Complicated
Desclimer : Kuroko no Basuke - Tadatoshi Fujimaki
Happy Reading
Akashi Seijuuro.
Pertama kali Akira bertatap muka dengan pemuda bersurai merah itu ketika hujan. Hujan deras sekali. Memerangkapnya yang dengan ceroboh lupa membawa payung di halte bus dekat sekolahnya.
Pemuda itu tengah berlari menembus derasnya hujan, ke arahnya. Oh, ke arah halte maksudnya. Sekujur tubuh Akashi basah dan rambut crimsonnya lepek membingkai wajah pucatnya. Bibirnya bergetar dan rahangnya bergemeletuk kedinginan.
Akira memandangi pemuda yang diketahuinya sebagai seorang Akashi Seijuuro. Kaya. Cerdas. Tampan. Keren. Sempurna mungkin adalah kata yang tepat untuk menggambarkan pemuda bermahkota crimson itu. Atau setidaknya, itulah yang ada di pikiran gadis-gadis di sekolahnya.
"Sial!" runtuk pemuda itu dan Akira terkejut karenanya.
Akashi mendudukkan dirinya secara kasar tak jauh dari Akira. Tangannya sibuk mengaduk tasnya mencari sesuatu.
Ponsel.
Itu benda yang dicarinya.
Akira menilik dari ekor matanya. Sedikit penasaran tentang pemuda yang menjadi buah bibir gadis-gadis di sekolahnya.
Pemuda itu mengacak-acak rambutnya yang basah. Berusaha mengeringkannya. Ia menyisir rambut basahnya ke belakang. Mungkin jika saat itu mereka sedang berada di area sekolah, pekikan-pekikan nyaring akan terdengar dari bibir gadis di sekitar mereka.
Akira menggeleng membayangkannya.
Akashi masih sibuk dengan ponselnya sambil mengutuk kesal. Pandangannya seperti singa yang siap menerkam siapapun yang membangunkan tidur siangnya. Sangat kesal dan marah. Lontaran kata-kata tak bermartabat meluncur bebas dari bibirnya.
Sedang bertengkar dengan kekasihnya kah? Pikir Akira asal.
JEDEEEEER!
Kilasan cahaya perak dan bunyi guntur menggema di angkasa. Jantung Akira hampir copot karenanya, sehingga ia memekik tertahan. Tangannya mencengkram erat bagian depan blazer seragamnya seakan itu akan menenagkan jantungnya yang menggila.
Ketika ia menoleh, kedua matanya menangkap kedua bola mata Akashi Seijuuro yang menatapnya terkejut-walau tidak begitu terlihat. Seakan baru menyadari kehadirannya, Akashi berkata:
"Sudah berapa lama kau disana?"
"Doumo," sapa Akira sopan. "Aku sudah disini sebelum kau datang,"
Saat menatap wajah porselen Akashi Seijuuro, Akira menyadari sesuatu. Bibir pemuda yang ditatapnya itu pucat tidak berwarna. Nyaris biru. Tubuhnya menggigil kedinginan.
Angin berhembus kencang, menerpa mereka di bawah halte terbuka itu. Akashi memeluk tubuhnya dan memejamkan matanya melawan dingin.
Rasa iba menyekat nafas Akira saat itu juga. Ia kedinginan tentu saja, namun bukan apa-apa dibandingkan Akashi yang sekujur tubuhnya basah.
Kemudian ia teringat coklat panas yang ia bawa sebagai bekal tadi pagi.
Mungkin masih hangat, pikirnya.
Segera saja dikeluarkannya termos dari ransel dan menggosok sisi-sisi termos itu dengan tangannya, berusaha menyalurkan kehangatan sebisanya dari kedua telapak tangannya.
Akira menempelkan termos hangat itu ke pipi Akashi. Mungkin lancang mengingat siapa Akashi Seijuuro itu, namun siapa peduli di saat-saat seperti ini? Akashi melirik gadis di sampingnya. Tatapannya dingin. Melebihi dinginnya udara saat itu.
"Minumlah, masih hangat," tawar Akira. Seulas senyum terukir di wajahnya.
Akashi menepis tangan Akira. "Kau pikir ak-"
"Kau terlihat membutuhkannya," potong Akira cepat.
Akira menjejalkan termos itu dalam genggaman Akashi. Segera saja ia membuang pandangan ke arah lain, sementara ekor matanya melihat Akashi yang hati-hati membuka termosnya.
"Aman 'kan?" bisik Akashi lebih pada dirinya sendiri. Akan tetapi telinga Akira menangkapnya.
Akira hampir saja tertawa mendengar ungkapan polos dari seorang Akashi Seijuuro.
Perlahan, Si Surai Crimson menyesap minuman hangat itu. Membiarkan kehangatannya menjalar pada setiap ruas tubuhnya yang menggigil kedinginan. Ia menghela nafas lega.
"Lebih baik?" tanya Akira sambil tersenyum senang.
Akashi Seijuuro tidak menolehkan kepalanya, bahkan melirik saja tidak. Namun kedua sudut bibir pemuda itu sedikit terangkat ke atas. Kembali menikmati coklat hangat yang menghangatkan tubuhnya serta hatinya. Akashi mengangguk sedikit.
Kali kedua Akira bertemu dengan Akashi Seijuuro, sekitar dua minggu setelah kejadian di halte. Hari itu matahari bersinar dengan riangnya. Menyapa murid-murid Teiko Gakuen yang sedang bercengkerama di taman sekolah menikmati waktu istirahat mereka.
Akira ada disana. Di pinggir taman, terpisah dari keramaian. Gadis cantik itu sedang menikmati sebuah buku dan roti bekalnya di salah satu bangku coklat panjang. Buku itu sudah dibacanya berkali-kali,namun ia tidak pernah bosan dibuatnya. Akira terlanjur jatuh hati pada cerita yang disajikan oleh penulisnya. Terlebih lagi pada sang pemuda tokoh utama.
Sayup-sayup keributan di tengah taman menjadi keindahan tersendiri menemani bunga-bunga sakura yang mulai berguguran disana-sini. Sepoi angin menerbangkan helai rambut Akira lembut. Ketika itu, seorang pemuda berambut crimson dengan seragam basketnya menghempaskan diri di bangku yang sama tak jauh dari Akira.
Ya, itu Akashi Seijuuro. Pemuda itu menyandarkan punggungnya di sandaran. Merentangkan kedua tangannya. Matanya terpejam merasakan nikmatnya sepoi angin yang membelai helaian rambutnya dengan syahdu. Sedikit memanjakan tubuh yang dibanjiri dengan peluh dan didera lelah itu.
Sesuatu yang dingin menempel di pipinya. Menganggu kesyahduan yang sedang ia nikmati. Akashi Seijuuro terlonjak. Menatap sinis ke arah datangnya dingin itu.
"Kau membutuhkannya," Akira meyerahkan sebotol minuman isotonik dingin ke tangan pemuda itu.
"Kau kira aku tidak dapat membelinya sendiri?" cela Akashi.
Akira mengangguk, "Kurasa. Kakimu gemetar dan wajahmu pucat. Jangan memaksakan dirimu terlalu keras, Akashi-kun,"
"Kau tau namaku?" tanya Akashi sedikit tercekat karena tenggorokannya kering. Namun langsung menyesal tepat setelah kata itu lolos dari bibirnya, karena lawan bicaranya menatapnya dengan tatapan yang bagi Akashi tak termaafkan.
Akira tertawa. "Minumlah dulu, kau terlalu suka memaksa,"
Akashi membuka botol minumnya dan menegaknya. Tak lama, botol itu hanya terisi seperempatnya. Benar, Akashi Seijuuro memang membutuhkannya.
"Bagaimana basket?" tanya Akira hati-hati.
"Baik," jawab Akashi singkat.
"Hmm.." gumam Akira sambil mengangguk. "Apa kakimu juga baik?" Akira bangkit dari duduknya dan berlutut di hadapan Akashi. Akira membuka sepatu kiri Akashi dan membuka kaus kakinya.
"Apa yang ka-"
"Kau mau latihan dengan kaki seperti ini?" Akira mencibir dan menatap Akashi dengan tatapan sejuta arti.
Kaki Akashi bengakak dan mulai memucat. Sepertinya cedera yang tidak langsung ditangani. Akira menghela nafas. Diraihnya tas sekolahnya dan mengeluarkan kotak berukuran 30x20 cm. First aid box. Akashi tidak habis pikir, mengapa ada orang yang mau membawa kotak seperti itu kemana-mana?
"Sudah lama ya? Kemarin 'kah?" tuduh Akira.
Akasi mengangguk singkat.
"Mengapa kau tidak langsung ke ruang kesehatan?"
"Dan meninggalkan latihan? Bagaimana dengan anggota timku?" lanjut Akashi tak sabar. "Lagipula kau pikir kau sia-"
Akira mengoleskan salep painfree pada bengkak Akashi dan memijatnya sedikit, membuat Akashi meringis dan memotong ucapannya. Dibalutnya pergelangan kaki yang cedera itu dengan perban putih sedikit kencang agar tidak banyak bergerak dan memperburuk cederanya.
"Jaga anklemu jangan sampai bergerak setidaknya sampai besok. Mintalah izin untuk tidak mengikuti latihan sementara. Jika kau memaksa, jangan salahkan aku jika kau tidak dapat berada di court saat WinterCup nanti," ucap Akira panjang lebar.
Akashi tak dapat berkata apapun. Lidahnya kelu.
Akira mengambil ponselnya dan mengetik sesuatu lalu melemparnya kembali ke dalam tasnya. Dipakaikannya kebali kaus kaki dan sepatu Akashi seperti semula.
"Sudah," seru Akira senang. "Lebih baik 'kan?"
Akashi tidak menjawab. Namun bibirnya membentuk kurva yang sangat tipis. Seakan ingin mengucapkan terimakasih yang tidak dapat dilakukan lidahnya.
TIIIING! TIIIIING!
Dentingan panjang itu mengakhiri jam istirahat. Akira mengemas kembali barang-barangnya kedalam tasnya. Lalu berdiri dan menyandang tas selempangnya di bahu.
"Aku duluan, Akashi-kun," Akira membungkuk sopan dan berbalik pergi menuju kelasnya.
Akashi mengangkat kepalanya dan menatap punggung yang berjalan semakin jauh darinya itu.
-...-
Akira memilih untuk masuk kedalam gedung melalui pintu belakang. Menghindari keramaian sekaligus berniat untuk menemui seseorang.
"Bisa kau urusi kakiku juga?"
Akira menoleh dan mendapati seseorang yang ingin ditemuinya disana. Bersandar di dinding dengan tangan terlipat di depan dada tak jauh darinya. Akira tersenyum.
"Ayo," ditariknya lengan pemuda dengan seragam basket kebanggaan Teiko itu untuk duduk di undakan tangga.
Dibukanya kedua sepatu pemuda itu beserta kaus kakinya.
"Eo? Kakimu baik-baik saja," kedua alis Akira bertaut heran.
Pemuda itu menatap Akira dalam. "Memang, hanya pegal," ucapnya singkat.
Akira menepuk betis pemuda itu sedikit keras. "Baka," lalu ia geli sendiri. "Kukira kau cedera."
"Kau pikir jika Akashi cedera maka aku juga?" tanya pemuda itu tidak terima.
"Jika kapten yang kebanyakan menghabiskan waktunya untuk mengobservasi anggota timnya saja cedera, bagaimana dengan yang di observasi?" ralat Akira tak sabar. Tangannya dengan lihai menyemprotkan aerosol pada kedua betis dan kaki pemuda itu. Diputarnya pergelangan kaki si pemuda dan terdengar derak pelan.
Tangan besar pemuda itu mengusap rambut Akira lembut. Ia tersenyum. "Pulanglah lebih awal hari ini,"
"Hmm" Akira mengangguk sambil memasangkan kembali sepatu pemuda itu. "Kau akan pulang lebih awal?"
"Ku usahakan. Bukan karena aku ingin, tapi kau pasti memasak 'kan?"
Akira tersenyum. "Baiklah, sudah. Jangan terlalu memaksakan diri saat latihan. Dan tolong, jangan biarkan Akashi-"
"Kau sekhawatir itu padanya? Kau anggap aku apa-nodayo?" pemuda itu memotong ucapannya. Ia menyeringai tipis. Diacaknya rambut lawan bicaranya.
"Gomen.."
"Ja, cepat kembali ke kelas. Kau akan terlambat, Akira."
Akira mengangguk. Ia segera berdiri dan diam sebentar. Pemuda di hadapannya mengangkat wajah. Menatap Akira tepat di matanya. Menyampaikan sejuta pesan dengan tatapan itu.
Akira sendiri tidak berusaha melepaskan diri dari pandangan yang menjeratnya. Akira membungkuk. Jemari lentiknya menggapai wajah pemuda itu, serta mendekatkan wajahnya perlahan.
Semburat merah menghiasi pipi pemuda itu. Berusaha menarik dirinya namun ia tidak bisa melakukannya. Tubuhnya membeku di tempat. Detik waktu seakan berhenti berdetak.
Akira menahan tawanya dan mencubit pipi pemuda itu. "Kau lucu, seandainya mereka melihat dirimu dari sisi ini,". Gadis itu langsung menarik dirinya dan bertolak ke kelasnya.
Meninggalkan pemuda berkacamata itu tersenyum geli pada dirinya sendiri.
