Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto

WARNING: OOC, Typo, Mainstream

...

Sakura baru saja melangkah keluar dari rumahnya, dihadapannya sudah ada pemuda berambut pirang yang berdiri sambil memamerkan senyum lebar padanya.

"Selamat pagi, Sakura-chan."

Sakura menghela napas berat; pemuda yang tadi menyapanya adalah Naruto yang mengakui cinta padanya sejak satu bulan yang lalu setelah pernyataan cinta 'salah kirim'-nya kepada pemuda itu. Sakura berpikir ia tidak akan berhubungan lagi dengan pemuda itu dan lagi mereka berdua kelasnya sangat jauh, ia kelas 2-A sementara Naruto menduduki kelas paling bontot kelas 2-F; ternyata pemikirannya salah besar kejadian satu bulan itu justru menjadikan titik awal benih-benih cinta Naruto tumbuh terhadapnya.

Semua teman-teman sekelasnya menilai Naruto begitu imut melihat pengejaran cinta Naruto padanya bahkan ada beberapa gadis yang secara pribadi menaruh suka tetapi berbeda bagi Sakura, baginya pengejaran Naruto adalah mimpi terburuk yang ingin cepat-cepat ia akhiri.

"Kau cantik sekali hari ini, Sakura-chan,"

Dan yap, mimpi ini pun terus berlanjut. Sakura bertanya-tanya kapan ini akan segera berakhir.

Ah, sudahlah.

Sakura tidak menjawab, melengos pergi menuju sekolahnya.

"Oi, Sakura-chan tunggu aku," kata Naruto di belakang, ia melipat tangan di depan dadanya. "Padahal aku sudah menunggu selama satu jam buat bisa berangkat bareng. Jangan cuek dong."

"Siapa yang ingin ditunggu olehmu, hah?" tanya Sakura emosi.

"Sakura-chan," Naruto melancarkan ekspresi puppy eyes no jutsu andalannya. Berharap emosi Sakura teredam.

Sakura yang melihatnya membuang wajahnya malu sambil mendecak sebal. "Ck,"—ia memang ingin 'mimpi' ini segera berakhir tetapi tak punya kemampuan untuk melawannya, karena satu, ekspresi Naruto yang tadi itu, imut sekali. Setiap kali ia membentak atau menolak Naruto, pastilah pemuda itu memasang tampang 'imut' tadi, yang membuat para teman-teman sekelasnya membela cinta Naruto yang 'tertindas' olehnya.

Padahal mereka semua temannya bukan teman Naruto tetapi bukannya membelanya justru malah membela Naruto.

"Kenapa harus membelamu? Kau menikmati digoda Naruto kan? Coba deh lihat cermin gimana wajahmu sekarang. Merona hebat loh."

Begitulah, perkataan salah satu temannya yang ia tanya, tentu Sakura membantahnya keras-keras, tetapi eskipun mati-matian membantah jika sewaktu digoda pipinya selalu memerah, Sakura tidak memungkiri jika pernyataan tersebut memang benar, karena jantungnya pun berdegub kencang sebagai bukti nyata pernyataan tersebut; dan lagi, ia adalah seorang gadis, tentu tersentuh dengan hal-hal yang imut dan romantis.

Tapi kembali lagi ke awal, alasan terkuatnya untuk tidak jatuh ke cinta Naruto adalah satu, karena Sasuke direbut oleh adik Naruto. Dan itu dalam waktu sekejap, satu bulan saja, berbeda dengannya yang sudah hampir dua tahun mengejar cinta Sasuke namun tidak kunjung dibalas oleh pemuda itu, dan tidak lama setelahnya Naruto menyatakan cinta padanya, tentu saja ia menolak; mana mungkin ia menjalin cinta dengan kakak 'gadis itu' yang sudah merebut Sasuke darinya.

Sakura menghentikan langkahnya, dan berbalik menghadap Naruto. "Naruto, apa penolakanku masih belum jelas?" tanyanya serius. "Ini sudah terlalu lama kan? Apa kau tidak lelah? Hah?"

Wajah Naruto yang tadinya 'imut' berubah serius seperti halnya Sakura. "Aku tidak pernah lelah, Sakura-chan. Kau tahu itu, kan?" tanyanya balik, lalu menutup kedua mata birunya. "Kalau aku memang sudah kelelahan mengejar Sakura-chan, aku takkan mungkin tetap menunggu pagi hari di depan rumah Sakura-chan untuk berangkat sekolah bersama."

"Jangan lupa sarapan pagi bersama," tambah Sakura jengkel; terkadang jika Naruto terlalu pagi datang, ibunya akan menawarkan untuk sarapan pagi bersama, bahkan sampai-sampai kedua orang tuanya memanjakan Naruto dengan penuh cinta, seperti contohnya mengambilkan makanan yang hendak dimakan oleh pemuda itu, usut punya usut alasan mengapa kedua orang tuanya begitu baik pada Naruto karena kedua orang tuanya dan kedua orang tua Naruto mengembangkan bisnis restoran bersama-sama, dan ayah Naruto, Minato itu atasan ayahnya.

Makanya setelah tahu Naruto naksir berat padanya, kedua orang tuanya langsung menyetujuinya tanpa peduli pendapat akan perasaannya yang datar-datar saja, bahkan orang tuanya sempat berpendapat ingin ia dan Naruto menikah setelah lulus sekolah nanti.

Ampun deh.

"Lagi pula Sakura-chan, aku ini tampan, seksi, tinggi, tajir, pintar, dan keren. Kenapa kau sama sekali tidak tertarik padaku?" tanya Naruto pede.

Satu kedutan muncul di dahi Sakura. "Kalau memang ada lelaki yang sesempurna itu, aku mau bertemu dengannya," katanya jengkel. "Kau bangga sekali dengan penampilan sederhana begitu. Ngaca dong."

Sesuai yang perintahkan Sakura, Naruto mengeluarkan cermin kecil di saku bajunya—memandang wajahnya sambil mengelus-elus dagunya penuh rasa bangga. "Ah, aku memang tampan,"

Sakura bergidik kemudian memutar bola matanya dan melanjutkan kembali langkahnya yang tadi terhenti; inilah alasan lain ia tidak mau menerima cinta Naruto. Langkahnya terhenti ketika Naruto menarik tangannya—membuat mata hijaunya kembali beradu pandang dengan mata biru jernih Naruto. "Oi Naruto, lepaskan aku." katanya dengan pipi merona, malu sebab semua pejalan kaki mulai memfokuskan mata ke arahnya.

Naruto menggeleng. "Sakura-chan, beritahu aku, bagaimana caranya agar kau mau menerimaku?"

Sakura mengalihkan pandangan matanya; ia tidak senang dengan situasi ini, wajah Naruto terlihat sangat serius itu membuat degub jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.

'Kenapa tiba-tiba aku jadi gugup?' Sakura bertanya-tanya dalam hati.

"Kalau memang adikku yang membuatmu sedih sampai sekarang, maka aku sebagai kakaknya yang akan membuatmu bahagia, dattebayo!" kata Naruto lagi, lantang dan keras.

Sakura menatap Naruto sekarang, penuh amarah. "Jangan membuat lelucon konyol denganku."

"Siapa yang membuat lelucon konyol?" Naruto bertanya-tanya. "Aku ini serius padamu Sakura-chan, aku benar-benar jatuh cinta padamu. Aku belum pernah merasakan—"

"Aku pergi!" potong Sakura ketus, tapi wajahnya merona merah.

"Sakura-chan!" Naruto mencoba menghentikan laju langkah Sakura lagi.

"Kalau memang kau ingin aku mengakuimu,"

"Eh?"

"Janganlah berpikir bodoh," lanjut Sakura serius sambil menatap dalam sepasang mata biru di depannya. "Karena aku benci lelaki yang seperti itu."

Naruto terdiam.

Sakura memandang sesaat, lalu melanjutkan langkahnya lagi sambil bergumam tak jelas. Kalau terus-terus bertengkar seperti ini bisa-bisa terlambat masuk sekolah. Sakura benci dihukum.

"Kalau begitu, kalau aku giat belajar dan mendapatkan ranking satu. Sakura-chan mau menerimaku? Memelukku? Menciumku? Menjadi pacarku?" tanya Naruto bertubi-tubi.

"Ya, ya, ya!" sahut Sakura ikut bertubi-tubi, jengkel; haruskah pemuda itu mengucapkannya dengan begitu kencang? Jika terus-terusan seperti ini, telinganya tidak bisa bertahan dan lagi semua orang yang melewatinya mulai berbisik-bisik.

Aib seumur hidup. Si Naruto ini benar-benar tidak mengerti situasi.

Naruto tersenyum lebar mendengarnya, dan menggenggam kedua tangan Sakura lagi erat.

"Oi, Naruto." Sakura mulai memprotes, malu.

"Sakura-chan siap-siap saja ok?" tanya Naruto semangat.

"Heh?" Sakura bengong.

"Rasa cherry atau strawberry ya, Sakura-chan."

"Apa sih?" Sakura bertanya tak mengerti.

"Tentu saja 'kiss', aku ingin dua rasa itu," jelas Naruto bahagia sambil memonyongkan bibirnya, lalu melenggang pergi meninggalkan Sakura sambil bersenandung ria.

Sakura masih membeku di tempatnya berdiri, mencerna kata-kata yang barusan di ucapkan Naruto.

"..."

Blush.

"EHHH!"

Memangnya Naruto mengucapkan kiss?

.x.

"Wah," Sakura mendesah bahagia menyandarkan tubuhnya ke dinding—menikmati udara sore yang hangat menerpa kulitnya.

Ah, betapa ia merindukan saat-saat seperti ini.

"Kau terlihat senang sekali Sakura. Ada apa nih?" tanya Ino, duduk di samping gadis itu.

"Naruto," jawab Sakura singkat.

"Kenapa dengan dia?"

"Naruto sudah tidak menggangguku lagi," sahut Sakura super bahagia. "Akhirnya aku 'bangun' juga dari mimpi buruk ini." lanjutnya.

Semenjak 'deklarasi' tadi pagi, Naruto sama sekali tidak menemuinya bahkan batang hidung pemuda itu pun tidak tertangkap mata hijaunya, yang berarti Naruto menganggap serius 'candaannya'.

Candaan? Bagi Sakura, tidak mungkin Naruto bisa menjadi pintar dan mendapat ranking satu, ulangan tengah semester akan diadakan dua minggu lagi, mana ada yang bisa mendapat ranking satu dalam dua minggu, pasti tidak ada persiapan yang matang dari Naruto dan lagi, yang Naruto tahu itu kan cuma bermain dan menggodanya.

Jelas tidak mungkin, kan?

Kebebasan tinggal sebentar lagi ia dapatkan.

Sakura tidak sabar untuk mendapatkannya.

"Si Naruto ya?" Ino bersenandung ria, membuat Sakura menaikan sebelah matanya. "Dia boleh juga buat dijadikan pacar."

"H—EH?" Sakura berseru keras, terkejut dengan 'pengakuan' dadakan Ino. "Sejak kapan kau tertarik padanya? Shikamaru mau dikemanakan, hah?" tanyanya.

"Becanda kok," kata Ino tak tertarik. "Kau tidak perlu semarah itu padaku,"

Pipi Sakura merona seketika, antara malu dan marah. "A, apa maksudmu? Aku tidak marah!"

Ino menghela napas kecil. "Heh? Sungguh?" tanyanya. "Tapi aku salut loh padamu Sakura, Naruto sekeren itu pun masih bukan tipemu." lanjutnya. "Naruto itu ibarat Leonardo DiCaprio yang tidak pernah memenangkan piala oscar, dan piala oscar itu adalah kau."

"Apanya sih yang keren?" kata Sakura sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Bagiku dia itu pemuda yang bodoh, berisik, dan pecinta ramen." jelasnya. "Dan Leonardo menang oscar tahun ini tahu!"

"Aku juga heran kenapa dia bersikap begitu kekanakan di depanmu," kata Ino. "Dan ya, memang benar dia memenangkan oscar, setelah 12 tahun menunggu. Apa kau juga akan begitu pada Naruto?"

"Maksudmu?" tanya Sakura bingung.

"Naruto kan ketua klub kyudo. Dia juga sering memenangi kejuaraan tingkat nasional. Punya daya konsentrasi yang sangat tinggi, baik, dan penolong. Banyak yang menaruh hati padanya," jelas Ino panjang lebar. "Tapi dia malah memilih gadis biasa sepertimu," lanjutnya kecewa.

"Maaf deh, aku gadis biasa," sahut Sakura dengan 'senyuman'—tunggu sebentara! "Apa katamu tadi? Naruto ketua klub kyudo?"

Ino mengangguk.

"Bukankah ketua klub kyudo dipegang Sasuke-kun?" tanya Sakura, masih tidak percaya.

"Kau tidak tahu berita ini ya?" Ino bertanya balik.

Sakura menggelengkan kepalanya. Ia tidak mengetahuinya—semenjak secara 'official' Sasuke bilang tengah berpacaran dengan adik Naruto, ia kehilangan semangat mencari berita pemuda itu lagi. Yang ada di pikiran Sakura hanya belajar dan mencari cara agar Naruto menyerah soalnya.

"Naruto mengalahkan Sasuke saat bertanding kyudo tahun lalu, jadinya posisi ketua yang tadinya dipegang Sasuke jatuh ke Naruto, ada rumor yang beredar kencang bahwa Sasuke sengaja mengalah karena tidak ingin Naruto tidak merestui hubungannya dengan adiknya. Itu cuma rumor sih, intinya Naruto mengalahkan Sasuke anak jenius kelas 2-A kebanggaan kita," jelas Ino panjang lebar.

Sakura mengerjap. Ia tidak tahu jika Naruto sehebat itu—selama ini ia memang tidak mencari informasi soal Naruto karena pemuda itu bukan tipenya dari 'look'. Yang ia tahu Naruto pemuda yang bodoh di kelas 2-F.

Sekarang ia mengetahui sedikit tentang Naruto—ia merasa sedikit err—kagum?

Sakura menggeleng.

Tidak mungkin. Perasaan yang dirasakannya pasti hanyalah perasaan terkejut karena mengetahui orang seperti Naruto pun punya kelebihan, bukan perasaan untuk mengagumi. Pasti bukan.

"Lalu kenapa? Dia tetap tidak keren di mataku," kata Sakura dengan pandangan mengejek.

Ino menyipitkan mata birunya tak suka. "Sakura, bagaimana kalau kau lihat saja sendiri?"

"Ho? Mau seperti apa pun aku takkan suka padanya, tapi baiklah," kata Sakura sambil mengangkat bahu acuh tak acuh, kemudian berjalan ke tempat ruang klub kyudo berada.

Ino mengikuti dari belakang, memerhatikan gerak-gerik Sakura. "Kau tahu tidak Sakura kalau ucapanmu itu menyakitkan?" tanyanya serius.

"Eh?"

"Makanya aku selalu heran Naruto tetap bertahan memperjuangkanmu, padahal bagi kami, fans-nya merasa ucapanmu selalu menyakitkan."

"Fans-nya—?" Sakura bergumam sweatdrop. "Ino jangan katakan padaku kau—?"

"Ya," Ino mengangguk yakin. "Tidak boleh ya?"

"Bukan begitu," sahut Sakura kikuk. "Aku cuma kaget saja kok, kau kan cuma cinta Shikamaru,"

"Rasa sukaku terhadap Naruto dan Shikamaru itu sangat berbeda," terang Ino jujur.

Sakura hanya mengangguk.

"Sakura, kalau kau memang tidak suka pada Naruto, katakan padanya, jangan buat harapan palsu," kata Ino memberi nasihat.

"Aku sudah mengatakannya berkali-kali bukan?" Sakura bertanya balik, memegang keningnya, mengingat pengakuan-pengakuan cinta Naruto padanya. "Dianya saja yang tidak mau menurut." tambahnya suram.

Ino mendahului Sakura, lalu berhenti dihadapan gadis itu—secara refleks Sakura pun menghentikan langkahnya. Ia memamerkan senyum manis di bibirnya. "Ne, Sakura? Kalau aku bilang mau menyatakan cintaku pada Naruto, tidak apa-apa kan?"

"Menyatakan cinta pada—Naruto?" Sakura bergumam.

Ino mengangguk, masih dengan senyum manisnya.

Sakura terdiam, lalu tertunduk mengepalkan tangan di dadanya—kenapa hatinya tiba-tiba terasa begitu sakit? Tidak mungkin kan ia patah hati—? Tidak mungkin! Tiga detik kemudian, Sakura mengerutkan alis jengkel, "Terserah, memangnya apa hubungannya denganku? Kalau pun cintamu terbalas itu keuntungan bagiku karena akhirnya aku bisa lepas darinya."

"Sungguh?" tanya Ino, acuh tak acuh. "Tuh, lihat kebetulan dia sedang latihan."

"Mana?" Sakura berjongkok di antara rerimbunan pohon-pohon kecil. Mata hijaunya mencari—dan menemukan sosok Naruto yang sedang berdiri berkonsentrasi penuh membidik target berupa lingkaran hitam kecil. Wajah kekanak-kanakan yang biasanya selalu menghiasi setiap kali menggodanya, kini berubah menjadi wajah yang dewasa, bahkan pakaian kyudo yang rapih membuat sosok Naruto semakin dewasa.

Ino ikutan mengintip di rerimbunan pohon-pohon kecil tanpa ada pilihan yang lain, ia akan jauh lebih senang menarik Sakura dan masuk ke ruang klub kyudo daripada bersembunyi seperti stalker begini.

Rona merah timbul di kedua pipi putih Sakura. "Ini sosok Naruto yang tidak—aku ketahui?"

Baginya Naruto itu cuma pemuda yang selalu mengejar cintanya tanpa kenal lelah. Sakura tidak tahu apa-apa lagi selain itu, karena tidak ada gunanya juga mengetahui pemuda yang berada di urutan nomor satunya soal; daftar pemuda yang tidak mungkin ditaksirnya.

Sekarang melihat Naruto yang sangat berbeda di matanya membuat degub jantungnya bekerja dua kali lipat.

Ino yang berada di sampingnya tersenyum puas melihat ekspresi sahabatnya. Rasakan.

"Sha!" teriak Naruto setelah panahnya melesat mengenai sasaran.

Sakura terpesona melihatnya, itu sebuah tembakan yang sungguh indah yang sudah lama tidak dilihatnya, dan tepat sasaran juga. Terakhir kali ia melihatnya waktu memberikan semangat pada Sasuke yang mengikuti kejuaraan kyudo tingkat nasional.

Naruto menghela napas dalam sambil menurunkan busur panahnya. "Onegaishimasu," katanya pelan, lalu berjalan mengambil panah dari target. Membereskannya.

Ino menengok ke kanan dan ke kiri. "Sepertinya Naruto latihan sendirian lagi." katanya pelan. Tidak ada respon sama sekali dari Sakura, membuat bibirnya menyeringai lebar. "Kau terpesona melihat Naruto yang keren sampai-sampai—Sakura hidungmu!"

"Eh?"

"Kau mimisan,"

"Eh?" Sakura menyentuh hidung dengan tangannya—ada bercak merah gelap di jemarinya—masih tidak percaya, ia mengeluarkan cermin di saku bajunya dan mengecek lagi—sejurus kemudian wajahnya berubah menjadi panik mengetahui apa yang dikatakan Ino benar. "Akh! A—apa yang harus aku lakukan!?"

Ino segera menggeledah tasnya, lalu tas Sakura dan mendecak kesal tidak menemukan tisu. Ia lantas bangkit berdiri. "Sakura mendongaklah ke atas selama lima menit. Jangan bernapas lewat hidung, lewat mulut saja ok? Aku akan beli tisu dulu di kantin."

Sakura mengangguk, dan mematuhi perintah yang Ino berikan padanya.

Demi dewa jashin! Ini pertama kali dalam hidup Sakura, ia mengalami yang namanya mimisan, dan ini terjadi ketika ia melihat Naruto yang begitu keren tengah latihan kyudo.

Masa saking kerennya Naruto sampai membuatnya mimisan—?

Memalukan sekali. Dan Ino yang notabene-nya menggemar Naruto pasti bakalan mengejeknya habis-habisan setelah kembali membeli tisu.

'Rasanya aku mau menghilang dari sini sekarang juga!' inner Sakura berteriak penuh banjir air mata.

"Naruto-kun."

Eh?

Seorang gadis berambut oranye dikuncir dua berlari kecil menuju tempat Naruto berada—yang membuat Sakura penasaran hingga melupakan perintah Ino, rona memerah yang menghiasi pipi gadis tersebut. Pastilah gadis itu termasuk penggemar Naruto.

"Eh, Moegi. Ada apa?" tanya Naruto.

Sakura menganalisa nama tersebut—tidak ada yang bernama Moegi di angkatannya pastilah gadis itu adik kelasnya jika memang lebih tua dari Naruto pasti pemuda itu memanggil 'neechan'.

"Aku suka Naruto-senpai," kata Moegi merona hebat sambil menyodorkan satu bungkus kado dengan pita oranye sebagai penghiasnya.

"Eh," Naruto dan Sakura bergumam bersamaan.

Tanpa sadar tangan Sakura mencengkeram erat rok seragamnya—mata hijaunya terfokus pada wajah Naruto yang merona merah—rona merah malu-malu yang bukan muncul karenanya—sejurus kemudian rasa sakit menghantam dadanya kembali. "Aku ini—kenapa sih?" gumamnya.

Selama ini Sakura tidak punya riwayat penyakit yang berhubungan dengan hati maupun jantung. Ada apa dengan tubuhnya—?

"Maaf,"

Mata Sakura fokus lagi pada Naruto yang memasang wajah penuh penyesalan—dan sejurus kemudian rasa sakit di dadanya menghilang begitu saja; perasaannya tergantikan dengan rasa lega yang mendalam.

Sakura menyentuh dadanya; perasaan apa yang tengah dirasakannya ini—? Kenapa ia lebih bahagia melihat wajah Naruto yang murung?

Sakura yang masih termenung tidak menyadari Ino sudah kembali.

"Sakura aku bawa tisu—huwa!" Ino terkejut melihat Sakura duduk di tanah dengan darah berjatuhan di pangkuannya—menakutkan. "Aku sudah bilang padamu buat mendongak kan? Kenapa tidak menurut?"

"Maaf," kata Sakura menerima box tisu pemberian Ino.

"Dasar, sampai menetes ke rok seragammu loh," gerutu Ino berdecak pinggang. "Untunglah besok sekolah libur."

Sakura membersihkan darah di hidungnya dan juga di roknya dengan sedikit tetesan air, "Ino," panggilnya pelan.

"Hm?"

"Apa kau sering melihat itu?" tanya Sakura sambil menunjuk tempat dimana Naruto dan Moegi berada.

Ino mengikuti arah jari Sakura. "Hm," gumamnya pelan, berpikir. "Naruto memang kalah populer dengan Sasuke tetapi memang selalu ada yang menyatakan cinta padanya." jelasnya, lalu menatap Sakura malas. "Dan dia menolak semua gadis itu karena kau."

"—karena aku mencintai gadis lain," suara Naruto kembali terdengar.

Sakura terpaku sesaat, memandangi wajah Naruto yang serius. Barulah bangkit berdiri sambil merenggangkan otot-ototnya. Ia merasa jauh lebih baik sekarang. "Dah, Ino." katanya sambil melambaikan tangan perlahan.

Ino hanya memandangi kepergian Sakura dengan senyuman; setelah Sakura tidak terlihat oleh matanya, ia teringat sesuatu. "Ah, toko parfait-nya!" serunya, lalu mengangkat bahu. "Sakura pasti kembali padaku jika sudah ingat."

Di sisi lain, Sakura berjalan dengan cepat sambil menggigit bibir bawahnya.

Bukan.

Ini bukan cinta.

Bukan.

Sakura tidak mungkin jatuh cinta pada Naruto.

"Sakura-chan!"

Jantung Sakura seakan melompat detik itu juga mendengar suara keras Naruto. Ia menengok ke belakang mendapati Naruto tengah berlari kecil ke arahnya, pemuda itu sudah berganti pakaian seragam sekolah biasa.

"Kau menungguku selesai kegiatan klub?" tanya Naruto semangat begitu sampai dihadapan Sakura. "Aku sangat terharu, dattebayo."

Sakura menengok ke sekelilingnya—ternyata ia tepat berada di pintu ruang klub kyudo. "Kau itu percaya diri sekali ya? Aku cuma kebetulan lewat sini bukan menunggumu." sahutnya jengkel.

"Begitu," Naruto bergumam murung, lalu berubah ceria kembali. "Kalau begitu kita pulang sama-sama ya! Sakura-chan juga sudah selesai kan kegiatan klub karatenya kan?"

"Ya, aku memang sudah selesai sih, tapi..." ucapan Sakura terhenti, Ino kan mau mengajaknya ke toko parfait yang baru. "E, eh! Naruto jangan menarik tanganku seenaknya!" omelnya, terkejut tangannya ditarik tiba-tiba oleh pemuda itu.

"Sakura-chan terlalu lama mikir sih," keluh Naruto.

Sakura menggembungkan pipinya—tentu saja lama, kalau sesuatu yang berhubungan dengan Naruto harus dipikirkannya secara matang, ia tidak mau memutuskan seenaknya. Ia tidak mau rugi lagi! Terakhir kali Naruto mengajaknya pulang bersama, setelah ia sampai di depan rumah secara iseng Naruto mendaratkan satu kecupan 'cinta' di pipinya, meninggalkan ia yang membeku sambil memegangi pipinya yang menjadi sasaran bibir pemuda itu.

Keperawanan pipinya sudah diambil secara tak 'terhormat'.

Dan hal itu membuat Sakura ingin memukul kepalanya ke dinding karena kebodohannya dulu, sudah salah memberikan surat cintanya.

Sakura berhenti merasakan Naruto berhenti melangkah, ia terkesikap ketika pemuda itu berjongkok dan mulai mengacak-ngacak isi tasnya. "Oi, apa yang kau lakukan Naruto?" tanyanya penasaran.

Naruto tidak menjawab, masih sibuk mencari sesuatu di dalam tasnya, tiga detik kemudian matanya berbinar-binar, mengeluarkan sesuatu di dalam tasnya.

Sakura menaikan alisnya melihat buku biologi berada di tangan Naruto. Jadi ini yang dicari pemuda itu. "Untuk apa kau mengeluarkan buku?"

Naruto bangkit berdiri, "Tentu saja buat belajar dong, Sakura-chan. Aku mau jadi lelaki yang pintar," sahutnya dengan cengiran khasnya, lalu melangkah lagi sambil mulai membaca lembaran demi lembaran buku biologi di tangannya.

Sakura ternganga lebar mendengarnya, bahkan ia sampai membeku syok di tempatnya berdiri. Selama mengenal Naruto, tidak pernah satu kali pun pemuda itu membaca buku bahkan Naruto secara terus terang berkata pada salah seorang guru yang mengeluh padanya karena tidak fokus, bahwa pelajaran selain olah raga itu baginya membosankan.

Pipi Sakura merona.

Naruto benar-benar serius dengannya. Sedangkan tanggapannya pada Naruto cuma main. Apakah ia ini bodoh—?

Naruto menghentikan langkahnya merasakan langkah kaki Sakura sama sekali tidak terdengar oleh telinganya. Ia menoleh ke belakang. "Sakura-chan? Kenapa masih di situ?" tanyanya bingung.

Sakura mengerjap, lalu membuang mukanya malu, ia melirik Naruto melalu celah bulu matanya. "Kau itu kan baka, mana mungkin bisa jadi pintar dan merebut rangking satu."

Dan lagi, Naruto itu kakak 'gadis itu' yang sudah merebut Sasuke darinya. Ia takkan mau terjebak oleh cinta yang diberikan Naruto padanya.

"Sakura-chan kau meremehkanku sekali ya," kata Naruto melipat tangan di depan dadanya. "Kuberitahu satu hal padamu ya, begini-begini aku ini pernah juara 1 olimpiade matematika tingkat provinsi loh," jelasnya, "dan partner-ku waktu itu adalah Sasuke-teme,"

Sakura mengerjap. Ah ya, ini pemuda di depannya ini kan teman semasa kecilnya Sasuke—eh, tunggu dulu. "K, kau pernah juara olimpiade dengan Sasuke-kun?" tanyanya deg-degan.

Loh? Kenapa ia jadi deg-degan begini?

"Hm, hm," sahut Naruto mengangguk-anggukan kepalanya bangga. "Aku ini bukannya tidak mengerti pelajaran, aku hanya malas mempelajarinya jika di sekolah." jelasnya. "Aku belajar kok di rumah,"

EEEEHHH!

Sakura terbelalak terkejut, kedua tangannya ia taruh ke bibirnya agar tidak mengeluarkan suara yang bisa menjatuhkan 'harga dirinya'.

Jadi Naruto itu sebenarnya pintar? Penampilan luar Naruto yang 'asal-asalan' benar-benar menipunya.

"Karena itu," Naruto mendekati Sakura, dan berhenti dihadapannya. "Siap-siap saja ya Sakura-chan," bisiknya manis.

Blush.

Sakura mendorong kasar tubuh Naruto, lalu tersadar ketika berbisik di telinganya pemuda itu juga menaruh sesuatu di tangannya, ia lantas mengecek apa yang ditaruh Naruto di telapak tangannya, takut-takut pemuda itu menaruh sesuatu yang aneh-aneh; satu buah lip blam rasa strawberry dan satu buah lip gloss rasa cherry—?

"Campurkan keduanya saja saat kita 'melakukannya' nanti ya, Sakura-chan." kata Naruto disertai senyuman.

"..."

'Tidaaaak! Ciuman pertamaku terancam!'

.x.

Ino paling benci sekali diusik oleh panggilan telepon ketika hendak mau berendam, namun ada satu lagi yaitu telepon Sakura yang memintanya untuk datang ke rumahnya sekarang juga.

"Dasar forehead, seenaknya memutuskan telepon tanpa persetujuan dulu dariku," kata Ino jengkel sambil memencet bel rumah sahabatnya dengan kasar.

Cklek.

Tanpa basa-basi Ino langsung masuk ke dalam sambil mengomel. "Kau ini tidak sopan! Mau apa sih menyuruhku kemari? Aku ini mau berendam buat kulitku yang berkeringat sehabis latihan drama."

Sakura menyipitkan mata hijaunya tak suka.

Langsung masuk ke rumah orang tanpa minta permisi atau perijinan dari pemilik rumah bisa disebut sopan tidak ya?

Sudahlah, ada yang lebih penting dari itu.

Sakura menutup pintunya rumahnya, lalu ikut duduk di sofa bersama Ino. "Kau ini penggemar Naruto kan?" tanyanya

"Ya," Ino menjawab singkat, masih jengkel acara berendamnya harus tertunda. "Lalu?"

"Memang benar dia pernah menang olimpiade bersama Sasuke-kun?" tanya Sakura deg-degan.

Kenapa harus deg-degan lagi, sih?

"Hm," Ino mengelus dagunya. "Dia memang pernah memenangkannya tapi itu kan cuma satu kali dan lagi sudah lama sekali. Kenapa?"

Bulir-bulir keringat keluar dari dahi Sakura, tanpa sadar kedua tangannya mengepal di atas pahanya.

Jadi apa yang dikatakan Naruto itu benar adanya.

"L, lalu n, nilai ulangannya?" kenapa sekarang jadi gagap begini?

"Hm, sebentar ya aku ingat-ingat dulu," kata Ino mengelus dagunya lagi. "Naruto itu memang bukan lelaki yang cukup menonjol soal pelajaran selain olah raga tetapi nilainya di mata pelajaran yang lain tidak pernah merah," jelasnya santai lalu menatap Sakura malas. "Makanya banyak gadis yang suka padanya termasuk aku tapi Naruto malah memilih gadis biasa sepertimu."

"Kau ini, aku ini sahabatmu tahu," sahut Sakura jengkel. Terkadang ia sebal bila Ino lebih membela Naruto dari pada ia yang sudah berteman dengannya sejak kecil.

"Cinta dan persahabatan itu kan berbeda," kata Ino sambil mengangkat bahunya acuh tak acuh.

Bagiamana ini? Kalau begini terus—Sakura menyentuh bibirnya—ciuman pertamanya akan diambil oleh pemuda yang tidak disukainya.

"Hm?" Ino menaikan sebelah alisnya melihat tingkah Sakura yang sedikit aneh; merona memerah sambil menyentuh bibirnya. Ia tersenyum jahil. "Kenapa dengan bibirmu? Akhirnya kau berciuman dengan Naruto?"

Blush.

"Tidak kok!" bantah Sakura keras hingga menggebrak meja. "Siapa juga yang mau mencium si Naruto-baka!"

"Heh? Sungguh? Tidak asyik ah," kata Ino malas. "Padahal ini bisa jadi berita heboh bagi penggemar seperti kami,"

"Benar. Kau penggemarnya tapi kenapa merestui cinta Naruto padaku?" tanya Sakura berdecak pinggang.

"Heh? Kau akhirnya mengakui juga ya jika perasaan Naruto padamu itu adalah cinta," kata Ino jahil. "Pastilah ada momentum yang indah pulang sekolah tadi ya? Bagi-bagilah ceritanya."

Pipi Sakura merona merah mendengarnya. "B, bukan begitu. Ah, sudahlah, jawab saja pertanyaanku, Ino-pig!"

"Yah, karena aku sudah banyak menyaksikan para gadis menyatakan cinta padanya tapi ditolak, jadi buat apa toh aku mengejarnya?" terang Ino. "Lelaki macam Naruto itu harus dibuat patah hati yang agak dalam terlebih dahulu, baru menjalin kedekatan dengannya."

Dibuat patah hati terlebih dahulu—? Sakura menggembungkan pipinya. "Aku kan sudah menolaknya berkali-kali, tapi dia tidak berubah."

"Aku tahu kok, maksudnya kalau kau memiliki pacar atau mungkin lebih bagusnya menikah dengan pemuda lain mungkin Naruto bakalan benar-benar menyerah soalmu, Sakura."

Sakura tertegun mendengarnya; Pacar—? Ia menggembungkan pipinya lagi; sejak Naruto mendeklarasikan cinta padanya, tidak ada lagi lelaki yang punya nyali mendekatinya bahkan mereka sampai menjaga jarak darinya; mungkin mereka semua takut di apa-apakan oleh Naruto yang notabene-nya seorang ketua di klub kyudo.

"Setelah dia patah hati darimu saat itu juga aku akan menjadi teman curhatannya dan akan aku utarakan perasaanku padanya setelah dia benar-benar melupakanmu," kata Ino menggebu-gebu, mata birunya berbinar-binar membayangkan skenario buatannya. "Inilah ide brilian buatanku! Hahaha!"

Sementara Sakura tertegun mendengarnya, kemudian tertunduk sambil meremas kencang ujung rok pendeknya—untuk pertama kalinya sebagai seorang sahabat, Sakura tidak menyetujui ide Ino.

Ada apa dengannya—?

"Wah, ada Ino-chan ya." kata Mebuki yang kebetulan lewat ruang tamu.

"Selamat sore bibi," kata Ino sopan sambil membungkukan badannya. Ia menyadari keanehan ibu Sakura membawa satu koper berukuran besar keluar rumah—sepertinya koper yang dibawa Mebuki akan dimasukan ke dalam mobil yang terparkir di garasi. "Pst Sakura, ibumu mau kemana membawa koper sebesar itu?" bisiknya pelan.

Sakura melipat tangan di depan dadanya, "Ayah dan ibuku mau pergi merayakan hari jadi pernikahan mereka," jawabnya jengkel. "Karena selama ini tidak pernah dirayakan di luar."

"Bukankah sudah sedikit terlambat bagi kedua orangtuamu melakukan honeymoon?" kata Ino sweatdrop.

Sakura mengangguk. Tapi memang sifat kedua orang tuanya tidak jauh berbeda dengannya, mereka bersikeras buat pergi, tujuan orang tuanya ke yokohama, kota yang di idam-idamkan kedua orang tuanya berbulan madu sejak mereka masih berpacaran.

'Aku penasaran siapa yang akan menemaniku selama satu bulan.'

Memang kedua orang tuanya akan mengambil cuti satu bulan penuh ke yokohama makanya mendengar keputusan tersebut di protesnya habis-habisan karena terlalu lama dan lagi ia tidak terlalu pandai memasak, sebagai kesepakatan, ibunya akan mengundang kenalannya yang bisa melindungi, menjaga, dan memasak untuknya.

Sakura melirik Ino. Ia tadinya sempat berpikir jika kenalan ibunya adalah Ino ternyata bukan, sikap ibunya sewaktu bertemu Ino biasa-biasa saja.

Sakura sungguh berharap teman kenalan ibunya kali ini bisa jadi teman barunya nanti bukannya menjadi musuhnya. Terakhir kali mengenalkan ia pada teman ibunya, mereka berdua berakhir menjadi musuh, jelas jadi musuh, teman ibunya itu menceritakan kejelekannya pada Sasuke yang ternyata juga naksir sama pemuda itu, tapi akhirnya Sasuke tak memilih ia maupun teman ibunya itu.

Sakura tidak sabar menyambutnya karena sore ini calon teman barunya itu bakalan datang sebelum kedua orang tuanya berangkat.

"Hey, apa tidak ada yang ingin kau tanyakan lagi padaku?" tanya Ino.

Sakura menggeleng.

"Kalau memang begitu, aku pulang ya? Dah,"

Sakura mengantar Ino sampai pintu rumahnya, dan melambaikan tangan melihat Ino keluar rumahnya. "Hati-hati di jalan."

"Ya," sahut Ino. "Paman, bibi, aku pulang."

Mebuki menghentikan aktifitasnya, "Oh, sudah mau pulang? Tidak mau makan dulu?"

"Ya, Ino-chan tidak mau?" tanya Kizashi kali ini. "Paman yang buat loh,"

Ino yang mendengarnya jadi tergoda; ayah Sakura kan seorang chef di restoran terkenal. Kemudian ia melirik mata ke Sakura malas; anehnya bakat hebat seperti itu tidak menurun ke anaknya.

Sakura yang mendapat tatapan aneh cuma bisa memasang tampang polos tidak tahu.

Ino tertawa. "Tidak, tidak usah, paman, bibi. Ada pekerjaan penting yang harus aku lakukan,"

Sakura tertawa garing. Berendam merupakan pekerjaan penting bagi seorang Ino Yamanaka?

"Begitukah? Hati-hati ya, Ino-chan," kata Mebuki.

"Ha'i," Ino mengangguk dan keluar dari pekarangan rumah Sakura.

Sakura menghela napas kecil; akhirnya Ino pergi juga. Ia pun mulai membantu kedua orang tuanya mengangkat barang-barang ke dalam mobil—mana semuanya berat-berat, padahal cuma satu bulan pergi namun seperti mempersiapkan persediaan selama satu tahun saja.

"Akhirnya selesai juga," kata Mebuki sambil membersihkan keringat di keningnya.

"Nah, kalau begitu mari kita makan." kata Kizashi menyarankan ceria.

Sakura mengangguk semangat, tanpa basa-basi langsung masuk ke dalam rumah dan duduk dengan manis di kursi tempatnya biasa duduk untuk makan. Sudah lama sekali ia tidak memakan masakan buatan ayahnya—terakhir kali ayahnya memasak untuknya sewaktu mereka merayakan kelulusan kakaknya Shi, dan itu sudah dua tahun yang lalu.

Kali ini Kizashi mau memasak buat Sakura karena ia meminta dibuatkan makanan sebelum kedua orang tuanya pergi bulan madu. Hitung-hitung sebagai pereda kejengkelannya karena akan ditinggal sendirian selama satu bulan.

"Aku akan buat masakan spesial untuk Sakura-chan tersayang," kata Kizashi mengelus-elus pucuk kepala anaknya. "Makan yang banyak ya!"

Sakura tersenyum lebar. "Ha'i," sahutnya semangat. Tanpa perlu disuruh pun ia akan memakan habis semua masakan buatan ayahnya. Enak sih.

Kizashi mengecek bahan makanan di lemari pendingin, kemudian ia mengeluarkan mie, daging, dan menma.

Di sisi lain Mebuki mengambil narutomaki, daun bawang, dan telur.

Sakura menaikan alisnya bingung; bahan-bahan yang diambil oleh kedua orang tuanya tadi bukanlah bahan makanan favoritnya—sushi. "A, Ayah? Aku minta dibuatkan sushi bukannya ramen kan?"

"Hari ini kan ada tamu teman ibu, dan dia suka sekali ramen, jadi tidak apa-apa kan?" tanya Mebuki sambil tertawa 'misterius'. "Sakura-chan cukup suka ramen kan?"

"Y-ya," memang benar tapi kan jarang-jarang ayahnya membuat menu makan keluarga, apalagi ini dibuatkan khusus untuknya jadi wajar bila Sakura meminta masakan favoritnya, dan lagi makan ramen di musim panas seperti ini—tunggu penyuka ramen? Terdengar familiar...

'Aku suka sekali ramen, dattebayo.'

Sakura menggelengkan kepalanya kuat-kuat; mana mungkin kan kedua orang tuanya mengundang 'dia'—? Tidak mungkin kan—?

'Lebih baik aku makan apel saja,' kata Sakura dalam hati, mengambil satu buah apel yang tersedia di atas meja dan langsung memakannya.

"Sakura-chan, tidak bagus loh makan apel beserta kulitnya," kata Mebuki memperingati.

"Tak apa, toh aku lapar," kata Sakura acuh tak acuh, melanjutkan menggigit apel berwarna merah gelap tersebut.

"Kau ini—"

Ting tong. Ting tong.

"Ah, itu pasti dia," kata Mebuki semangat. "Ha'i, ha'i, tunggu sebentar." lanjutnya berjalan penuh cinta menuju pintu rumah berada.

Sakura bengong; gerakan langkah ibunya barusan terlihat familiar juga di matanya, hanya ada satu orang yang bisa membuat ibunya bersikap seperti itu. Kerongkongan Sakura terasa tercekat; tidak mungkin kan—?

"Silakan masuk, silakan masuk," kata Mebuki ramah terdengar samar-samar di telinga Sakura.

Bunyi derap langkah kaki dan tawa ibunya yang samar-samar mulai terdengar jelas di telinga Sakura, ia berhenti memakan apelnya untuk sekedar menangkap percakapan selirih apa pun.

Kizashi yang melihat tingkah puteri semata wayangnya cuma bisa geleng-geleng kepala; kalau memang penasaran kenapa tidak ikut menyambut tamu bersama ibunya?

"Sakura-chan perkenalkan inilah teman yang akan menemanimu selama satu bulan," kata Mebuki begitu sampai di ruang makan.

Sakura menolehkan kepalanya acuh tak acuh, dan terbelalak lebar melihat siapa orang yang berdiri di samping ibunya, tanpa sadar apel yang berada di tangannya terjatuh ke lantai.

Kedua mata birunya menjelajahi ruangan makan setelah menemukan sosok yang dicari-carinya, bibirnya mengukir senyum. "Perkenalkan namaku Namikaze Naruto." katanya. "Mohon bantuannya selama satu bulan ini, Sakura-chan."

Kenapa?

"Kenapa aku harus bersama dia, ibu?" tanya Sakura tidak terima, menunjuk Naruto yang tertawa kecil entah karena apa.

"Naruto itu lelaki yang baik, dia pasti bisa menjagamu dengan baik," jelas Mebuki tertawa kecil sambil menepuk bahu Naruto.

"Justru dia ini lelaki paling berbahaya bagiku, ibu." bantah Sakura cepat, melipat tangan di depan dada. Seandainya ibunya itu tahu jika berkali-kali ia hampir kehilangan keperawanan bibirnya.

Satu kedutan muncul di kening Mebuki. "Sakura-chan, apa seperti ini kau menjamu tamu? Aku tidak mengajarimu untuk berkata kasar!" omelnya, lalu menoleh pada Naruto yang berada di sampingnya. "Maaf, ya Sakura-chan berkata kasar padamu."

"Aku hanya berbicara kenyataan," Sakura mencibir kesal.

"Kau ini—"

"Tidak apa-apa, bibi, aku tidak tersinggung kok," lerai Naruto sebelum Mebuki memberi pelajaran kepada anaknya.

"Begitukah?" tanya Mebuki sambil tertawa. "Kalau begitu, Sakura-chan bantu Naruto-chan membawa barang-barangnya ya!"

"Hah? Untuk apa aku membantunya? Dia kan lelaki, pasti cukup kuat kan?" tanya Sakura malas.

Satu kedutan muncul di kening Mebuki.

Plak.

"Hati-hati ya membawanya." kata Mebuki ceria sambil melambaikan tangannya.

Sementara Sakura yang berjalan keluar rumahnya hanya menggerutu memegangi pipinya yang memerah akibat pemberian gratis dari ibunya.

"Sakura-chan kau baik-baik saja?" tanya Naruto yang berjalan di samping gadis itu, cemas. "Gara-gara aku, kau jadi kena tamparan ibumu."

Sakura menggembungkan pipinya. "Ya, ini memang salahmu. Kenapa harus kau yang menemaniku selama satu bulan?"

"Ibumu yang memintaku untuk menjagamu," jawab Naruto, lalu tersenyum lebar pada Sakura. "Aku juga sudah janji tidak akan melakukan sesuatu yang aneh-aneh padamu, Sakura-chan."

"Apa bisa janjimu itu ditepati?" tanya Sakura mencibir.

"Tentu saja, kau bisa mengandalkanku, dattebayo." seru Naruto nyengir sambil mengangkat jempolnya.

Sakura sweatdrop melihatnya.

Sebenarnya apa yang direncanakan Kami-sama padanya, membuat skenario dimana ia dan Naruto harus terjebak satu rumah, padahal di sekolah ia sudah berusaha keras agar tidak bertemu pemuda satu ini tetapi sekarang ia harus menelan pil pahit bertemu setiap hari begini.

Sakura hendak mengangkat satu tas besar, namun Naruto menahannya memakai kedua tangannya, ia menghela napas; di saat seperti ini pun masih sempat-sempatnya mengajaknya bermain? Ia menyipitkan mata hijaunya jengkel. "Kalau kau menahannya, gimana aku membawanya?"

Naruto menyerahkan satu kardus yang berukuran kecil kepada Sakura. "Sakura-chan bawa yang ini saja, tak baik bagi seorang gadis membawa barang berat."

Sakura tertegun mendengarnya—tiga detik kemudian ia berbalik. "Terserah kaulah," katanya acuh tak acuh.

Naruto cuma tersenyum.

Sakura berhenti tepat di depan ruang makan. "Ibu, 'anak' ini mau ditaruh dimana?" tanyanya jengkel.

"Sakura," bagaimana bisa anaknya mengatakan hal yang tidak sopan seperti itu—? Mebuki menepuk keningnya. "Di kamar kakakmu,"

"Eh? Ibu, kan itu masih dipakai Shi-niisan, kenapa harus dipakai olehnya?" tanyanya melirik malas Naruto yang berada di belakangnya. "Kalau tidak ada tempat buatnya tinggal lebih baik batalkan saja, toh, aku bisa karate."

"Sakura-chan, jangan berkata seperti itu. Harus berapa kali ibu bilang. Kita harus sopan pada tamu." Mebuki menasehati. "Shi-kun kan sudah beli rumah sendiri, jadi kamar itu sudah tidak dipakai lagi."

'Kalau tamunya dia pengecualian bagiku,' kata Sakura dalam hati.

"Naruto-chan, jangan sungkan ya? Kamarnya sudah bibi bersihkan kok," kata Mebuki ramah.

"Eh, i, iya," Naruto jadi malu karena sudah merepotkan banyak orang.

Wajah Mebuki yang ramah berubah menjadi serius kala menatap anaknya. "Antarkan Naruto-chan, ya Sakura-chan?"

Mau tidak mau, Sakura menuruti perkataan ibunya, ia melangkah naik ke lantai atas.

Tidak Ino, tidak ibunya, bahkan ayahnya yang biasanya membelanya pun tidak mengeluarkan suara memprotes seperti biasanya; semuanya lebih membela Naruto ketimbang dirinya yang seorang sahabat dan seorang puteri semata wayang di keluarganya.

Sakura melirik tajam Naruto; pemuda itu benar-benar berbahaya tingkat dewa seperti adiknya 'itu', kehidupannya jadi berubah drastis semenjak bertemu dengannya.

Naruto yang ditatap seperti itu menjadi salah tingkah dibuatnya—baru kali ini Sakura menatapnya intens. "Em, Sakura-chan? Apa kita sudah sampai?"

Sakura memutus lirikan tajamnya, lalu menghela napas kecil; ditatap seperti itu olehnya malah membuat Naruto menjadi merona merah bukannya takut—Naruto itu pemuda yang paling tumpul yang pernah ditemuinya; semua pemuda biasa yang mendekatinya pasti bakalan menyerah dan kabur setelah ia melempar pandangan tersebut, tetapi Naruto malah bersikap imut.

Yah, Sakura tidak tahu Naruto itu bisa disebut pemuda biasa atau bukan.

Sakura menatap pintu kecokelatan dihadapannya dengan gugup; ia tidak menyangka kamar kakaknya yang disenanginya untuk berkunjung setiap kali ia kangen dengan kakaknya karena—bersebelahan dengannya akan menjadi menakutkan setelah Naruto menempatinya.

Kunci kamar yang dipegangnya menggantung di lubang kunci karena ia begitu gugup hingga tak sanggup memutarnya; tangannya seakan-akan membeku.

Naruto menaikan alisnya bingung akan kebekuan Sakura membuka pintu kamar, ia pun menepuk bahu gadis itu pelan. "Biar aku saja ya Sakura-chan." katanya, lalu mengambil alih tugas Sakura—dan dengan satu bunyi suara 'klik' pintu pun terbuka. Naruto masuk duluan, seketika matanya melebar terkesima melihat kamar Shi yang penuh akan poster gambar karakter anime dan game. "Huwa, sugoi..."

Sakura tersadar akan lamunannya setelah mendengar suara Naruto, ia pun ikutan masuk ke dalam kamar kakaknya, dan duduk di pinggir kasur barulah menaruh kardus milik Naruto di sampingnya. "Huh, ini sih biasa." katanya mengejek.

"Ini surga, surga, dattebayo."

Sakura tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa kecil melihat tingkah polos Naruto, saat itulah tanpa sengaja tangannya membentur kardus di sisinya. "Ah," ia terkesikap pelan bersamaan dengan barang-barang yang berada di dalam kardus berjatuhan ke lantai. Ia pun turun dari kasur dan mulai mengambil barang-barang yang terjatuh olehnya—ternyata isinya buku-buku pelajaran sekolah beserta poster besar jadwal belajar Naruto, lucunya ada sebuah catatan pendek di pojok kanan bawah bertuliskan: berjuanglah Naruto! Dan di bawahnya, tertulis namanya disertai simbol hati berwarna pink.

Sakura tidak pernah menulis ini, sepertinya ini inisiatif Naruto sendiri, ini membuat ekspresi wajahnya berubah sedih.

Naruto benar-benar serius dengannya...

Tidak mau dibuat bimbang, Sakura segera menggulung poster tersebut. "Ng?" ia bergumam pelan—ada sebuah bingkai foto di bawah poster tadi, mata hijaunya tidak dapat menangkap foto siapa yang tertempel di sana karena tertutup buku pelajaran sastra jepang—rasa penasaran hinggap di hatinya, ia pun mengambil buku pelajaran itu—dan mendapati sebuah foto seorang gadis seksi mengenakan bikini tengah berjemur di pantai, yang tak lain gadis seksi tersebut adalah dirinya sendiri.

"..."

"KYAAA..."

Naruto terkejut bukan main mendengar teriakan Sakura yang kerasnya juga bukan main-main, ia menolehkan kepalanya memastikan apa yang sedang terjadi dengan gadis itu—matanya menangkap bingkai foto yang dipegang Sakura, dan detik itu juga pipi Naruto pun merona hebat seperti Sakura. "Sa-Sakura-chan kau salah paham."

Sakura langsung menatap Naruto dengan pandangan yang membunuh. "Bagaimana bisa aku salah paham hah?" tanyanya tajam, menunjuk foto dirinya sendiri. "Fakta berbicara,"

"Sakura-chan," kalau sudah marah seperti ini, Naruto susah buat meyakinkannya.

"Kau dapat dari mana foto ini? HAH?" tanya Sakura menuntut; ia teringat akan sesuatu, fotonya itu sewaktu ia liburan musim panas, dan waktu itu ia hanya mengajak Ino dan Tenten; Naruto sendiri tidak ikut karena tidak ia ijinkan. "Jelaskan!"

"Aku dapat foto itu dari Kiba. Percayalah padaku Sakura-chan," Naruto menjelaskan dengan keringat membanjiri tubuhnya. "Aku baru saja mau memberikannya padamu, dari pada aku mengembalikannya pada Kiba."

Amarah Sakura mereda; Kiba; memang pemuda berambut cokelat itu sempat datang ke pantai dimana ia dan teman-temannya berada, dan saat itu memang ia tengah berjemur di bawah sinar matahari. Kedua tangannya terkepal kencang di sisi tubunya. "Awas dia nanti, akan aku beri pelajaran."

Naruto mundur selangkah, takut akan hawa-hawa membunuh yang mengelilingi tubuh Sakura. "K-kalau begitu masalah sudah selesai?"

Sakura menatap tajam Naruto; pemuda satu ini pun harus diberi pelajaran karena sudah mau menerima dan menyimpan fotonya bukannya langsung memberikan kepadanya.

"Sakura-chan lebih baik nanti saja marahnya. Aku mau belajar nih," kata Naruto berusaha membela dirinya.

Mendengar hal tersebut Sakura kembali teringat akan masalahnya yang lain; apa yang harus dilakukannya agar Naruto tidak bisa belajar dan jadi tidak mendapatkan ranking satu? Ia menggerutu kesal tidak mendapat jawaban, tanpa sengaja matanya melirik ke Naruto yang mulai menaruh dan merapikan buku-buku pelajaran di meja belajar—dan detik itu juga sebuah bola lampu alias ide muncul di kepalanya.

"E-eh!" Naruto tersontak kaget tangannya secara tiba-tiba ditarik oleh Sakura begitu kencang. "Sakura-chan kita mau ke mana?" tanyanya.

Sakura tidak menjawab, masih terus menarik tangan Naruto penuh semangat—menuju ruang makan dimana kedua orang tuanya berada.

Mebuki yang pertama menyadari Sakura dan Naruto sampai di ruang makan. "Ah, kalian sudah selesai—"

"Ibu, aku setuju Naruto tinggal bersamaku." kata Sakura lantang.

"Eh?" seru Mebuki dan Kizashi bersamaan, kaget.

Naruto pun tak kalah terkejutnya seperti kedua orang tua Sakura, namun ia memilih diam; Sakura pasti punya alasan yang kuat mengapa akhirnya setuju ia tinggal di sini.

"Tapi kenapa tiba-tiba Sakura-chan?" tanya Mebuki; meskipun hatinya senang pada akhirnya puteri semata wayangnya mau tinggal bersama tetap saja aneh karena Sakura terlalu tiba-tiba setuju, beberapa menit yang lalu kan anaknya itu terusan jengkel setelah tahu Narutolah yang akan menemaninya selama satu bulan.

"Aku ingin mengetahui Naruto lebih dalam, itu alasanku, bu," jawab Sakura ceria, ia bahkan sampai melingkarkan tangannya ke Naruto sambil menyandarkan kepalanya di bahu pemuda itu juga supaya alasannya lebih dipercaya.

Naruto sendiri tertegun dengan rona pipi memerah; mungkinkah Sakura sudah mau menerimanya? Ia tidak tahu foto seksi Sakura ternyata bisa membuat gadis itu berubah pikiran, jika tahu begini jadinya, seharusnya sudah ia tunjukan sejak pertama kali menerima foto tersebut.

"Benarkah?" Mebuki menaruh curiga akan alasan anaknya, namun ia pun mengangguk paham. "Baiklah kalau begitu. Naruto-chan, tolong bersikap baiklah pada Sakura-chan ya?" tanyanya.

"Tentu saja, dattebayo," sahut Naruto semangat.

"Kalau begitu, ibu dan ayah berangkat saja sekarang, nanti ketinggalan naik pesawatnya loh," kata Sakura dengan senyum manisnya.

"Apa tidak apa-apa?" tanya Mebuki.

Sakura mengangguk—Naruto yang berada di sebelahnya pun melakukan hal yang sama.

"Ayah, apa ramennya sudah selesai?" tanya Mebuki.

"Hm, sudah selesai kok, tinggal dituang saja ke mangkuk," sahut Kizashi setelah mengecek rebusan mie ramen.

Sakura menepuk-nepukan tangannya ceria. "Kalau begitu serahkan saja sisanya padaku, ayah dan ibu cepatlah naik ke mobil." katanya mendorong punggung Kizashi menuju tempat mobil di parkir, barulah ia mendorong Mebuki sampai ke sana juga.

"Gesh, Sakura-chan kau benar-benar bertingkah aneh," keluh Mebuki akan sikap ceria anaknya.

"Sudahlah, mungkin dia memang mendapat pencerahan setelah berduaan dengan Naruto-kun tadi," gurau Kizashi garing, masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin.

Sakura pun ikutan tertawa garing, ia melambai-lambaikan tangan kepada kedua orang tuanya. "Hati-hati ya ayah, ibu."

Kizashi mengacungkan jempolnya, sementara Mebuki melambaikan tangannya seperti halnya Sakura.

"Kau juga ya Sakura-chan, hiduplah dengan bahagia bersama Naruto," kata Mebuki.

"Ibu, aku ini kan bukan mau berumah tangga," sahut Sakura sweatdrop; setelahnya mobil yang dikendarai ayahnya pergi menembus alun-alun kota; ia pun menghela napas lega, lalu berbalik—dan menyipitkan mata melihat Naruto yang tersenyum lebar padanya, "Apa?" tanyanya galak.

Naruto menggeleng, "Sakura-chan lapar tidak?" tanyanya antusias; ini pertama kalinya mereka berdua makan bersama, baginya ini termasuk kencan!

Sakura berpikir sebentar barulah mengangguk.

"Aku juga, ayo kita makan nanti ramennya keburu dingin," kata Naruto, masuk ke dalam.

Sakura tersenyum penuh arti.

Pemuda itu akan menyesal sudah mau berada satu rumah dengannya.

Silakan menunggu dan melihat.

.x.

"Sakura-chan..."

Sakura menggeliat tak nyaman di tidurnya. "Ng. Pergi. Ng." tidak tahu kenapa ia sedang mimpi indah berlibur di hawaii—?

"Sakura-chan...'

Sakura kini tersenyum dalam tidurnya. "Ah, aku paling tidak bisa melawan wajah imut itu. Ng. Naruto."

Sakura-chan!"

Sakura seketika mata hijaunya terbuka sepenuhnya—dan menutup lagi karena masih mengantuk, dan memaksa membuka lagi matanya melihat siapa yang berani sekali membangunkan seorang seperti Haruno Sakura adalah Naruto—yang berwajah memerah padam berada beberapa senti dari wajahnya.

"..."

Blush.

"Kyaaa..." teriak Sakura sambil memukul Naruto keras hingga membuat pemuda itu terpental membentur pintu kamarnya. Ia segera mengecek bagian bawah tubuhnya—dan menghela napas lega baju tidurnya masih terpasang di tubuhnya bahkan kancingnya pun juga masih rapih.

"Itai," rintih Naruto memegang pipinya yang membiru; bahkan tanpa sarapan pun kekuatan pukulan Sakura kuat—apa memang kekuatan gadis itu sudah bawaan dari lahir!?

Sakura memandang Naruto tajam. "Kenapa kau bisa masuk ke kamarku!?" tanyanya setelah melihat jendela masih terkunci.

Naruto pun bangun, dan merogoh saku celananya—mengeluarkan sebuah gantungan kunci yang berjumlah cukup banyak. "Bibi yang memberikan kunci-kunci ini padaku, karena Sakura-chan sulit buat dibangunkan pagi-pagi,"

Kenapa? Kenapa ibunya melakukan hal yang paling membahayakan bagi hidupnya? Untunglah ia bangun di waktu yang tepat sekali kalau tidak? Ia tak tahu apa yang akan terjadi.

"Kan ada pintu! Kau bisa mengetuknya!" seru Sakura tak terima penjelasan Naruto.

"Aku sudah mengetuknya berkali-kali, tapi Sakura-chan sama sekali tidak menjawab, ya sudah aku masuk," kata Naruto sambil menggaruk pipinya yang merona—siapa sangka ia akan menemukan 'sesuatu' yang menarik membangunkan Sakura di pagi hari.

Satu kedutan muncul di kening Sakura, rasanya ia ingin menghajar habis-habisan pemuda sok imut di depannya ini. Lalu mengulurkan tangannya.

"Apa?" Naruto tidak mengerti isyarat yang dilempar Sakura padanya.

"Tentu saja kunci kamarku," sahut Sakura emosi.

Naruto mengangguk patuh dan melepaskan kunci kamar Sakura dari gantungannya.

Sakura menerimanya, namun ketika mau hendak melepas kontak tangan mereka, ia justru ditarik keluar kamarnya; lagi-lagi seperti ini, dasar. "Kau mau membawaku kemana Naruto? Aku mau cuci muka."

"Aku sudah buat sarapan pagi untukmu Sakura-chan."

Sarapan—pagi—?

Sakura menepuk keningnya; rasanya suasana ini benar-benar seperti kehidupan rumah tangga yang nyata bagi dirinya—dan Narutolah yang berperan menjadi seorang istri—bukan dirinya.

Aroma yang sangat harum menyambut hidung Sakura ketika ia sampai di ruang makan, ia lantas duduk di kursi yang sudah Naruto tunjuk. Ia tak memungkiri bahwa aroma yang dihirupnya ini sangat sedap. Sepertinya Naruto juga pandai memasak. Ia pun tertunduk suram, jika benar adanya berarti Naruto itu pandai dalam segala hal—tidak heran Ino bilang bahwa ia gadis yang biasa saja; memikirkannya membuatnya kesal. "Apa yang kau masak hah?" tanyanya jengkel.

"Sakura-chan jangan marah dong," kata Naruto gugup. Kemudian ia pun membuka tudung saji di atas meja makan perlahan. "Ini makanan yang spesial kubuatkan untuk Sakura-chan."

Mata Sakura terfokus pada tudung saja itu—menanti-nantikan dengan senyum cerah di bibirnya—dan senyumnya seketika menghilang setelah melihat makanan di depannya. "Sup miso—dan nasi?"

Naruto mengangguk-ngangguk penuh senyuman. "Cobalah, Sakura-chan."

Sakura mengambil sumpit di sisi mangkuk sup, ia menganalisis sup tersebut sebentar lalu menatap Naruto curiga. "Kau tidak memasukan ramuan cinta ke dalamnya kan?"

"Mana mungkin," sahut Naruto menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan ucapan Sakura. "Aku bukanlah lelaki yang pecundang, Sakura-chan, melakukan segala macam cara agar gadis yang kucintai berbalik mencintaiku."

Sakura tertegun mendengarnya, ia pun menunduk menyembunyikan wajahnya yang merona—padahal ia hanya bergurau tetapi Naruto membalas dengan kata-kata yang menurutnya manis. Merasa suasana berubah menjadi panas dan canggung, ia pun bangkit dari kursinya, menuju kamar mandi, dan kembali ke kursinya dan mulai melahap sup miso bagiannya, "Itadakimasu."—dan terdiam merasakan rasanya.

Luar biasa enaknya. Itulah yang menggambarkan rasa yang dirasakan lidahnya. Sakura cuma bisa bengong menatap ngeri sup miso buatan Naruto itu; rasanya Naruto pun memiliki bakat hebat dalam memasak, meskipun cuma makanan rumahan biasa, dibandingkan dirinya yang masih belajar memasak dan gagal terus. Perbedaan ini membuatnya tertunduk sedih. Padahal ia seorang gadis tapi payah dalam memasak.

"Tidak enak ya?" tanya Naruto murung, menebak ekspresi Sakura yang berubah sedih setelah mencicipinya; padahal ia ingin membuat Sakura bahagia dengan memasakan sarapan pagi untuknya ternyata hasilnya malah kebalikannya. "Buang sajalah Sakura-chan."

Sakura menghentikan tangan Naruto yang hendak mengambil sup miso bagiannya. Ia menggeleng. "Jangan. Aku mau menghabiskannya,"

"Aku tidak mau memaksa—"

"Aku akan menghabiskannya kubilang!" bentak Sakura keras.

Naruto mundur selangkah, lalu tertunduk murung. "Maaf,"

"Ah," Sakura pun ikut tertunduk melihat wajah Naruto yang murung, ia meletakan tangannya di atas tangan pemuda itu. Hangat. "Justru aku yang harusnya minta maaf sudah membentakmu."

Wajah Naruto cerah kembali; biasanya gadis berambut pink itu akan pergi setelah membentaknya, tetapi sekarang menghiburnya bahkan tanpa ragu mau menggenggam tangannya. Ia senang sekali. "Tak apa Sakura-chan," katanya disertai cengiran khasnya. "Aku sudah biasa di bentak Sakura-chan,"

Mata hijau Sakura menyipit. "Perlu ya mengatakan hal yang terakhir itu?" tanyanya jengkel, lalu tersenyum lembut. "Sup miso ini enak sekali loh,"

"Sungguh?" tanya Naruto semangat.

Sakura mengangguk meyakinkan. "Makanya aku mau menghabiskannya."

Naruto terharu mendengarnya, ia pun segera mendekat dan berusaha memeluk gadis pujaannya. "Terima kasih Sakura-chan—"

Sakura langsung memukul wajah Naruto sebelum pemuda itu berhasil memeluk tubuhnya. "Kau mau ngapain sih?" tanyanya.

Naruto cuma bisa mengelus wajahnya yang memerah terkena pukulan Sakura, setelah rasa sakitnya hilang, ia pun mulai makan sup buatannya. "Itadakimasu," katanya dan langsung melahap semua hidangan dengan cepat.

Sakura tertawa kecil melihat tingkah Naruto. Ia melihat sup miso miliknya, sebenarnya porsi yang diberikan Naruto untuknya agak kebanyakan tapi tak apalah, untuk sarapan pagi, ia melonggarkan asupan makannya.

"Enak sekali," kata Naruto setelah selesai makan, "aku memang hebat," lanjutnya pede.

Sakura sweatdrop mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Naruto. Pemuda ini percaya dirinya juga sesuatu sekali. "Lebih baik kau segera siap-siap, aku tak mau menunggu kalau kau lama."

Naruto mengangguk paham, lalu ia bangkit dari duduknya dan naik ke lantas atas—bersiap-siap berangkat ke sekolah.

Sakura melihat mangkuk supnya yang telah kosong dengan senyuman. Ia menaruh mangkuk dan piring yang kotor ke tempat khusus cuci piring, dan mulai membersihkannya; Naruto sudah mau berbuat baik padanya sepagi ini, mungkin akan lebih baik jika ia membalas kebaikan tersebut.

Ya, benar.

Setelah selesai mencuci, Sakura mengecek persediaan bahan makanan di lemari pendingin; dan berpikir masakan apa yang cocok buat dijadikan bento. Akhirnya ia memilih untuk mengisi bento dengan karaage, onigiri, dan tamagoyaki, dan juga salad. Buat yang muda terlebih dahulu yaitu onigiri—Naruto sering membeli ramen sebagai makan siangnya, lebih baik ia buat onigiri isi salmon dan umeboshi biar lebih sehat—meskipun ia tidak tahu sama sekali ibu Naruto sering atau jarang menyajikan memasakan yang sehat pada Naruto.

Sakura memutuskan berhenti setelah membuat onigiri kelimanya, ia rasa ini sudah cukup buat nafsu makan Naruto yang besar, ia pun menaruh ke dalam kotak bento yang dulunya dipakai untuk kakaknya. Setelah selesai menaruh semuanya, tamagoyaki target selanjutnya.

Naruto yang baru saja sampai di bawah tangga mencium aroma harum dari arah dapur—ia menaikan alis; sepertinya Sakura memasak? Apakah sup miso buatannya belum cukup memuaskan perut gadis itu? Padahal ia sudah memperbanyak porsi untuknya. Penasaran, ia pun melangkah menuju dapur—dan memergoki Sakura tengah menutup kotak bentonya dengan terburu-buru. Ia segera menghampiri gadis berambut pink itu. "Sakura-chan. Kau membuat bekal makan siang untukku ya?" tanyanya antusias.

"Wakh," Sakura terkesikap, kaget, tahu-tahu Naruto sudah berada di sampingnya. "Dasar, kenapa kau suka sekali mengagetkan orang?" tanyanya jengkel.

"Maaf deh," kata Naruto nyengir tidak berdosa. "Sakura-chan membuat bekal ya? Apa buatku juga ada?" tanyanya menunjuk dirinya sendiri.

Sakura menyerahkan kotak bekal yang baru saja diselesaikannya tanpa memandang mata biru di seberangnya. "Nih bagianmu, anggap sebagai ucapan terima kasih saja, sudah mau memasak sarapan pagi untukku," katanya dengan rona merah.

Naruto senang bukan main; ini bekal buatan pertama calon kekasihnya. Ia pun menerimanya dengan senang hati. "Terima kasih banyak Sakura-chan." katanya tulus—tanpa sengaja matanya melihat piring berisi satu kepal onigiri, karaage, dan tamagoyaki. "Sakura-chan itu apa?"

Sakura mengambil piring tersebut dari meja makan. "Oh ini? Ini sampel bekal yang kubuatkan untukmu."—akibat mendengar suara langkah kaki Naruto, ia langsung memasukan semuanya tanpa sempat mencicipinya apa enak atau tidak, padahal ia sengaja memisahkannya masing-masing satu untuk dicoba.

"Boleh kucoba?" tanya Naruto semangat. "Kelihatannya enak."

"Kau benar-benar ingin mencobanya?" Sakura bertanya; dan ketika Naruto mengangguk, ia langsung mengulurkan piring tersebut pada Naruto. "Nih,"

Naruto menerimanya, lalu melirik ketiga masakan itu secara bergantian, ia bingung mau memilih yang mana yang harus pertama kali dicobanya, ia pun menjatuhkan pilihan pada tamagoyaki yang terlihat lebih menarik dari yang lain, dan mulai melahapnya dalam satu kali suapan.

"Bagaimana?" tanya Sakura deg-degan.

Awalnya Naruto tidak menjawab, ia melirik lagi dua masakan yang tersisa di piring dengan tatapan misterius. "Enak!" jawabnya sambil mengacungkan jempolnya.

'Pedas! Pedas! Kenapa bisa pedas seperti ini, dattebayo!?' begitulah kebenaran hati kecil Naruto sesungguhnya.

"Syukurlah," kata Sakura menghela napas lega, dan tertawa. ''Aku sempat berpikir akan gagal."

"Tidak kok Sakura-chan." kata Naruto ikutan tertawa bersama sebentar, lalu kembali memfokuskan mata birunya kedua masakan yang tersisa; padahal dari segi penampilan sangat menggoda namun ternyata dibalik kecantikannya tersimpan sesuatu yang mengerikan—rasanya masakan Sakura benar-benar mencermikan jati diri gadis itu; ia mengambil pilihan penampilan yang terlihat sederhana di matanya yaitu karaage, dan lagi, melahapnya dengan satu kali suapan.

Sakura menunggu dengan degub jantung yang berdetak cepat.

"Enak!" kata Naruto dengan senyum lebar, namun anehnya bulir-bulir keringat bermunculan di wajahnya.

"Sungguh?" tanya Sakura, memastikan lagi. Masakannya untuk pertama kalinya tidak gagal?

Naruto mengangguk. "Iya Sakura-chan—"

Bruk!

Sebelum bisa menyelesaikan ucapannya, tubuh Naruto sudah jatuh terlebih dahulu.

Sakura dilanda panik luar biasa, seketika itu juga ia berjongkok di samping Naruto dan mulai mengguncang-guncangkan bahu pemuda berambut pirang itu. "Naruto!?"

Tidak ada jawaban.

"Naruto!?"

...

.x.

"Dasar, kalau tidak enak bilang yang jujur dong!" omel Sakura tak henti-hentinya semenjak keluar dari rumah menuju ke sekolah. "Kau ini selalu memaksakan diri."

Naruto yang berada di sampingnya tertawa lemah sambil memegangi perutnya yang masih bergemuruh hebat—bukan karena masih kelaparan melainkan sehabis memakan masakan buatan Sakura, syukurlah setelah ambruk, ia langsung diberi pertolongan pertama oleh Sakura.

"Dasar," kata Sakura tertunduk sedih. "Aku memang tidak berbakat memasak, masakan sederhana seperti itu pun tidak bisa,"

"T-tapi, onigiri buatanmu enak sekali loh, Sakura-chan! Sungguh," kata Naruto menyemangati; memang setelah siuman, ia langsung mencicipi makanan yang belum dimakannya, onigiri—tanpa mempedulikan protes dari gadis itu; ia kan sudah meminta sendiri untuk memakan masakan Sakura, mana mungkin ia mengingkari ucapan yang sudah dikatakannya.

"Begitukah—?" tanya Sakura masih sedih. "Keahlian yang bisa kulakukan hanyalah sesuatu yang sederhana."

Keluar lagi. Naruto paling tidak suka ekspresi wajah Sakura yang sedih seperti itu—ia menggenggam tangan Sakura erat—membuat gadis itu mendecak kesal—ia tidak tersinggung dengan decakan tersebut justru Naruto memamerkan cengiran khasnya. "Hal sesederhana itu penting bagiku loh Sakura-chan. Aku senang sekali Sakura-chan mau melalukan sesuatu untukku. Aku mau loh mencobanya lagi."

"Naru—" Sakura tertegun mendengarnya, ia tertunduk menyembunyikan roan merah di kedua pipinya; ini sedikit aneh mendengar kata-kata yang pernah diucapkannya dulu kepada Sasuke.

Dulu juga ia pernah sengaja membuatkan bekal makan siang buat Sasuke agar pemuda itu sedikit mau menerima keberadaannya, tapi Sasuke yang sudah sejak lama tidak pernah menaruh perasaan suka padanya, lantas menolak bento buatannya mentah-mentah.

Sakura yang putus asa pun berkata. "Cobalah dulu Sasuke-kun, mungkin masakanku sederhana, tapi ini sangat penting bagiku!"

Sasuke pun terdiam awalnya, akhirnya ia pun mau menerimanya tanpa mengatakan satu patah kata pun, lalu ia membuka tutup bento tersebut, mengambil kroket memakai sumpit dan memasukannya ke dalam mulut.

Dan reaksi Sasuke setelah mencicipi masakannya sama seperti halnya Naruto—bahkan lebih parah, pemuda berambut biru gelap itu sampai harus di rawat di rumah sakit karena gangguan pencernaan.

Semenjak kejadian mengerikan itulah, Sasuke sudah tidak mau memakan bento buatannya lagi meskipun ia memohon atau pun merayunya, tetap tidak bisa mengubah keputusan pemuda itu; hubungannya pun yang tadinya memang buruk, semakin parah.

Tapi Naruto berbeda dengan Sasuke yang sekali coba langsung marah dan menolak mencoba lagi—Naruto justru mau mencoba masakannya lagi, itu membuat Sakura sedikit senang—mungkin ia sedikit mengerti mengapa Sasuke pada saat itu mau menerima bento miliknya.

"Oi! Naruto!"

Naruto dan Sakura menoleh bersamaan—di belakang mereka ada Kiba yang sedang berlari ke arah mereka; secara refleks Sakura melepaskan genggaman tangannya; ia tidak ingin terjadi salah paham yang membuat rugi dirinya, meskipun ia tidak tahu sejak kapan Kiba ada di belakangnya, seketika itu juga Naruto berlari menuju Kiba, dan merangkul pemuda itu.

"Eh, kau pegangan tangan sama Sakura, apa kalian berpacaran?" bisik Kiba jahil menyikut-nyikut lengan Naruto.

Pipi Naruto memerah, "Hey, nanti Sakura-chan dengar loh, nanti kita dipukul sama dia." omelnya.

Kiba merinding, tentu ia tak ingin mendapat pukulan gratis di pagi hari begini tapi, "Berarti masih sama?" bisiknya lebih pelan lagi. Dasar.

Naruto ingin sekali menjawab 'tidak' namun akhirnya ia mengangguk pasrah, yang disambut gelak tawa temannya itu. "Hoi, jangan ketawa, dattebayo!"

"Ya habis kau ini payah sekali, Naruto. Sakura pun tidak bisa kau taklukan sampai saat ini," kata Kiba mengejek.

Amarah Naruto memuncak. "Kau ini—"

Tiba-tiba Sakura muncul di antara mereka. "Maaf ya aku sulit ditaklukan, tapi ada sesuatu yang ingin aku berikan pada kalian berdua."

Naruto dan Kiba meneguk ludah mereka bersamaan.

Duagh! Duagh!

Sakura menepuk-nepukan telapak tangannya setelah selesai memberi pelajaran, perasaannya lega sekali sekarang ini! Ia pun berjalan dengan senyum lebar di bibirnya, meninggalkan kedua pemuda itu terkapar di trotoar karenanya.

"Sakura! Selamat pagi!"

Sakura menoleh, dan tersenyum lebar menghampiri Ino yang sedang err—sarapan pagi? Di kedai roti dekat sekolah mereka. "Selamat pagi juga Ino,"

"Kau terlihat bahagia sekali. Ada apa?" tanya Ino penasaran.

Sakura menyilangkan kedua jari telunjuk di bibirnya yang berarti rahasia.

Ino mengerucutkan bibirnya. "Pelit."

Sakura tertawa sambil duduk di samping Ino.

Di sisi lain, Naruto sweatdrop; Sakura terlihat begitu bahagia setelah memukulnya dan Kiba tanpa alasan yang jelas—? "Mengapa aku juga harus kena pukul sih?" katanya bertanya-tanya, ikutan duduk di kursi kedai roti, tepat di samping Sakura, disusul oleh Kiba.

Sakura melirik tajam dan menusuk pada Naruto; ia memukul kan bukan tanpa alasan, siapa yang bilang ia lupa untuk membeli pelajaran karena sudah menyimpan foto seksinya, itulah akibatnya jika berurusan dengan Haruno Sakura.

"Betapa kejam si Haruno Sakura ini,"

Sakura menggebrak meja kedai kasar. "Siapa yang berani berbicara begitu!?"

Seluruh mengunjung bergidik ngeri.

Naruto mengangguk, mencari siapa yang telah berani menghina gadis yang dicintainya. "Hm-hm, siapa yang berani mengatakan hal itu—eh?"

"Aku," seorang gadis berambut merah panjang berdiri di belakang Sakura, menunjuk dirinya sendiri lalu berdecak pinggang menantang.

Sakura pun melipat tangan di depan dadanya, terganggu akan posisi menantang gadis misterius itu; ternyata yang mengatakan itu hanya seorang gadis yang lebih kecil darinya—? Sepertinya gadis itu masih duduk di bangku SMP—ketika melihat bentuk tubuhnya entah kenapa terlihat sangat familiar di matanya—? "Siapa kau ini? Hah?"

Sudut bibir gadis itu tertarik, ia menunjuk Sakura tanpa ragu. "Itu tidak penting. Tujuanku ke sini untuk mengambil sesuatu yang telah kau curi."

Sebuah tanda tanya besar muncul di atas kepala Sakura—mencuri? Ia sama sekali tidak merasa mencuri dari 'bocah' ini, dan lagi ia kan tidak mengenalnya—bagaimana bisa melakukan pencurian? "Kau ini bicara apa? Aku mengenalmu saja tidak."

"Kau mencuri! Mencuri!" teriak gadis itu kesal.

Sakura mulai tidak tertarik sekarang; apakah bocah ini sudah mulai gila? Teriak-teriak menuding dirinya. "Aku tidak punya waktu meladeni bocah sepertimu."

"Bocah?" gigi gadis itu menggertak tidak terima—ia paling benci dipanggil 'bocah'. "Kuperingatkan padamu, aku mau mengambil Namikaze Naruto," ia menunjuk Naruto yang sejak tadi terdiam.

Sakura lantas segera menoleh ke arah Naruto; yang mendapat tatapan darinya hanya tertawa gugup sambil menggaruk belakang kepalanya.

Apa hubungan gadis berambut merah ini dengan Naruto?

Seolah tahu apa yang dipikirkan Sakura, gadis berambut merah misterius itu berkata penuh rasa percaya diri. "Karena dia adalah milikku,"

"EH!?"

Bersambung...

Hai, udah lama ga ketemu, ya #sokkenal

Saya buat fic baru bukan tanpa alasan, ini saya buat buat adik tercinta si nasa. Happy brithday ya! Meski telat banget. Dan publish-nya pun lewat hp.

Sekalian juga pelepas rindu akan karakter naruto yang dulu saya sukain, lucunya adek saya pun juga lagi kangen. Semoga bisa mengobati ya!

Awalnya ini cuma satu chapter karna kebanyakan saya putusin buat dipisah jadi dua chapter. Oh, ya ini juga prekuel fic Naisho no Jikan, fic ini ngejelasin kenapa sakura nerima cinta naruto gitu aja.

Thanks for reading...