Selamat datang di fanfic Free! Pertama saya. –Sekaligus pertama yang saya tulis untuk crossover dengan Kuroko no Basket-. Scene yang digunakan adalah saat antara scene setelah Haru dan Rin ke Australia hingga saat Rin turun tahta di episode terakhir Eternal Summer.
Ok, selamat menikmati...
"Selamat malam! Saya kemari ingin mengantarkan kiriman!"
Suara seruan dari kurir pengantar barang memecahkan keheningan di sebuah asrama sekolah putra terkenal, SMA Samezuka. Saat itu kebanyakan penghuni asrama tengah liburan long weekend. Asrama tersebut menjadi sepi. Seorang pria dengan handuk 'SHARK' tergantung di lehernya, datang mendekati kurir tersebut. "Oh!? Jasa pengiriman? Ada apa? Titip saja ke saya!" senyum cowok dengan rambut merah maroon yang cukup panjang untuk seukuran laki-laki. Tampaknya, dia baru mandi karena terlihat rambutnya cukup basah.
"Maaf saya mengirimnya teralu malam. Paket-paket yang harus diantarkan sangat banyak." Bungkuk sang kurir dan mengeluarkan sebuah paket berbungkus kertas coklat.
"Untuk Yamazaki Sousuke, kamar 201 Asrama SMA Samezuka."
Mata pemilik rambut maroon tersebut terbuka lebar. Ya, namanya tidak asing.
"Kebetulan dia teman sekamarku. Akan kubawakan padanya!"
Setelah menandatangani bukti penerimaan, kurir tersebut bergegas dan menghilang dari pandangannya dengan sepeda motornya. Laki-laki tersebut melihat paket yang dititipkannya padanya. Ukuran paket tersebut cukup kecil dan mungkin seseorang memesan sebuah buklet atau dvd film. "Untuk Sousuke?"
Disclamer: Free! Eternal Summer / High Speed.
For song and Inspiration: Tada, Soba ni Ite - Mamoru Miyano
Warning: Sedikit OOC.
JUST STAY BY ME
CHAPTER 1
"Sousuke, kamu masih bangun?"
Tidak ada respon.
Ya, kamar tersebut kosong. Rin tertegun. Sosok yang ia cari tidak ada. Pria berbadan 'sempurna' bagi para atlet, mata emerland-nya yang berkilau, dan rambut hitam pendeknya. Sosok yang sangat memesona dan maskulin. Teman sekamarnya sekaligus teman kecilnya, Yamazaki Sousuke.
"Oi, Rin! Jangan terdiam di depan pintu. Ngalangin!"
Rin yang kaget langsung beranjak dari tempatnya. Mempersilahkan temannya yang lebih tinggi tersebut masuk ke kamar diikuti oleh dirinya. "SOUSUKE!? Kamu bikin kaget! Dari mana kamu?!".
Sousuke membuka jaketnya dan menyimpannya di kursi meja belajar. Dia membuka kaosnya dan menggantinya. Terlihat pada bahu kanannya sebuah penyangga karena cedaranya. Rin menundukan kepalanya dan menggigit bibir bawahnya. Setiap melihatnya, entah kenapa di dadanya selalu ada yang menusuk.
Setelah selesai dengan pakaiannya, Sousuke menyalakan laptopnya dan duduk di kursi yang telah tergantung jaketnya pada sandarannya. "Jalan-jalan. Aku bosan diam di asrama terus..." jawabnya dengan dingin.
"Tampaknya, mood Sousuke sedang buruk... Apa gara-gara aku melarangnya latihan?" batin Rin.
Setelah kekalahan tim Samezuka di pertandingan region, Sousuke dilarang keras untuk bertanding oleh kapten tim renangnya yang tidak lain adalah orang yang berdiri di belakangnya, Matsuoka Rin. Itu bukan karena penampilannya yang buruk. Justru, penampilan dia sangat baik. Tetapi, kondisi tubuhnya yang buruk. Dia memaksakan untuk berenang dan berimbas pada berakhirnya karir renangnya.
Sepulang dari pertandingan tersebut, Rin langsung mengantarkan Sousuke ke rumah sakit. Setelah melakukan pemeriksaan, dokter memutuskan jika Sousuke sudah tidak bisa berenang lagi secara permanen. Walaupun bahunya dioperasi dan sukses, itu tidak dapat mengembalikannya pada kondisi semula saat belum cedera. Saat itu, Rin ingin menangis. Dia tahu ia sangat cengeng. Terlebih, ini menyangkut sahabatnya yang telah 5 tahun tidak bertemu. Sahabat yang ia tunggu selama ini, datang di hadapannya dengan membawa setumpuk kebohongan. Mulai dari kebohongan jika dia sudah diterima di universitas dan keadaan bahunya.
Sebagai kapten, teman sekamar, dan sahabat, Rin merasa gagal.
Tangan Rin yang gemetaran saat itu digengam oleh Sousuke yang berada di sebelahnya. Rin mengangkat wajahnya dan melihat Sousuke tersenyum saat mendengar penjelasan dari dokter. Tampaknya, dia menerima hal tersebut dengan lapang dada. Rin tidak suka melihatnya seperti ini.
"Sousuke... Dia berbohong lagi."
.
"... in..."
"... In..."
"OI! RIN!"
Rin sadar dari lamunannya. Dia merespon panggilan dari temannya tersebut yang telah memanggilnya beberapa kali. "Rin! Kamu kenapa terdiam terus disitu? Kamu sakit?"
Rin menggelengkan kepalanya. Dia selalu seperti itu saat melihat Sousuke berganti pakaian. Bukan karena badannya yang bagus. Tetapi apa yang ada di bahu kanannya. Dia masih merasa kurang nyaman dengan itu semua terlebih lagi, secara tidak langsung ini semua karenanya.
"Rin, apa yang ada di tanganmu?"
"Oh?! Ah!? Ini? Ini ada paket untukmu!" Rin memberikan paket yang ada di tangan kanannya. Raut wajah Sousuke berubah dratis. Dia terlihat sangat senang. Tanpa aba-aba, ia merebut paket tersebut dan membukanya. Rin yang kaget, perlahan memiringkan kepalanya dan melihat apa yang Sousuke dapatkan. Sebuah CD dengan judul album, "Frontier?"
"Ini album terbaru dari penyanyi favoritku. Waktu di Tokyo, gampang sekali mendapatkannya karena pulang sekolah bisa langsung membelinya. Sedangkan disini, jauh kemana-mana jadi aku pesan lewat online shop."
"Hmmm..."
Rin melihat cover album tersebut. Yap, artisnya memang mempunyai tampang yang tampan. Biasanya yang senang membeli album ini pasti para wanita. Tetapi, di hadapan Rin yang membeli album ini adalah seorang pria. Kalau Sousuke sangat tertarik dengan artis ini, pasti lagu-lagu ini patut masuk list rekomendasi. Rin jadi penasaran.
"Hey, Sousuke. Aku baru tahu kamu suka lagu-lagu dia. Apa yang membuatmu suka lagu-lagunya?"
Sousuke tersenyum dan membuka earphonenya. "Suaranya mirip kamu. Coba kamu dengar deh!"
Speaker disambungkan dengan laptop Sousuke dan terdengar sebuah alunan lagu. Lagu dari trak list pertama diputar dan saat Rin mendengarnya, dia terkejut. "Su... Suaranya mirip!"
"Benar kan? Aku sempat berpikir, jangan-jangan kalian orang yang sama. Hahaha..."
Sousuke tertawa kecil.
Rin terdiam melihat Sousuke yang tertawa. Sudah lama dia tidak menghabiskan waktu yang damai ini bersamanya. Biasanya Sousuke akan pulang terapi atau pemeriksaan saat malam disaat Rin sudah tertidur. Tetapi, karena hari ini long weekend, dokter yang mengawasi ia terapi sedang libur. Dia tidak harus ke rumah sakit selama akhir minggu ini.
Entah kenapa, dari dalam dada Rin terasa ada yang hangat.
Ah, tampaknya, dia juga dapat memanfaatkan long weekend ini bersama sahabatnya itu.
"Sousuke, kamu besok kosong gak?"
Sousuke melihat Rin dan mengecilkan suara speakernya. "Kosong. Kenapa, Rin-rin?"
"JANGAN PANGGIL AKU BEGITU!" malu Rin.
"Err... Katanya kamu bosen kan diam di asrama. Bagaimana jika kita jalan-jalan? Yah, ke toko olahraga, game center, bioskop, atau kemana gitu... Ke tempat yang kamu mau datangi juga tidak apa-apa!"
Sousuke mengerutkan alisnya. "Hmm... Bagaimana kalau kita ke Tokyo? Kebetulan ada yang mau aku cari. Lagipula, besok hari Jumat dan masih ada hari libur Sabtu dan Minggu. Jadi kita bisa menginap di hotel. Hari Sabtunya kita bisa jalan-jalan disana dengan santai" Senyumnya.
Rin kaget dengan jawaban yang ia terima. Dia hanya mengajak jalan-jalan di sekitar sini tetapi malah berkembang ke tempat lain. Bukan hanya tempat lain, kota lain! Perjalanan menuju Tokyo bisa setengah hingga seharian penuh. Tetapi, saat melihat Sousuke yang mengajak dengan penuh harapan, Rin menghela napas. Pikir-pikir, tidak ada salahnya jalan-jalan sejauh itu. Toh, jika pulangnya Sabtu malam, Minggu siang masih bisa istirahat. Terlebih, melihat Sousuke sangat senang, membuat beban Rin terlepas satu. Sekarang, yang dia inginkan hanya satu.
Sousuke dapat tertawa lepas seolah tanpa beban.
Walau itu terdengar susah.
.
Malam tiba. Rin telah terlelap di kasur atas. Semenjak keadaan Sousuke yang seperti ini, Rin kadang tidur diatas. Tapi jika ia teralu capek untuk tidur diatas, Sousuke menyuruhnya untuk tetap tidur dibawah. Berbicara mengenai Sousuke, sang pemilik kasur atas masih sibuk mengurus playlist yang biasa ia dengarkan sebelum tidur melalui IPodnya. Saat mendengar lagu di trak terakhir dari CD yang baru ia beli, ia terdiam.
"... Eh?"
.
RIN POV
"Sousuke! Bangun! Katanya mau ke Tokyo?! Kita harus pergi dengan kereta pertama!"
"Hmm... Rin... Bentar lagi..."
Sousuke, bukannya kamu yang punya acara? Kenapa harus aku yang repot-repot membangunkanmu?
"Sousuke! Cepat bangun! Nanti perjalanan kita gagal donk!"
Kutarik selimut Sousuke. Karena merasa dingin, ia membuka matanya. Akhirnya, Sleeping handsome ini terbangun.
"Oi, cepat siap-siap! Beresin kasur dulu, baru kita pergi!" seruku.
Sousuke yang masih duduk di kasur-ku-, mengucek matanya. Tanganku reflek untuk menghentikannya. Bukannya tidak baik jika mengucek-ucek mata, kan? Bagaimana jika ada kotoran atau bakteri yang masuk?
Sousuke yang sudah mengumpulkan jiwanya untuk bangkit, pergi ke kamar mandi. Yah, belum sepenuhnya terkumpul sehingga dia nyaris menabrak dinding. Aku menghela napas dan duduk di bangku meja belajarnya. Terlihat CD album yang baru ia beli tergeletak di mejanya. Mungkin ini masih teralu pagi untuk menyalakan lagu. Tetapi, aku penasaran dengan lagu-lagu yang ada di album ini. Bukannya aku suka mendengarkannya karena suaranya mirip denganku. Aku hanya merasa, jika aku harus mendengarkan lagu-lagu di CD ini.
CD kumasukan pada CD player yang ada di mejaku. Trak pertama sudah kudengar semalam. Aku memencet tombol next dan menemukan lagu lainnya. Pada lagu trak kedua ini, membuat semangatku menjadi tinggi. Aku berpikir, apakah aku bisa bernyanyi seperti ini juga, ya?
Mengingat, suara vocalisnya dan suaraku hampir sama.
Ah? Berbicara mengenai lagu, setelah pertandingan Iwatobi di Final, Gou mengajak kami untuk karaokean. Saat mendengar suaraku dan suara Sousuke saat kita bernyanyi, dia langsung bersemangat dan menyuruh kami untuk terus menyanyi. Bahkan, di beberapa kesempatan, dia menjelaskan jika dia mempunyai proyek untuk membuat sebuah lagu karakter bagi kami –dan anggota Iwatobi serta Ai dan Momo-. Dalam beberapa kesempatan, kami datang untuk rekaman.
Dua CD yang ada di lemariku ini hasilnya. Gratefully dan Over the Dream untuk laguku. Sedangkan untuk lagu Sousuke, Just Wanna Know dan Ashita e no Last Race.
Last... Race...
Aah... Ingatan itu muncul lagi.
Ingatan saat di rumah sakit...
Setelah kita berbicara dengan dokter, Sousuke sakit di bahunya. Aku menyuruhnya untuk duduk sebentar. Tangannya terus menggegam erat bahunya dan berusaha untuk menahannya. Ya, bahu yang sudah berubah warna itu terus membayangi ingatanku. Sousuke terus menyembunyikannya dari akhir ia kelas 10.
Terapi
Kambuh lagi
Terapi lagi
Kambuh lagi
Terapi lagi
Kambuh lagi
Itulah siklus yang dialami olehnya. Dia teralu memaksakan dirinya. Itu semua hanya karena ia ingin berdiri bersamaku. Padahal, ia mempunyai prestasi gemilang. Ia masuk 10 besar perenang terbaik di Jepang. Sayangnya, semua itu kandas setelah cedera ini. Ia tidak mendapatkan kesempatan untuk dihubungi oleh pencari bakat universitas-universitas terkenal. Atau...
Dia menolaknya?
"Ayo, Rin. Bahuku sudah tidak apa-apa. Kita pu-"
"SOUSUKE!"
Aku mendorong tubuhnya untuk tetap duduk. Wajahku tertunduk. Entah kenapa, mataku terasa panas. Hari ini, aku cengeng sekali. Kapten macam apa jika cengeng seperti ini?
"Rin... Kenapa kamu-..."
Sousuke terdiam. Aku tidak tahu persis bagaimana ekspresinya hingga keheningan ini terpecahkan.
"Rin, kamu menangis, lagi?"
Aku membuka mataku. Kulihat wajah Sousuke yang sudah tersenyum di hadapanku.
"Buat apa kamu menangisi orang sepertiku? Ini kesalahanku sendiri. Aku yang ceroboh."
"... LALU... LALU KENAPA KAMU... PADAHAL... KALAU KAU NGOMONG DARI AWAL... Aku... Aku..."
Sousuke menghela napas. Dipukulkan buku konsultasi yang ia punya keatas kepalaku. Sakit. Walau itu hanya sebuah buku, jika Sousuke yang memukulkannya, pasti sangat sakit.
"SOSUKE?! APA YANG-"
Kepala Sousuke tertunduk. Tangan kanannya menggegam tanganku.
Ah, aku ingat.
Semenjak selesai dari ruang pemeriksaan, dia terus menggegam tanganku. Tangannya basah karena keringat. Sesekali, tangan besar tersebut gemetar. Sesekali, tangan besar tersebut mengeraskan genggamannya. Walau tubuh Sousuke terlihat sangat besar dan kuat, dia tetaplah seorang manusia.
Dia tetap seorang Sousuke yang aku kenal.
"Maaf... Maaf aku sudah membentakmu... Aku tidak bermaksud menyalahkanmu. Aku hanya..."
"Tidak apa, Rin... Tidak apa..."
Keadaan hening. Rumah sakit tersebut terasa menjadi lebih mencengkam. Sousuke menyenderkan kepalanya yang tetap tertunduk pada bahuku. Aku bersyukur rumah sakit ini sedang kosong.
Karena itu, Sousuke dapat mengeluarkan semua kepedihannya malam itu.
Aku hanya bisa...
Meminjamkan bahuku sebagai senderannya...
.
.
"... Rin! Bangun!"
Aku membuka mataku. Ternyata, aku tertidur lagi saat mengingat saat itu.
"Oh... Sousuke? Kamu sudah siap?"
Sousuke melihat CD playerku saat aku beranjak dari kursi. "Hmm? Kamu mendengar lagunya?"
"Ya, tapi aku tertidur. Tampaknya, aku sedikit mengantuk. Hahaha..."
Sousuke melihatku. "Rin, kalau kamu capek, kita gak usah pergi."
Aku menggelengkan kepalaku. "Ahaha... Tidak apa-apa kok! Lagipula, kita sudah memesan hotel dengan onsen. Jika kita cancel, DP kita tidak akan dikembalikan. Sayang kalau di-cancel!"
Sousuke menghela napas dan menggarukan kepala belakangnya.
Diambilah tas olahraganya dan bergegas ke pintu. "Jangan lupa cabut-cabut kabel yang tidak terpakai. Kita gak bakal pulang selama 3 hari lho!"
"Harusnya aku yang ngomong begitu!"
-Tokyo-
Akhirnya, setelah perjalanan panjang kita menggunakan Shinkansen, kita tiba di Tokyo. Waktu perjalanan kita cukup menguras waktu dan tenaga. Dari Samezuka, kita berangkat pagi dan sekarang telah menjelang sore. Sebaiknya, kita langsung pergi ke hotel. Aku tidak tahu banyak mengenai Tokyo karena aku ke mari hanya saat aku mau ke Australia. Jika Sousuke, dia pasti sudah tahu seluk-beluk kota Tokyo karena dia berasal dari sini.
Tapi aku baru ingat...
Dia buta arah.
"Err... Menurut peta, seharusnya kita ke-"
"KEMARIKAN PETANYAAA!"
.
Setelah kurebut peta menuju hotel, kita sampai. Walau ini kota asal Sousuke, penyakit buta arah Sousuke tetap berbahaya. Aku mempertanyakan bagaimana dia bisa hidup di kota ini.
"Atas nama Yamazaki Sousuke." Ucap Sousuke pada resepsionis yang terlihat... Tersipu?
Ya... Sousuke memang terlihat sangat tampan untuk seumuran kami. Lagipula, badannya yang bagus pasti akan mudah menjadikannya seorang model. Ditambah gayanya hari ini yang tidak memakai jaket olahraga. Dia menggunakan kemeja hijau muda dan sweater hitamnya. Baguslah. Aku sedikit muak melihatnya ke mana-mana hanya menggunakan kaos putih dan jaket olahraga.
Ah, aku baru ingat... Itu sweater yang aku belikan pada hari ulang tahunnya beberapa bulan yang lalu. Tentu, ukuran yang aku pilihkan tidak meleset!
"A... Atas nama Yamazaki Sousuke. Untuk dua orang, kamar 305. Untuk pemandian umum pria dibuka pada pukul 19.00 dan pemandian wanita pada pukul 18.00 di lantai dasar. Silahkan!" senyumnya.
Tunggu? Kenapa singgung pemandian wanita?
Jangan-jangan, dia kira Matsuoka Rin itu wanita?!
Sesampai di kamar, satu hal yang membuatku bernapas lega adalah...
KASUR DOUBLE! BUKAN KASUR KING SIZE!
"King's Size? Memang kamu pernah mendapat kamar seperti itu?"
"PERNAH! Waktu aku mengajak Haru ke Australia beberapa bulan yang lalu, kamar yang aku pesan salah dan dapatnya king size. Jadinya... Kita harus..."
Sousuke menggegam bahuku. "Rin. Kamu tidak melakukan apa-apa pada Nanase, kan?"
Aku menggelengkan kepalaku. Apa yang dipikirkan Sousuke sehingga dia bertanya demikian?! Respon yang kuberikan membuat Sousuke bernapa lega.
Ini membuatku kesal.
Aku melihat sekitar. Ya, hotel ini sangat bagus. Kalau gak salah, ini termasuk deretan hotel berbintang. Untung saja kita mendapatkan diskon dari kartu kredit milik Sousuke. Kurebahkan diriku di salah satu kasur. Aku merasa sangat nyaman di hotel ini...
Ya, nyaman...
SOUSUKE POV
"Rin, kamu mau mandi di pemandian atau-"
Ah, Rin tertidur.
Tidak aneh, perjalanan hari ini sangat panjang. Ditambah dia masih sangat capek karena latihan kemarin. Aku menghela napas dan membenarkan posisi tidurnya. Dia tampak seperti anak-anak yang semangat dengan karya wisata pertamanya. Aku tahu dia sangat stress. Kesibukannya menjadi seorang kapten, siswa SMA, dan atlet, telah menguras banyak tenaganya. Selain itu, terkadang dia menemaniku check up. Aku harap, aku bisa menghiburnya dengan ini. Mengajaknya mencari udara segar.
Aku berjalan menuju jendela. Kubuka sedikit gorden putih tersebut dan melihat pemandangan petang. Lampu-lampu mulai menghiasi penjuru kota. Kota ini memang padat dan sibuk baik pagi-siang-sore-petang-malam-tengah malam. Kota yang tidak pernah tidur.
Selain itu, kota ini merupakan kota yang telah membesarkan namaku. Tapi, di sisi lain, disinilah awal dari aku harus mengubur mimpiku dalam-dalam.
Saat kulihat Rin yang tengah tertidur, aku merasa iri. Saat dia membuka matanya, masa depan yang pasti sudah berada di depannya. Tinggal ia pilih mau kemana ia melangkah. Aku ingin melihatnya berhasil. Aku ingin berdiri di sampingnya dan mengucapkan selamat. Aku ingin mendukungnya terus.
Walau dengan oprasi, kamu tetap tidak bisa memberi beban pada bahumu lagi.
Ah, aku teringat lagi...
Aku sudah tidak bisa berdiri dalam satu podium bersamanya...
.
Tapi, aku masih bisa menemukan jalan baru untuk masa depanku dan aku masih bisa mendukungnya dengan caraku sendiri.
.
"... suke...!"
"Sousuke! Bangun!"
Kubuka mataku dan melihat Rin yang berada di hadapanku. "Rin..."
Rin memiringkan kepalanya. Aku duduk dan mengangkat alis heran. "Ada apa?"
Rin menggelengkan kepalanya. Dia duduk di kasur miliknya. Terlihat dia sudah rapi dengan baju olahraganya. Tampaknya, dia sudah bangun jauh lebih awal. "Mau jogging pagi?"
.
Kulangkahkan kakiku mengikuti arah Rin berlari. Aku melihat langit yang masih terlihat cukup gelap. Ya, ini memang masih cukup pagi. Dentuman lagu dari earphoneku terdengar sangat jelas. Toko-toko masih terlihat tutup. Hanya beberapa toko sayur yang tengah bersiap-siap menjajahkan dagangannya. Pemandangannya ini tidak jauh berbeda dengan pemandangan di kampung halamanku dan Rin.
Setelah dirasa cukup, kami kembali ke hotel. Bajuku benar-benar basah. Tampaknya, baju ini harus dikeringkan dulu sebelum masuk ke laundry. Ah, aku bersyukur aku memesan hotel yang mempunyai jasa laundry express. Aku tidak perlu khawatir akan kekurangan baju bersih.
"Sousuke, boleh aku yang mandi pertama?"
"Oh? Sok aja. Oh ya, setelah itu langsung pakai baju untuk keluar ya. Rencana habis sarapan, kita langsung pergi ke Akihabara."
Rin terkejut dan nyaris terpeleset jika dia tidak memegang knop pintu kamar mandi. "AKIHABARA?!"
"Ah... Aku mencari barangnya disana. Disana ada toko serba ada terbesar dan terlengkap di Jepang. Sekarang lagi ada promo disana dan kebetulan barang yang mau aku beli sedang diskon besar."
"Oh..."
Ah, aku tahu apa yang ada dipikiran Rin...
Mungkin, dia berpikir aku akan mengajaknya ke maid café atau semacamnya. Tenang Rin. Aku tidak akan kesana terkecuali jika kamu ingin kesana. Kebetulan, aku tahu maid café yang enak dan nyaman. Atau, kau berminat untuk memperlihatkan kembali padaku bagaimana kamu memakai baju pelayan seperti festival Samezuka tahun lalu dan melayani para pengunjung? Aku bersyukur masuk Samezuka ditahun ketiga. Aku TIDAK PERLU memakai baju seperti itu.
"Sousuke, aku sudah selesai. Sekarang giliranmu mandi."
Aku mengangguk dan menyimpan remote TV yang sebelumnya kugemgam. Rin melihat TV yang sebelumnya kutonton. "Sousuke, ini Winter Cup?"
"Ya, sekarang lagi menayangkan siaran ulang pertandingan final. Aku tahu sekolah-sekolah tersebut karena itu salah satu sekolah terbaik di Jepang dalam melahirkan atlet." Jawabku.
Rin hanya bergumam sedikit.
Setelah selesai bersiap, kami bergegas menuju restoran untuk sarapan. Gara-gara keasyikan menonton, kita hampir telat untuk sarapan. Saat kami sampai, rasa capek kita terbayarkan. Sarapan yang disajikan di hotel ini benar-benar lengkap mulai dari masakan barat, masakan Eropa, masakan Jepang, masakan Asia, bahkan masakan Asia Tenggara yang terkenal dengan pedasnya. Rin tertawa kecil. "Kenapa, Rin?"
"Sousuke, kamu bisa masak kan? Bagaimana jika sekali-kali kamu memasak buat kita di asrama? Itu bisa membuat anggota lain dekat denganmu, lho!"
"Bukannya kita sudah punya ibu kantin yang baik, ya? Kita tidak perlu khawatir akan makanan selama di asrama. Nanti jika aku melakukan hal tersebut, ibu kantin itu akan sakit hati dan tidak mau memasak untuk kita lagi."
"Ah, benar juga sih..."
Sebenarnya... Aku tidak mau capek saja sih.
Tapi, itu ide yang cukup bagus. Akan kumasak sesuatu untuk Rin dan yang lain. Sebelum dia pergi ke Australia.
Australia...
"Ah, nanti saat festival, kamu saja yang memasak ya? Kami sebenarnya kekurangan orang untuk jadi koki!" senyum Rin.
Aku tersenyum kembali. "Ya..."
.
Setelah sarapan, kita langsung bergegas menuju toko yang dituju olehku. Kebetulan jaraknya tidak teralu jauh sehingga kita bisa menjangkaunya dengan jalan kaki. Saat masuk toko yang cukup penuh tersebut, Rin hampir terpisah denganku jika aku tidak memegang tangannya. Aku tidak risih karena kita sudah sahabatan dari kecil. Lagipula, jika dia terpisah dan kehilanganku, aku merasa payah menjaganya. Dia belum pernah kemari. Dia seperti anak kecil karena dia tidak tahu mengenai tempat ini.
Kami berjalan menuju bagian elektronik tepatnya kamera. Pasti Rin terheran-heran dengan apa yang dihadapannya. Aku melepaskan genggamanku dan menyuruh Rin untuk tidak pergi teralu jauh saat aku memilih kamera. Rin membalasku dengan menendang kakiku.
"Aku bukan anak kecil!"
"Selamat siang, kak! Ada yang bisa saya bantu?"
Aku membuka buklet produk. Aku mulai memilih kamera apa yang akan aku beli. Tujuanku kemari adalah membeli kamera DSLR. Tentu beli kamera yang harganya cukup mahal ini bukan hanya untuk gaya-gaya. Aku sedang mempelajari sebuah teknik yang mungkin ini bisa menjadi gerbang baru bagi masa depanku. Aku bisa tetap berdiri di samping Rin. Mendukungnya, melihatnya menang, dan tertawa bersama. Walau aku berada di jalan yang berbeda dengannya.
Kembali lagi pada pemilihan kamera. Akhirnya setelah memperhitungkan uang yang berhasil kutabung dan memilih kamera serta lensa, kuputuskan untuk membeli kamera yang berada di tengah-tengah bagi fotografer pemula. Harga lensa itu tidak murah sih. Ini pintar-pintarnya membuat strategi bagaimana menjadi fotografer dengan modal yang pas-passan. "Aku pilih yang ini. Dengan tambahan lensa ini..."
Setelah mengurus semua dari pembayaran, garansi, hingga teknik-teknik dasar yang diberikan oleh penjual (sekaligus fotografer), aku berjalan menuju Rin yang sedang duduk membaca sebuah majalah.
"Rin, aku sudah selesai. Sekarang ayo kita ke tempat lain."
Rin mengangkat wajahnya dan memperlihatkan sebuah majalah dengan foto kota yang indah. Julukan kota tersebut merupakan, Parijs van Java. "Itu, Kota Bandung di Indonesia."
"SOUSUKE!? KAMU TAHU!?"
Kugaruk kepala belakangku. Rin tampak sangat antusias. "Ah, aku sebenarnya tahu beberapa destinasi wisata di Indonesia. Karena bagi beberapa fotografer, tempat-tempat disana sangat bagus untuk difoto."
Bagaimana aku bisa mengetahui ini semua? Sebenarnya, saat aku menunggu di rumah sakit untuk rehabilitasi, ada sebuah majalah 'National Geographic' yang membahas beberapa tempat di Indonesia. Aku membacanya dan tertarik dengan foto hasil jepretan fotografer dari majalah tersebut. Kebetulan, Indonesia itu dekat dengan Australia, kan? Jika aku kuliah disana, jarak antara aku dan Rin tidak akan jauh. Aku tidak harus menghabiskan perjalanan seperempat hingga setengah hari hanya untuk bertemu dengan Rin.
Tapi, aku belum berbicara mengenai hal tersebut pada Rin.
Aku pikir, ada saat yang tepat untuk berbicara mengenai hal tersebut padanya.
"Hey, jika kamu tahu tempat-tempat ini, bagaimana jika kita kesana kapan-kapan? Lalu-"
Ucapan Rin terputus saat ia melihat tas belanja yang aku bawa. Ya, tas ini mencolok banget dan semua orang pasti tahu apa yang kubeli, Kamera.
"Sousuke, kamu beli kamera?"
"Ya."
"Kamera apa?"
"Kamera DSLR Ca**n ***."
"Tu- Tunggu! Itu tipe kamera semiprofesional, kan? Kamu beli itu untuk apa? Uangnya dari mana!?".
Aku menghela napas. Sudah kuduga reaksi Rin akan seperti ini.
"Aku menabung untuk membeli DSLR dari awal aku SMA. Sebenarnya, aku mau beli hanya untuk iseng-iseng. Tapi setelah dipikir-pikir, aku bisa mendapatkan uang dari ini semua. Jadi dulu aku berpikir jika ini bisa menjadi pekerjaan sampinganku." Jelasku.
Rin terdiam.
"Jadi... Kamu benar-benar akan menyerah?"
"Huh?"
"... Jadi kamu akan benar-benar berhenti renang?"
Aku mengangguk pelan. Aku tidak sanggup melihat wajah Rin jika sudah berbicara mengenai hal ini. Semua yang ingin kuucapkan, hilang seketika. Aku yakin, Rin mungkin akan mengeluarkan air matanya lagi. Sisi ini yang sama sekali belum berubah darinya semenjak kecil.
Tetap cengeng.
"Hei, Sousuke..."
"Hmm?"
Rin menutup majalah yang ada di pangkuannya. Dia mengusapkan tangannya di matanya.
"Mumpung kamu sudah punya kamera, bagaimana jika kita jalan-jalan dan membuat momen langka ini menjadi momen pertama untuk kameramu?"
Eh?
Aku terdiam. Perasaan apa ini? Kenapa aku merasa senang sekaligus pedih. Seolah-olah apa yang dikatakan Rin, akan menjadi saat terakhir kami untuk bersama. Apakah kita akan berpisah tanpa mengontak satu sama lain? Atau...
Kamu kecewa denganku, Rin?
"Sousuke?"
"Oh!? Ah... Ya... Kita akan jalan lagi sore nanti. Sebelumnya kamera ini harus diisi dulu baterainya sebelum dipakai. Jadi, bagaimana jika kita membeli makan siang untuk di kamar sambil menunggu baterai ini penuh?"
"Ok..."
Entah kenapa hari ini aku sering melamun...
.
Keadaan di kamar sangat hening. Kami makan ditengah sunyinya keadaan kamar. Rin terlihat terus memakan makanannya tanpa ragu. Aku merasa ini sangat ganjil. Bagaimana jika ini berlanjut hingga event sore saat kami jalan bersama? Jangan sampai keadaan hening ini menghancurkan liburan long weekend kita yang setelah lama ditunggu-tunggu –dan bisa saja ini liburan terakhir kami bersama di Jepang-.
Rin menghela napas. Disimpan kotak makan bersama sumpit di atas meja. Diambilnya secangkir kopi yang sebelumnya telah ia buat. Hari ini suhu cukup dingin. Tapi memang sekarang sudah masuk musim dingin. Kulihat keluar jendela dan melihat bukit-bukit yang telah berubah warna.
Rin berjalan menuju tempat aku mengisi daya baterai kameraku. "Sousuke, lampu hijaunya sudah menyala."
Aku berjalan menuju tempatnya berdiri. "Ah, kamu benar."
"Jadi, sekarang kita bisa pakai kamera barumu?"
Melihat Rin yang senang kembali, membuatku ikut tersenyum.
"Ada tempat yang direkomendasi olehmu, Sousuke?"
"Hmm... Sebenarnya... Ada tempat yang mau aku datangi..."
Rin memiringkan wajahnya. Tampaknya dia heran dengan seringai yang aku buat. Kumasukan baterai ke kamera. Kupersiapkan perlengkapan yang sekiranya diperlukan saat foto seperti lensa dan filter blitz. Aku bukannya bersikap seperti sok jago atau sok profesional. Tetapi seperti yang sudah kubilang sebelumnya. Ini bisa saja jadi momen terakhir kita bersama.
Aku tidak mau melewati momen ini begitu saja.
Akan kuciptakan foto yang berkesan bagiku dan baginya.
.
"GUNDAM GALLERY?!"
Rin, aku tahu pengucapan Bahasa Inggrismu bagus. Tetapi, tidak usah sehisteris itu melihat gundam raksasa yang berada di depanmu itu.
"Ya. Kamu tidak tahu tempat ini? Ini tem-"
"AKU TAHU SOUSUKE! KENAPA KAMU MENGANGGAPKU ANAK-ANAK BANGET SIH!?"
Ah, dia marah.
Kami memasuki galeri gundam. Saat kami kedalam, kami disambut oleh sebuah layar kita bisa berfoto dengan pilot gundam dengan skala 1:1. "Kamu mau foto disana?"
"Hmm... Aku mau jika ada pilot kesukaanku."
"Siapa?"
"Cagalli Yulla Atha."
Sial, pelafalannya bagus banget.
Aku mencari nama yang Rin ucapkan dan menemukannya. Dilayar muncul figurnya. Rin dengan semangat rin bertukar posisi denganku.
Aku mengeluarkan kameraku dan mengatur sedikit aperaturenya. Kuambil posisi yang enak dan pas di frame. "Ok siap Rin! 1... 2..."
CEKREK
"Bagaimana?" tanyanya.
Aku mengangguk. Rin langsung menarik kameraku dari genggamanku. Tapi dia lupa jika kalung pengamannya masih melingkar di leherku. Aku tertarik dan hampir terjatuh jika aku tidak memegang bahu kiri Rin.
"Ah, Sorry. Aku lupa! Hmm... Wah... Fotonya bagus! Aku terlihat sangat tampan!"
Aku terdiam membisu. Wajah Rin memerah sesaat ia mengucapkan hal tersebut. Sejak kapan dia narsis seperti ini?
Kamu yang ngomonng, kamu yang malu, Rin...
Kami berkeliling galeri disana. Terdapat sejarah gundam dari yang terlama hingga terbaru. Aku jadi ingat saat kecil, aku pernah dibelikan prototype dari salah satu gundam –skalanya sekitar 1:17- dan kesusahan untuk merangkainya. Bagian-bagian kecil dari gundam itu yang sebenarnya ngeselin. Tetapi jika berhasil, rasanya puas banget. Itu tidak berlangsung sekali. Mungkin di rumah aku sudah mempunyai cukup banyak koleksi prototype Gundam berbagai skala. Hipotesaku, gara-gara hal tersebut, aku mempunyai wajah serius dan tajam seperti ini.
Setelah puas berjalan-jalan, kita duduk di bangku taman dekat sama. Aku melihat Rin menggigil sedikit. Kubelikan ubi bakar yang kebetulan dijual di dekat sana. "Hei. Ini! Aku traktir!"
"Thank's! Kamu gak beli, Sousuke?"
Kugelengkan kepalaku. Aku masih cukup kenyang dan aku lebih memilih meminum coklat panas. Rin melihat ubi yang kuberikan. Dipotonglah sama rata dan diberikan sebagian padaku. "Jika setengah, kamu tidak teralu kenyang 'kan? Nih."
Kuhela napas dan kuambil ubi sebagian tersebut.
Kulihat Rin yang sedikit murung. Apakah aku telah melakukan hal yang salah padanya? Belakangan ini, aku memperhatikan dia jika dia sering murung. Tangannya memegang bahu kananku. "Sousuke..."
"Hm?"
"..."
Dia terdiam lagi. Rin, dia selalu memikul beban ini semua. Bahkan masalahku yang sebenarnya secara tidak langsung tidak ada hubungan dengannya, tetap ia pikirkan. Sudah kusuruh dia untuk berbicara padaku sekali-kali. Tapi dia hanya diam dan tersenyum seolah-olah tidak ada apa-apa...
Ah... Dipikir lagi, aku sama sepertinya. Aku tidak berbicara secara jujur padanya. Kita...
"Kita memang bodoh ya?"
"Huh?"
Ah, keceplosan!
Rin tersenyum dan tertawa lepas. Aku mengangkat alisku. Tapi, melihat Rin yang tertawa lepas seperti ini membuat perutku geli. Tidak lama setelah Rin tertawa, aku tertawa. Aku sempat bingung mengapa kita tertawa. Tidak ada yang bisa kami tertawakan. Tidak ada adegan lucu di hadapan kami. Tetapi, masa seperti inilah yang kutunggu. Entah apa yang dipikirkan oleh Rin tapi, aku senang jika kami bisa tertawa bersama seperti ini.
Aku sudah lelah dengan semua pembicaraan mengenai rival atau sebagainya. Yang kuinginkan hanyalah bersama Rin sebagai sahabat.
Di waktu yang tersisa ini.
"Hei, kamu Yamazaki Sousuke dari Tokitsu, 'kan?"
Aku mengangkat wajahku dan melihat siapa yang ada di hadapan kami.
"Kamu ingat kami, kan?"
"Maaf. Aku tidak hapal kalian. Lagipula, aku sudah tidak bersekolah di Tokitsu."
Benar. Saat ini aku tidak berbohong. Karena aku teralu fokus dengan latihan sendiri, aku tidak hapal wajah orang-orang kecuali teman satu klubku. Bahkan aku tidak sadar, ternyata aku termasuk deretan orang terkenal karena banyak yang mengenalku.
Tapi tiga orang yang di depanku ini terlihat sangat kesal saat aku menjawab hal demikian. Aku tidak peduli. Kuambil tasku dan kugenggam tangan Rin dan mengajaknya pergi dari sini. Rin sempat protes tetapi kemudian dia menyerah. Dia sudah mengerti mengenai kondisi yang ada dihadapannya.
"Ah~ Sayang sekali ya... Kamu sudah tidak bisa berenang lagi. Padahal, kami sangat menunggu pertandingan untuk bersaing denganmu. Tampaknya, bahumu sudah hancur ya..."
Ah, aku ingat... Tiga orang menyebalkan ini. Mereka pernah mengejekku saat kompetisi terakhirku di Tokitsu -kompetisi terakhir yang menjadi awal dari berhentinya aku dari dunia renang-. Tapi aku tidak menghiraukannya. Untuk apa menghiraukan orang yang tidak ada kerjaan seperti itu? Orang seperti itu hanya ingin mencari masalah dengan otak dangkalnya.
Saar mereka muncul untuk mengejekku, teman-temanku di Tokitsu terpancing naik pitam. Untung aku berhasil meredam amarah mereka. Aku tidak mau hal tersebut terjadi pada Rin. Aku harus cepat pergi dari sini karena bisa saja Rin ter-
"APA-APAAN KALIAN NGOMONG KAYA GITU KE SOUSUKE, HUH!?"
Pancing...
Gawat. Benar-benar gawat.
RIN TERPANCING MEREKA!
"Rin... Sudah... Gak usah didengarkan..." jawabku pelan.
Aku berusaha menenangkan Rin yang sekarang sudah emosi. Eh, ternyata aku balik dimarahi olehnya.
"SOUSUKE! HARUSNYA KAMU MARAH DONK! KAMU MAU KAMU DIJELEK-JELEKAN SEPERTI INI!?"
"... Tapi itu kenyataan bukan?"
"SOUSUKE!"
"Sudahlah... Ayo kita ke tempat lain..." ucapku sambil membalikkan badanku dan menarik tangan Rin.
Aku tidak tahu apa yang Rin ucapkan pada 3 orang yang aku lupa nama mereka. Aku fokus pada langkahku yang harus menjauhi mereka sebelum ini lebih parah. Aku tidak mau Rin marah lebih dari ini. Jika dia melakukan hal itu, bisa-bisa nama baiknya tercoreng. Aku ingat saat pertandingan dulu. Rin marah ke Ai. Untung saat itu dia hanya menendang tempat sampah. Bagaimana jika dia sampai melukai fisik atlet lain? Dia bisa-bisa dihentikan sementara atau seterusnya.
Kaki kami terhenti di sebuah distrik pertokoan. Kiri-kanan kami penuh dengan gemerlap lampu dari pertokoan. Rin menggegam tangannya yang tidak kupegang dan memukulkan pelan di dadaku. Disenderkan bahunya di dadaku. Sekilas, terlihat wajahnya memerah. Alisnya menikuk tajam. Dia pasti akan menceramahiku panjang.
"Sousuke..."
Aku menutup mataku. Kuelus kepala Rin dengan pelan. Terasa rambut merahnya ini lembut.
"Kamu mau memarahiku?"
Rin menggelengkan kepalanya.
"Aku... Aku mau pinjam kameramu."
Rin melepaskan dirinya dari dekapanku. Aku mengeluarkan kamera dari tas yang digantung di sebelah kiriku. Kuberikan pada Rin. Aku tidak tahu apa yang mau dia lakukan. "Kamu bisa memakainya?"
"Tentu saja! Aku tidak gaptek! Kamu berdiri disana!" tunjuk Rin pada sebuah space yang kiri-kanannya merupakan gemerlap lampu pertokoan.
Setelah aku berdiri di sini, aku bertanya padanya mengenai alasannya kenapa dia meminjam kameraku. Rin mengarahkan kameranya padaku. "Aku baru sadar. Hari ini fotomu sama sekali tidak ada. Masa seorang fotografer tidak ada fotonya di kamera miliknya? Biar aku fotokan untukmu. Lagipula, pemandangan di belakangmu cukup bagus..."
Aku terdiam. Benar katanya. Foto-foto yang kuambil hanya berfokus pada Rin seorang. Fotoku dan foto kami berdua tidak ada.
Berdua?
"Sousuke! Senyum!"
Aku menghela napas. Kumasukan kedua tanganku di saku celanaku. Aku sedikit melemaskan tubuhku agar tidak teralu kaku seperti orang sedang upacara. Aku kurang bisa bergaya di depan kamera. Aku juga bingung seperti apa ekspressi yang dapat kugunakan. Wajahku memang teralu serius. Lagipula, aku itu bukan seorang yang fashionable seperti Rin, ramah seperti Makoto, ceria seperti Nagisa dan Momo. Tetapi, saat kulihat Rin, ingin sekali aku tersenyum. Entah kenapa, aku hanya bisa tersenyum secara lepas saat aku bersama Rin.
Apa karena aku merasa nyaman bersamanya?
CEKREK
Rin melihat hasil jepretannya. Dia terlihat kagum dengan apa yang ia hasilkan. Perkataan dia sebelumnya mengingatkanku mengenai satu hal.
Foto kami berdua.
"Rin!"
"Hm?"
"Ke mari!"
Rin melangkah menujuku. Kutarik bahunya kedalam dekapanku. Kuangkat kamera yang berada di tangannya. Kuputarkan layar kameraku sehingga kita bisa melihat seperti apa komposisi kami berdua. "Sou-"
"Kita belum punya foto berdua kan? Sekarang saat yang tepat untuk itu." Bisikku.
Kupencet tombol shutter dan setelah fokusnya terkunci, kamera tersebut menangkap momen tersebut. Kita tertawa bersama dalam satu frame foto.
Setelah puas menangkap momen di daerah tersebut, kami pergi ke sebuah toko ramen dekat sana. Toko tersebut terkenal dengan ramen yang enak dan saat aku masih bersekolah di Tokyo, aku sering kemari.
"Oh, Sousuke-kun! Sudah lama! Bagaimana kabarmu?"
Ya, kakek penjaga kedai ramen ini mengenalku. Dia sangat ramah. Pelayanannya sangat baik. Tidak heran kedai ini sering penuh. "Hm? Siapa yang disebelahmu?"
"Matsuoka Rin. Salam kenal..." tunduk Rin.
"OH! Kamu Rin, yang sering diceritain oleh Sousuke-kun! Salam kenal, Rin-kun! Sebagai tanda pengenalan, kuberikan bonus untukmu. Silakan!" ucap kakek penjual ramen dan memberikan semangkuk besar ramen.
Rin mengkerutkan alisnya. Aku tertawa lagi. Raut wajah Rin yang keheranan seperti itu benar-benar jarang dilihat. "Puas-puasin makan aja. Nanti senin kamu bakar kembali kalori yang telah kamu dapatkan selama tiga hari ini."
Rin mengambil sumpitnya dan mulai untuk memakan ramen tersebut. Saat ia memakannya, dia terkejut. Pasti karena rasa yang yang enak dan 'rumah' sekali. Rin melihatku dengan mata berbinar-binar. "Sousuke! Ramennya enak! Bagaimana jika kita ke mari lagi kapan-kapan?"
"Dari Samezuka ke mari hanya untuk makan ramen?! Hahaha... Nanti saja. Saat kamu pulang dari Australia, aku akan menjemputmu di bandara dan membawamu ke mari."
Gerakan tangan Rin terhenti.
"Sousuke... Kamu... Sudah menentukan ke mana kamu setelah lulus?"
Ah, dia memikirkan ini toh. Tampaknya, ini saat yang tepat untuk memberitahukan rencanaku, ya?
"Rencana awalku adalah membantu ayahku di rumah. Tetapi, jika orang tuaku mengizinkanku untuk memilih jalan yang lain. Aku akan mencari beasiswa ke Indonesia untuk kuliah di sana sekaligus mengasah kemampuan fotografiku."
Rin melihatku dengan raut terkejutnya. "Indonesia? Kenapa di sana?"
"... Seperti yang pernah kubilang. Kamu tertarik untuk ke sana, kan? Aku sempat berpikir, bagaimana jika aku sekolah di sana, mengulik tentang daerah wisata Indonesia, menciptakan foto yang bagus, dan mengajakmu berkeliling. Tapi, itu sedikit mustahil ya karena Indonesia tergolong negara yang wilayah geografisnya luas. Hahaha..."
"Tidak ada salahnya mempunyai keinginan seperti itu. Sekarang adalah bagaimana cara kamu memperjuangkan untuk mendapatkannya..."
Keadaan hening. Sarafku terhenti seketika. Entah apa yang menusuk hatiku. Perkataan Rin. Perkataan Rin membuatku seperti ini. Rin tertawa. "Hahaha... Maaf merusak suasana. Tapi, aku senang sudah kamu memutuskan kemana. Lalu, jurusan yang kamu ambil?"
"... Desain komunikasi visual..."
"Hoo... Jurusan itu ya. Ah, aku tidak teralu susah untuk berbicara Bahasa. Dulu aku pernah belajar sedikit di SMP sebagai pelajaran pilihan. Jika kamu dan aku punya waktu, ajak aku jalan-jalan ya? Toh, Australia dan Indonesia sebelahan."
Rin mendukungku. Ya. Walau aku melihat matanya sedikit memerah. Ingin sekali kuusapkan pipinya untuk menahan air mata tersebut jatuh. Meyakinkan dia jika jalan yang kupilih, tidak akan membuat jarak kami menjadi lebar. Pertemuan kembali setelah 5 tahun berpisah, telah menyadarkan kami. Aku bersyukur jika aku dapat diberi kesempatan untuk bertemunya kembali. Walau hanya setahun bersama, momen ini tidak akan kulupakan.
Aku teringat akan lagu di trak terakhir pada album yang kemarin aku beli. "Rin, kamu sudah mendengar semua lagu di Frontier?"
Rin menggelengkan kepalanya. Ternyata dia baru mendengar trak keenam, NEW ORDER. Ini kesempatan emas untuk mendengarkannya lagu yang paling kusuka dari album ini yang berada di trak terakhir. Bisa dibilang, lagu ini hampir mirip dengan cerita kita.
"Rin, aku saranin kamu dengar lagu track terakhir. Bukan berarti lagu-lagu yang lain kamu lewati. Tetapi, aku ingin kamu mendengar dengan seksama trak terakhir tersebut."
"Eh? Memang ada apa dengan lagu itu?" herannya.
"Dengar saja dan kamu akan tahu!"
Rin menendang kakiku.
"Sial kamu!"
.
"Dah, Sousukei-kun! Rin-kun! Kapan-kapan kemari lagi! Akan kuberikan harga diskon!"
Rin melambaikan tangannya. Jalan di distrik tersebut masih ramai. Padahal jam sudah menunjukan pukul 8 malam. Sekarang malam minggu, jadi tidak aneh jika jalanan ini masih ramai...
Oleh para pasangan.
"Sousuke! Sesampai di hotel, aku mau lihat hasil foto-fotonya! Aku penasaran dengan hasil jepretanmu!"
Aku mengagguk. Rin berjalan di samping kananku dan tasku digantungkan di bahu kiriku. Kami memutuskan untuk langsung pulang ke hotel. Kita merasa badan kami telah mencapai batasnya. Sesampai disana, ingin sekali langsung beristirahat di kasur yang enak. Hotel kami tinggal melewati 2 penyebrangan lagi. Selama berjalan, banyak yang kami bicarakan mulai dari hal sehari-hari hingga menyangkut tentang kompetisi yang sebenarnya sudah tidak mau aku ingat lagi.
Ditengah pembicaraan, seseorang mendorongku dari belakang dan merebut tas yang berisi kamera. Gawat! Kamera itu!
Aku tidak mau kamera tersebut hilang. Momen-momen yang belum tentu akan kita dapatkan lagi, akan hilang selamanya. Sial! Aku harus menge-
"RI... RIN!?"
Ternyata Rin telah berlari mendahuluiku dengan cepat.
Sial. Aku harus mengejar Rin! Bahaya jika dia berlari sendiri. Bagaimana jika ada teman-teman si pencurinya yang bersiap untuk menyergapnya?!
"RIN!"
Tibalah di perempatan depan hotel kami. Pencuri tersebut terus berlari menghindari kerumunan dan menyebrangi zebra cross yang kebetulan sedang diperuntukan bagi para penyebrang. Zebra cross tersebut memang sepi. Hanya ada beberapa orang yang menyebranginya. Rin terus memperpendek jarak antara dia dan pencuri. Rin berhasil mendapatkan tali tas tersebut dan menarik tas tersebut. Pencuri tersebut terjatuh. Karena tindakannya telah ketahuan, dia melepaskan tas tersebut dan kabur. Rin ingin mengejarnya lagi tetapi, sebuah sorot lampu menghilangkan fokusnya. Sorot lampu tersebut berasal dari sedan hitam yang melaju dengan cepat. Bukannya lampu untuk kendaraan masih merah? Mengapa dia tidak memperlambat lajunya?! Kalau begini, Rin bisa tertabrak!
"RIN!"
Ia tidak akan sempat lari untuk menghindarinya. Sial...
SIAL!
"RIN!"
BRAAAKK
Pandanganku seketika berubah gelap. Sesaat setelah kegelapan itu, aku membuka mataku. Kepalaku sangat pusing. Aku mencari Rin dan menemukannya di sebelahku sambil memeluk tas kamera yang berhasil ia rebut. Dia selamat.
"Ka... Mu... Mendapatkannya?"
Entah kenapa tenggorokkanku sangat sakit. Dadaku sesak. Aku susah bernapas.
Rin mengangguk. Wajahnya terlihat ketakutan. "Sousuke... Kenapa? Kenapa kamu mendorongku?!"
... Ternyata aku tidak lolos, ya?
Aku ingin sekali memegang tangannya yang gemetaran menggegam jaketku. Aku ingin menjawabnya "Kamu seorang atlet, jangan sampai ada cedera atau luka parah disekujur tubuhmu. Lagipula, masa depanmu, masih cerah." Tapi aku tidak bisa. Suaraku tidak mau keluar. Tanganku tidak bisa digerakan.
Aku menutup mataku. Sakit di bahu kanan ini sudah tidak bisa kutahan. Tubuhku tidak mau merespon disaat aku menyuruhnya untuk bergerak. Kesadaranku belum hilang sepenuhnya. Aku masih bisa mendengar jika orang-orang berkerumun di sekitar kami. Kudengar pembicaraan orang-orang yang merasa prihatin dengan kami. Sayangnya, aku tidak bisa mendengar dengan jelas percakapan mereka. Aku mendengar suara mobil berhenti dekat sana.
Aku merasa seseorang mengangkat tubuhku dan membawaku dengan mobilnya. Rin menjadikan pangkuannya sebagai penyanggaku. Kubuka mataku dan kulihat langit-langit mobil tersebut dan Rin. "Ri... Rin..."
Rin mendekatkan wajahnya dan menempelkan telapak tangannya pada keningku. Dia berusaha menenangkanku. Justru, aku yang harus menenangkannya. Tangannya gemetaran. Aku dapat merasakan air jatuh dari pelupuk matanya menuju pipiku. Rin terus berbisik namaku. Dia...
Dia sangat ketakutan...
"Rin... Sudahlah..."
"Sudahlah bagaimana?! Aku... Aku takut kehilanganmu... Sousuke..."
Aku tersenyum. Entah darimana aku mendapatkan kekuatan untuk tersenyum.
"... Aku tidak... Akan... Kemana-mana... Rin..." helaku.
Dadaku sesak. Sekujur badanku sakit. Pusing yang kualami ini tidak tertahankan. Apabila aku tidur, mungkin aku tidak akan merasa sakit ini. Tapi, sekarang bukanlah saat yang tepat untuk itu. Aku harus terus berbicara pada Rin dan meyakinkannya jika aku tidak apa-apa.
"... Rin... Aku..."
Pandanganku semakin kabur. Aku dapat merasa jika saat ini, Rin panik. Dia terus mengajakku berbicara untuk tetap bersamanya. Aku juga ingin tetap bersamanya. Tetapi, mataku sudah tidak kuat. Aku ingin sekali tidur.
"SOUSUKE! BERTAHANLAH! SEBENTAR LAGI KITA SAMPAI DI RUMAH SAKIT!"
"..."
"Sousuke?"
Kegelapan menelanku lagi. Tampaknya, kesadaranku keburu hilang sebelum aku mengutarakannya pada Rin. Mengutarakan apa yang selama ini kupikirkan dan kupendam.
... Kata-kata yang mungkin, akan merubah masa depan kami selamanya...
*To be Continued*
Ran: Katanya mau hiatus? Kok masih bikin fic? Yah... Maklum, stress ngurus proposal peneltian TA, laporan kerja praktek, dan cash flow kewirausahaan, larinya kesini. Hahaha... Sayangnya, fic di fandom Kuroko yang terbengkalai...
Rin: Wait a minute! Sekarang yang jadi korbanmu adalah aku dan Sousuke?
Sousuke: ... Dan, bagaimana kabar ficmu yang lain?
Ran: ... I Don't know...
Rin: Kamu lari dari kenyataan...
Sousuke: *melihat Rin dan Ran*
Rin: So... Sousuke... Kenapa? Seram sekali tatapanmu...
Sousuke: Rin... Ran... Ran Rin... Adiknya Makoto itu Ran dan Ren , di depanku ini Rin, kacamata dari Iwatobi itu Rei... Ran-Rin-Ren-Rei... Keluarga 'R'. Kalian adik kakak ya?! Ran, kamu itu adiknya Makoto ya?!
Rin: I will kick you!
Ran: Kalau aku adiknya Makoto, umur Makoto berapa, oi!?
Sudahlah, jangan hiraukan ia. Saya sudah lama gak nulis omake (?) alias curahan seorang author ini, jadi... Apabila curahannya teralu banyak, maaf.
Lalu, terima kasih telah membaca fic ini. Seperti tagnya, Crossover Kuroko no Basket, jadi akan saya crossoverkan di chapter selanjutnya. Yep, kalian bisa tahu siapa yang akan datang di chapter selanjutnya dan mempunyai peranan cukup penting bagi fic ini. Ok, Ja' mata!
