"Mengerti? Berpura-puralah untuk tidak mengenalku," ujar Sasuke. Tangannya meremas kuat kedua bahu ringkih Hinata, membuat gadis itu meringis kesakitan.
"T-tapi aku mengenalmu."
"Kau tidak!" Iris kelam itu menatap tajam Hinata.
Hinata mengangguk pelan. "B-baiklah," lirihnya.
Ni-dome no chansu
Author: lullabby
Naruto © Kishimoto Masashi
Rated: T
Genre: Hurt/Comfort
Warning: DLDR
AU, AT, OOC (maybe) dan sodaraannya
Awalnya Hinata mengerjap heran saat didapatinya Uchiha Sasuke sudah berdiri dengan wajah datar di depan pintu rumahnya.
Bukan apa-apa. Setelah hampir dua tahun mereka bertetangga, pemuda Uchiha itu sama sekali tak pernah menapakkan kaki di halaman rumahnya. Menolehpun tidak. Jadi wajar saja jika Hinata merasa surprise saat tetangganya itu mengetuk pintu rumahnya pagi ini.
"Siapa yang datang?" tanya suara dari dalam rumah.
"B-bukan siapa-siapa. H-hanya orang yang tanya alamat," dustanya. "A-aku sudah memberikan alamat yang benar."
"Owh, oke. Kembali dan selesaikan sarapanmu."
"B-baik!"
.
.
.
"H-Hyuuga Hinata desu. Yoroshiku onegai shimasu!" Hinata menghela napas lega saat sudah diperkenankan duduk dan giliran teman-temannya yang lain yang memperkenalkan diri di depan kelas. Kegiatan di awal tahun yang selalu membuatnya harus mengumpulkan segenap keberanian demi satu-dua menit di depan kelas. Ngomong-ngomong, ini tahun pertama Hinata sebagai siswa menengah atas.
"Hei."
Hinata menoleh pada siswa di sebelahnya. Seorang pemuda berkulit tan bersurai secerah matahari dengan senyum sejuta watt sedang mengulurkan tangan padanya.
"Namaku Naruto. Uzumaki Naruto."
Hinata menatap lama uluran tangan pemuda itu. Sedikit ragu, namun ia pun membalasnya. "H-Hyuuga Hinata."
"Kupanggil Hinata-chan saja ya," ujar Naruto tak sopan, membuat gadis Hyuuga di sebelah kirinya itu salah tingkah.
"Hei, Uzumaki! Apa yang kaulakukan di kelas ini?" hardik guru di depan kelas.
"Iruka-sensei, aku merindukan kelasmu," ujar pemuda jabrik itu memelas. Sebenarnya tidak sepenuhnya memelas karena pemuda itu mengatakannya dengan mimik lucu.
"Seingatku dulu kau bilang kelasku membosankan," cibir guru muda yang diperkirakan Hinata berumur sekitar 30 tahunan itu.
"Kau terlalu perasa, Nii-chan," ujar Naruto tergelak.
"Berhenti memanggilku begitu! Kau merusak reputasiku," omel Iruka-sensei. "Hei, Shikamaru, bawa temanmu keluar dari kelasku sekarang!"
Seorang pemuda dengan malas masuk ke kelas dan menarik kerah seragam Naruto dari belakang. "Ayo jalan, teman-teman. Lima menit lagi kelas kita dimulai," ujarnya malas sembari memandang jam di layar ponselnya. "Maaf sudah mengganggu kelasmu, Sensei."
"Istirahat nanti kita makan bareng ya, Hinata-chan. Chu!"
Dan pintu pun ditutup.
Wajah Hinata memerah menahan malu. Mendadak seisi kelas memandangnya dan saling berbisik. Gadis bersurai indigo itu pun salah tingkah. Terimakasih kepada Iruka-sensei yang segera mengambil alih atensi kelas sehingga pembahasan mengenai dirinya tenggelam oleh rumus-rumus matematika yang diajarkannya.
Hinata benar-benar tak suka menjadi pusat perhatian.
.
.
.
Hinata membawa nampan berisi menu makan siangnya dengan bingung. Dilihatnya semua meja di kantin penuh terisi oleh siswa-siswi yang juga sedang makan siang di sana. Di mana ia harus makan?
"Ah, di sana ada meja yang kosong," gumamnya saat melihat meja kosong di sudut kantin. Buru-buru ia ke sana sebelum didahului yang lain. "Akhirnya," ujarnya lega saat menghenyakkan diri di kursi meja itu. Siswa-siswi yang duduk tak jauh darinya melirik ke arahnya.
"Hei, apa yang kaulakukan di sana?" bisik salah satu siswi.
"M-makan?" jawab Hinata inosen.
"Itu tempat terlarang!" bisik siswi itu lagi. "Terkutuk," lanjutnya saat melihat Hinata yang masih kebingungan.
Gadis Hyuuga itu buru-buru bangkit dan melipir ke meja siswi yang berbisik tadi setelah sebelumnya dipersilakan untuk bergabung.
"Haruno Sakura." Gadis dengan surai berwarna merah muda itu memperkenalkan dirinya.
"H-Hyuuga Hinata," balas Hinata malu-malu. Hinata melirik Sakura. Pita merah yang tergantung manis di kerah seragamnya—berbeda dengan seragam murid laki-laki yang menggunakan dasi—mengindikasikan bahwa gadis itu adalah kakak kelas Hinata. Hinata sendiri menggunakan pita biru.
"Hyuuga ya?"
"A-ada apa?"
"Bukan apa-apa," ujar Sakura tersenyum. "Lanjutkan makanmu. Aku akan mengajakmu tur keliling sekolah nanti."
"B-benarkah?"
"Tentu sa—"
"Apa yang kaulakukan, Sakura? Dia seharusnya makan siang bersamaku!" Tiba-tiba Uzumaki Naruto datang menyela pembicaraan mereka. "Hinata-chan, daritadi aku mencarimu."
"G-gomenne..." sesal Hinata tak enak hati.
Sakura menatap Naruto sebal. "Jangan mengganggu makan siangku, Uzumaki Naruto!"
"Marah-marah seperti itu membuatmu semakin mirip dengan Tsunade-baa-chan," ledek Naruto cekikikan.
"Tsunade-sensei-sama!" ralat Sakura. "Berhentilah bersikap bodoh, Naruto!"
"Apa kau bilang?" protes pemuda jabrik itu tak terima.
Hinata baru saja hendak melerai jika saja—lagi-lagi—Shikamaru tak datang untuk menarik Naruto menjauh dari meja mereka.
"Maafkan si Bodoh ini telah mengganggu makan siangmu, Haruno-san."
"Kau juga bilang aku bodoh, Shikamaru?" protes Naruto semakin menjadi-jadi.
Kejadian itu membuat riuh kantin sekolah. Namun Hinata hanya terpaku di tempatnya. Ametisnya memandang meja kosong terkutuk yang hendak didudukinya tadi. Di sana, telah duduk pemuda yang karena dia-lah Hinata ingin bersekolah di sini, mengabaikan cercaan ayahnya yang yakin Hinata takkan mampu menembus seleksi masuk yang begitu ketat. Karena dialah Hinata masih hidup sekarang ini.
Uchiha Sasuke.
.
.
.
"Bagaimana sekolahmu?" Hyuuga Hiashi, pria paruh baya pemilik perusahaan HyuugaTech Tbk, membuka percakapan di meja makan Keluarga Hyuuga. Hinata hampir tersedak tak menyangka ditanya demikian.
"B-berjalan lancar, T—"
"Tou-san, kudengar Neji-nii meneleponmu. Bagaimana kabarnya?" potong gadis yang duduk di seberang Hinata.
"Dia baik-baik saja. Dan titip salam untukmu, Hanabi," jawab Hiashi penuh kasih pada anak bungsunya itu.
Hinata memandang sendu keduanya.
"Hinata-sama."
"A-ah, y-ya?" Hinata tersentak dari lamunannya, menoleh pada sumber suara yang memanggilnya. Seorang wanita tua beryukata tersenyum ramah padanya.
"Anda sudah selesai makan?"
Hinata mengerjap dan menoleh pada kursi ayah dan adiknya yang telah kosong.
"Mereka telah selesai lima belas menit yang lalu." Wanita tua itu menebak pertanyaan dalam kepala Hinata.
"O-oh... A-aku juga s-sudah selesai." Hinata beranjak dari kursinya. "Gochisousama, " ujarnya sembari berojigi.
Wanita itu tersenyum. "Itu sudah menjadi tugasku."
Hinata membuka pintu kamar yang kurang lebih dua tahun ini ditempatinya. Kamar yang memiliki paduan warna coklat dan krim di dinding dan perabotannya.
"Ini kamar Neji-nii. Kuharap kau menjaga seluruh isinya," ujar Hanabi suatu hari saat Hinata pertama kali menginjakkan kaki di rumah besar Hyuuga. "Kau tak memiliki kamar di rumah ini."
Ametisnya memandang jendela kamar rumah sebelah yang ada di seberang. Gelap. Tak ada tanda-tanda kehidupan.
"Dia belum pulang," gumamnya sembari menempelkan dagunya dengan malas di pagar pembatas balkon.
.
.
.
.
tbc
.
.
October 06th, 2013 | Reupdate Nov 01st, 2016
"abby"
Author's Corner:
Awalnya bingung mo naruh fic ini di genre angst apa bukan. Tapi saya gak pintar di diksi ;p Jadilah fic ini saya masukkan ke genre Hurt/Comfort. Ada yang bilang seiring berjalannya waktu, genre bisa berubah. Terima kasih sudah membaca!
Reupdate:
Geez! Ini fic lama! 2013, eh? Gomen buat yang sudah sudi read and review (thanks, minna~) Setelah kubaca ulang, kutemukan banyak kelemahan pada ceritanya. Dan akhirnya kuputuskan untuk merombaknya di sana-sini. Bukan cuma chapter ini, chapter kedua pun begitu. Mudah-mudahan tidak melenceng dari cerita awal. Ok, happy read! :)
