaze ke kamarnya, dan kini ditatapnya mata lembut itu dengan sedikit rasa kesal yang masih mengendap di hatinya.
"Lewat balkon lagi?" Ice menyibak selimutnya agar bisa melihat wajah kakaknya lebih jelas. Senyum jahil dan anggukan menjadi jawaban dari pertanyaan yang ia lontarkan. "Kalau jatuh bagaimana?"
"Tidak akan.." Blaze menggeleng sambil mengulurkan kedua tangan, meletakkannya di bahu Ice. "Ice.. maaf.."
"Untuk apa?"
"Kau masih marah karena aku membuatmu menunggu terlalu lama di kampus tadi kan?"
"Tidak.." Ice menggeleng pelan.
...
..
.
"Akhirnya kalian bertiga berumur 21 tahun ya.." suara seorang pemuda mewarnai sebuah ruangan karaoke yang bising karena sebuah lagu masih mengalun berisik, menjadi backsound acara makan-makan mereka malam ini.
"Bagaimana rasanya jadi orang dewasa?" suara itu terdengar lagi, suara yang berasal dari seorang pemuda bertopi biru putih Taufan, di sampingnya ada seorang gadis Ara.
"Kak Taufan, bicaramu seperti seorang kakek yang sedang bertanya pada cucunya.." seorang pemuda beriris semerah api yang duduk tak jauh darinya bicara sambil menghirup kaleng minuman sodanya.
"Heh, jaga bicaramu, Blaze!" Taufan protes sambil meneguk kembali es kopinya.
"Hanna tidak datang ya..?" Blaze bergumam pelan sambil melirik ke arah Ara juga adiknya yang sejak tadi hanya duduk diam.
"Sepertinya dia terlambat.." Taufan menjawab asal.
"Ice.. Hanna akan datang.." ia berujar dengan suara riang ditambah dengan cengiran di wajahnya.
"Hmm.."
"Ice.."
Gumaman pelan itu belum bisa memuaskan Blaze sehingga ia mengguncang-guncangkan bahu adiknya dan terus berbicara tentang Hanna. Akhir-akhir ini Blaze memang sering membicarakan gadis itu, ia bahkan beberapa kali membuat Ice harus berhadapan langsung dalam kondisi yang agak canggung dengan gadis itu.
Blaze sepertinya begitu ingin ia bisa bersama dengan Hanna dan itu membuat Ice dalam hati semakin membencinya.
Benci?
Ya, Ice membencinya, sangat membencinya. Saudaranya itu selalu mendapat apa yang diinginkannya sedangkan ia harus selalu mengalah dan pura-pura tersenyum saat melihat Blaze mendapatkan apa yang ia inginkan.
"Ice, kau dengar aku bicara kan? Hanna akan datang.."
Seperti anak kecil. Blaze mengguncang bahu adiknya sekali lagi dan itu membuat Ice sangat muak. Ia lelah dengan semua sikap kekanakan yang dimiliki saudara kembarnya itu, terlebih saat Yaya ada bersamanya, ia sangat lelah dan muak.
"Ice.."
"Tidak bisakah kau diam? Kenapa sejak tadi terus menyebut-nyebut nama itu?!" Ice menepis tangan Blaze dengan kasar, berdiri dan menatapnya dengan pandangan tak suka, wajahnya memerah. "Kau menyukainya? Kenapa tidak kau saja yang bersamanya?!"
Suara yang cukup keras itu membuat semuanya terkejut dan langsung menatap ke arah Ice. Ia belum pernah seperti ini sebelumnya, tapi baru saja ia berteriak pada kakak kembarnya.
"Ice.."
"Kenapa selalu berbuat seenaknya? Memutuskan segala sesuatu sendiri, berbuat seolah-olah yang kau lakukan hanya untukmu sendiri, dan perlahan membuatku harus melepas semua yang kumiliki.."
"Ice.."
"Aku membencimu.. dan menyesal terlahir bersamamu.."
Sepenggal kalimat itu langsung membuat semua mata yang ada di ruangan itu terbelalak tak percaya, dan Blaze lah yang paling terkejut, karena untaian kata menyakitkan tersebut terlontar dari orang yang paling disayanginya.
"Ice.."
Ice mengambil langkah mundur dari tempat ia berdiri secara perlahan, ia tidak menatap Blaze, ia melihat Yaya. Dengan langkah yang sedikit terhuyung ia meninggalkan tempat itu, tak peduli dengan Blaze yang masih memanggilnya.
.
.
.
.
.
Seorang gadis berjalan dengan langkah ringan menghampiri sebuah mobil Honda Vezel hitam yang terparkir tak jauh dari tepi sungai. Di tangannya ia membawa dua buah kaleng jus dingin.
Di atas kap mobil, seseorang duduk dengan melipat kedua kakinya, memandangi pantulan lampu kota di permukaan sungai.
"Hai, ini.."
Hanna mengulurkan satu kaleng jus pada Ice dan duduk di sebelahnya, ia tidak bicara, hanya menunggu sampai Ice yang bicara. Mereka berdua bertemu di pintu masuk café tempat mereka melakukan pesta kecil tadi.
Gadis beriris sewarna karamel itu tidak tahu apa yang terjadi, tapi karena Ice memintanya untuk membawa ia ke suatu tempat maka disini lah mereka, duduk diam sembari memandang pantulan cahaya lampu kota di atas permukaan air sungai, sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Hanna.."
"Ya, ada apa?"
"Aku membencinya.."
Hanna tak mengerti, ia hanya memakukan pandangan pada sosok yang tampak tertekan di sampingnya.
"Aku membencinya.. dia selalu mendapatkan apa yang diinginkannya, ia bahkan merebut semua yang seharusnya kumiliki," Ice menenggelamkan wajah di antara lutut yang didekapnya erat. "Dia mendapatkan segalanya, sementara aku.. aku kehilangan segalanya.."
Hanna hanya diam mendengarkan semua yang dikatakan Ice, memberikan seluruh perhatiannya untuk sang pemuda, karena sampai saat ini hanya itu yang bisa ia berikan.
"Dia bahkan merebut Yaya dariku.."
Raut wajah gadis itu berubah seketika saat Ice menyebut nama orang itu. Intonasi suara dan wajah Ice berubah lebih lembut, terlihat jelas bahwa ia sangat menyukai orang itu.
"Kau tahu..?" Ice menolehkan wajah menatap mata Hanna. "Aku yang pertama kali bertemu dengannya, aku yang pertama kali bertemu dengannya di taman itu, dan aku yang pertama kali bertemu dengannya di sekolah saat ia baru saja pindah ke kota ini. Pemuda beriris sebiru es itu berhenti bicara sambil mengulurkan tangan untuk merebut kaleng minuman Hanna, meneguknya sampai habis. Entah ia lupa atau tak sadar bahwa kaleng minumannya sendiri ia letakan di sampingnya. Senyum getir masih tergantung di wajah itu.
"Hari itu memang salahku, aku salah membawa blazer.. aku malah membawa milik Blaze. Tapi seharusnya ia mengenali kami.. apa kami begitu mirip sehingga orang-orang tidak bisa membedakan kami?" Ice turun dari kap mobil dan berdiri berhadapan langsung dengan gadis berhijab biru muda itu. "Katakan Hanna, apa kami begitu mirip? Apakah tidak ada beda sedikitpun diantara kami? Lalu kenapa.. kenapa dia lebih memilih Blaze? Aku mengenalnya lebih dulu, seharusnya dia memilihku…"
"Ice.."
"Apakah salah jika aku mengharapkan sesuatu..? aku tidak pernah meminta apapun sebelumnya, aku hanya menginginkannya.. aku menyukainya lebih dari Blaze.." Ice tertunduk. "Dia selalu mendapatkan segalanya, salahkah jika aku mendapatkan satu saja dari sekian banyak hal yang sudah ia dapatkan..?"
"Ice.."
Satu suara yang sangat dikenalnya dan yang ia harap tak akan pernah lagi ia dengar tiba-tiba datang mengusik, membuatnya mau tak mau kembali mengangkat wajah. Dan di sana di satu titik yang berjarak sekitar enam meter dari tempat ia dan Hanna. Orang itu bersiap mengambil langkah untuk mendekatinya.
Blaze kini sudah berdiri di sampingnya, menggenggam lengan adiknya erat. Raut cemas dan sedih terukir jelas di wajahnya, ia sudah mendengar semua pengakuan Ice tadi.
"Ice, ayo pulang..!"
"Aaa.. kak Blaze.. sudah lama tidak berjumpa.."
"Ice.. ayo pulang.."
Tiba-tiba Ice menenggelamkan diri dalam dekapan kakak kembarnya, diam sejenak di sana, menunggu sang kakak membalas dekapannya. Ia menempelkan dagunya di bahu Blaze dan membisikan sesuatu di telinganya.
"Kau tahu kak..? aku.. menyukai Yaya.."
"Ice, maaf.."
"Maaf untuk apa, bodoh?" Ice tertawa kecil.
"Seandainya aku tahu perasaanmu padanya.. aku…" Ice mendorong kakaknya yang masih berusaha menahannya.
"Ice!" Blaze segera menyusul adiknya dengan langkah cepat, menarik pergelangan tangannya erat, membuat langkah sang adik berhenti. "Kumohon jangan seperti ini..! kita bisa bicarakan semuanya."
"Lepaskan!" Ice menepis tangan kakaknya kasar dan meneruskan langkahnya.
"Ice…!"
.
.
Ice berdiri di depan Yaya. "Kenapa?" Ice bergumam. "Apa ada perbedaan diantara kami? Apa yang membuatnya nampak lebih baik dariku?!" Ice mencoba mendekatkan wajahnya pada Yaya.
.
.
.
Tapi belum sampai ia mendekatkan wajah, Yaya langsung mendorongnya menjauh.
Melihat kejadian itu, Blaze dan Hanna yang sejak tadi hanya diam segera mengambil langkah untuk mendekati kedua orang itu.
"Sampai akhir, aku memang hanya akan jadi orang bodoh diantara kalian berdua.."
Ice membenci semua yang terjadi dalam hidupnya..
Ia membenci Blaze..
Dan seandainya ia tak ada, semuanya pasti akan lebih baik..
"ICE!"
Suara benturan keras terdengar, dan benturan keras yang terjadi pada tubuhnya itu sekali lagi mebuatnya harus kembali merasakan rasa darah di lidahnya dan harus mencium bau anyir yang membuatnya mual. Dan benturan keras yang mengerikan itu sekali lagi membuat dunianya mengabur sebelum akhirnya menjadi gelap.
Tapi sebelum semuanya benar-benar gelap, ia masih bisa melihat sebuah senyum penyesalan di wajah seseorang yang begitu disayanginya.
"Ice.. maaf.."
...
..
.
Suara teratur yang terdengar dari mesin pemantau detak jantung yang berada tak jauh dari tempat tidur Blaze menjadi satu-satunya suara yang mengisi kekosongan di ruang rawat tempatnya terlelap selama empat hari belakangan.
Di sisi tempat tidurnya satu sosok tengah terlelap dengan tenang sambil menggenggam tangannya erat. Ice, sudah tiga hari ini adiknya itu terus menemani, menghabiskan waktu yang seharusnya ia gunakan untuk istirahat dan menyembuhkan luka-lukanya sendiri.
Perlahan tubuh Ice bergerak, ia terbangun, mengusap kedua matanya dengan sebelah tangan lain tanpa melepas genggamannya pada tangan kakaknya.
"Blaze.. selamat pagi.." ia bergumam pelan sambil menggantungkan sebuah senyum di wajahnya yang masih nampak pucat dan lelah.
Satu hembusan napas lelah mengalir dari bibir Ice, ia tertunduk sebentar sebelum akhirnya kembali memakukan tatapannya menatap wajah tenang itu. Rasanya sakit sekali melihat saudaranya dalam keadaan seperti ini, berbagai macam alat bantu penunjang kehidupan terpasang di tubuh sang kakak, dan kedua kelopak yang masih terkatup rapat itu membuatnya semakin menyesal atas apa yang terjadi.
"Blaze.. cepatlah sembuh.." Ice membelai wajah itu dengan lembut sembari mencoba mentransfer suhu hangat dari tangannya ke kulit pucat sang kakak. "Aku ingin melihat senyumanmu lagi…"
Sunyi…
"Blaze… aku…"
Bunyi panjang seketika terdengar, membuat Ice terkejut. Ia menatap ngeri pada mesin pemantau detak jantung yang kini menampilkan sebuah garis panjang yang terus berjalan tanpa menunjukan kontraksi naik turun.
"Blaze…" ia mengulurkan tangannya menyentuh wajah sang kakak. "Blaze… jangan bercanda..! Blaze, bangun!" suaranya ditinggikan. "BLAZE…" diguncangkan tubuh kakaknya, mengharapkan satu respon. "Blaze, kumohon, jangan bercanda seperti ini.. BLAZE!" air mata tanpa sadar mengalir di wajahnya.
Ia masih belum menyerah. Tapi saat ia kembali mencoba meminta respon dari tubuh kosong itu, sepasang tangan meraihnya, mencoba menjauhkan dirinya dari tubuh Blaze yang mulai dikelilingi banyak dokter.
"Blaze.. jangan bercanda denganku.. Blaze!" masih berteriak histeris, meski kedua tangan itu mendekapnya erat. Ice mencoba memberontak dari kedua tangan yang mendekap dan memaksanya keluar dari ruang rawat Blaze itu, menghalangi dirinya melihat kondisi saudaranya sendiri.
"Blaze..!"
Akhirnya tangan itu melepasnya, sang pemilik kembali ke dalam ruangan untuk membantu dokter dan perawat yang lain, meninggalkan Ice di luar. Ice jatuh terduduk di lantai dingin rumah sakit, tak kuat lagi menahan bobot tubuhnya sendiri.
"Kau.. ini semua salahmu.." satu suara yang terdengar begitu dingin keluar dari sosok yang berdiri di depan Ice, tatapannya sedih sekaligus benci ke arah Ice. "Ini semua salahmu, Ice… salahmu…" suara itu terdengar bergetar.
"Blaze.. maaf.."
Lagi-lagi ia harus kehilangan orang yang disayanginya, dan kali ini pun ia kembali disalahkan.
"Maaf.."
...
..
.
Semua ini adalah salahmu..
Satu gerakan janggal datang dari balik selimut disertai suara napas berat yang memburu.
Kau adalah pembunuh.. mereka.. kau telah membunuh mereka…
Gerakan seseorang dalam selimut itu semakin terlihat aneh. Kini bukan lagi suara napas berat, namun isak tangis pelan mulai mengalir.
Jahatnya…
"Tidak.. hentikan…!"
Selanjutnya.. siapa yang akan kau bunuh?
"Hentikan..! aku.."
"Ice.. bangun.. Ice!"
Seseorang yang baru saja memasuki ruangan gelap itu langsung mendekat untuk mengusik sosok yang tengah diganggu mimpi buruk, mengguncangkan tubuh yang gemetar di balik selimut.
"Ice!"
"Tidak…!" selimut itu tersibak bersamaan dengan jeritan histeris.
"Ice, sudah, tidak apa-apa.." pemuda bertopi putih biru yang duduk di tepi tempat tidurnya mengulurkan tangan, menyentuh puncak kepala Ice, mencoba membuatnya lebih tenang.
"Aku.. tidak.. jahat.." ia menggeleng sembari menatap wajah orang yang sedang mencoba menenangkannya.
"Sudahlah, Ice.."
"Kau percaya padaku kan? Aku tak membunuh siapapun, kak.. tidak.. seorang pun.. kak.."
Malam ini adalah kali pertama Taufan kembali ke kamar asramanya setelah Ice ikut tinggal di asrama universitas dan berbagi kamar dengannya.
Sudah hampir dua bulan Ice pindah dan tinggal di asrama. Hari-hari setelah meninggalnya Blaze membuatnya semakin tertekan jika harus tinggal di rumahnya. Tatapan benci dari ibunya, sumpah serapah yang terlontar di saat emosi sang ibu tidak stabil juga kalimat-kalimat yang terus menyalahkannya. Ia bisa jika terus-menerus tinggal di nerakanya dunia itu.
Sebelumnya, Taufan menawarkan untuk tinggal di apartementnya karena mereka sepupu dan tentu itu tidak akan jadi masalah. Toh, saat kecil dulu Ice juga suka menginap di rumahnya, lagipun Taufan tak memiliki saudara perempuan juga ia tinggal sendirian disana. Tapi Ice menolak dan tetap memaksa untuk tinggal di asrama universitas.
Berbagi kamar dengan Taufan bukan hal yang buruk, justru hal yang lebih buruk berada di luar asrama miliknya. Ia masih harus bertemu dengan Yaya di kampus karena mereka ada di fakultas yang sama, dan terkadang kelas yang sama.
...
..
.
Ice melangkahkan kakinya gontai menapaki lantai koridor gedung fakultasnya tanpa arah, selalu seperti itu. Ia lebih sering terlihat berjalan sendirian tanpa arah seperti orang linglung. Ia tak peduli dengan orang-orang yang menatap aneh padanya di sepanjang lorong itu. Tidak masalah baginya orang mau melihat dirinya bagaimana, selama ia sendiri tidak mengganggu mereka dan tak terganggu oleh tatapan mereka.
Ia terus berjalan tanpa arah, membiarkan kedua kakinya melangkah kemana pun mereka suka, ia sudah tak peduli pada kemana kedua kaki itu akan membawanya.
Suara pintu sebuah ruangan terbuka dengan kasar terdengar, membuat Ice sedikit terkejut dan menghentikan langkah. Seolah tersadar karena bunyi debam tadi, ia langsung melempar pandangan, mencari tahu dimana dirinya sekarang.
Tapi belum sempat semua proses penyampaian informasi ke otaknya selesai, seseorang sudah berdiri tepat di depannya dengan wajah panik dan khawatir.
"Ice.. ponselmu?"
"Tertinggal di asrama…" Ice yang masih bingung hanya bisa menjawab pelan.
"Pantas saja.. Gempa menghubungimu sejak tadi, ayo cepat kita ke rumahmu!" Taufan menarik tangan Ice tepat saat Ara dan Yaya keluar dari ruang senat mahasiswa. "Ibumu collap lagi, Ice.."
Ice berdiri membeku saat mendengar hal yang baru saja dikatakan oleh sepupunya itu. Ibunya collap lagi karena emosinya yang kembali tak stabil. Ia masih saja menatap Taufan dengan tatapan yang sulit untuk diterjemahkan.
"Bibi sekarang sudah dibawa ke rumah sakit.." Yaya bersuara dengan nada dingin dan sama sekali tak menatap Ice.
"Cepatlah, Ice!"
...
..
.
"KEMBALIKAN SEMUANYA PADAKU!"
Suara teriakan histeris itu merobek suasana tenang yang beberapa sebelumnya sempat menyelimuti ruang rawat itu. Seorang wanita paruh baya duduk di atas tempat tidur dengan wajah yang masih pucat. Ia menatap penuh kebencian pada satu sosok yang berdiri sambil berusaha menahan gemetar di tubuhnya sendiri.
"Kembalikan semua milikku..!"
Suara wanita itu kini parau, air mata mengalir di kedua pipinya. Ice yang berdiri di samping Taufan hanya bisa diam, masih berusaha menguatkan dirinya sendiri agar tak jatuh akibat tekanan yang diberikan ibunya.
"Kau… apa salahku sehingga kau merebut semuanya dariku..? aku… aku mencintai mereka. Kenapa kau buat aku seperti ini…?" tiba-tiba turun dari tempat tidurnya, berjalan mendekati Ice, menarik kerah t-shirtnya. "Kembalikan mereka padaku…"
"Bibi…"
"KEMBALIKAN MEREKA! TIDAK BISAKAH KAU MENUKAR DIRIMU SENDIRI DENGAN MEREKA?" tangan tua gemetar itu mengguncang tubuh Ice kuat.
Taufan yang berdiri di dekat mereka berusaha melepaskan tangan ibu Ice, menenangkannya dan mencoba membimbingnya kembali ke tempat tidur.
"Kembalikan suami dan juga putraku.. Ice..!"
Kata-kata itu terpotong karena lagi-lagi wanita itu jatuh tak sadarkan diri.
Entah karena masih shock dengan semua teriakan ibunya tadi atau rasa bersalah yang lagi-lagi datang mengikatnya, Ice hanya diam di tempat, menatap nanar pada sosok wanita yang menyedihkan itu, membiarkan Taufan sibuk sendiri mengangkat tubuh ibunya dan kemudian berlari memanggil dokter.
Tak butuh waktu lama, ruang rawat ibunya kini kembali ramai dipenuhi dokter dan perawat yang sibuk memeriksa kondisi ibunya.
Perlahan tapi pasti, Ice mengambil langkah mundur meninggalkan ruangan itu. Masih berusaha mengendalikan emosinya, menahan air mata juga seluruh rasa takut. Ia kepalkan kedua tangannya erat supaya tak gemetar.
Tepat di langkahnya yang terakhir, tubuhnya merosot saat berusaha bersandar pada dinding luar kamar rawat ibunya. Ia mendongak, seolah-olah berusaha menarik napas dalam-dalam walaupun sebenarnya ia sedang berusaha menahan air matanya.
"Ice.." suara pelan disertai sentuhan di bahunya datang dari Ara. "Apa yang-"
"Jika bisa, aku pun akan menukar semua yang diinginkannya dengan diriku sendiri.." ucapan Ara tak terselesaikan karena kata-kata yang baru saja Ice ucapkan, kata-kata yang terdengar putus asa diantara helaan napas berat yang keluar dari bibir pemuda yang seumuran dengannya itu.
"Ice.."
"Taufan di dalam.." satu tangannya lunglai, menunjuk sembarangan ke arah pintu ruangan ibunya yang tertutup.
Satu helaan napas keluar dari bibir Ara, seolah mengerti bahwa Ice ingin ditinggal sendirian. Ia bangkit dan memasuki ruangan yang ditunjukan pemuda itu tadi.
Untuk apa aku melakukannya?
Ice mengusap wajah kasar, menghapus air mata yang entah sejak kapan mulai membasahi kedua pipi. Mungkin ia tak perlu lagi berusaha kuat atau berusaha menyembunyikan air matanya. Tidak perlu. Terlebih di hadapan orang itu..
Biar orang itu tahu seberapa menderitanya ia setelah hari itu. Sehancur juga semenyedihkan apa ia saat ini.
Orang itu? Siapa lagi.. tentu saja orang yang paling membencinya sekarang.
Yaya Yah.
Orang itu berdiri mematung, menatap dingin pada Ice yang masih duduk lemas di lantai. Tanpa harus mendengar kata-kata tajam yang hampir selalu keluar dari bibir Yaya, pemuda beriris sebiru es itu tahu apa yang ingin dikatakan oleh sang gadis, kata-kata yang hampir sama dengan kata-kata ibunya, atau mungkin lebih tajam dari itu.
Mati..
.
Seharusnya kau yang mati..
.
Seharusnya kau yang mati dan Blaze yang hidup sekarang, mungkin ibumu tidak akan jadi seperti sekarang..
Kata-kata itu mungkin lebih baik jika ia dengar langsung daripada hanya melihat tatapan benci yang menyakitkan dari iris sewarna karamel miliknya.
Ia sudah terbiasa dengan semua makian yang dilontarkan ibunya, karena memang hanya kata-kata kasar itulah yang selalu keluar dari wanita paruh baya itu sepeninggal ayahnya. Dan beberapa bulan setelah kematian Blaze, ia pun semakin terbiasa dengan kata-kata tajam yang terkadang keluar dari mulut gadis penyuka warna merah muda itu.
Dan sekarang tatapan benci..
Semua orang memang membencinya.
...
..
.
Gelap..
Berantakan..
Terdengar suara erangan tertahan diselingi isak tangis, kadang juga suara kikikan pelan tawa tertahan.
Sunyi..
Suara isak tangis lagi..
Suara tawa pelan disela oleh sepenggal gumaman kacau tak jelas..
"Aku yang membunuh mereka…. Lalu kenapa?"
Pembunuh… orang jahat sepertimu lebih baik mati..
"Mati…? Aku juga ingin mati.."
Kau gila..
"Gila.. sepertinya iya.."
Sunyi sebentar..
Tiba-tiba teriakan histeris..
Botol-botol melayang membentur dinding, cermin, ranjang, segala tempat. Botol kecil yang berisi tablet-tablet putih pun tak luput dari sasarannya, terlempar, pecah dan membuat isinya bertebaran di lantai.
Suara derit pintu terdengar, disusul langkah kaki ringan yang menghampiri salah satu dinding, mencari saklar lampu. Dan saat lampu menyala, betapa terkejutnya ia melihat kamar yang benar-benar berantakan. Seseorang terduduk lemas sambil bersandar pada dinding di sudut ruangan, wajahnya pucat.
Tanpa pikir panjang Taufan langsung mendekati Ice, mengguncang bahu pemuda beriris es itu untuk memastikan bahwa ia masih sadar. Taufan kembali mengedarkan pandangan, melihat betapa kacaunya kamar mereka. Dan dari semua kekacauan itu, ia tahu Ice tengah mabuk saat ini. Ia bermaksud mengangkat tubuh Ice dan memindahkannya ke atas tempat tidur ketika ia melihat beberapa butir tablet putih jatuh dari genggaman Ice.
"Obat..?"
Dengan cepat, pemuda bersurai hitam yang tertutup topi itu memungutnya dan meneliti dengan seksama obat apa itu.
"Obat penenang..? darimana ia dapatkan obat ini..?" ia melihat Ice yang masih membuka mata namun hanya ada kekosongan disana. "Ice! Darimana kau dapat obat ini? Apa yang kau pikirkan dengan meminum obat-obat ini?"
Satu detik..
Dua detik..
Tiga detik…
"Mati.."
"APA?!"
"Orang-orang bilang cara paling mudah untuk mati adalah dengan minum obat itu sebanyak-banyaknya.." Ice menjawab pelan.
"Kenapa kau berpikiran bodoh seperti itu?"
"Ibuku bilang lebih baik aku mati, dan orang itu pun pasti berpikir akan lebih baik jika aku mati.. dan Blaze "
Taufan mencengkram erat bahu Ice, mencoba menarik kesadaran pemuda itu, "Kau pikir dengan mati semuanya akan selesai?"
"Setidaknya semua penderitaanku akan berakhir, tidak akan ada lagi yang menyalahkanku atas kematian siapapun.. dan Yaya.. tidak perlu lagi menyia-nyiakan energinya untuk menahan emosinya ketika berhadapan denganku."
"Ice.."
"Aku mencintainya, aku tidak ingin membuatnya " belum selesai kalimatnya, Ice ambruk, jatuh tertidur.
...
..
.
Dari hari ke hari kondisi psikis Ice makin memburuk. Ia lebih banyak diam tanpa melakukan aktifitas apapun, melamun, menatap kosong ke satu titik. Ia bahkan sudah tak mengikuti kegiatan perkuliahan, dan sekarang tinggal bersama Taufan. Hal ini dilakukan agar semua aktifitas Ice bisa diawasi, sehingga tak akan ada lagi usaha-usaha bunuh diri seperti sebelumnya.
Kemudian di hari itu…
Malam tahun baru…
Hanna mengajak Ice untuk mengunjungi festival yang diadakan di salah satu jalan dekat pusat kota. Ia bermaksud membuat Ice lebih santai, sambil menikmati suasana ramai festival juga kembang api.
Di salah satu sisi jalan, di sebuah kursi panjang, Ice duduk sembari mendongak menatap cahaya-cahaya kembang api yang mulai meletus dan mewarnai langit malam. Ia duduk sendirian. Hanna sedang pergi untuk membeli sesuatu dan belum kembali setelah sekitar lima belas menit lamanya, meninggalkan pemuda beriris sebiru es itu sendirian.
"Kembang api itu indah bukan?"
Satu suara yang terdengar itu membuat Ice menoleh terkejut, dan mendapati seorang gadis berdiri disana, menatapnya dengan tatapan yang sudah tak asing lagi.
"Kau masih bisa duduk tenang sambil melihat kembang api sementara kondisi ibumu sedang tidak stabil di rumah sakit… jahatnya…" suara dingin itu sangat menusuk telinganya. "Jika Blaze masih ada saat ini, ia pasti akan senang bisa menatap pemandangan ini.. dan.." Yaya menghentikan ucapannya, melihat Ice bangkit dari kursinya. "Seandainya kecelakaan itu tidak terjadi…"
Mundur perlahan.. wajahnya mulai gelisah. Beberapa kali Ice menggelengkan kepala seolah menolak semua kata-kata yang diucapkan Yaya barusan.
Detik berikutnya ia langsung berlari meninggalkan tempat itu, berlari tanpa arah.
