"… bahkan setelah membunuh rasa takutku … bahkan setelah menentang larangan ibuku … bahkan setelah mengikutsertakan teman-temanku dalam jalan pintas menuju kematian … bahkan setelah kurelakan hatiku berulang kali retak karena kau abaikan … bahkan setelah itu semua, aku masih belum tahu, kapten, aku masih belum tahu seberapa jauh tempat matahari terbenam …"
.
.
Teruntuk Alta Sky, selamat ulang tahun, imouto! :)
.
Good Morning
by
sakhi
.
Rivaille*Eren
.
Shingeki no Kyojin © Hajime Isayama
.
Cover Art © candycatzz
.
Warning: missed typo(s), OOC (maybe), shounen-ai
.
Selamat membaca!
.
.
"Yah, dia memang anak yang bodoh. Dia tidak akan pernah peduli lawannya tiga atau lima, besar atau kecil, dia selalu saja masuk ke dalam sebuah perkelahian. Dia juga selalu berakhir dengan keadaan babak belur hingga Mikasa atau kami menghentikannya. Tetapi, apa kalian tahu? Di saat aku tidak pernah melihatnya menang, di saat yang sama aku juga tidak pernah melihatnya menyerah."
.
Mikasa Ackerman, gadis bersyal merah darah itu melipat tangannya di atas meja bundar berbahan kayu ek, yang juga ia yakini menjadi bahan dasar sebagian besar perabotan rumah lainnya di dalam kastil tua yang mereka jadikan markas besar untuk ekspedisi kali ini. Sepasang manik berwarna gelap itu terus mengawasi gerakan objek hidup di depannya. Entah kehadirannya disadari atau tidak, yang jelas objek tersebut tetap melanjutkan kegiatannya—dengan semangat yang tak dapat dijelaskan. Berkedip sekali, ia sempat berpikir jika ia adalah titan, salah satu spesies homo sapiens di depannya ini pasti sudah termakan.
"Eren."
Ia mengisi udara dengan panggilan lembut yang seharusnya tidak menimbulkan efek kejut. Namun, yang terjadi malah sebaliknya.
Eren Yeager, laki-laki bersurai cokelat yang sejauh Mikasa mengenalnya tak pernah satu kali pun mengucapkan kata menyerah, berbalik dengan panik. Mungkin karena terlalu panik, ia menodongkan sendok yang tadinya ia gunakan untuk mengaduk cairan berwarna cokelat gelap dalam wadah gelas berwarna putih gading pada Mikasa, seolah gadis itu adalah penyusup. Jika ada penilaian khusus untuk gerak refleks seseorang, mungkin ia akan mendapat nilai sempurna.
Demi Tuhan, Mikasa telah duduk di sana selama lebih kurang sepuluh menit, dan Eren benar-benar tidak menyadari kehadirannya.
Tubuh anak laki-laki bersurai cokelat yang sempat menegang karena kaget itu mulai melemas perlahan, rileks, sebelum akhirnya ia mengembuskan napas lega. "Kupikir penyusup."
"Tidak ada penyusup yang mau repot-repot keluar dinding dengan resiko termakan oleh titan, Eren."
Mengabaikan omongan Mikasa, ia kembali ke kegiatannya semula; mengaduk hingga menimbulkan suara berisik logam beradu dengan kaca.
"Eren."
Suara lembut yang sama kembali memenuhi udara, namun tanpa respon kaget yang berlebihan kali ini. Meskipun begitu, Mikasa tetap melanjutkan. Ia tahu Eren akan mendengarkan.
"Eren, apa kau membuat kopi untuk dia lagi?"
Tidak ada jawaban. Yang berhasil ditangkap indra rungu Mikasa hanya suara konstan sendok berbahan logam yang beradu dengan gelas kaca. Lantas ia kembali melafalkan nama yang sama, dengan intonasi agak meninggi kali ini, tanda ia menuntut respon.
"Eren?"
Kurang lebih butuh waktu lima detik untuk Eren menjawab pertanyaan dari Mikasa yang ia pikir seharusnya tidak perlu ditanyakan sebab jawabannya sudah sangat jelas.
"Jika 'dia' yang kau maksud adalah Kapten Rivaille, maka jawabannya adalah iya."
Setidaknya jawaban Eren kali ini lebih panjang dari yang kemarin.
"Eren, tidak bisakah kau berhenti saja?"
"Apa yang kau bicarakan, Mikasa?"
"Ibu kita menyuruhku sebisa mungkin menghindarimu dari masalah, Eren. Dia itu masalah. Dia selalu mencaci kopi buatanmu."
"Kapten melakukan itu karena kopi buatanku belum tepat di lidahnya. Aku hanya perlu membuatnya lagi setiap pagi, sampai kapten menyukainya."
"Itu tidak ada gunanya, Eren."
"Tentu saja— Ah, kapten!"
Mikasa melihatnya, dan terus mempertanyakannya; mengapa sepasang manik zamrud itu selalu berbinar penuh antusias ketika melihat sosok yang jika ia berbicara sedikit saja selalu membuat Mikasa ingin sekali menebas lehernya?
Levi Ackerman, atau sebut saja Kapten Rivaille, menarik kursi yang juga terbuat dari kayu ek beberapa senti ke belakang sebelum akhirnya mendudukkan diri dengan agak kasar di sana. Mikasa terus memandanginya dengan pandangan tidak suka yang sama sekali tidak perlu dijelaskan dengan kata-kata. Ia tahu, dan ia tidak peduli selagi anak itu berguna dalam pemulihan martabat umat manusia.
Eren sekali lagi dengan semangat yang tak dapat Mikasa jelaskan, membawa segelas kopi beralaskan piring kaca yang juga sewarna gading ke hadapan Kapten Rivaille. Asapnya masih mengepul, bergulung-gulung ke atas, lalu berfusi dengan udara, menegaskan bahwa Eren baru saja membuatnya.
"Selamat pagi, kapten."
Pemandangan yang bagi Mikasa sama saja seperti kemarin dan juga kemarinnya lagi. Bahkan ia berani bertaruh lima bungkus roti gandum untuk tebakan apa yang selanjutnya akan terjadi.
Kapten Rivaille tak menjawab, seperti yang sering ia lakukan, dan juga seperti tebakan Mikasa, ia—dengan ekspresi yang masih sama dengan saat Eren dan Mikasa pertama kali bergabung dengan pasukan pengintai—mulai menyesap kopi buatan Eren.
Mikasa hapal betul dengan apa yang akan terjadi selanjutnya, maka ia memilih untuk meninggalkan ruangan itu dengan alasan klasik bahwa ia harus membangunkan teman-temannya yang lain karena matahari sudah memanjat naik lebih tinggi. Padahal alasan sesungguhnya, ia telah muak dengan kegiatan rutin kapten mengabaikan Eren dan mencaci kerja kerasnya. Sementara bagi Eren, dicaci atau dipuji, itu bukan masalah besar. Prajurit terhebat yang pernah dimiliki manusia itu mau meminum kopi buatannya saja sudah merupakan penghargaan baginya.
Mikasa masih bisa menangkap suara sesuatu yang bergesekan dengan ubin, yang ia yakini sebagai suara kursi berbahan kayu ek itu yang ditarik ke belakang, lalu sesuatu berderak, yang ia yakini sebagai efek dari kursi tua yang tak begitu sanggup menahan berat badan Eren yang pasti mendudukkan dirinya di sana. Apa yang terjadi selanjutnya juga masih bisa ditangkap pendengarannya yang masih dapat diandalkan dalam radius kurang dari sepuluh meter—
"Apa kau tidur dengan nyenyak, kapten?"
"Berisik, bocah."
"Apa yang akan kita lakukan hari ini, kapten? Apa kita akan membersihkan kastil tua ini? Aku suka bersih-bersih! Kau bisa mengandalkanku untuk itu!"
"Omong kosong. Kau bahkan tidak becus membuat kopi. Ini terlalu manis."
"Be-benarkah begitu? Padahal aku sudah mengurangi takaran gulanya."
"Ini juga terlalu panas. Kau membenci setiap ucapanku dan sekarang kau ingin membakar lidahku?"
"Aku tidak pernah mengatakan aku membencimu."
"Begitu."
"Ah! Bagaimana dengan kakimu, kapten? Apa sudah lebih baik?"
"Bukan urusanmu."
—yang membuatnya secara impulsif kembali teringat ucapan almarhum Hannes.
"Bodoh."
.
.
Sepasang manik safir milik Armin Arlert masih mengawasi langkah kaki jenjang Mikasa. Ia tahu, bahkan hanya dari cara Mikasa membuka pintu ruangan itu dan meminta izin padanya untuk masuk, apalagi sekarang dipertegas dengan caranya melangkah, jelas sekali bahwa ia datang untuk marah. Armin yakin ia tidak melakukan kesalahan apapun, maka jelas bukan ia penyebab marahnya Mikasa.
"Armin, apa aku mengganggumu? Apa yang sedang kau lakukan?"
Kepala kuning pirang itu menggeleng. "Tentu saja tidak. Aku hanya sedang mengkaji ulang strategi yang tadi malam kujelaskan pada kapten. Kapten bilang komandan ingin melihat strategi yang kubuat. Berhubung komandan belum tiba di markas, aku akan mengkaji ulang strategi ini dan memperbaiki kelemahannya."
Dia lagi. Ada apa, sih, dengan pria dewasa berpostur pendek dan berambut belah tengah itu? Mengapa saudara laki-laki dan teman baiknya selalu penuh antusias dengan apa saja yang berhubungan dengannya? Padahal ucapannya kasar, kelakuannya menyebalkan, dan ekspresinya juga menyebalkan.
Mengembuskan napas berat, ia mendudukkan dirinya dengan kasar pada bangku tua yang berjarak kira-kira lima langkah dari Armin.
Dinding-dinding pada ruangan itu sepenuhnya berbahan kayu, berwarna cokelat gelap dan menimbulkan kesan ruangan gelap yang menyerap cahaya apa saja yang menerobos masuk. Hanya ada satu bola lampu dengan cahaya kuning yang tak begitu terang di langit-langit tepat di tengah ruangan. Satu-satunya cahaya paling berjasa yang membantu Armin menulis strategi dalam lembaran-lembaran kertas kusam adalah cahaya matahari yang saat ini sudah memanjat naik lebih tinggi dan menyusup ke ruangan itu melalui ventilasi-ventilasi yang dibuat tinggi.
Melirik Mikasa dengan ekor matanya, Armin benar-benar yakin permasalahan kali ini adalah Kapten Rivaille yang selalu menjengkelkan atau Eren yang tidak pernah mau mendengarkan perkataannya, atau—dengan sangat menyesal—kemungkinan besar adalah kombinasi keduanya. Lantas ia menandai halaman tempat terakhir ia menulis dengan pena bertinta, lalu menutup buku tua yang tadi ditemukannya di antara laci-laci berdebu dengan hiasan jaring-jaring laba-laba kecil.
"Apa ada yang ingin kau ceritakan padaku, Mikasa?" tanya Armin memulai percakapan.
Gadis Ackerman itu kembali mengulur napas berat sebelum akhirnya menjawab, "Aku ingin menebas leher si Pendek itu."
Tidak, tidak. Sekesal-kesalnya Mikasa pada kapten, tentu ia tidak akan benar-benar menebas lehernya. Yang ia ucapkan tadi hanya semacam keinginan—ya, keinginan terselubungnya. Sebab umat manusia akan semakin dekat dengan kepunahan jika ia benar-benar menebas leher seorang prajurit terkuat. Armin mengetahui itu, ia juga sudah sering mendengar Mikasa mengatakan hal itu, sudah seperti hobi.
"Apa yang membuatmu ingin melakukan itu?"
Mikasa menatap Armin, dan Armin balas menatap Mikasa. Kesunyian total mulai melingkupi mereka, dan tiba-tiba saja Mikasa teringat Eren yang selalu mengucapkan selamat pagi kepada kapten mereka, sementara ia tak pernah mengucapkan dua kata itu pada Mikasa atau Armin. Padahal jelas sekali siapa yang lebih dulu mengenal siapa di sini. Kebiasaan Eren setiap pagi itu rupanya begitu menarik perhatian Mikasa dan membuat lidahnya gatal untuk bertanya pada Armin. Mungkin Armin mempunyai jawaban yang ilmiah, atau sekedar estimasinya saja. Apa pun itu, jawaban Armin selalu bisa diterima pikiran warasnya.
"Armin, apa Eren pernah mengucapkan selamat pagi padamu?" tanya Mikasa akhirnya.
Dahi anak laki-laki bersurai kuning itu berkerut bingung, namun akhirnya menjawab juga. "Kupikir … tidak. Maksudku, semenjak kita bergabung dengan pasukan pengintai, kupikir tidak pernah. Aku tidak ingat. Sepertinya memang tidak pernah, Mikasa."
Mikasa mengangguk-anggukan kepalanya. Ia masih mencoba merangkai kata-kata untuk bertanya pada Armin mengenai kebiasaan Eren, kegiatan rutinnya.
"Padaku … sepertinya juga tidak pernah. Lalu, Armin, mengapa Eren selalu mengucapkan selamat pagi pada kapten?"
Armin terdiam. Kali ini ia juga merasakan kebingungan yang Mikasa rasakan. Ia menggarisbawahi kata 'selalu' dari ucapan gadis itu di dalam pikirannya. Selalu, itu artinya setiap hari, setiap pagi Eren Yeager, teman baiknya, mengucapkan selamat pagi pada Kapten Rivaille. Selalu.
"Dan Eren juga selalu membuatkan kopi untuknya, padahal ia selalu mencaci kopi buatan Eren. Aku meminta Eren berhenti. Tetapi ia membantahku," tambah Mikasa.
Oh, jelas sekarang mengapa Mikasa sering terlihat kesal belakangan.
Dahi Armin Arlert masih berkerut-kerut. Ia mencoba mencari jawaban yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan Mikasa dalam pikirannya. Sekilas muncul jawaban mungkin itu karena Eren menghormati kapten. Namun, setelah ia pikir ulang, ia dan Mikasa (walaupun Mikasa tidak mengakuinya) juga menghormati kapten sebagai pimpinan mereka tetapi tak satu pun dari mereka selalu mengucapkan dua kata itu padanya, setiap pagi malah. Mungkin Armin pernah beberapa kali mengucapkannya, saat secara kebetulan ia berpapasan dengan kapten di pagi hari. Dan untuk kasus Eren, ia pikir tak ada unsur kebetulan di sana. Eren sengaja selalu membuatkan kopi untuk kapten setiap pagi, lalu mengucapkan selamat pagi padanya saat ia datang ke dapur lebih pada untuk mencaci kopi buatan Eren daripada menikmatinya. Jadi, apa maksud ucapan selamat pagi di sini? Mengapa Eren selalu melakukannya? Mengapa hanya kepada kapten?
.
.
Pagi itu hanyalah pagi yang mengulang, seperti kemarin, juga kemarin dan kemarinnya lagi. Barangkali yang berbeda hanya takaran semangat bocah kelebihan energi itu, Eren Yeager. Tidak, takarannya tidak berkurang, malah berlipat. Ia memang dilahirkan untuk berdenyut-denyut penuh tenaga. Usul punya usul, penyebabnya adalah pujian yang hanya terdengar seperti pujian di telinganya yang seringkali memerah jika si empunya berbohong.
Manik hijau itu berbinar senang, kemudian berujar dengan semangat berlebihan. "Mikasa, Armin, hari ini aku juga akan membuatkan kopi untuk kalian. Kopi seperti apa yang kalian suka?"
"Eren?"
Mikasa jelas saja tidak percaya dengan apa yang baru saja menyapa indra rungunya. Tidak biasanya bocah ini dengan sukarela menawarkan untuk membuatkan kopi. Apa ia sehat-sehat saja?
Bocah itu berbalik, mulai menyiapkan dua gelas sewarna gading, dan bubuk kopi—dua setengah sendok untuk Armin, tiga sendok untuk Mikasa. Lalu meninggalkan benda-benda itu sebentar untuk secangkir air panas yang masih terjerang di atas kompor darurat.
"Eren, hati-hati. Itu panas." Armin bangkit dari kursinya, berniat membantu Eren kalau saja anak laki-laki itu tidak mencegahnya.
"Tidak, Armin. Kau duduk di situ saja. Aku bisa menyelesaikan ini sendiri. Kau tenang saja," ujarnya disusul tawa kecil. Eren terlihat bahagia, itu sama sekali tidak bisa disembunyikan, dan terlihat seperti ini bukan Eren sekali. Oh, sebegitu besarkah pengaruh kapten mereka itu pada bocah yang masih dalam masa puber ini?
"Ah, ya. Sedikit gula untuk Mikasa. Dan untuk Armin, sedikit lebih banyak. Ternyata aku masih mengingat takaran untuk saudara perempuan dan teman baikku." Ia tertawa lagi.
Selanjutnya hanya ada hening yang berfusi dengan dentingan gelas kaca yang bersentuhan dengan sendok berbahan logam. Meskipun tengah memunggungi mereka, Mikasa tahu Eren masih menyimpan senyum di sana. Lagi, Mikasa dibuat heran oleh tingkahnya.
"Eren—"
"Kapten mengatakan ternyata ada baiknya aku tidak mengetahui di mana penyimpanan gula. Itu artinya takaran gula untuk kopi kemarin benar-benar tepat. Kapten menyukainya. Bukankah begitu, Mikasa? Armin?"
Hah. Apalagi sekarang?
Mikasa Ackerman, untuk kesekian kalinya ia merasa pikirannya berputar dan meraba-raba; tidak bisakah nama Levi Ackerman menghilang saja dari kepala saudara laki-lakinya ini?
Ia muak, sungguh ia muak dengan antusias berlebih Eren berkenaan dengan kapten mereka itu. Jelas sekali itu bukan pujian. Lalu mengapa setiap saraf yang masih berfungsi pada tubuhnya mengartikan itu sebagai pujian? Atau saraf-saraf sialan itu sudah tak berfungsi? Mati rasa, eh?
"Eren—"
"Kupikir kapten juga mulai menyukai kopi buatanmu, Eren."
"Armin!"
"Itu mungkin saja, Mikasa."
Gadis Ackerman bersyal merah itu mendengus pelan, kemudian bangkit dari duduknya sebelum berujar, "Sepertinya aku ada urusan lain."
Bocah blonde itu kelihatan panik. Mungkin ucapannya barusan terkesan membela persepsi Eren yang salah, padahal ia sendiri mengerti mengapa Mikasa semakin sering uring-uringan. Jika kapten mereka itu tidak mengabaikan Eren, mungkin Mikasa tidak akan seperti ini.
"Aku pergi." Mikasa mulai berjalan meninggalkan dapur. Ia merasa tidak perlu terlibat omong kosong seperti ini lebih jauh lagi. Sementara Armin ikut bangkit dan menyempatkan diri berujar pada Eren, "Eren, terimakasih banyak untuk kopinya. Aku dan Mikasa akan kembali sebentar lagi." Kemudian ia sedikit tersenyum sebelum akhirnya menghilang di balik pintu dapur yang terbuka.
Eren Yeager memperhatikan saudara perempuan dan teman baiknya yang bayangannya masih tertangkap selaput jala miliknya. "Mikasa … selalu saja seperti itu. Aku tidak mengerti," gumamnya pelan pada diri sendiri.
Lima detik kurang lebih, wajah bingung itu mulai mengalami transformasi ekspresi. Ia kembali antusias melihat sosok tak tinggi yang sepertinya bangun agak terlambat pagi ini. "Oh? Kapten?"
Dua orang di sana jelas menghentikan langkah mereka karena berpapasan dengan pimpinan, itu semua masih dalam jangkauan penglihatan Eren. Bahkan Mikasa yang ia yakini hanya menatap sinis kapten sebentar lalu kembali berjalan juga masih dalam jangkauan penglihatannya. Armin yang menyapa kapten mereka dengan ucapan selamat pagi yang terkesan takut-takut juga masih dalam jangkauan pendengarannya. Kemudian anak laki-laki blonde itu kembali berlari menyusul Mikasa, hingga pada akhirnya yang tersisa di sana hanya Eren dan laki-laki dewasa berambut belah tengah itu.
Mereka terpisah oleh jarak sepuluh meter kurang lebih. Rivaille belum benar-benar memasuki dapur, ia masih berdiri di sana, di lorong menuju dapur. Ia tak bergerak semili pun bahkan setelah dua pengikutnya tadi menghilang di balik dinding-dinding bercat putih yang mengelupas.
"Kapten?"
Bocah bersurai cokelat itu kembali bergumam, memang lebih kepada dirinya sendiri, namun Rivaille dapat mendengarnya, tentu saja karena mereka tidak tengah berada di pemukiman penduduk yang ramai. Tak ada lagi wajah antusias di sana sedetik setelah sinar matahari pagi yang menyusup melalui jendela-jendela kecil dapur menyoroti wajah minim ekspresi itu ketika ia mulai melangkahkan kakinya menuju kursi tua yang melingkari meja bundar, kemudian mendudukkan dirinya di sana, di kursi yang masih sama dengan kemarin dan kemarinnya.
Eren merasa suasana ini terlalu canggung. Ia sadar kaptennya memang hampir tidak pernah menanggapi omongannya dengan ucapan yang jauh dari kata sarkastik. Hal itu sudah semacam kebiasaan yang terus berulang, maka seharusnya ada hal lain yang menjadi penyebab kecanggungan ini.
Lantas ia mulai bersuara, memecah sunyi dengan kebiasaan yang ia sendiri tak tahu kapan ia memulainya—
"Selamat pagi, kapten."
—dan Rivaille, ia juga tak tahu sudah berapa banyak ucapan selamat pagi dari bocah ini yang ia abaikan.
Mereka hanya saling berpandangan, lama. Eren juga tak tahu ia mendapat kekuatan dari mana sampai ia sanggup menatap manik yang tak pernah jauh-jauh dari kesan sinis itu. Satu yang ia yakini, sepasang manik itu menjelaskan hal lain … hal lain yang kadang tak sejalan dengan pikiran warasnya.
Terlalu lama. Eren memutuskan untuk berbalik, mengambil gelas sewarna gading, berniat membuatkan kopi untuk Rivaille yang memang sudah seperti aktivitas rutinnya setiap pagi, sebelum baritone bernada dingin itu menginterupsinya untuk berhenti.
"Aku sedang tidak butuh sesuatu yang lebih buruk dari terjaga sepanjang malam. Kemari, bocah. Ada yang harus kukatakan padamu."
Eren mengurungkan niatnya, kemudian berbalik dan menemukan bahwa sepasang mata sinis itu berbicara lebih lantang dari mulutnya. Sepertinya sesuatu yang benar-benar penting.
"Kemari." Rivaille menggerakkan tangannya memanggil Eren. "Aku tak punya banyak waktu. Jangan membuang-buang waktuku."
Ah, ya. Waktu berharga milik kapten hanya akan sia-sia jika harus dihabiskan bersamaku.
Eren hanya perlu berjalan beberapa langkah, lalu menarik kursi tua yang berhadapan dengan kaptennya beberapa senti ke belakang, kemudian ia mendudukkan dirinya di sana, menunggu perintah apa yang akan diberikan pimpinannya pada ekspedisi kali ini.
Hening kembali menguasai selama beberapa kali degup jantung, di saat yang sama Eren mulai memahami situasi: pasti hal buruk tengah terjadi dan menjadi penyebab kehitaman pada kantung mata kaptennya semakin kentara.
"Aku hanya akan mengatakan satu kali, dan kau harus memahaminya."
Eren mengangguk paham.
"Aku yakin kau masih mengingat apa tujuan utama kita ke luar dinding. Demi umat manusia, demi ingatanmu yang hilang, kita harus berhasil merebut Shiganshina. Untuk itu … kau harus tahu apa yang seharusnya kau lakukan dan apa yang seharusnya tidak perlu kau lakukan."
Eren Yeager diam selama beberapa detik, sebelum akhirnya mengangguk. "Siap, kapten!"
"Kalau begitu," Rivaille bangkit dari duduknya. "Ekspedisi akan dimulai besok."
Eren mengangguk lagi, dan hanya menatap punggung laki-laki yang mulai beranjak dari hadapannya, menjauh.
Jadi, akan dimulai besok, ya?
Mengapa aku merasa … gelisah?
Mungkin ia terlalu sibuk dengan dunia di dalam kepalanya sehingga tidak menyadari sesungguhnya laki-laki yang tadi berbicara dengannya menghentikan langkahnya kira-kira dua puluh senti dari pintu dapur, tanpa berbalik. Eren tentu tidak akan menyadarinya jika saja bariton itu tidak membangunkannya dari lamunan setengah sadarnya.
"… setidaknya kau harus bertahan sampai akhir. Jangan menjauh dari jangkauanku, atau kau hanya akan mengacaukan semuanya. Aku percaya padamu, dan umat manusia membutuhkanmu. Apa kau paham, Eren?"
"Siap, kapten!"
Hanya itu, kemudian ia benar-benar berlalu meninggalkan Eren sendiri.
Mengulur napas berat, bocah bermanik sewarna zamrud itu menyembunyikan wajahnya pada tangkupan tangannya. "Kapten …"
.
.
Malam sebelum ekspedisi, Eren Yeager masih terjaga hingga pukul dua dini hari—atau pukul dua lebih, entah, ia tak tahu tepatnya. Ia memasuki kamar tidurnya pada pukul dua belas. Jika ia tak salah ini adalah dentang ke delapan jam besar pada ruang tengah yang berdentang setiap lima belas menit sekali. Dan ia masih terjaga, padahal ia tahu tubuhnya sudah sangat lelah dan butuh istirahat.
Eren berguling-guling gelisah, mencoba tidur tetapi tak mampu. Armin, Jean, dan Connie sudah terlelap sedari—
"Oi …"
—oh, sepertinya ada yang masih terjaga.
Saat ini mereka masing-masing berbaring pada ranjang berukuran kecil yang memang diciptakan untuk menampung satu orang (kecuali jika ada yang memaksakan diri untuk tidur berdua). Terdapat empat ranjang di sana dengan seprai berwarna putih-kekuningan karena termakan usia. Masing-masing ranjang berjarak kurang lebih setengah meter, dan mereka—Eren dan pemilik sumber suara tadi—berada pada ujung satu dan satunya lagi dengan dua ranjang temannya berada di tengah-tengah.
"Muka Kuda?" Eren duduk tegak di atas kasur, langsung memusatkan seluruh atensinya pada anak laki-laki seumurannya yang kini juga tengah mendudukkan diri di atas kasur. Sepertinya ia terganggu oleh kegelisahan Eren yang rupanya menimbulkan sedikit keributan.
Mengabaikan panggilan berupa ejekan tersebut, Jean Kirstein berujar agak pelan agar tidur dua temannya tidak terganggu. "Kau berisik, brengsek. Jika kau ingin berguling-guling gelisah silahkan di luar sana. Kau mengganggu tidurku."
Eren baru sadar bahwa apa yang ia lakukan mengganggu istirahat temannya, jadi ia membalas ucapan bernada sarkastik itu dengan ucapan yang tak kalah sarkastiknya. "Kau saja sana tidur di luar dengan saudara-saudaramu di dalam kandang dengan jerami basah."
"Apa maksud ucapanmu, bodoh?! Kau mau berkelahi denganku, hah?"
"Kemari— kemari kalau kau berani! Kau pikir aku takut denganmu, Kuda Jelek."
"Eren bodoh, sialan kau—"
"Nggh …"
Ups.
Armin Arlert mengucek matanya beberapa kali, menoleh ke kiri dan ke kanan sebelum akhirnya mendudukkan diri di atas ranjang. Ia kembali mengucek matanya, menguap sekali, lalu berujar dengan suara serak khas seseorang yang baru saja terjaga. "Kalian tidak tidur?"
Bukannya menjawab, dua orang itu malah mengucapkan maaf kompak, lalu kembali saling tatap, dan caci-maki ronde kedua pun dimulai. Sepertinya Connie benar-benar kelelahan karena tidak ada tanda-tanda ia terganggu.
Armin tidak tahu harus mengatakan apa lagi untuk menghentkan dua orang itu setelah kata cukup, sudah, berhenti, kumohon,dan diam tidak membuahkan hasil. Namun, berkat kejeniusannya, Armin menemukan jalan. Ia menuruni ranjangnya, dan ketika salah satu di antara mereka bertanya, ia menjawab dengan santai, "Aku akan ke kamar kapten, melaporkan apa yang kalian lakukan."
Selanjutnya hening, keadaan sudah terkendali, dan bocah blonde itu pun memutuskan kembali ke ranjangnya setelah berujar, "Tidak jadi."
Sementara Armin berniat kembali tidur, suara seperti langkah kaki terdengar dari lorong, perasaannya mengatakan siapa pun orang itu tengah menuju ke arah mereka. Ia mencoba menajamkan telinganya, menoleh ke kiri—pada Jean—dan ke kanan—pada Eren—lalu bertanya, "Apa hanya aku yang mendengar langkah— itu?"
Suaranya mengecil di bagian akhir sebab langkah asing itu benar-benar berhenti tepat di depan pintu kamar mereka, namun tak ada suara kenop diputar dan derak berisik pintu tua yang menyusul. Tiga orang yang tidak sedang bermimpi itu saling bertukar pandang dengan tatapan berkilau-kilau penasaran siapa orang itu dan apa yang ingin dilakukannya. Apa itu Mikasa? Atau Sasha? Atau mungkin Krista? Atau Hanji yang baru tiba di markas? Atau—
"Kapten?" Eren bergumam pelan, namun masih bisa ditangkap indera rungu dua rekannya.
Kemudian ia bergerak menuruni ranjang, berniat membuka pintu untuk memeriksa. Namun Armin melarangnya karena langkah kaki itu sudah terdengar menjauh. Lebih dari itu, ekspedisi akan dimulai besok. Tidur dan beristirahat terdengar lebih bijak ketimbang berlari keluar untuk melihat. Eren setuju dan kembali membaringkan dirinya, menarik selimut sebatas diafragma.
Melirik ke kanan, ia menemukan dua temannya sudah kembali tertidur. Hanya berdasar refleks, ia mendengus pelan, lalu mencoba memejamkan mata. "Selamat malam, Armin, Jean."
.
.
Pagi itu ketika matahari mengendap-endap bersembunyi di balik mendung, Armin tengah mengobrol dengan Mikasa, sementara teman-temannya yang lain mencari makanan dan kayu bakar di hutan, dan Eren masih dengan kegiatan rutinnya. Kebetulan sekali mereka berdua yang diminta Kapten Rivaille membersihkan dan mengasah pedang-pedang yang akan digunakan untuk ekspedisi kali ini, dan satu revolver miliknya, entah untuk apa. Jadi, Armin menggunakan kesempatan itu untuk menjawab pertanyaan Mikasa satu hari yang lalu, yang sudah ia pikirkan dengan referensi buku-buku yang pernah ia baca, yang masih membekas di kepalanya, juga membandingkan jawabannya dengan pemikiran-pemikiran paling logika.
"Mikasa," Armin memulai ketika ia telah selesai membersihkan revolver milik kapten dan mulai memasukkan beberapa butir peluru pada kelongsong yang kosong. "Mengenai pertanyaanmu, aku sudah memikirkan jawaban paling rasional, dan membandingkannya dengan gelagat Eren sejauh yang kuperhatikan."
Gadis Ackerman itu menghentikan kegiatannya, menatap intens teman dekatnya. "Kumohon jelaskan."
"Ucapan selamat pagi yang selalu Eren ucapkan untuk kapten … aku pernah menemukan sesuatu yang mirip dengan itu pada buku yang kutemukan di meja kakekku. Kalimat dalam buku itu menyatakan bahwa kau tidak bisa menyembunyikan keinginan untuk segera menyapa seseorang yang kau cintai ketika baru saja kembali ke dunia. Jika kukaitkan dengan Eren, ia memikirkan kapten ketika terbangun dari tidurnya, dan secara naluriah ingin menyapanya. Mengenai kebiasannya membuat kopi untuk kapten, kupikir itu hanya semacam sesuatu yang ia lakukan untuk menarik perhatian kapten—jelas sekali saat ia kegirangan mendengar ucapan kapten yang menurutnya adalah pujian. Kupikir hanya itu. Aku tidak bisa menemukan jawaban lain yang lebih masuk akal dari ini, mengingat Eren begitu mengidolakan kapten," jelasnya sembari menutup kelongsong peluru yang telah diisinya penuh.
Mikasa mendengus pelan, lalu melanjutkan kegiatannya yang sempat terhenti karena ia harus memusatkan atensi untuk memahami penjelasan Armin. "Begitu. Sudah kuduga. Dan si Pendek itu, harga dirinya terlalu tinggi untuk membalas perbuatan baik Eren padanya. Menyebalkan."
Bocah blonde tidak membalas ucapan Mikasa walaupun diam-diam ia menyetujui bahwa harga diri kapten mereka memang terlalu tinggi, ia lebih memilih mengalihkan pembicaraan ke topik lain yang sekiranya berguna untuk ekspedisi mereka.
"Menurutmu revolver ini untuk apa? Bukankah lawan kita masih raksasa yang titik matinya berada di tengkuk dan hanya bisa dijangkau dengan pedang tajam dan bantuan maneuver 3D?"
Mikasa menggeleng. "Aku tidak tahu, yang jelas dia akan ditangkap polisi militer jika ketahuan membawa pistol ilegal."
.
.
Eren Yeager sudah mendudukkan diri di salah satu kursi kayu yang mengelilingi meja bundar berbahan ek ketika Kapten Rivaille tiba dengan ekspresi sedingin bongkahan marmer.
Ia mendudukkan dirinya dengan kasar pada kursi beradius paling dekat dengan bocah pemilik manik zamrud itu, dengan posisi kaki satu menimpah kaki satunya lagi, dan tangannya ia silangkan di depan dada. Rautnya tak terlihat segar seperti seharusnya hukum alam seseorang yang baru terbangun dari tidurnya— tunggu, atau mungkin memang ia tak tidur? Jika diperhatikan lagi, kantung matanya sedikit lebih bengkak dari terakhir kali Eren melihatnya, dan agak kehitaman.
"Ah, kapten! Selamat pagi, kapten!" sapa bocah itu dengan nada bersemangat yang kali ini kedengaran dibuat-buat.
"Kupikir bagian sapa-menyapa bisa kita lewati. Ekspedisi akan dimulai sedikit lebih siang. Kita akan menunggu kedatangan tim Hanji dan Erwin yang akan datang terlambat. Dari informasi terakhir yang kuterima, ada beberapa masalah di dalam dinding yang harus dibereskan terlebih dahulu sehingga mengacaukan jadwal keberangkatan mereka. Sedikit menyebalkan mengingat timku tiba lebih dulu dan harus memaklumi kecerobohan mereka."
Ekspedisi, ya?
Melihat raut anak buahnya langsung berubah, lidahnya gatal ingin bertanya. "Ada apa dengan wajahmu?"
"T-tidak ada apa-apa, kapten. Hanya penasaran ada masalah apa di dalam dinding. Apa strategi titan kolosal kembali terulang?"
Sepasang manik kelabu itu menatapnya tajam, kemudian menggerakkan tangan kanannya untuk meraih gelas sewarna gading beralaskan piring berwarna sama, yang ia yakini berisi kopi yang memang dibuat untuknya. "Apa kau berharap kejadian itu rutin terulang setiap lima tahun sekali?"
"T-t-tidak! Tentu saja tidak! Bukan itu maksudku—"
"Lalu?"
Bocah itu menelan bulat-bulat pertanyaan yang sempat ia lontarkan. Ia tak bisa memberikan alasan rasional mengapa ia menanyakan hal itu selain memang ia ingin tahu, yang pada akhirnya kembali memicu decihan dari kaptennya.
"Aku kaptennya di sini, yang perlu kau lakukan hanya mengikuti perintahku. Bunuh saja rasa penasaranmu itu atau aku yang akan membunuhnya untukmu, atau lebih baik kau saja yang kubunuh untuk kujadikan daging giling."
Eren menegapkan badannya pada posisi duduk, meletakkan kepalan tangan kanannya pada dada kiri. Ia paham ucapan kaptennya tadi hanya sekedar sindirian. "Siap, kapten!"
"Bagus. Dan untuk mengingatkanmu, sampai saat ini kau masih di bawah pengawasanku. Aku sudah membentuk tim yang akan mengawalmu untuk ekspedisi kali ini. Dengan berat hati kukatakan kau harus mencoba mempercayai rekan-rekanmu."
"Apa akan baik-baik saja kalau aku tidak menggunakan kekuatan titanku?"
"Pilihan ada di tanganmu, Eren. Yang bisa kupastikan hanyalah rekan-rekanmu akan bersedia mengorbankan nyawa untuk melindungimu, begitu juga aku. Sekali lagi kukatakan, umat manusia membutuhkanmu. Kita harus segera sampai ke Shiganshina dan mengembalikan ingatanmu. Jangan melakukan hal bodoh dan mengacaukan formasi."
"Siap, kapten!"
Kemudian hening. Masing-masing mereka sibuk dengan spekulasi-spekulasi liar yang berkejar-kejaran di dalam kepala mereka mengenai ekspedisi yang akan segera mereka jalani. Mereka tak bisa melupakan kenyataan bahwa hampir tiga puluh persen pasukan yang mengikuti misi ke luar dinding tidak kembali dengan selamat, dan ketika pintu gerbang dibuka, itu artinya mereka telah menghantarkan nyawa mereka pada kematian. Pulang dengan selamat seakan bersinonim dengan kehidupan kedua, kesempatan yang kembali Tuhan berikan untuk memerangi raksasa pemakan manusia.
"Tetapi, kapten," Eren memulai pembicaraan setelah keheningan sekian lama menguasai mereka. "Aku tidak mengerti. Selalu cara itu … bahkan jika aku percaya pada kekuatan yang kumiliki, bahkan jika aku percaya dengan pilihan teman-temanku sepenuh hati … tidak ada yang pernah tahu akan bagaimana akhirnya. Apa kita akan kembali ke dalam dinding dengan selamat?" Kemudian ia terkekeh kaku, menggelengkan kepalanya kuat-kuat sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Ah, apa yang sudah kubicarakan? Lupakan— lupakan saja ucapanku barusan, kapten. Dan sekarang aku ingin menanyakan sesuatu padamu, apa kau mendengar langkah kaki seseorang dini hari tadi? Ya, langkah kaki seseorang. Aku, Armin, dan Jean mendengarnya. Langkah kaki itu berhenti di depan pintu kamar yang kami tempati. Tetapi—"
Sepasang manik hitam itu menatapnya tajam, membuat ia berpikir sebaiknya ocehannya tidak usah dilanjutkan. Sepertinya akan buruk.
"Hei, bocah tengik."
"Siap, kapten!"
Rivaille melipat tangannya di atas meja bundar, masih menatap intens bocah bermanik zamrud itu. "Kau berisik. Bagaimana kalau kubuat kau tidak bisa buka mulut lagi?"
Paham makna setiap kata-kata kasar yang meluncur bebas dari mulut kaptennya serupa saat mereka menggunakan manuver 3D, Eren sadar bahwa kaptennya itu tidak menyukai ocehannya, dan ia harus meminta maaf atas kelancangan mulut berisiknya yang kadang di luar kendali sistem otak sadarnya. "M-maaf—"
"Kemari," ujar kapten muda itu sembari menggerakkan tangannya menyuruh si bocah mendekat. Dan ketika Eren benar-benar mendekat, ia menarik bagian leher kaus berwarna krem itu, memajukan sedikit kepalanya dan melumat bibir yang sedikit terbuka akibat si pemilik ingin bertanya apa yang akan dikatakan kaptennya sehingga menyuruhnya mendekat. Namun suara yang ingin dikeluarkannya kalah cepat dengan niat kaptennya untuk membungkam mulut berisiknya—membungkam dalam artian sesungguhnya.
Eren terlalu kaget untuk bereaksi menolak. Sepasang pupil zamrud itu melebar, dan ia yakin masih memiliki cukup kesadaran dan kewarasan untuk melihat mata kaptennya yang tetap terbuka dan memandangnya tajam seperti akan mengintrogasinya.
Rasanya … lembut, hangat, dan basah. Aku bisa merasakan kopi buatanku … pahit. Tetapi … apa yang sedang kapten lakukan di dalam … mulutku? Dan, lebih dari itu, lututku lemas ….
"Bocah sialan."
"Eh?"
Mengapa malah aku yang kau maki?
Eren tak tahu lagi harus berekspresi seperti apa ketika kaptennya menyudahi invasi ilegalnya, lebih-lebih setelah mendengar makian rutin itu dari seseorang yang telah mengabaikannya cukup lama dan sekarang malah hampir memakan bibirnya. Ia kembali terduduk pada kursi karena lututnya benar-benar melemas, sementara kaptennya mulai bangkit dan berniat meninggalkannya.
"Kita akan membersihkan markas ini sebelum meninggalkannya, selagi tim Hanji maupun Erwin belum tiba."
Eren benar-benar tidak bisa buka mulut lagi, dan hanya menatap punggung laki-laki dewasa berperawakan pendek itu menjauh, hingga menghilang di balik lorong yang mengarah ke kanan.
To be continued
.
.
.
A/N:
H-halo 'w' /siapakamu/
I-ini fik pertama saya di fandom SnK dengan pairing yang sungguh sasuga eaeaea(?). Dan fanfik ini saya persembahkan untuk imouto (Alta Sky) yang beberapa bulan lalu ulang tahun. Iya, beberapa bulan lalu. Kadonya asli super duper telat. Tolong jangan gampar aku 'w' selamat ulang tahun , ya! /telatbego/ dan semangat untuk ujiannya minggu depan, Alta!
Um, kembali ke fik. Karena saya masih hijau(?) di fandom ini, jadi mohon asupan— maksudnya bimbingannya! Kritik saja apa yang mau dikritik. Saya menerima kritikan, kok. Selagi itu bersifat membangun. Dan seperti informasi di summary, ini akan menjadi two shots. Berarti chapter depan udah end. Muehehehe.
Last. Mind to review, reader-sama?
