Dua puluh tahun yang lalu, Belle, mamaku, menikah dengan Si Buruk, papaku. Setelah mereka menikah, daripada berbulan madu, papa menyatukan semua kerajaan dan mendapati dirinya dipilih sebagai raja di Auradon. Ia mengumpulkan semua penjahat dan pengikutnya, dan mengirim mereka ke Pulau Terhilang dengan dinding magis untuk mengurung mereka di sana. Papa bilang tidak akan ada jalan keluar-masuk dari pulau itu.

Usai dengan urusan Pulau Terhilang, Papa, dibantu mama, yang sudah menjadi Raja dan Ratu, bekerja keras untuk membenahi setiap daerah-daerah yang kekurangan. Auradon menjadi tempat yang sangat nyaman untuk ditinggali. Makanya ketika kakakku lahir, dan setahun kemudian aku juga lahir, kami dan semua anak-anak generasi kami tinggal menikmati hasil kerja keras Raja dan Ratu dan orangtua mereka.

Aku sayang kakakku, dan ia pun juga sayang padaku. Ia selalu mendengarkan cerita-ceritaku sambil tersenyum, bisa kubilang sampai saat ini dialah yang menjadi sahabat terbaikku.

Oh, aku belum memperkenalkan diri, ya? Namaku Beth, kependekan dari Bethany, putri sekaligus anak bungsu dari pasangan Belle dan Si Buruk. Kakakku, Benjamin, akan menjadi Raja dalam beberapa minggu lagi, sedangkan aku akan terus menjadi Putri jika tidak menikah dengan seorang Raja atau calon Raja dari kerajaan lain. Aku tidak tertarik dengan status kerajaan, makanya aku lega kalau kakakku yang akan jadi penerus takhta, bukan aku.

Mama, dan warga kerajaan lain, mengharapkan agar aku bisa menikah dengan Chad di kemudian hari. Chad, putra sahabat mama, Cinderella. Chad pemuda yang baik terhadapku, tapi aku sering mendengar dari orang-orang kalau ia menyebalkan. Sekalipun ia baik kepada semua orang, aku tidak yakin akan kepikiran untuk mau menikah dengannya. Dan ternyata, proklamasi resmi pertama kakakku membuatku semakin tidak mau menikah dengan Chad.

.

.

Disclaimer: Descendants adalah milik Disney, OC adalah milik author, author tidak mengambil keuntungan.

Warning: Akan ada kemungkinan OC menjadi mary-sue tapi author berusaha untuk tidak berlebihan. OC x Jay, slight other minor pairings, mungkin OOC.

.

Heart's Stealer
Chapter 1

by Fei Mei

.

.

Aku sedang duduk di ranjang sambil membaca buku, sampai tiba-tiba seseorang membuka pintu dan masuk ke kamar. Langsung saja aku mendongak ke arah pintu, mendapati Lonnie, teman sekamarku yang berdarah Asia itu masuk kamar dengan membawa tiga buku tebal sambil menyengir.

"Beth, Beth, lihat apa yang kubawa," katanya sambil masih terus menyengir, menghampiri ranjangku, lalu menaruh ketiga buku itu di ranjang.

"Oh, Lonnie! Baru saja aku berpikir untuk ke perpustakaan untuk meminjam ini habis aku selesai dengan buku satu ini," kataku setelah melihat judul buku-buku yang dibawanya. "Kau curang."

Cengirannya masih belum lenyap. "Yah, kita, kan, bisa gantian, Non," katanya sambil terkekeh. "Kau tahu, aku sangat senang bisa sekamar denganmu tahun ini. Maksudku, tahun lalu dengan Audrey? Pffftt, dia selalu mengomentari apa pun yang kubaca dan bilang aku tidak boleh terlalu banyak membaca dan harus sering-sering merias diri. Tapi sekarang? Aku seperti menemukan saudara kembar yang terhilang."

Aku akhirnya terkekeh juga, setuju dengan Lonnie. Sejak berpacaran dengan kakakku, Audrey jadi hampir setiap hari mengomentari pakaian yang kukenakan tiap kali kami bertemu, memberikan saran dan kritik ini-itu. Awalnya aku tidak masalah, maksudku, toh itu bukan saran yang buruk, sekali pun aku tidak pernah tertarik untuk mengikuti sarannya. Tapi sama seperti Lonnie, Audrey juga sering berkomentar tidak sedap kalau ia melihatku membaca buku.

Tahun lalu aku sekamar dengan Ruby, putri Rapunzel dan Flynn Rider, yang senang melukis. Berbeda dengan Lonnie yang 'menderita' sekamar dengan Audrey selama setahun, aku tidak punya masalah sama sekali dengan Ruby. Gadis itu melukis dengan tenang, sesekali bersenandung dan aku cukup senang akan senandungannya. Kekurangan kami hanyalah, yah, agak susah menentukan bahan obrolan selain seputar sekolah karena hobi kami berbeda.

Di tahun pertama kami sebagai anak SMA—oh, tunggu, aku belum bilang, ya? Saat SD, aku pernah lompat kelas berkat Ben, kakakku. Bukan, aku bukan lompat kelas lewat jalur belakang, melainkan Ben mengajari dan menemaniku belajar tiap hari, sambil ia pun belajar. Sampai akhirnya aku mendapat juara umum di angkatanku, dan kepala sekolah SD memutuskan agar aku lompat kelas dan bisa sekelas dengan Ben. Aku senang sekali saat itu, sampai-sampai Ben memberiku hadiah boneka besar yang sampai saat ini masih kupajang di sudut ranjangku.

Oke, lanjut lagi, di tahun pertama kami sebagai anak SMA, aku sering bertemu dengan Lonnie di perpustakaan dan gara-gara itu kami jadi berteman cukup akrab, beberapa kali juga bergurau tentang siapa tahu tahun depan kami akan jadi teman sekamar. Daaaaann voila! Impian kecil kami menjadi nyata sejak beberapa hari yang lalu.

"Oh, dan omong-omong," kata Lonnie sambil menaruh buku-buku yang tadi ia bawa ke meja, "Keluar dari perpustakaan tadi, aku sempat bertemu dengan Ben, ia bilang mau diukur bajunya untuk koronasi, bilang juga kalau kau mungkin ingin sekalian."

Aku mengerjap. "Apa? Ya, ampun, aku lupa kalau itu hari ini!" pekikku pelan. Langsung saja aku menyelipkan pembatas di buku yang kubaca, melompat dari ranjang, pamitan dengan Lonnie dan keluar kamar.

.

.

Sampai di tempat Ben mengukur baju, kakakku langsung tersenyum dan hendak menghampiriku tapi langsung ditahan oleh sang Pengukur. Yah, Ben memang sudah terbiasa untuk memelukku kalau kami bertemu. Lonnie pernah bilang bahwa kalau orang-orang tidak kami kakak-adik, orang-orang akan berpikir bahwa aku berpacaran dengan Ben. Aku sangat sayang kakakku, tapi aku berpacaran dengannya? Astaga.

Seorang Pengukur wanita menghampiriku dengan senyum lebar sambil membawa meteran. Ia memintaku untuk berdiri di atas pijakan biar ia bisa mengukur bajuku. Baru mengukur bagian lenganku, aku bisa mendengar suara papa memasuki tempat ini.

"Bagaimana mungkin kau akan menjadi raja bulan depan? Kau masih anak kecil!" seru papa sambil berjalan masuk dengan mama. "Adikmu juga masih kecil!"

"Ben sudah enam belas tahun, Sayang," kata mama pada papa, lalu ia menoleh padaku. "Bethany, Sayang, kau habis membaca buku lagi sampai tengah malam kemarin?"

Kugigit bibirku karena pertanyaan itu tepat sasaran. Dengan ragu aku mengangguk.

Mama tersenyum kecil. "Kantung matamu agak hitam. Mama tahu kau suka baca, tapi jangan sampai sering kurang tidur."

"Hanya saat tidak ada tugas sekolah, kok, ma," gumamku.

"Enam belas tahun itu masih terlalu muda untuk menjadi raja," celetuk papa. "Aku tidak bisa membuat keputusan yang bagus sampai mungkin aku berumur empat puluh dua tahun."

Mama menyerngit. "Uh, kau memutuskan untuk menikahiku saat berumur dua puluh delapan tahun."

"Ah, itu antara kau atau Teko," ujar papa. "Hanya becanda." Aku dan Ben langsung terkikik pelan.

"Ma, Pa, aku sudah memilih proklamasi resmi pertamaku," kata Ben sambil turun dari pijakan. "Aku memutuskan agar anak-anak dari Pulau Terhilang diberikan kesempatan untuk tinggal di sini, di Auradon. Aku sudah mendiskusikan ini dengan Beth, dan setiap kali kami melihat ke pulau itu, kami merasa mereka sedang diasingkan." Aku mengangguk.

"Anak-anak dari para musuh kita, tinggal di antara kita?" tanya papa.

"Kita akan mulai dari beberapa dulu, mereka yang paling membutuhkan bantuan kita. Aku sudah memilih mereka," ujar Ben.

"Begitukah?" tanya papa lagi, kuyakin ia sangat tidak setuju dengan ide ini.

Sebenarnya aku pribadi bukannya tidak setuju dengan ide besar ini. Memang beberapa hari ini aku dan Ben sering mendiskusikan tentang mereka yang di Pulau Terhilang, tapi aku tidak menyangka hal yang kami diskusikan itu malah menjadi proklamasi kakakku.

"Aku memberikanmu kesempatan kedua, " kata mama, memperingatkan papa.

Papa menghela, dan memang kelemahan terbesar papa adalah mama. Kedua adalah aku, terakhir adalah Ben.

"Siapa orangtua mereka?" tanya mama.

"Cruella de Vil, Jafar, Evil Queen, dan Maleficent," sebut Ben.

Kedua orangtua kami terkejut tiap kali Ben menyebut satu nama, terutama saat nama terakhir, Maleficent, terlintar dari mulut kakakku.

"Maleficent?!" pekik papa. "Dia adalah musuh terburuk di muka bumi!"

"Pa, dengarkan aku dulu—"

"—Aku tidak akan dengarkan!" potong papa, "mereka bersalah untuk banyak kejahatan!"

"Pa, anak-anak mereka inosen," kataku lembut. "Tidakkah kau berpikir mereka pantas mencoba hidup dengan normal?"

Papa menatapku dan wajahnya melembut. "Yah, kupikir anak-anak mereka inosen." Aku tersenyum kecil. Tuh, kan, papa juga lemah padaku.

Mungkin tidak ingin kalah lagi, papa memutuskan untuk keluar dari ruangan. Mama menghampiriku dan memelukku sebentar serta mencium keningku, habis itu ia mencium pipi Ben dan bergumam 'kerja bagus' sambil tersenyum, barulah ia keluar dengan papa.

Si Pengukur Baju meminta Ben untuk naik ke pijakan lagi karena belum selesai mengukur. Ben menurut, tapi kulihat ia menoleh padaku. "Menurutmu ide itu bagus?"

Aku mengangkat pelan sebelah bahuku. "Itu ide besar, Ben. Kupikir cukup bagus. Tapi, kau, tahu, mungkin agak sulit untuk dilaksanakan. Maksudku, selama ini mereka pasti diajarkan untuk menjadi seperti orangtua mereka, seperti kita diajari untuk menjadi seperti orangtua kita."

Kulihat Ben mengangguk. "Oke, habis ini aku membicarakan soal ini dengan Ibu Peri. Kau mau ikut?"

"Aku—"

"—Atau kau ingin melanjutkan kegiatan 'klub membaca' dengan Lonnie di kamar?" potong Ben sambil menyengir.

Wajahku menghangat dan kugigit bibirku. Aku mau saja menemani Ben mendiskusikan hal penting itu dengan Ibu Peri—kakakku memang selalu mengajakku ke mana ia pergi, aku ingat ia pernah mengajakku ikut makan siang dengannya dan Audrey tapi setelahnya aku bisa melihat pacarnya itu cemberut melihatku ikut makan dengan mereka. Tapi aku juga ingin melanjutkan bacaanku di kamar.

Ben terkekeh pelan, kupikir dia pasti sudah tahu yang mana yang lebih ingin kulakukan. Yep, aku ingin kembali ke kamar habis ini.

.

.

Tidak butuh waktu lama sampai proklamasi Ben terlaksana. Maksudku, yah, dia sudah menentukan siapa saja anak yang dari Pulau Terhilang yang akan bersekolah disini, jadi ia tidak perlu memilih-milih lagi. Ben juga mendiskusikan soal itu pada Ibu Peri, yang kuyakin hasil yang ia dapat adalah keputusan yang terbaik. Tidak perlu ada perubahan seperti pengetatan keamanan dan sebagainya, Ben bilang ini akan seperti punya anak-anak baru di sekolah saja, bedanya mereka akan masuk ke beberapa kelas khusus juga karena 'kurikulum' di Pulau Terhilang berbeda dengan yang di Auradon.

Saat kubilang 'tidak butuh waktu lama', maksudku adalah hanya dalam sehari Ben dan Kepala Sekolah membuat keputusan mengenai keempat murid baru itu. Jadilah dua hari setelah kakakku memberitahukan proklamasinya pada papa dan mama, ia pun meresmikannya dengan memberitahu pada media massa, sekaligus mengirim supir untuk pergi ke Pulau Terhilang.

Bukannya aku tidak setuju dengan proklamasi kakakku, tapi masakah iya aku harus ikut menyambut keempat anak itu? Kupikir Ben dan Ibu Peri itu sudah cukup. Belum lagi ada marching band untuk menyambut kedatangan mereka nanti, kupikir sudah lebih dari cukup. Audrey pasti akan ikut, ia akan menempel pada kakakku ke mana pun ia pergi, kecuali kalau Ben berhasil melepaskan diri dari pacarnya itu. Dan kalau aku ikut juga, pertama, aku mungkin akan canggung sendiri karena tidak ada kepentingan dalam acara penyambutan itu. Kedua, Audrey akan mengomentari apa pun pakaian yang kukenakan.

Lonnie mengurus rambut panjangku di depan cermin. Ia sudah seperti hair stylist pribadiku karena sering mengutak-atik rambutku bahkan ketika tidak kuminta. Rambut Lonnie pendek, katanya karena disuruh mamanya. Mama Lonnie, Mulan, punya rambut hitam lurus panjang tanpa model, dan ia tidak mau anaknya terlihat tua karena memiliki rambut lurus panjang seperti dirinya, makanya rambut Lonnie selalu pendek.

Usai berhadapan dengan cermin, aku mengucapkan terimakasih pada gadis Asia itu dan keluar dari kamar. Aku agak berlari kecil melewati setiap lorong bangunan sampai ke depan gedung, tempat semua orang yang tergabung dalam acara penyambutan telah berkumpul.

Ben langsung tersenyum melihatku. Dengan segera ia melepaskan tangannya yang dipeluk Audrey agar bisa memelukku dengan erat. Kubalas pelukannya dan ia mencium puncak kepalaku sebelum melepas pelukannya.

Lepas dari pelukan Ben, aku melihat Audrey menatapku dari atas sampai bawah dengan tatapan tidak suka. Entah ia tidak suka tentang Ben yang adalah kakak kandungku memelukku, atau ia sedang bersiap untuk mengomentariku.

"Kau tahu kalau tubuhmu pendek, kan?" tanya Audrey.

Aku langsung memutar bola mataku. Aku paling tidak suka dikomentari soal pendeknya tubuhku. Maksudku, mamaku juga bertubuh pendek, kok, lalu masalahnya di mana?

"Kau harus pakai heels, biar lebih tinggi," kata Audrey.

Baru aku ingin membuka mulut untuk membalas, Ben lebih dulu mengeluarkan suaranya. "Oh, tidak, tidak usah. Beth lebih manis dengan seperti ini," kata Ben sambil tersenyum, aku pun ikut tersenyum padanya. "Dan lagi, kalau ia lebih tinggi dari ini, aku mungkin akan kesulitan untuk memeluk dan mencium kepalanya."

Ben tersenyum lebar padaku, dan aku lansung melempar senyum kemenangan pada Audrey yang langsung mendengus. Audrey pun langsung memutar bola matanya saat kakakku ini mencium puncak kepalaku lagi.

"Selamat pagi, anak-anak!" sapa Ibu Peri yang baru tiba. Aku tersenyum padanya dan membalas sapaannya bersama dengan anak-anak lain. "Oh, aku datang di waktu yang terlalu pas!"

Aku menyerngit kecil, tapi langsung menengok ke arah gerbang ketika suara musik mulai dimainkan. Dari gerbang, masuklah mobil limosin hitam dengan bendera Auradon di keempat sudutnya. Ketika mobil itu semakin mendekat pada kami, aku langsung berusaha untuk berdiri sesuai dengan yang mama ajarkan, dengan elegan.

Ketika limosin itu tiba juga di depan kami, supir turun lebih dulu dan membukakan pintu tengah. Seorang gadis berambut ungu—oh, dan ia berpakaian serba ungu—turun dari mobil. Rambutnya bagus, kupikir Lonnie pasti akan ingin punya rambut seperti itu. Orang kedua yang turun adalah seorang gadis berambut keriting dengan pakaian serba biru. Berbeda dengan wajah gadis ungu, gadis biru ini tampak begitu ceria melihat bangunan di belakang kami. Orang ketiga dan keempat keluar dari mobil bersamaan sambil ... eh, memperebutkan sesuatu.

"Oh! Ah! OW!" pekik yang satu. "Berhenti! Kau sudah mendapatkan yang lainnya, kenapa kau menginginkan yang ini juga?!"

"Karena kau menginginkannya!" jawab yang satu. "Berikan itu padaku!"

"OW!"

"Lepaskan!"

"Kawan-kawan, kita punya penonton!" seru gadis ungu.

Kedua anak yang sedang memperebutkan sesuatu itu pun langsung berdiri. Yang lebih tinggi langsung saja menarik kasar kain biru yang daritadi mereka perebutkan.

"Tinggalkan seperti bagaimana kau menemukannya!" seru Ibu Peri di sampingku. "Dan maksudku, taruh lagi."

Pemuda yang tinggi itu melempar kainnya ke dalam mobil. Hm, mungkin memang anak-anak dari penjahat masih inosen, mereka masih mau mengikuti kata-kata orang yang lebih tua dari mereka.

Anak laki-laki yang pendek masih membersihkan celananya yang agak kotor dari tanah karena habis memperebutkan kain tadi. Sedangkan yang tinggi menghampiriku sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya.

"Halo Cantik, namaku Jay," kata si Tinggi, Jay. Hm, Jay? Namanya mirip Jafar, mungkin putranya?

Wajahku langsung menghangat melihat mukanya ada di depanku. Tidak persis begitu dekat, tapi, ya, wajahnya ada di depan wajahku. Saking tinggi dia, atau saking pendeknya aku, ia harus agak menunduk biar kepalanya sejajar denganku. Tangannya masih terulur di depanku. Dengan gugup aku mengikuti ajaran mama: raihlah tangan yang terulur sambil tersenyum.

"Bethany," balasku menyebut nama dengan gugup, sambil menyambut uluran tangannya. "Mm, kau bisa panggil aku Beth."

Begitu tanganku menyentuh tangannya, Jay segera mencium punggung tanganku, membuat wajahku semakin menghangat, apalagi ia tidak hanya sekedar menempelkan hidung di sana melainkan aku bisa merasakan bibirnya menyentuh punggung tanganku.

"Ehem!" Ibu Peri berdeham. Syukurlah, setidaknya aku kembali ingat untuk terus bernafas, serta ingat bahwa ada banyak orang-orang lain di sini.

Jay menyudahi ciuman di punggung tanganku dan melepaskan tangannya dariku, tapi ia tidak mundur. Ia menoleh ke samping dan tersenyum. "Oh, lihat, ada bunga !" Aku menyernyit, lalu melihatnya mengambil sekuntum bunga yang tersisih di rerumputan dekat kakinya, habis itu Jay memberikan bunga tersebut padaku. "Bunga cantik untuk gadis cantik." Yap, wajahku merona lagi sambil menerima bunga itu. Jay baru mundur setelahnya. Untunglah.

"Selamat datang di Akademi Auradon!" kata Ibu Peri. "Aku Ibu Peri, kepala sekolah."

"Ibu Peri," tanya Gadis Ungu. "Seperti, Bibbidi Bobbidi Boo?" Wah, dia mengucapkannya dengan baik.

"Bibbidi Bobbidi, kau tahu itu," balas Ibu Peri.

"Yah, aku selalu penasaran bagaimana rasanya bagi Cinderella ketika kau tiba-tiba datang entah darimana, dengan tongkat sihir dan senyum hangat," kata Gadis Ungu, "dan dengan tongkat sihir—"

"—Itu zaman dulu," potong Ibu Peri. "Seperti yang selalu kukatakan, 'Jangan fokus pada masa lalu atau kita akan melewatkan masa depan'."

"Sangat senang akhirnya bisa bertemu dengan kalian," kata kakakku, akhirnya. "Aku Ben, dan kau sudah tahu adikku, Beth—"

"—Pangeran Benjamin, sebentar lagi jadi raja," potong Audrey sambil memberi penekanan pada kata 'pangeran'. "Dan adik kecilnya, Putri Bethany." Aku langsung memutar bola mata saat mendengar kata 'adik kecil'.

Gadis Biru langsung menghampiri Ben dan agak membungkuk hormat sambil tersenyum. "Kau menarik perhatianku. Mamaku seorang ratu—" Oh, berarti yang ini anak dari Evil Queen, pantas cantik. "—yang mana itu membuatku jadi putri."

"Evil Queen tidak punya status royal di sini, dan begitu juga denganmu," kata Audrey dengan cepat. Walau itu benar, tapi aku mendengus dalam hati. Audrey tidak sopan.

"Eh, ini adalah Audrey—"

"-Putri Audrey, pacarnya," koreksi Audrey, memotong perkataan Ben yang ingin mengenalkannya sendiri. "Benar, kan, Benny-boo?" Uh, aku paling tidak suka nama kakakku dijadikan seperti itu.

Ibu Peri berdeham "Ben, Bethany, dan Audrey akan mengajak kalian berkeliling, dan aku akan bertemu dengan kalian besok. Pintu untuk menuntut ilmu memang tidak pernah tertutup," Ibu Peri melirikku sebentar sambil melanjutkan kalimatnya, "tetapi jam perpustakaan adaah dari jam delapan sampai sebelas, ya, Bethany?"

"Aku sudah tidak pernah melanggarnya lagi, kok ... " gumamku sambil menunduk. Yah, jangan salahkan aku yang sering hampir menginap di perpustakaan, salahkan petugas perpustakaan yang selalu menyediakan banyak buku baru setiap minggu!

Lalu kulihat Ibu Peri menoleh pada keempat anak baru. "Mungkin kalian pernah dengar, aku punya aturan tentang jam malam." Aku menyengir kecil, teringat tentang kisah Cinderella yang pernah diceritakan mama.

Ibu Peri pun pergi meninggalkan kami bersama dengan anak-anak lain yang menjadi bagian dalam acara penyambutan. Kini hanya tinggal aku dan kakakku, Audrey, dan empat anak dari Pulau Terhilang.

Ben maju ke depan Jay dan menyalaminya. "Benar-benar senang untuk akhirnya bertemu—" Ia menghentikan kalimatnya bersamaan dengan bunyi 'buk' pelan. Aku menyerngit, tapi mendengar lanjutan perkataan Ben lagi. "—uh, bertemu dengan kalian." Lalu ia bergeser dan menyalami anak laki-laki berambut jabrik di samping Jay. "Ini adalah momen yang penting dan kuharap bisa diingat dalam sejarah—apa itu coklat?" Bergeser lagi, kini Ben menyalami Gadis Ungu. "Seperti hari di mana dua orang saling mengobati."

"Atau hari di mana kau memperlihatkan empat orang di mana kamar kecil," kata Gadis Ungu.

"Agak berlebihan, ya?" tanya Ben.

"Sedikit lebih dari dari agak berlebihan," kata Gadis Ungu lagi. Hm, anak itu menarik.

Audrey maju dan menarik kakakku mundur, sehingga putri dari Aurora itu kini di hadapan Gadis Ungu. Hei, bukankah Ben belum sempat bersalaman dengan Gadis Biru? Audrey. Tidak. Sopan.

"Hei, kau putrinya Maleficent, kan?" tebak Audrey. Oh, Gadis Ungu ini anaknya Maleficent? Berarti pemuda yang berambut jabrik itu anak Cruella, kan? "Yah, kau tahu, aku benar-benar tidak menyalahkan kamu karena mamamu mencoba untuk membunuh orangtuaku dan sebagainya. Oh mamaku Aurora, Putri—"

"—Tidur! Yah, aku pernah mendengar namanya," kata Gadis Ungu. "Kau tahu, aku benar-benar tidak menyalahkan kakek dan nenekmu untuk mengundang semua orang di dunia kecuali ibuku untuk syukuran bodoh itu."

Huh. Aku makin senang dengan Gadis Ungu itu. Dan, kalau kupikir-pikir, alasan kenapa Maleficent membuat Aurora tertidur itu memang karena Maleficent tidak diundang. Tidak ada jaminan kalau Maleficent tidak akan mencelakakan Aurora jika ia diundang, sih, tapi dengan ia tidak diundang itu menyebabkan Aurora tertidur lama. Kalau aku satu-satunya orang yang tidak diundang ke suatu acara, aku mungkin juga akan kesal. Jadi, ya, masalah pertamanya bukan dari Maleficent, melainkan dari orangtua Aurora sendiri.

"Sudah terselesaikan!" kata Audrey dengan ceria yang dibuat-buat.

"Ya!" balas Gadis Ungu tidak mau kalah. Lalu keduanya tertawa, dengan dibuat-buat, dan diujungnya mereka sama-sama menghela. Kompak sekali.

"Oke! Bagaimana kalau kita mulai turnya?" tawar Ben sambil menarik mundur Audrey yang tampaknya masih ingin adu tatap dengan Gadis Ungu.

Ben mulai menarik Audrey sampai akhirnya gadis itu berjalan sambil menggandeng lengan kakakku. Gadis Ungu dan Gadis Biru mengikuti dari belakang. Lalu pemuda yang agak pendek dan Jay setelahnya, kemudian baru aku di paling belakang. Ibu Peri sudah berpesan biar kami tur dalam formasi seperti ini: Ben paling depan untuk memimpin tur, aku di paling belakang biar mengawasi agar mereka berempat tidak melakukan hal aneh.

Jay tampaknya tidak tertarik untuk berjalan bersama dengan temannya, jadi ia berjalan di sampingku. Kudapati ia menyengir padaku, tapi aku hanya bisa menunduk sambil menggigit bibir dan berharap wajahku tidak terlalu panas.

"Akademi Auradon, pertama kali dibangun lebih dari tiga ratus tahun lalu, dan diubah menjadi SMA oleh ayahku saat dia menjadi raja," jelas Ben saat kami melewati taman depan dan tiba di depan patung papa, lalu Ben menepukkan tangannya keras dua kali pada patung itu sehingga benda itu berubah sosok menjadi patung monster—papa versi si Buruk.

Aku mendengar pekikan kecil, lalu melihat Pemuda Pendek langsung melompat masuk gendongan Jay. Mau tidak mau aku agak terkekeh kecil melihatnya.

"Tidak apa-apa," ujarku lembut, "papa ingin patung ini berubah dari si Buruk menjadi manusia untuk mengingatkan kita bahwa segalanya mungkin."

Jay tersenyum kecil padaku sambil menjatuhkan temannya, dan aku hanya bisa menggigit bibir, lagi.

Selesai berkeliling dari luar bangunan, akhirnya kami masuk gedung. Tidak ramai di lobi, setidaknya tidak perlu ada banyak pasang mata yag menjadi penonton kami.

"Jadi kalian punya banyak sihir di Auradon?" tanya Gadis Ungu. Uh, aku harus segera menanyakan nama mereka, tidak mungkin aku memanggil mereka dengan julukan terus, kan? "Seperti tongkat sihir dan semacamnya?"

"Ya, tentu saja itu ada, tapi sudah tidak begitu terpakai," jawab Ben sambil terus memamerkan senyum ramahnya. "Kebanyakan dari kami semua di sini manusia biasa."

"Yang mana adalah para raja dan ratu," ujar Gadis Ungu.

"Itu benar!" sahut Audrey. "Darang ningrat kami sudah dari ratusan tahun lalu."

Aku menghela nafas berat diam-diam. Kedua orangtua Audrey punya darah ningrat, sedangkan aku, mamaku dulu hanya gadis biasa yang secara kebetulan bisa bertemu dengan papa.

"Doug!" panggil Ben ke seseorang yang ada di atas. Aku ikut mendongak, dan benar juga ada Doug di sana. "Doug, turunlah!" Yang dipanggil pun buru-buru turun dan tiba di antara kami. "Ini adalah Doug, dia akan membantu dengan jadwal-jadwal kelas kalian dan menunjukkan sekitar asrama," ujar Ben memperkenalkan teman kami. "Aku akan bertemu kalian lagi nanti, oke? Dan jika ada sesuatu yang kalian butuhkan, silakan bertanya pada—"

"—pada Doug!" potong Audrey.

Entah Ben yang kelewat baik atau apa, ia maish bisa tersenyum walau tahu pacarnya agak tidak sopan. Sejujurnya aku agak lega sendiri ketika Ben membawa Audrey pergi, setidaknya Audrey tidak akan mencari gara-gara lagi, terutama pada putrinya Maleficent. Sebenarnya aku juga ingin segera kembali ke kamar, tapi aku tidak tega meninggalkan Doug seorang diri bersama dengan keempat anak baru ini. Yah, bukan berarti aku bisa membantu atau apa, sih, setidaknya karena ada aku, Doug jangan sampai merasa terintimidasi sendirian.

"Hai, aku putra Dopey," kata Doug, sepeninggal kakakku dan pacarnya, sembari melangkah ke sampingku. "Seperti dari Dopey, Doc, Bashful, Happy, Grumpy, Sleepy, dan ... –heigh-ho ... " Ucapannya terhenti begitu Gadis Biru menghampirinya sambil tersenyum lebar. Ah, ya, seperti Gadis Ungu dan Audrey yang secara tidak langsung punya 'koneksi' masa lalu, Gadis Biru dan Doug juga punya koneksi—yang satu anak Evil Queen, yang satu anak dari salah satu sahabat Putri Salju.

"Evie, putri dari Evil Queen," ujar Gadis Biru memperkenalkan diri. Bagus. Evie dan Jay, tinggal dua nama lagi.

Doug berdeham pelan. "Oke, untuk kelas-kelas kalian, aku sudah memasukkan sesuai dengan kurikulum dan kelas tambahan yang dibutuhkan. Sejarah tentang penebang kayu dan bajak laut, peraturan dasar internet, dan, uh, perbaikan sikap 101."

Kali ini Gadis Ungu yang menghampiri belakang Doug, ia melirik ke layar tablet yang dipegang pemuda ini. "Biar kutebak, kelas baru?" tanya Gadis Ungu, dan Doug mengangguk. Oh, dan kutebak itu adalah hasil negosiasi antara Ben dengan Ibu Peri. "Ayo, teman-teman, mari kita temukan kamar kita."

Gadis Ungu berjalan menaiki salah satu tangga, diikuti ketiga temannya—tak lupa Jay mengedipkan sebelah matanya padaku. Uh, kenapa ia tak hentinya menggodaku? Eh, tunggu, tangga yang mereka naiki itu, kan—

"—Oh, kamar kalian ada di sana," kata Doug sambil menunjuk tangga yang lain. Keempat anak baru itu pun langsung turun lagi.

"Kau tahu, mungkin sebaiknya aku mengantar para gadis ke kamarnya, dan Doug mengantar yang pria," usulku.

"Yah, boleh juga, Belle," ujar Gadis Ungu.

"Uh, Beth. Belle adalah mamaku," koreksiku.

"Hm, hai, Beth," kata Gadis Ungu sambil merangkul tanganku dan menarikku ke tangga, mungkin maksudnya biar aku bisa cepat mengantarnya ke kamar. "Aku Mal. Nama tengahku mirip dengan namamu." Oooh, bagus, sekarang tinggal satu nama lagi.

.

.

TBC

.

.

A/N: Fict ini terdiri dari 7 chapter, sudah diketik sampai tamat. Jadi tidak akan sampai discontinued tengah jalan.