Banyak yang bilang kalau anak kembar itu menggemaskan, seru, asik, dan sebagainya. Kita sebagai pengamat pasti mempunyai pendapat seperti itu. Namun bagaimana pendapat dari anak kembar itu sendiri? Bagi beberapa pasangan kembar—khususnya kembar identik—mungkin memiliki pendapat yang sama seperti kita. Bagaimana dengan kembar non-identik, berbeda gender pula?

Dalam cerita ini, Yuuma dan Yukiko akan memaparkan pendapat mereka soal kembar non-identik berbeda gender seperti mereka. Putra-putri bermarga Isogai itu akan memberitahu kalian bagaimana senang, sedih, suka, duka, canda, tawa, kesal, marah mereka menjadi sepasang anak kembar non-identik berbeda gender.

Apakah setelah ini, kalian akan beranggapan bahwa anak kembar itu menggemaskan, seru, asik, dan sebagainya?

.

.

.

Assassination Classroom © Matsui Yuusei

TWIN! © shichigatsudesu

Chapter 1 : Keseharian di rumah

[OOC, typo(s), (maybe) humor, slash-straight campur, bahasa tidak baku, OC inside, dan kekurangan lainnya.]

.

.

.

"Yuuma, kurangin volumenya, dong! Aku lagi main game, gak kedengaran nih..."

"Siapa suruh main game pas aku lagi nonton TV?"

"Suka-suka, dong. Yang main game kan aku."

"Kalau gitu aku nonton TV juga suka-suka, dong?"

Yaa, begitulah keseharian Yuuma dan Yukiko ketika berada di rumah. Setiap saat, pasti bertengkar. Kalau yang belum terbiasa, mungkin setelah mendengar dialog di atas, dijamin keesokan harinya akan divonis mengidap sakit migrain. Karena itu, asisten rumah tangga yang bekerja di rumah keluarga Isogai itu hanya mampu bertahan selama seminggu. Lewat dari itu mereka akan angkat tangan serta angkat kaki dari gedung bak istana itu.

Sekarang sih masih mending. Pertengkaran Yuuma dan Yukiko remaja tidak seperti pertengkaran Yuuma dan Yukiko kecil yang selalu saja berlangsung heboh setiap hari hanya karena masalah kecil. Bukan lagi permen, alat warna atau selimut yang menjadi pemicu perang mereka. Rumusan masalah penyebab keduanya bertengkar kini sedikit lebih dewasa.

Cinta, sekolah, cita-cita, dan kamar.

Kamar?

Ya, kamar. Jadi mereka itu tidur di satu kamar. Mereka sudah melakukan itu sejak masih SD. Meski sekarang sudah pisah kasur, tetap saja tidur bersama itu menyebalkan. Kamar mereka memang luas, sangat luas malah, namun mereka tidak dapat melakukan aktivitas dengan leluasa.

Misalnya, yaa, seperti sekarang ini.

"Ahh, gak mau tau. Pokoknya aku mau main game!"

"Aku juga mau nonton TV. Jangan ganggu aku."

Yukiko mempause video gamenya. Selanjutnya ia beranjak dari tempat duduknya, berjalan mendekati saudara kembarnya.

KLIK!

"Yukiko, jangan dimatiin!"

"Bodo. Aku mau main game."

Yukiko berbalik menuju tempat duduknya semula. Melihat itu, Yuuma merasa jengkel. Bukan hanya TV-nya yang tiba-tiba mati, tetapi Yukiko yang seenak jidat membawa remotenya pergi.

"KEMBALIKAN!"

Tiba-tiba saja Yuuma menyerang Yukiko. Tangannya berusaha merebut remote dari tangan Yukiko, namun gadis itu berhasil menjauhkan benda berwarna hitam itu. Alhasil terjadilah aksi saling menarik, saling mencubit dan saling menjambak dalam rangka rebutan remote TV.

CEKLEK!

"Sedang apa kalia—astaga,"

Suara seorang wanita menginterupsi Yuuma dan Yukiko. Mendengar itu, keduanya langsung mematung. Remote yang semula menjadi pemicu pertengkaran mereka tidak lagi diusik. Manik madu mereka memandang wanita setengah baya di hadapannya sebelum lantai seputih susu menjadi pusat perhatiannya.

"Jawab pertanyaan ibu. Kalian bertengkar ya?"

Baik Yuuma maupun Yukiko, tak ada satu pun yang mengeluarkan suara. Keduanya bungkam, sampai akhirnya Nyonya Isogai menghela napas.

"Yuuma, keluar."

"Kok aku bu?"

"Kemarin Yukiko yang keluar, sekarang giliran kamu." Jawab sang ibu. "Keluar sekarang."

"Baik, bu."

Sang ibu keluar dari kamar si kembar. Yuuma pun menoleh tajam ke arah Yukiko. Ia buang muka, lalu menyeret kakinya keluar dari kamar.

.

.

.

Yuuma menyusuri jalan di tepi sungai sambil sesekali menendang batu kecil di hadapannya. Ia kesal bukan main. Kalau saja Yukiko tidak tiba-tiba menyambar remote lalu mematikan TV, pasti ia bisa menonton Drama Korea kesukaannya sampai selesai.

Saat asik memandang indahnya pemandangan sekitar sungai, atensi si surai hitam tertuju pada sebuah titik berwarna merah yang berada di bawahnya. Tidak, sepertinya ia tahu apa—siapa itu.

"Karma?"

Merasa namanya disebut, titik merah tadi—yang ternyata Akabane Karma, melongok Isogai Yuuma yang berada di atasnya. Senyumnya mengembang, bersamaan dengan kakinya yang berhenti menjuggling bola.

.

"Heeehhh, kalian berantem lagi?" tanya Karma, kemudian menghela napas. "Gak capek apa, Yuu, tiap hari berantem?"

"Capek, sih, tapi mau gimana lagi?" keluhnya. "Kalau tadi Yukiko gak tiba-tiba matiin TV kita gak bakal berantem."

"Tapi kenapa gak ngalah aja sih? Kamu kan laki-laki,"

"Tapi aku adik, dia kakak. Harusnya kakak dong yang ngalah sama adik?"

"Yaelah beda dua menit doang!"

Kemudian Karma bangkit dari kursi yang ia duduki. Bola sepak yang sempat menganggur kembali ia mainkan. Meski kakinya dengan lihai menjunggling bola, si surai merah masih hendak meladeni sahabat sejak kecilnya itu.

"Ngomong-ngomong, besok gimana?" Karma memecah keheningan yang sempat menyelimuti mereka.

Yuuma malah menaikkan alis. "Gimana apanya?"

"Itu lho, besok kita masuk sekolah."

"Ya terus?" si surai hitam masih belum mengerti.

Karma menjuggling bola menghadap Yuuma yang segera mengambil posisi berdiri ketika pemuda Akabane itu memutarkan badan. Kemudian Karma memantulkan bola ke atas, dan langsung menendangnya sekuat tenaga. Pemuda Isogai tersebut refleks membloknya, dan langsung melakukan aktivitas yang sama seperti sang sohib.

"Kau lupa kejadian waktu SMP?" tanya Karma. "Aku tidak ingin hari pertama masuk sekolah jadi mangsa murid-murid. Aku tau aku tampan, tapi aku tidak ingin jadi terkenal."

Seketika Yuuma merasa dirinya begitu mual.

"Tidak perlu khawatir. Murid dari SMP kita yang masuk Kunugigaoka hanya sedikit, jadi kemungkinan besar kita akan mengalami hal yang sama seperti itu." Jelas Yuuma yang masih anteng menjuggling bola.

Setetes peluh meluncur dari pelipis Karma. "Baru kemungkinan, kan?"

"Selain itu,"

Karma menoleh pada Yuuma. Manik tembaganya membelalak ketika melihat aura hitam yang keluar dari tubuh si surai hitam. Bola sepak digenggamannya diremas kuat.

"Aku tidak ingin kalah terkenal dengan Yukiko kemudian menjadi kacungnya selama seminggu karena kalah taruhan."

Kelihatannya OOC memang, tapi itulah nyatanya.

Kini giliran Karma yang merasa mual.

"Itu sih salahmu, yang tiba-tiba mengajak Yukiko-chan taruhan siapa yang paling banyak mendapat surat cinta di kelas satu." Katanya.

Dalam sekejap, sepuluh anak panah imajiner menghantam dada bidang Yuuma.

"Jadi kamu lebih memilih Yukiko daripada aku?"

Karma menghela napas entah yang keberapa kali. Sudah biasa melihat watak Yuuma pasca bertengkar dengan Yukiko, begitupun dengan gadis itu. Jujur saja, itu melelahkan, apalagi saat sifat kekanakan keduanya yang muncul saat ngambek.

"Yuuma!"

Seseorang menyerukan nama si surai hitam. Lantas ia dan Karma menoleh ke arah sumber suara. Di atas, Isogai Yukiko tengah berdiri sambil berkacak pinggang.

"Ngapain kamu di sana? Ayo kita pulang."

Masih merasa kesal dengan kejadian beberapa menit lalu, Yuuma memasang wajah cemberut.

"Gak mau, ah. Aku mau main sama Karma aja."

Yukiko semakin tajam menatap Yuuma. "Bodoh. Kita kan mau les piano sama biola. Cepat, sebelum ibu marah-marah."

Manik madu Yuuma membelalak setelah menatap jam di pergelangan tangannya.

"Sial, sebentar lagi mulai." Kemudian Yuuma menoleh pada Karma. "Karma, kamu mau ikut?"

Karma mengangguk. "Aku ambil gitar dulu di rumah."

.

.

.

Pukul empat sore, waktunya si kembar Isogai mengikuti les musik. Intrumen yang mereka gunakan adalah biola dan piano, dimana keduanya merupakan alat musik yang terbilang cukup sulit untuk dipelajari.

Yuuma dan Yukiko sama-sama bisa memainkan keduanya. Namun untuk hari ini, piano dimainkan Yuuma sedangkan biola oleh Yukiko. Selama lima menit lamanya, mereka masih terlarut dalam partitur lagu klasik yang dimainkannya. Namun,

"Yuuma, kamu salah mainin nadanya." Yukiko membentak sang adik dengan stik biola yang diarahkan pada hidung sebagai penajam kalimatnya.

Kemudian Yuuma menggembungkan pipinya. "Yaa, maaf, tanganku salah pencet."

Dan Introduction and Rondo Capriccioso Op. 28 dari Saint Saens kembali melantun dengan lembut. Yuuma dan Yukiko terlarut lagi dalam memainkan alat musik masing-masing. Tidak sampai lima menit, keduanya berhenti.

"Yukiko, nadanya ketinggian." Protes Yuuma. "Harusnya di sini nadanya masih rendah."

"Biasa aja dong, gak usah sewot gitu." Yukiko tidak terima sentakan Yuuma yang naik satu oktaf itu. "Tanganku kepeleset, maaf aja."

"Makanya jangan main game terus."

Sebuah perempatan muncul di kepala hitam Yukiko.

"Sendirinya juga gak usah mikirin Drama Korea yang tadi gak abis ditonton, dong. Gak konsen kan jadinya?"

Kini perempatannya pindah ke kepala Yuuma.

"Salah siapa yang bikin aku gak sampai selesai nontonnya?"

"Kamu nyalahin aku, hah? Kamu gak ngaca kalau kamu yang salah?"

Sang guru musik, Nyonya Isogai, dan Karma hanya menghela napas melihat kedua surai hitam itu menampakkan kilatan amarah dari manik madu mereka. Kalau mereka ada di ring tinju, tinggal tunggu bel dibunyikan lalu mereka akan saling menyerang.

Sebelum hal itu terjadi, Aikawa Rika—sang guru musik—mengambil sebuah mistar panjang terbuat dari kayu yang hendak digunakan untuk menampar bokong mereka. Kemudian wanita itu mengambil ancang-ancang.

"Yuuma-kun, Yukiko-chan,"

Mendengar suara wanita yang begitu mengintimidasi, keduanya meneguk ludah.

"Mau diam atau kupukul kalian sampai memar?"

Yuuma dan Yukiko sama-sama memandang keramik yang dipijakinya, tidak berani menatap sang guru yang sudah mengeluarkan asap hitam imajiner dari tubuhnya. Merasakan hawa mencekamnya saja membuat keduanya ingin segera melarikan diri.

"Baik, sensei."

Sedetik kemudian, keduanya kembali fokus pada alat musik. Nyonya Isogai memandang sang guru dengan mimik wajah yang menyiratkan rasa lelah.

"Maaf ya, Aikawa-san, mereka memang selalu bertengkar."

Aikawa menggeleng sambil tersenyum. "Tidak apa-apa, Isogai-san. Aku sudah terbiasa dengan sikap mereka, malah terkadang aku merasa senang saat melihat mereka bertengkar."

Kemudian ibu dari anak kembar coretpembuatmasalahcoret itu tertawa canggung. "Pasti merepotkan, ya?"

Sebaliknya, sang guru tertawa lebar. "Jangan merasa bersalah begitu, dong. Mereka kan sudah kuanggap seperti anak sendiri. Ini tidak merepotkan kok."

Nyonya Isogai tahu kalau Aikawa Rika memang orang yang baik, bahkan masih bisa sabar saat kedua anaknya bermasalah seperti tadi. Namun tetap saja ia merasa sedikit tidak enak. Meski begitu, ia memilih untuk diam saja, tidak lagi mengucapkan maaf dan sebagainya.

Kemudian sang Nyonya Rumah menghembuskan napas sebelum menoleh ke arah pemuda berambut merah yang sedari tadi anteng men-steam gitarnya.

"Bagaimana denganmu, Karu-chan?"

Karma mengernyitkan dahi. "Maksud Tante?"

"Yuuma dan Yukiko sering bertengkar saat bersamamu, kan?" tanyanya. "Pasti merepotkan, ya?"

Ya, Karma mengiyakan dalam hati. Namun ia tidak mungkin mengatakannya secara gamblang, kan? Maka dari itu, Karma menghela napas lumayan panjang sebelum menjawab pertanyaan wanita setengah baya itu.

"Ahh, aku sering memukulnya dengan buku kalau mereka berdua berantem. Dan untungnya mereka langsung diam, jadi aku gak apa-apa, Tante."

Nyonya Isogai mengelus rambut merah Karma sambil tersenyum lembut.

"Besok kan masuk sekolah. Mungkin kamu bosan dengarnya, tapi Tante tetap bakal bilang," katanya "Titip Yuuma dan Yukiko ya? Jangan sampai mereka bertengkar di sekolah."

Karma mengangguk pelan, kemudian balas tersenyum. "Baik, Tante."

"Karma-kun, mau ikut main lagu Twinkle Twinkle Llittle Star?" tawar Aikawa.

Mendengar itu, Karma segera bangkit sambil menenteng gitar akustik kesayangannya, melangkah mendekati piano berwarna hitam dimana Yuuma, Yukiko dan sensei berada.

"Oke~"

.

.

.

Kini sudah memasuki jam makan malam. Keluarga Isogai sudah semuanya berkumpul di meja makan. Keempatnya menikmati santapan makan malam dengan khidmat, hanya ada suara dentingan sepasang sumpit yang saling berbenturan.

Yaa, meski cuma sebentar, sih.

Kemudian dua pasang sumpit hitam mengapit sepotong sosis dalam waktu yang bersamaan. Kedua matanya saling bertatapan. Lagi-lagi terjadi perang saling tatap saling tusuk yang entah keberapa kali.

"Aku duluan."

"Aku dulu."

"Aku lebih cepat darimu, Yuuma."

"Aku lebih cepat 0.5 detik, tau."

"Tau dari mana kalau itu 0.5 detik?"

"Ah, pokoknya aku duluan yang ambil."

"Bisa diam gak kalian berdua?"

DEG. Mereka langsung diam. Yuuma dan Yukiko segera menjauhkan sumpit mereka dari sosis berbentuk gurita itu. Nyonya Isogai menghela napas, lagi, sebelum ia kembali angkat suara.

"Kenapa kalian gak ambil lauk yang lain aja?" tanya sang ibu.

"A-Aku maunya sosis." Jawab keduanya bersamaan.

Kini Tuan dan Nyonya Isogai yang menghela napas bersamaan. Sang kepala keluarga diam tak bergeming, sepertinya sudah tahu apa yang akan dilakukan istrinya. Benar saja, Nyonya Isogai segera menjepit sosis gurita yang tinggal sebiji, membagi dua tepat di bagian tengah. Selanjutnya, sumpit itu mengapit si kepala gurita, memindahkannya pada mangkuk makan Yukiko. Sisanya jelas milik si bungsu Yuuma.

Selama beberapa sekon keduanya memandangi sosis masing-masing. Kemudian,

"AKU MAU KAKINYA!"

—mereka bertengkar lagi.

Yuuma buru-buru menghalangi mangkuk makannya dari sumpit milik Yukiko, berusaha mempertahankan bagian sosis miliknya.

"Coba aja ambil kakinya, wleee..." Yuuma memeletkan lidahnya. "Gak akan aku kasih."

"Yuuma pelit. Aku mau—"

"CUKUP!"

Gebrakan meja, serta sepasang sumpit yang tersimpan rapi, membuat Yuuma dan Yukiko langsung bungkam. Kini giliran sang ayah yang bertindak. Manik madu di balik lensa kotak itu melirik tajam sang anak. Sumpit hitam kembali diraih, menjepit bagian sosis milik si kembar dan langsung melahapnya sekaligus.

Yuuma dan Yukiko hanya menatap nanar sosis terakhir yang tidak jadi mereka makan. Matanya memandang kosong, berbeda dengan hati mereka yang sudah banjir air mata. Sebal melihat sang ayah yang mengunyah sosis tanpa dosa, keduanya memandangi mangkuk berisi dua suap nasi dengan sawi yang diletakkan oleh sang ibu tanpa sadar.

"Gak ada sosis. Makan sayur aja."

Bukan tidak suka sih, mereka hanya sedang ingin makan sosis. Terpaksa mereka melahap sawi di mangkuk mereka, disusul sesuap nasi yang tersisa di sana.

Sial. Sosis terakhirnya diambil... tangis mereka dalam hati.

.

.

.

Tak lama setelah makan malam, Yuuma dan Yukiko mengurung diri di kamar. Keduanya menyiapkan apa saja yang diperlukan untuk esok hari. Mulai dari seragam, tas, buku, alat tulis, dan perlengkapan lainnya seperti earphone, berbagai make up, majalah idol

Bohong, deh. Yang terakhir itu hanya becanda.

"Hei, Yuuma," Yukiko memecah keheningan. "Mau taruhan surat cinta lagi gak?"

"Gak-ma-u." Ucap Yuuma penuh penekanan. "Capek tau."

"Bilang aja takut kalah."

Yuuma mendecak sebal. "Sialan."

Kemudian keduanya kembali terdiam. Setelah selesai, mereka segera menempati kasur masing-masing, tentu saja setelah lampu kamar dimatikan.

"Yukiko," panggil Yuuma. Yang dipanggil hanya menyahut sekenanya. "Kalau kejadian waktu SMP keulang lagi gimana?"

"Keulang gima— ah, aku paham." Ucap Yukiko.

"Bukan sih sombong, bukan juga sok narsis, tapi aku takut kita bertiga terancam lagi."

Yukiko menoleh ke arah Yuuma di sudut kamar. Sekilas ia mengangguk. "Benar sih,"

"Aku gak mau kena 'teror' lagi. Aku juga gak mau ngerepotin Karma. Pokoknya aku gak mau punya masalah di SMA."

Yukiko memandang Yuuma lama. Manik madunya ikutan sendu. Dasar saudara kembar, gadis itu merasakan hal yang sama seperti pemuda itu. Takut, khawatir, gelisah.

"Kejadian kelas dua itu, benar-benar bikin aku agak... trauma, gitu." Ucap Yukiko. "Gara-gara kita, Karma-kun kena skors. Selama ini, Karma-kun selalu ngelindungin kita. Dan pas dia kena skors itu, aku ngerasa benar-benar takut dan, yaa, begitulah."

"Makanya aku gak mau punya masalah lagi."

Yuuma dan Yukiko terdiam. Matanya sama-sama memandang langit kamarnya yang bermotif lucu. Kepala mereka berpikir, sesekali melakukan flashback, bagaimana caranya agar masa lalu yang cukup kelam itu tidak terjadi untuk yang kedua kali.

"Udahan ah," Yukiko mengakhiri kegiatan melamunnya. "Daripada mikirin yang aneh-aneh, mending sekarang kita tidur. Kita gak mungkin telat masuk di hari pertama, kan?"

"Benar juga, sih." Yuuma ikut menyudahi kegiatannya. "Lagian kita kan sekarang sekolah di Kunugigaoka. Mungkin orang-orang aneh kayak di SMP itu gak akan ada."

"Semoga, deh."

Yukiko menarik selimutnya, begitu juga dengan Yuuma. Keduanya sama-sama memejamkan mata. Secuil senyum manis mengembang di wajah mereka.

"Oyasuminasai..."

Malam yang indah pun berlangsung dengan damai, sampai akhirnya matahari muncul menggantikan bulan. Pagi yang begitu cerah, dari hari pertama di tahun ajaran baru pun dimulai.

.

.

.

TBC

A/N : Haii minnaaaa... Kembali lagi sama saya bawa fic multi-chapter dengan gajenya. Entah kenapa saya lagi kepengen baca fic genre family, dan tiba-tiba saya kepikiran headcanon twin!IsoKanza lalu jadilah fic ini. Ini untuk asupan pribadi (ya, saya maso :p) jadi maaf kalau tidak sesuai keinginan kalian.

Untuk keberlangsungan(?) fic ini, karena konsep awal mau dibuat kumpulan oneshot, jadi gak bisa janji kapan updatenya dan kapan tamatnya *lah?

Trus buat warningnya yang slash-straight dan kawan-kawan mungkin belum keliatan sekarang, tapi di chapter-chapter selanjutnya bakal ada jadi warningnya sekalian XD

Pokoknya, terima kasih sudah membaca. Sampai ketemu di chapter depan :D