Daddy & I

.

Screenplays! Hunhan, Kaisoo, Sulay, Chenmin, Kristao, Chanbaek

.

Semes!Hot-Daddy with Ukes!Cute-Kid

.

All about character is not mine, but story and idea belongs me

.

M

.

Akai Momo

.

Yaoi/ BL/ Be eL/ Boys Love/ Alternative Universe, Switch-age, and much baby typo

.

No Like, Don't Read!

.

Summary! ::

Ini cerita tentang pengalaman menakjubkan dari keenam bocah cantik, imut, dan menggemaskan bersama ayah mereka. Dengan sebuah janji kecil, bujuk rayu, pujian, pikiran spontan, pikiran yang diidamkan dan rasa penasaranpun akhirnya membuat hubungan antara anak dan ayah ini menjadi lebih intim, penuh cinta dan kasih sayang.

.

.

.

.

.

.

Hola!

Pedo! Fanfiction of me... Well, hampir semua umur para anak kiyut bin ucul ini antara 10-12 tahun, dan para bapak single parents bin 'hottie' itu berumur 27-30 tahun. Kebayang kan, seberapa jauh usia mereka..? :v

Terinspirasi dari berita kombek mereka yang judulnya modus mampus: 'panggil aku bapak(?)', nahahahaha. Tapi aku nggak mau, aku maunya manggil mereka 'ojii-san', 'ahjusshi', 'uncle' atau 'paman'. :v

Well, selamat menikmati dan jangan lupa upah review-nya, ya~~ :3

.

.

.

.

.

.

(1. Little Promise!)

"Daddy! Lihat, lihat aku bawa apa, coba tebak, Daddy...!?" anak kecil berjenis kelamin lelaki namun berwajah cantik layaknya perempuan itu berlari, tergopoh-gopoh setelah turun dari mobilnya, mengabaikan sang supir yang tersenyum simpul ketika rona bahagia itu tampak menyembul di kedua bongkah pipinya, untuk menuju sebuah tempat di mana sang Daddy berada.

Kaki kecilnya yang dilindungi grey boot semata kaki ia biarkan bercumbu dengan lantai, menghasilkan bunyi monoton yang menggema di rumah mewah nan klasik tempat anak itu tinggal. Mata beningnya berbinar-binar lucu, bibirnya yang seranum apel merah itu terbuka, mengeluarkan deru nafas dan tawa penuh kegembiraan.

Dan ketika sang waktu telah duduk manis selama tiga menit untuk melihat tingkah menggemaskan anak lelaki berambut madu itu, akhirnya bocah tersebut sampai di sebuah pintu kamar yang berdiri penuh keramahtamahan, tampak dari betapa sederhananya ukiran di tubuh sang pintu, dan tak banyak lama, kedua tangan mungil yang salah satunya menggenggam secarik kertas berwarna hijau mendorong pintu dengan penuh tenaga, hanya untuk menampakkan sesosok pria yang duduk santai di sofa balkon kamarnya, menatap lurus anak tersebut sambil memahat senyum tampannya.

"Hey Kid, sepertinya kau sedang bahagia, aku bisa mendengar teriakan girangmu tadi. Ada apa, hem..?"

"Daddy, coba tebak ini hari apa..?" anak lelaki itu berjalan sambil tersenyum lebar yang menyiratkan kejahilan. Matanya ia sipitkan dan sesekali melirik sisi lain. "Coba tebak, coba tebak yang benar!"

Kini anak itu duduk di pangkuan pria yang dipanggilnya ayah. Sambil mendekap kertas itu di dada, hidung lucunya mengendus wangi tubuh maskulin sang ayah, terbuai hingga ia mengerjap lucu seolah dibuai kantuk. Pria berambut merah marun itu terkekeh, dia tahu apa yang sedang dipancing bulat-bulat oleh anak tercintanya, maka dari itu dengan yakin sambil meninabobokan sang bocah, pria itu berbisik lirih hingga sang anak mendengung kegelian. "Ini hari Jum'at, hari pembagian hasil ulangan bahasa Inggrismu minggu lalu, Kid. Aku benar, iya..?"

"Hum.." lirih sang anak, benar-benar hampir ditenggelamkan oleh rasa lelap. "Kau benar, Daddy, dan kau tahu..? Aku dapat nilai paling tinggi diantara yang lain, 94 skor-nya. aku hebat, kan..?"

"Baiklah, anakku hebat, benar-benar membuatku bangga. Jadi, kau mau hadiah apa..?"

Ia menggeleng, lalu memposisikan kepalanua di ceruk leher kanan sang ayah dan di sana ia bebas menghirup dalam-dalam aroma tubuh yang membuatnya merasa tenang dan terlindungi. "Aku mau Daddy menepati janji minggu lalu, janji yang akan kau tepati jika nilai ulangan bahasa inggrisku diatas 90, Daddy ingat, kan...?"

.

.

.

.

(2. You Teasing Me, Don't You..?)

Pria berambut cepak itu berlutut, gayanya seperti seorang ksatria yang akan melindungi sang putri dari marabahaya, lengkap dengan salah satu tangan melayang di udara seolah menunggu untuk disambut ramah. "Ayolah, sayang~"

"Tidak, Daddy!" jutek, anak lelaki yang sedang duduk sambil bermain tablet-nya menggeleng jenuh, bosan mendengar Daddy-nya yang terus menerus membujuknya sedemikian rupa. Mendengus dan mengabaikan uluran tangan yang selalu berbuat banyak hal hebat dan menakjubkan untuknya; hanya untuknya. "Sekali tidak tetap tidak!"

Tapi pria yang terkenal keras kepala jika berhubungan dengan apa yang diinginkannya itu tidak putus akal. Maka sambil beranjak berdiri untuk lebih dekat, pria tampan itu mengambil salah satu kaki yang terbalutkan celana motif tentara sepanjang lutut itu untuk kemudian ia pijit-pijit kecil di telapaknya. Berharap bahwa itu mampu membujuknya. "Ayolah, sayang.. Sudah lama Daddy ingin liburan denganmu dan mumpung pekerjaan kantor Daddy sudah kelar, jadi ayo kita pergi liburan, hem..? Ok..?"

Mendengus, masih terpaku pada layar gadget, anak lelaki berpipi bulat seperti makanan basah tradisional itu tetap tak menatap pandangan melas sang ayah. "Daddy lupa kalau aku masih punya jadwal sekolah, ya..?"

"Daddy akan meminta izin pada gurumu, wali kelasmu, bahkan kepala sekolah, tukang kebun, atau penjaga sekolahmu jika kau mau." nada kesungguhan pun teralun lancar dari bibir pria tersebut. Dan dia tertawa senang tatkala menyadari sebuah senyum geli tipis dari wajah sang anak tercinta. "Aku tidak mau liburan di tempat yang ramai dan panas, kau tahu aku seperti apa kan, Daddy..?"

Mendengar persetujuan tidak langsung itu membuat pria tersebut mengendus gemas perut sang anak. Mendengung-dengungkannya untuk menghasilkan getaran hingga anaknya menjerit geli. "Daddy tahu, karena itu Daddy memutuskan untuk menyewa pulau hanya untuk liburan kita berdua."

Tersengal-sengal, tangannya mengabaikan sang tablet dan memilih memainkan helai rambut sang ayah untuk ia jambak penuh ketidakberdayaan. "Baiklah... Aku kalah dan Daddy menang. Ah ha ha ha... Sudaaahh... Aku merasa geli, Daddy.. Sudaaahh.. Ah ha ha ha ha!"

.

.

.

(3. Praise Me, Please?)

"Daddy, apa aku tidak terlihat, umm... Aneh..? Dengan pakaian ini...?"

Mata itu berkilat-kilat cantik, lalu pipinya bersemu lucu dan mulutnya terus menerus mengatakan 'woah!' dalam berbagai intonasi. Sang ayah yang tidak segera menjawabnya dan justru memandangnya dengan tatapan penuh puja yang membuatnya semakin tidak nyaman. Maka, sambil memulai untuk bersengguk-sengguk, anak berwajah cantik bak dewi yunani itu kembali memanggil sang ayah yang sibuk mencari kamera polaroid-nya. "Da-Daddy.. Daddy.. Hiks. Hiks, hiks.. Daddy, i feel so weird with this suit, i feel so uncomfortable, Daddy. Hiks.. Hiks.."

"My darling..?! Darling, kenapa kau menangis, hem..? Ya Tuhan, apa tubuhmu merasa sesak dengan pakaian ini..? Cup, cup, cup.."

Tangan besar nan hangat itu menangkup pipi sang anak yang dialiri bulir-bulir air mata. "Darling, apa kau merasa sakit atau sesak atau gatal..?" anak itu menggeleng pelan, didaratkannya lengan mungil itu di bahu sang pria yang ia panggil ayah tersebut, melingkar malu-malu di lehernya. "No, tapi kau tidak menjawab pertanyaanku tadi, itu membuatku tidak nyaman, Daddy. I'm sorry."

Senyum simpul dan kecupan dengan sedikit lumat lembut sang anak dapatkan cuma-cuma dari ayahnya yang masih tampan dan awet muda. "Kenapa kau yang meminta maaf, hem..? Harusnya Daddy, jadi maafkan Daddy ya, sudah membuatmu tidak nyaman. Baiklah, ada apa..?"

"Apa aku tidak terlihat aneh memakai pakaian ini..?"

"Tidak."

"Apa aku tidak jelek memakai pakaian ini..?"

"Tentu saja tidak, Darling~"

"Kau yakin, Daddy..?"

"Absolutely yes, Of Course and Certainly, my Darling~" pria itu menggendong sang anak tercinta, ia boyong ke sebuah sofa klasik yang terdapat hamparan manik-manik cantik dan sebuah selimut berbulu berwarna cokelat beruang yang menghiasinya, ia letakkan tubuh ramping nan ringan sang anak, dan kembali berusaha untuk membuatnya nyaman. "Kau cantik, kau manis, kau indah seperti biasanya... Semenawan dewi yunani dan bahkan malaikat. Percayalah pada Daddy, ok..?"

"Aku cantik...? Daddy tidak bohong, kan..?"

"Tentu saja tidak. Kau adalah yang tercantik yang Daddy punya, ya, itu kau, Darling. Nah, ayo kita mulai sesi berfotonya, dan setelah itu kau ke sesi berikutnya."

"Hari ini dua kali..? Kenapa..? Biasanya hanya sekali saja." wajah itu memelas panik, dan begitu sebuah kecupan penenang yang ia dapatkan di telinga kanannya, ia kembali rileks dan dengan jelas akan alasan yang diutarakan sang ayah.

"Tenang saja, untuk sesi yang kedua, kau tak akan memakai pakaian ini lagi, Darling, tidak lagi memakai pakaian yang membuatmu merasa tidak nyaman."

.

.

.

(4. Spontanism Mind!)

"Kau dengar tadi, Daddy..? Kau lihat yang dipeluk kedua tanganku ini, Daddy..?"

Kepala itu sedikit tertunduk, membiarkan pendar kilau matanya sedikit tersembunyi oleh poni helai hitam seperti jelaga. Bibirnya yang unik sedang tersenyum remeh, begitulah yang tampak di iris sang pria blasteran tersebut, berdiri beberapa langkah dari anak lelaki yang masih mengenakan seragam beladirinya, ia melipat kedua tangan di dada dengan satu alis terangkat tinggi, acuh tak acuh pada tas yang berisi peralatan beladiri sang anak di kedua sisinya, membiarkannya tidur di lantai.

"Tentu saja, Son. Di umur yang belum terlalu kolot ini, panca indera Daddy masih baik-baik saja. Itu adalah dua piala barumu dari kemenangan kompetisi beladiri hari ini dan kau memperoleh skor luar biasa diantara peserta lainnya, yang tentu saja membuatmu membawa pulang dua piala itu." senyum remeh yang sama terpahat di wajah rupawan sang pria, membuat sang anak mendengus singkat. Lantas berbalik arah menuju ranjang besar berkelambu dan pura-pura tidak mendengar tawa geli yang terjun dari bibir sang ayah. Mulutnya mencebik, lalu ia manyunkan dengan ekspresi kesal, dan sambil menghentak-hentakkan sepatunya di permadani turki, anak itu berkata dengan nada ketus, "dan kuharap Daddy tidak lupa dengan perjanjian kita!"

Piala itu ia lemparkan di ranjang, bunyi debum benda jatuh yang teredam pun terdengar lirih di kamar sepasang ayah-anak tersebut. Tapi sepasang telinga pria dewasa itu tetap mendengarnya ketika ia sedang meletakkan tas sang anak di lemari khusus. Tersenyum simpul di wajahnya yang biasa merautkan ekspresi dingin tak bersahabat. Tak ingin membuat sang anak tercinta marah, pria tinggi semampai itu membalas pernyataan sang anak tadi.

"Kau beruntung, aku tidak lupa sama sekali, bahkan ekpresi merajuk dan menantangmu itu masih aku ingat, Son."

"Uurgh.. Untuk soal itu, Daddy jangan mengingatnya! That's not my style, seriously." berkacak pinggang dan menghentakkan salah satu kakinya. "Anggap saja waktu itu bukan diriku yang sebenarnya, Daddy mengerti..?"

"Baiklah, Tuan Muda." lagi, akhirnya pria itu kembali memanggil julukan hebat untuk anaknya yang memang benar tampak bertingkah seperti tuan muda sang bangsawan, hasil didikan penuh kemanjaan yang dilakukan kedua orang tuanya ketika mereka berlibur di benua seberang. "Kau akan mendapatkan apa yang kau mau, sesuai janji kita dua minggu yang lalu. Jadi, apa yang kau inginkan...?"

"Sebenarnya aku bingung ingin apa, aku belum memikirkannya, terlalu sibuk dengan latihanku, Daddy. Bagaimana, dong..?"

"Kalau begitu, perjanjiannya batal, Son."

"Yak! Don't you dare to do it, Daddy!" jerit menggaskan teralun di ruangan, cukup mengagetkan sang pria yang sedang meneguk sekaleng soda dingin di lemari pendingin mini kamar mereka, hingga tersedak dan terbatuk-batuk. "Kau mengagetkan Daddy, Son."

"Itu salahmu! Nah, entah kenapa tiba-tiba aku menginginkan ini, jadi anggap saja itu hadiahnya, oke, Daddy..?" senyum remeh kembali tampak. Dipastikannya dengan benar jika sang ayah mengangguk menyetujui sambil kembali meneguk sekaleng soda yang telah ia habiskan setengahnya.

Telunjuk itu menunjuk ke tubuh kekar sang ayah, dan sebelah tangannya ia daratkan di pinggang sisi kiri, dan dengan kepala yang sedikit mengadah sombong, bibir unik itu mengucapkan kalimat yang membuat ayahnya kembali tersedak.

"aku ingin Daddy menuruti perintahku selayaknya majikan dan pelayan, dan perintah pertama adalah Daddy harus membuka semua bajunya hingga telanjang bulat!"

.

.

.

(5. All i want is you!)

Semua sesuai rencananya, apa yang ia rencananya memiliki hasil yang matang, terlampau matang namun tetap siap untuk dinikmati lahap-lahap.

Semula berawal dari sang ayah yang mulai melupakannya, sibuk dengan pekerjaan yang menumpuk dan hobinya yang berkumpul bersama teman sejawat du sebuah klub malam, membuatnya pulang larut dengan sesekali dalam kondisi sedikit mabuk. Tentu saja kondisinya tidak seperti di drama-drama yang ditonton beberapa pelayan rumahnya, dengan ayah pemabuk dan tidak pedulian pada keluarga hingga berujung pada kekerasan dalam rumah tangga dengan jalan cerita yang mengharu biru. Tidak, tidak, ia masih baik-baik saja, dengan sang ayah yang sesekali mengecup-ngecup pipi putih pualamnya atau kening dan bibir penuhnya, lalu setelah sang ayah memastikan ia terlelap, pria itu akan kembali ke kamar yang tepat di samping kamarnya untuk beristirahat sebelum pagi menjemput kesadarannya yang mulai menipis. Tubuhnya baik-baik saja, tanpa ada luka bekas pukul atau tampar.

Awalnya ia memaklumi, sebeb mungkin ayahnya merasa jenuh dan butuh penghibur diri, jadi ia biarkan demikian selama masih batas wajar.

Namun semuanya berubah saat sang ayah membawa wanita yang berbeda tiap malamnya, dan mereka langsung menyelonong ke kamar sang ayah tanpa memperdulikan dirinya yang berdiri di ambang pintu ruang tamu. Ia tak tahu apa yang sedang mereka lakukan, kecuali melakukan hal apapun yang membuat jeritan dan desah aneh menguar hingga menembus dinding kamarnya, suara-suara yang membuatnya takut hingga ingin menangis hebat. Dan hal itu dilakukan sang ayah terus menerus hingga seminggu penuh.

Karena itu, untuk membuat ayahnya kembali ke semula, bersama salah seorang teman lelaki sekaligus kakak kelasnya di sekolah, anak bermata indah itu menyusun rencana hebat sekaligus penuh resiko, walaupun hasil baiknya memiliki persentase mendekati seratus persen. Dan begitulah, beberapa puluh menit yang lalu ketika ia memerankan perannya bersama sang kakak kelas: berakting sedang berciuman di ambang pintu ruang tamu dan buatlah ayah cemburu juga kesal luar biasa (dan itu berhasil, seratus persen), akhirnya kini ia berhadapan dengan ayahnya yang berlutut di lantai. Tak ingin duduk di sampingnya di sofa, terpaku dengan mata melotot ngeri setelah tangan sang ayah menamparnya hingga sudut bibirnya berdarah.

Sedang ia hanya menunduk dalam-dalam, dengan kedua tangan memeluk pipi dimana tamparan sang ayah melayang membekak dan mengungu, dan ia berakting untuk menangis tanpa suara, sebab bibirnya sedang ia gigir kecil untuk meredam tawa kemenangan setelah berhasil mengusir wanita kencan ayahnya atas kejadian tadi.

"Ya Tuhan, anakku... Anakku.." anak itu mulai sadar dari lamunannya akan ekspresi sang wanita malam yang syok diusir tidak hormat oleh sang ayah, sebab sang ayah lebih memilih dirinya yang tertangkap basah (berpura-pura) berciuman dengan anak lelaki lain. "A-apa yang sudah kulakukan... Apa yang sudah kulakukan padanya, Tuhan..?! Anakku, maafkan Daddy! Daddy tidak bermaksud menamparmu, maafkan Daddy. Maafkan Daddy, anakku.. Hiks.. Hiks.. Daddy tidak bermaksud."

Anak itu terkejut dalam diamnya, tidak menyangka ayahnya akan menangis setelah menamparnya dan setelah mendengar pengakuannya tentang betapa sepi dirinya ditinggal sang ayah yang sibuk sendiri hingga memilih mengundang teman sekolahnya ke rumah. Ia tidak menyangka bahwa ayahnya masih mempunyai rasa sayang yang sebelumnya telah ia ragukan keberadaannya. Maka, agar membuat ayahnya kembali tenang dan tidak lagi mengucapkan kata maaf berulang-ulang, ia membalas pelukan sang ayah. Mengusap-usap punggung kokohnya yang terbalut kemeja biru tua.

"Sudahlah, Daddy. Itu bukan salah Daddy, jadi tidak perlu minta maaf padaku, karena seharusnya aku yang meminta maaf padamu."

"Tidak, tidak, tidak, tidak.." kepala di atas pucuk kepalanya menggeleng kuat. "Daddy berjanji untuk tidak akan membiarkanmu terluka, tapi Daddy-lah yang ternyata membuatmu terluka, anakku. Maafkan Daddy, Daddy janji tidak akan lagi melakukan hal itu padamu, tidak akan lagi membuatmu merasa kesepian, anakku, Daddy janji."

"Baiklah... Daddy aku maafkan, dan Daddy harus menepati janji. Juga, sebagai rasa penyesalan Daddy, aku ingin Daddy mengebulkan permintaanku, mau..?"

"Tentu, anakku, tentu saja. Apa yang kau mau, hem...? Akan Daddy berikan padamu."

"Aku mau Daddy. Aku hanya mau Daddy, jadi bisakah Daddy memberikan apa yang aku minta...?"

.

.

.

(6. Will curiousity kill the cat...?)

Anak itu penasaran dengan majalah yang diam-diam dibawa teman sekelasnya, dengan majalah terdeteksi oleh wali kelas dan akhirnya benda itu di sita sambil dibawa dua teman sekelasnya ke ruang konseling. Bahlan saking penasarannya, ia sampai bertanya pada teman sebangku, namun hanya jawaban gelengan yang ia dapatkan. Bertanya dengan teman yang berada di belakang dua teman pemilik majalah tadipun, ia juga mendapat ekspresi bingung tidak tahu.

Dan tidak mungkin pula ia bertanya pada sang wali kelas, takut-takut dijewer telinganya dan diomel-omel lalu digiring ke ruang konseling, anak itu tahu, bagi siapapun yang masuk ruang konseling, pasti setelah keluar dari sana ia akan berwajah pucat sambil membawa surat formal untuk kedua orang tua. Maka dari itu, ia tidak ingin mendapatkan surat horor tersebut, dan sebisa mungkin ia menahan rasa penasarannya.

Akan tetapi ketika ia pulang sekolah, saat melewati toko buku, ia melihat sebuah majalah dengan judul sama yang disita wali kelasnya: Playboy. Maka dari itu, sambil sembunyi-sembunyi dan sedikit berbohong kepada penjaga kasir, anak yang hobi menari itu berhasil membeli majalah tersebut. Ia terkikik girang dalam hati sambil memeluk ransel merahnya, tempat majalah itu bernaung sementara.

Niatnya ia akan membuka majalah itu di ruang baca keluarga, dan ia tidak akan tertangkap basah ayahnya membuka majalah yang ternyata berisi hal-hal dewasa untuk ia konsumsi, sebab sang ayah yang biasa menempatinya tiap libur kerja tak ada. Sang ayah masih sibuk berkutat di kantor dan pulang ketika menjelang makan malam, karena saat ini masih siang, anak itu pun bisa bebas menjelalatkan matanya pada isi majalah itu.

Tapi ternyata tidak demikian, sebab ayahnya datang menyelonong ke dalam ruang baca tanpa diketahuinya, dan ketika pria tampan itu mengetahui apa yang dibaca serius sang anak, alangkah terkejutlah pria itu hingga mengambil paksa majalah yang sedang dijelajahi mata polos sang anak.

"Dari mana kau mendapatkan majalah ini, Baby..?!"

Berjengitlah tubuh anak itu, dan langsung berdiri memasang wajah syok sekaligus takut melihat ekspresi marah dan mendengar nada tinggi sang ayah barusan. Maka sambil menunduk takut dan mengigil kecil, anak itu menjawab dengan lirih ketika sang ayah memanggil namanya dengan lengkap, kebiasaan jika sedang marah besar.

"Ak-ak-ak-aku membelinya, Da-Daddy."

"Kau membelinya..?! Siapa yang menyuruhmu untuk melakukannya, terlebih membacanya..?!"

"Nghh.." anak itu bergerak gelisah ketika tatapan murka sang ayah masih tampak. "Ak-ak-aku melakukannya atas inisiatifku sendiri, Daddy."

"Kau berani melakukannya, hem, Baby...? Daddy salut dan kagum padamu dengan ini." pria itu menekan kata 'salut' dan 'kagum' pada perkataannya, mengindikasikan jika maknanya tidak sesuai dengan fisik ucapannya. Itu, membuat sang anak semakin gelisah. "Maafkan aku, Daddy. I'm so sorry, really really sorry."

"Kenapa..?"

"Karena Daddy marah saat aku membaca majalah itu."

"Kau tahu majalah apa yang kau baca, hem..?"

"No," kepala bersurai coklat muda itu menggeleng pelan. "Aku tidak tahu, tapi aku merasa jijik membacanya, Daddy. Aku tidak suka melihat perempuan tanpa memakai baju dengan etika baik."

"Ho..? Lalu kenapa kau membeli dan membacanya..?"

Semula anak itu menunduk makin dalam, dan ketika sang ayah kembali menyebut nama lengkapnya, ia perlahan mendongak, menatap sorot kecewa, kesal, marah dan sedih pada wajah rupawan sang ayah. Hal itu membuatnya ikut sedih hingga meneteskan bulir-bulir air mata karena merasa ia bukan anak yang baik sampai membuat orang tuanya merautkan wajah sedemikian rupa. Maka, sambil itu ia menjawab dengan selingan isak tangis dan bergerak gelisah melindungi bokong kembarnya dari sasaran hukuman sang ayah ketika dirinya membandel.

"Ak-aku hanya penasaran, Daddy, aku ingin tahu majalah apa, soalnya ada gambar kelinci di judul majalah itu. Hiks, hiks.. Hiks.. Aku penasaran, kenapa wali kelasku marah dengan temanku karena buku itu, memang apa isinya...? Aku ingin tahu isinya, Daddy.. Hiks. Hiks.. Hiks, hiks.. Uhuuu.. Huu.. Hiks, hiks.."

Mereka berdua diam, hanya suara isak tangis sosok paling muda diantara mereka berdualah yang menghias ruangan. Hingga tak lama, sebuah pertanyaan kebiasaan mencuat dari bibir plum anak itu, "Da-Daddy, will curiousity kill the cat...?"

"... Daddy tidak tahu," pria itu menjawab sambil melempar majalah laknat untuk anak seusia putranya ke sudut ruangan dengan kasar. "Tapi kita akan mencari tahu, persis seperti sebelum-sebelumnya. Tapi mungkin kali ini kita akan mencari dengan cara berbeda, karena rasa penasaranmu kali ini adalah luar biasa nakalnya."

.

.

.

.

.

.

Ch 0 - the end

.

.

To be continued ?/ the end ?

.

.

Jadi, kalian ingin baca chapter berapa..? *smirk*

.

.

.