DISCLAIMER: Ojamajo Doremi © Toei Animation, 1999-2004. Ojamajo Doremi 16 (light novel) © Kodansha, 2011. Tidak ada keuntungan komersial sepeserpun yang saya dapatkan dari fic ini.

Catatan Author: Yey! Setelah memikirkan idenya matang-matang, akhirnya saya memutuskan untuk membuat fic ini, yang juga merupakan fic multichapter drama pertama saya, hehehe...

Kenapa saya mencantumkan Ojamajo Doremi 16 juga diatas? Karena fic ini juga terinspirasi dari sana, jadi ada beberapa bagian yang saya ambil dari terjemahan light novel tersebut yang saya baca (beberapa summary dan terjemahan dari chapter 1 saja). Karena yang saya baca baru sebagian kecil dari light novel tersebut, saya harap para readers bisa memaklumi kalau ada sebagian dari fic ini yang tidak sesuai dengan light novel tersebut, oke! ;)

Summary: Based from Ojamajo Doremi 16, with some ideas from me. Akhirnya Doremi menyadari bahwa selama ini Kotake mencintainya, tapi itu justru membuat hubungan diantara mereka menjadi semakin aneh. Apa yang terjadi?


Love?

.

Chapter 1 – She Knows... but They Also Know


Kotake's POV

'Dia tahu... Dia tahu tentang perasaanku padanya selama ini? Tidak mungkin... Ini...'

Aku terdiam, terpaku menatap secarik kertas yang kugenggam dengan kedua tanganku.

Entah bagaimana aku harus menanggapi apa yang tertulis dalam secarik kertas itu. Memang, seharusnya aku bahagia membacanya, karena pada akhirnya, perasaan yang selama ini kupendam terbalaskan juga.

Tapi disisi lain, aku juga merasa terkejut. Dari apa yang tertulis dalam secarik kertas itu pula, aku mengetahui bahwa selama ini, banyak yang mengetahui tentang perasaanku padanya...

'Apa yang harus kulakukan?'

.

Flashback

"Anou, Kotake, apa kau punya waktu luang sore ini?"

"Ah, ya. Aku punya waktu luang. Tidak ada yang harus kukerjakan setelah latihan sepak bola siang ini. Memangnya kenapa?"

Gadis berambut merah odango itu menjawab, "Bagaimana kalau sore ini, kita bertemu di pantai. Ada hal yang ingin kusampaikan."

"Eh?" tanyaku bingung, "Doremi, tumben sekali kau mengajakku ke pantai. Memangnya... hal apa yang ingin kausampaikan padaku? Apa hal itu tidak bisa kausampaikan sekarang saja?"

"Ah, aku tidak bisa menyampaikannya sekarang, karena... aku... hal itu..."

"Kau lupa membawanya pagi ini ya?" tebakku.

Ia hanya terkejut, lalu kemudian berkata dengan gugup, "Ah, i-iya. Aku... lupa membawanya hari ini."

Aku menghela napas, "Kelihatannya kau tidak berubah dalam hal ini ya?"

"Begitulah..." Doremi hanya tertawa gugup, "Entah kenapa, dalam hal itu, aku tidak bisa berubah banyak."

"Sou ka," kataku, "Tapi, kenapa kau harus menyampaikan hal itu di pantai?"

"Ngg... soal itu, aku..."

Jawabannya terputus oleh suara bel masuk yang menggema di setiap sudut ruangan kelas kami tempat kami berada sekarang. Doremi kemudian berkata, "Pokoknya, kau harus datang ke pantai sore ini ya? Aku tunggu."

"Kurasa yang akan terjadi justru sebaliknya. Aku yang akan menunggumu di pantai sore ini," ujarku sambil tersenyum jahil, "Aku pasti akan datang."

Doremi hanya tersenyum dan berkata, sambil berjalan menuju ke kursinya, "Sampai bertemu nanti sore."

'Hal apa yang ingin dia sampaikan?'

Aku menghela napas sekali lagi. Seketika, pikiranku menerawang jauh ke belakang, jauh ke masa lalu...

Doremi memang bukan orang yang baru kukenal. Aku sudah mengenalnya sejak kami sama-sama bersekolah di TK Sonatine. Sejak dulu, ia dikenal sebagai seseorang yang sangat perhatian terhadap semua orang, sekalipun orang itu adalah aku... orang yang seringkali meledeknya, sampai membuatnya marah padaku.

Walau sebenarnya, aku melakukan semua itu hanya untuk menarik perhatiannya saja. Yang sebenarnya terjadi adalah, aku menaruh perhatian kepadanya. Aku... mencintainya...

Selain karena sifatnya yang ramah kepada semua orang, aku juga mencintainya karena penampilannya yang apa adanya. Rambut merahnya yang digulung menyerupai dua buah bola di atas kepalanya terlihat sangat manis buatku, walau beberapa orang disekitarku menganggapnya aneh dan berpendapat bahwa gulungan rambut tersebut membuat kepala Doremi terlihat lebih besar dari ukuran kepalanya yang sebenarnya.

Aku selalu berharap bahwa suatu saat nanti ia akan mencintaiku, sama seperti aku yang mencintainya dengan sepenuh hatiku, karena itulah aku berusaha menjadi seorang lelaki yang selama ini dia inginkan.

Aku juga menyadari bahwa selama aku bersekolah di SD Misora, aku telah salah langkah untuk selalu meledeknya saat itu, karena itulah, sejak aku masuk SMP Misora setahun yang lalu, aku tidak lagi meledeknya seperti dulu.

Dan sore ini, aku akan bertemu dengannya di pantai, menerima apapun yang akan ia berikan.

Kira-kira, hal apakah itu? Hal apa yang ingin diberikannya, sampai ia terlihat gugup saat bertanya padaku?

Tunggu dulu! Kenapa ia harus gugup saat berbicara denganku? Selama ini, dia tidak pernah bersikap seperti itu padaku. Dia hanya akan bersikap seperti itu kepada...

Ah! Apa ini pertanda bahwa apa yang selama ini kuinginkan akan menjadi kenyataan? Apa itu artinya ia mencintaiku?

Semoga saja ini bukan hanya sekedar dugaanku saja, melainkan sebuah kenyataan yang benar-benar terjadi dalam kehidupanku, dan ternyata itu terbukti benar...

Sore itu Doremi memberikan surat cinta padaku, dan itulah secarik kertas yang saat ini sedang kupegang.

End of flashback

.

Aku masih termenung memikirkan apa yang harus kulakukan untuk menyikapi ini semua. Aku senang karena pada akhirnya, ia bisa membalas cintaku, tapi aku masih sangat malu untuk menunjukkan rasa cintaku padanya di depan orang lain. Selama ini, yang kuinginkan adalah... hanya aku dan dirinyalah yang mengetahui semua itu, bukan orang lain.

Aku tahu, bahwa aku seharusnya dapat menunjukkan kepada dunia bahwa aku mencintainya, tapi di umurku yang masih remaja ini, aku masih sangat malu untuk mengungkapkannya, terlebih karena sebelumnya, aku sangat sering meledeknya, sampai kami terlihat seperti terus bermusuhan. Bagaimana aku dapat mengungkapkan perasaanku kalau selama ini, aku selalu bertengkar dengannya? Semua orang yang sudah mengenal kami sejak lama pasti akan bertanya-tanya tentang hal itu, dan itulah hal yang kutakutkan sampai saat ini.

'Maafkan aku, Doremi. Kelihatannya aku tidak bisa menjawab suratmu ini dalam waktu dekat...'


Catatan Author: Yah... hanya ini yang bisa saya tulis di chapter pertama kali ini. Semoga ini cukup untuk mengawali fic ini ya?

Saya janji akan menulis lebih banyak hal di chapter selanjutnya, jadi ditunggu ya?

Jangan lupa untuk memberikan reviewnya juga ya. :)