a little dialogue

Naruto belongs to Masashi Kishimoto

ShikaTema. K. Romance.

[I gain no material profit, though the story is originally mine. Dibuat hanya untuk memuaskan hasrat pribadi.]

.

Peringatan: Fic ini hampir full dialog. Deskripsi hanya selipan di beberapa tempat. Untuk detail adegan lain yang tidak dideskripsikan berarti bebas interpretasi. Gaya ini tserinspirasi dari salah satu fic lama berbahasa Inggris yang saya lupa judulnya, orz.

Selamat membaca.

.

.

.

"Kau melamun?"

"…tidak juga."

"Lalu?"

"Ummm … kau mau berjanji?"

"Ng?"

"Kau … kau mau berjanji kau tidak akan meninggalkanku?"

"Huh?" Pria itu mengernyit. "Kau ini bicara apa?"

"Jawab saja."

Garukan di leher. "…merepotkan."

"Aku serius, Shikamaru."

"Kukira kau tahu jawabannya?"

"Tidak. Karenanya, beri tahu aku."

"Kalau begitu jawabanku tidak."

"Apa?"

"Jawabanku atas pertanyaanmu. Kau bertanya apa aku berjanji tidak akan meninggalkanmu dan jawabanku tidak. Aku tidak bisa berjanji. Namun, jika kau bertanya apa aku akan meninggalkanmu, maka jawabanku pun tidak."

"…sekalipun seperti Ayah meninggalkan Ibu?"

"…Temari, kau tahu aku tidak akan bisa menebak kematianku sendiri. Lagipula Ayah tidak pernah meninggalkan Ibu. Ibu sendiri tidak pernah merasa ditinggalkan Ayah. Kau tahu itu, kan?"

"Tapi…"

Helaan napas. "Sejak kapan kau jadi cengeng begini? Bukankah biasanya kau yang menyebut-nyebutku cengeng?"

Kepala sang wanita tertunduk. Tangannya terkepal, entah disadari lawan bicaranya atau tidak. "…aku … aku hanya takut … mungkin. Melihat Ibu kini sendiri ditinggal Ayah, seperti Guru Kurenai ditinggal Guru Asuma…."

Ucapan itu tak berlanjut, menggantung begitu saja.

"Kau sakit?"

Temari mengangkat wajah. "Apa?"

"Bicaramu mulai melantur. Sebaiknya kau istirahat."

"Aku serius, Shikamaru!"

"Baik, baik. Aku hanya khawatir, Temari. Tidak biasanya kau seperti ini—berhenti memelototiku, oke?"

"…jadi?"

Helaan napas lagi. "Aku tidak mengerti sejak kapan kau mulai memikirkan hal-hal semacam ini. Lihat, aku di sini sekarang. Bagaimana bisa kau memiliki alasan untuk khawatir?"

"Kau mau berjanji?"

"Astaga." Desah lepas. "Apa kau lihat aku punya alasan untuk menolak?"

"Bukankah tadi kau baru melakukannya?"

"Maksudku, kau dan aku tahu kita sama-sama tidak menginginkanya."

"Kuanggap itu sebagai pernyataan janjimu."

"Akan kutepati sebisaku."

"Kau sudah berjanji."

"Aku sudah berjanji. Kau mau ke hutan?"

"Untuk apa?"

"Berjalan-jalan. Melihat rusa-rusa. Kupikir akan menyenangkan sebagai pelepas penat. Sudah lama kita tidak jalan-jalan berdua, kan?"

Diam. Kerjap. Desah, disusul senyum. "Tidak buruk."