Tidak mau, Baekhyun menepis asumsi dia adalah anak lelaki yang cengeng. Baru beberapa menit yang lalu lutut kanannya menghantam aspal hanya karna ia oleng sejenak. Ia baru mendapat sepeda baru pagi ini, dan ia berusaha menaikinya. Berakhir dengan sebuah tangisan karna ia jatuh dan terluka hingga darah nampak membercak meski tak banyak.
"Hyung, jangan menangis." Jemarinya tak lebih besar dari milik Baekhyun, namun bocah yang tepaut beberapa bulan dibawahnya itu melarikan jari-jemarinya mengusap airmata yang turun beruntun menghiasi pipi Chubby Baekhyun.
"Sakit, Daehyun~." Baekhyun merengek disela tangisnya. Kedua tangannya ia gunakan memegangi tepian lukanya, berharap rasa sakit dan perih karna malpighinya terkikis itu hilang.
"Iya, tapi Baekhyun-hyung jangan menangis." Naluriah, Daehyun bahkan hendak turut menangis seperti Baekhyun saat rasa kasihan meluap tak terbendung. Anak kecil memang begitu 'kan? Begitu polos. "Tau tidak? Baekhyun-hyung seperti Pinokio." Dia hanya mencoba menghibur agar Baekhyun berhenti menangis, namun ia malah mendapat reaksi yang amat tak terduga.
"Aku tidak berbohong, Daehyun. Ini benar-benar sakit! Dan lihat, kalau aku Pinokio dan aku berbohong, hidungku pasti memanjang." Dia benar, tapi Baekhyun mengucapkan kalimat panjang itu dengan setengah berteriak, masih diselingi isakan yang kian nyaring. Daehyun kalang kabut.
"Ma-maksud Daehyun, Baekhyun-hyung seperti Pinokio, tapi sedikit berbeda. Memang sih, kalau Pinokio berbohong, hidungnya panjang. Tapi kalau Hyung, kalau Baekhyun-hyung sedih dan menangis, pasti hidungnya merah." Begitu rupanya, Baekhyun mulai meraba hidungnya dengan tangis yang mereda.
"Tidak ada peri biru. Hidungku akan merah terus." Baekhyun memberengut dengan bibir mengerucut, membayangkan ia akan mempunyai hidung merah selamanya. Daehyun terkikik.
"Bagaimana kalau Daehyun saja yang menjadi peri biru, hyung?"
"Peri biru itu memakai gaun cantik, Dae. Kau tidak bisa." Namun Daehyun besikeras bahwa ia akan menjadi peri biru Baekhyun, dan akhirnya pun ia pasrah.
Mega tengah bersemburat, hari nyaris berakhir dan tangis Baekhyun telah usai. Jarak rumah mereka masi agak jauh dan Baekhyun bilang lututnya masih terlalu sakit jika harus berjalan sampai rumah. Jadi Daekhyun menyuruh Baekhyun duduk di boncengan belakang dengan Daehyun yang menuntun sepeda itu sampai rumah. Sederhana, Daehyun belum berani dan tidak senekat Baekhyun untuk menaiki sepeda mini di usia sedini itu.
"Dae, Dae. Lelah tidak?" Suara cempreng Baekhyun menguar, Daehyun menepis titik-titik peluh yang berbuah di dahinya. Ia menoleh kebelakang.
"Capek, hyung. Tapi sebentar lagi sampai kok." Sepeda mini itu beroda dua dengan dua roda tambahan di bagian belakangnya. Sangat berat sebenarnya, namun Daehyun lebih merasa berat jika melihat Baekhyun berjalan tertatih sendirian. Ia mengasihi Baekhyun.
"Dae, Dae, aku baru ingat. Mau mendengarkan aku bernyanyi tidak? Aku punya lagu baru." Daehyun mengangguk sekenanya, kakinya terasa pegal dan berat.
Sinar oranye bergumul di atmosfer semakin kental. Sore itu, adalah hari yang tak akan dilupakan oleh Daehyun. Hari dimana setiap inchi langkahnya di iringi suara manis Baekhyun. Biarkan ini mengendap dalam otaknya dan menjadi sesuatu yang memorable jika suatu saat mereka berpisah. Tapi toh, Daehyun berjanji akan selalu ada disamping Baekhyun.
"...Red Canary dont go away, Red Canary you must stay~~.."
"Jadi, aku burung kenari merah?"
-Fin-
