Disclaimer: Vocaloid bukan milik Rina

Hehe, bagi yang melihat ini, berarti Rina memutuskan buat ikut kompetisi IVFA yang diadain komunitas Author Fandom Vocaloid Indonesia di Facebook. Mungkin Rina juga bakalan ikut di kategori OS, tapi pikir2 dulu deh~

Sore jaa, semoga minna menyukai fanfic entry Rina ini! Dan semoga juga gak melanggar guideline juga~

~The Singer of Death~


Normal POV


Di dalam sebuah café, tampak seorang laki-laki yang memakai mantel kulit coklat yang besar dengan setumpuk kertas di hadapannya. Dahinya berkerut ketika ia membaca isi dari kertas yang dia baca.

"Korban bernama Michaela… 25 tahun… penyebab kematian… tikaman pisau dengan sidik jarinya sendiri…" gumamnya sambil meminum kopi krim yang dipesannya.

Dia adalah seorang detektif yang lumayan terkenal, setidaknya di wilayah kepolisian. Namanya adalah Kagamine Len, seorang laki-laki berumur 21 tahun, sudah berkali-kali ganti pacar tapi tidak pernah bertahan lama. Pekerjaan, detektif di Kepolisian. Dia memiliki rambut berwarna Light Blonde dengan poni yang acak-acakan dan dengan rambut yang diikat kecil dengan model ponytail rendah.

"Pembunuhan dengan kesamaan dengan ini juga terjadi di wilayah ini… korbannya sangatlah acak… tidak ada yang dicurigai sebagai musuh mereka…" lanjutnya sebelum melemparkan kertas yang di tangannya ke tumpukan lain di mejanya.

Pemilik café tidak memikirkan tindak tanduk detektif itu, karena dia sudah terbiasa melihat detektif itu mampir di café miliknya secara rutin.

Tak lama kemudian, datang seorang wanita yang terlihat lebih tua darinya, dengan rambut berwarna brunette dan memakai jas berwarna merah tua dengan dalaman berwarna hitam. Rok mininya juga berwarna senada dengan jas yang dia pakai. Dia memakai sepatu dengan high heels berwarna hitam dengan stocking berwarna kulit.

"Sudah kuduga kau akan menggerutu disini Len… kau dicari Kiyoteru-san tadi," ujar wanita itu sambil menyapa detektif yang dipanggilnya dengan nama depannya, Len, dengan nada bermain-main.

"Diamlah kau Meiko. Aku sedang sibuk dengan kasus yang ini…" ujar Len dengan cemberut ke arah Meiko, wanita yang memanggilnya itu.

"Kau memang seperti ini sejak dulu…" ujarnya sambil bergerak untuk duduk di kursi yang ada di seberang Len.

Dia kemudian meletakkan dagunya di atas kedua telapak tangannya yang menopang wajahnya. Lalu dia berkata, "… jadi, bagaimana perkembangannya?" tanya Meiko.

Len hanya menghela nafas panjang sambil berkata, "Nol… tidak ada tanda yang bisa mengarahkanku kemanapun… lalu korban tidak memiliki hubungan tertentu yang cukup kuat… metode pembunuhan yang tidak kumengerti karena terus berubah-ubah… kecuali… mereka semua memiliki alat musik di rumah mereka… dan selalu ada seorang penyanyi jalanan yang sama di hari yang sama…" ujar Len dengan menekuk wajahnya.

"Hee, tapi penyanyi jalanan seperti itu kan ada tiap waktu…" ujar Meiko dengan wajah tidak mengerti. Di dalam pikirannya dia penasaran bagaimana Len tahu tentang hal seperti itu? Dan apa hubungannya?

"Bukan, bukan penyanyi jalanannya, tapi lagunya itu… " ujar Len dengan mengambil selembar kertas yang berisi lirik lagu yang dia dapatkan dari beberapa orang yang dia percayai untuk mencari penyanyi itu.

"Mana, mana? Biar kubaca dulu…" ujar Meiko dengan sedikit pesimis dia kemudian melihat-lihat kertas lirik tanpa mengerti bagaimana artinya ataupun bagaimana menyanyinya.

Len kemudian menunjuk bagian yang ditulis dengan menggunakan huruf alfabet sambil berkata, "Disini, disini yang aneh…" ujar Len.

Meiko kemudian mengalihkan pandangannya ke arah bagian yang ditunjuk Len. Liriknya ditulis dengan bahasa latin. Secara spontan Meiko membacanya, "In Dies venit ad punire, In poena non lux, Scelus longe nimium, Sicut mortui demum dare… apa artinya?" baca Meiko dengan nada tanya di akhirnya.

"Artinya… 'Telah tiba hari untuk menghukum, Hukumannya tidak akan ringan, Kejahatannya terlalu besar, Dan kematian adalah satu-satunya cara untuk membayar'… atau begitulah bunyi artinya," jawab Len dengan wajah serius.

Meiko hanya mengangguk-angguk mengerti. Artinya memang aneh, dan seakan menandakan bahwa hari dimana lagu itu dinyanyikan, akan ada seseorang yang mati…

"Apa kau sudah melihat penyanyinya?" tanya Meiko yang entah mengapa jadi tertarik dengan penyanyi yang menyanyikan lagu 'mematikan' seperti ini.

Len hanya mengangguk, kemudian berkata, "Catatan kriminalnya bersih… dia tidak memiliki keluarga dan entah kenapa, kepolisian tidak mampu menemukan keluarganya… dia lumayan terkenal di komunitas penyanyi jalanan… dan lagu itu adalah lagu terbaik yang dia nyanyikan… atau itulah kata orang…" ujar Len dengan nada datar dan sedikit ketidakpercayaan di akhir.

"Eeeeh… jadi begitu, tapi sebelum pembunuhan berantai ini dimulai, apakah lagu itu sudah pernah dinyanyikan?" tanya Meiko dengan penasaran.

Len menggeleng pelan, dia kemudian berkata, "Tidak, belum. Sebelum pembunuhan pertama terjadi, lagu ini masih ada di dalam kegelapan… baru dinyanyikan tepat pada malam pembunuhan pertama terjadi. Bukankah itu aneh?" ujar Len dengan melipat kedua tangannya di depan dada.

Meiko hanya mengangguk perlahan, dia kemudian mengingatkan pada Len bahwa dia dicari oleh Kiyoteru. Len masih terlalu malas untuk beranjak pergi sehingga Meiko memanggil seorang waitress café yang anehnya mirip dengan Len, hanya saja dia wanita. Meiko sudah mengenalnya akibat selalu harus memanggil Len ketika dia pergi dari kantor.

"Lenka-chan, bisa minta kopi?" ujar Meiko sambil melambaikan tangannya kepada salah seorang waitress yang bekerja disana.

Orang yang dipanggil, Lenka, segera menengok ke arah meja Meiko dan juga Len sambil tersenyum lembut dan menganggukkan kepalanya. Dia kemudian berjalan ke dapur untuk mengambil pesanan Meiko.

Saat dia kembali, Lenka dengan senyuman yang hangat segera berkata, "Etto… di counter ada sepucuk kartu indah yang tertinggal dengan nama anda di bagian penerimanya… apa ini terjatuh?" ujar Lenka sambil melihat ke arah Len dan memberikan yang dia maksud setelah memberikan pesanan Meiko

"Kartu?" ujar Len dengan heran sambil mengambil memo tersebut dari tangan Lenka dan membacanya.

Tulisan di kartu itu terbuat dari tinta emas dan dihiasi dengan berbagai macam motif yang terkesan elegan. Tulisan itu sendiri berbunyi dalam bahasa latin pula.

" Hmmm, 'Canticum ad suscipiat mortem' Anata wa sore o kiku no darou ka?" baca Meiko yang mengintip dengan nada tanya.

Len mengerutkan dahinya, dia kemudian berkata, "Lagu untuk Kematian. Apakah kau mendengarnya?" ujar Len seraya menerjemahkan artinya.

Spontan Len dan Meiko melihat ke sekeliling dan membuat Lenka bingung. Len kemudian berkata, "Lenka, siapa yang terakhir kali mendatangi counter sebelum kau mendapati kartu ini?" ujar Len dengan cepat.

Lenka tampak heran, dia kemudian menaikkan jari telunjuknya ke dahinya seakan berpikir sebelum berkata, "Seharusnya… Master… tapi, selama 30 menit ini, dia sedang sibuk di dapur sementara Gumi-san berjaga…" ujar Lenka seperti menerawang.

Meiko dan Len saling berpandangan dan mereka saling mengangguk satu sama lain. Dan tak lama kemudian, Meiko segera berlari meninggalkan café dengan kartu tersebut di tangan, sementara Len segera mencari Gumi yang merupakan salah satu pegawai part-time di café tersebut.

Di salah satu wajah orang yang ada di café tersebut, terlukis seulas senyuman tipis saat dia melihat kedua polisi itu bergegas untuk menyelidiki kartu yang mereka terima dan tentunya berasal darinya.

"Apapun yang akan kau lakukan… aku akan tetap 'menyanyi', detektif…"


Mwahahaha, oke, Rina ini udah kesetanan Higurashi ma Umineko! Tulisan na gelap gulita semua~ nah, daripada repot-repot, nie gak bakalan panjang2 dan gak bakalan terlalu panjang... semoga. Dukung Rina ya~ (Dan jangan harap Mel ato chara na Rina keluar disini ya~)

Oke, kalo berkenan silahkan review ato follow kalo boleh juga like ja~