"Chained To You"
Disclaimer : The story belongs to Summer Plum. Nama-nama yang tercantum dalam cerita sepenuhnya milik mereka.
Genre : Romance, Drama-Hurt, Little Bit Action
Main Casts : Kim Tae Hyung x Jeon Jung Kook
Other Casts : Kim Nam Joon | Kim Seok Jin | Min Yoon Gi | Jung Ho Seok | Park Ji Min
Rated : M
Warning : Top!Kim Taehyung x Bottom!Jeon Jungkook
YAOI, BoyxBoy, dan sejenisnya
Part 1 : House Of Cards
Pepatah bijak mengatakan, cara terbaik untuk mengenal dunia adalah melalui tulisan. Menulis akan membuat kita dikenal seantero jagad raya. Menulis juga dapat membuat kenangan yang ada di kepala kita seperti 'dipindahkan' ke tempat lain. Memindahkan sebagian memori ke dalam kertas adalah hal yang menyenangkan. Setidaknya hal itu dapat membuat kenangan kita sedikit lebih aman, dan kepala kita sudah sedikit berkurang bebannya, jika itu dianggap beban. Seperti yang saat ini kulakukan. Atau lebih tepatnya, yang selama ini kulakukan.
Kuletakkan pena silver kesayanganku. Cukup untuk hari ini. Rupanya sudah 3 jam aku asyik menulis. Berlembar-lembar kertas putih berserakkan di sekelilingku, seolah-olah menemaniku menghabiskan malam ini. Menggunakkan kertas selalu lebih menyenangkan daripada harus mengetikkannya ke laptop atau computer. Tentu saja aku memiliki kedua benda tersebut, bahkan semuanya selalu siap tersedia untukku kapan saja aku ingin menggunakannya. Namun aku selalu lebih menyukai menggunakan pena dan kertas. Rasanya lebih... natural saja. Bukan masalah buatku. Aku lebih menyukai kesederhanaan di bandingkan kemewahan yang selalu kudapatkan.
Malam ini akan menjadi malam yang sangat mengasyikkan untuk bergadang. Beberapa DVD film kesukaanku yang baru saja kubeli siang tadi sudah berjejer rapi di bawah Televisi Plasma milikku. Tak ketinggalan makanan yang sudah tersedia di sampingnya. Ada pop corn, kacang pedas, sandwich, dan tak lupa macaroni dan keju kesukaanku. Ayah pasti tidak akan setuju dengan kegiatanku ini. Namun, apa lagi yang bisa dilakukan oleh namja berusia 21 tahun ketika ia tak diperbolehkan keluar di malam minggu? Sementara teman-teman lain sebayanya asyik berama-ramai pergi ke bioskop, pergi ke tempat hiburan malam, atau mungkin yang hanya sekedar berjalan-jalan, hal inilah yang bisa kulakukan untuk menghilangkan rasa bosanku.
"Jungkook?" ketukan di pintu kamarku terdengar pelan. Itu Ayahku. Dia pasti datang untuk mengecekku.
"Ya Yah" ucapku. Akupun berjalan menuju ke pintu dan membuka kuncinya. Ayahku berdiri di depan pintu, mengenakan setelan suit and tie miliknya yang berwarna hitam dan putih. Dasinya kali ini berwarna donker. Sepatunya hitam mengkilap seperti biasanya. Rambutnya yang diminyaki terlihat begitu licin sehingga siapapun yang melihatnya pasti setuju denganku bahwa pria ini sangat punya style.
"Ayah akan pergi sekarang."
Ya, seperti malam-malam biasanya, dia selalu pergi meninggalkanku disaat aku sedang ingin melompat dari kamarku dan pergi ke klub malam tempat kawan-kawanku asyik berkumpul.
Aku hanya mengerucutkan bibirku. Kenapa ayahku bebas pergi kemanapun ia mau sementara aku tidak?
"Sayang" Ayah mendekat ke arahku. "Kau bisa pergi jalan-jalan sepuasmu. Tapi besok pagi, hari minggu"
"Kenapa Yah? Kenapa aku tak boleh keluar setiap malam minggu? Setidaknya, Jungkook ikut Ayah ya." Ucapku membela diri. Aku iri. Ayahku bisa bertemu orang-orang baru yang pasti menyenangkan sementara anaknya hanya berdiam diri dirumahnya.
"Ayah kan kerja. Mana mungkin kau ikut Ayah." Jawabnya.
"Lagipula, kau kan sudah biasa Ayah tinggal kemana-mana. Kenapa sekarang ngambek?" Tanya Ayah. Memang aku sudah sering sekali ditinggal Ayah. Bahkan pernah sampai beberapa minggu. Namun kali ini aku sangat sangat bosan.
"Jungkook bosan Yah" ucapku merajuk. Siapa tahu Ayah akan luluh dan membolehkanku ikut dengannya.
Ia berjalan masuk ke kamarku dan melihat beberapa pirantiku untuk menghabiskan malam ini.
"Kau kan baru beli DVD baru, itu kan bisa menghilangkan rasa bosanmu"
Bagaimana ayah bisa tahu?
"Ayah tadi lihat kau pergi ke toko DVD itu. Tak apa. Tak masalah."
Pasti ia menyuruh seseorang untuk mengikutiku.
Sial.
"Yang jadi masalah adalah" ucapnya seraya menuju keluar kamar. "Ayah akan terlambat. Jadi ayah pergi dulu." Lalu ia mengacak pelan suraiku dan melangkah pergi.
"Jangan terlalu malam oke?" ucapnya sesaat sebelum ia menghilang di balik tembok, meninggalkanku sendiri.
Ya, itulah Ayahku. Orang yang gila kerja. Orang yang menghabiskan hampir 24 jamnya dengan berkutat dengan pekerjaannya. Maka dari itu ia cukup jarang menemaniku di rumah. Ia bekerja sebagai Walikota di tempatku tinggal yaitu di Gangnam Gu.
Harus ku akui bahwa Ayahku adalah orang yang sangat berdedikasi dengan pekerjaannya. Dan juga mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi. Dia selalu mencurahkan 100% konsentrasinya pada apapun yang ia kerjakan. Mungkin hal itulah yang membuatnya berhasil mempertahankan jabatannya sebagai Walikota selama beberapa periode. Bertahun-tahun ia menjadi orang tua tunggal bagiku, karena ibuku meninggal ketika melahirkanku. Ibuku pergi bahkan sebelum aku melihat wajahnya. Jadi, selain dari foto yang ada, aku tak bisa mengingat wajahnya sedikitpun.
Ayahku adalah seseorang yang sangat protektif kepada anaknya. Alias kepadaku. Sejak aku kecil ia selalu membatasi pergaulanku. Mulai dari batas waktu yang ia berikan padaku untuk bermain dan bersosialisasi dengan teman-temanku. Maka dari itu, jumlah teman yang kumiliki hanya terbatas dan bisa dihitung dengan satu tangan.
Atas apa yang telah Ayahku lakukan, terkadang aku ingin sekali mengalami suatu kejadian yang menyenangkan atau mungkin menggemparkan. Ingin sekali rasanya aku terlibat dalam hal yang seru dan menantang adrenalin. Namun rasanya hal itu tak mungkin, mengingat sikap Ayah yang overprotective padaku. Memang aku selalu mendapatkan apapun yang kuinginkan. Barang-barang yang semua remaja wajib miliki aku mempunyainya. Mungkin orang akan berfikir bahwa hidupku amat sempurna dengan gelimangan harta dari Ayahku. Namun hal itu menjadi tak menyenangkan lagi ketika hatimu terasa kosong. Hampa. Rasanya aku butuh goncangan yang dahsyat untuk menghidupkan lagi kupu-kupu di hatiku. Aku ingin melakukan hal-hal yang gila. Aku sangat ingin melakukannya. Tapi mungkin itu hal yang mustahil bagiku.
Baiklah. Daripada aku meracau sendiri di pikiranku, lebih baik aku menonton saja film ini. Siapa tahu cerita dalam film itu bisa benar-benar terjadi kepadaku.
.
.
.
Pagi-pagi buta Ayah sudah pergi untuk menghadiri pertemuan di Gwangju. Entah pertemuan apa yang ia datangi. Pagi ini aku sangat bersemangat untuk pergi keluar rumah. Langkah kakiku terasa ringan saat aku berjalan menyusuri rumput-rumput yang basah akibat guyuran hujan semalam. Bau tanah yang basahpun menyeruak memasuki hidungku. Udara segar benar-benar obat mujarab bagi semua kesuntukanku. Apa yang akan ku lakukan hari ini ya? Belanja? Jalan-jalan di mall? Ke café? Mungkin semua itu akan menjadi menyenangkan ketika dilakukan dengan sahabatku, atau mungkin kekasih. Sayangnya aku tak memiliki keduanya. Satu-satunya teman dekatku adalah Jung Jaehyun, tetanggaku, yang mana juga tak terlalu dekat denganku. Pacar apalagi. Pengalamanku untuk yang satu ini cukup payah. Ini semua gara-gara ayahku yang terlalu mengekangku. Pernah suatu hari ketika aku duduk di kelas 3 High School, aku diantar pulang dengan temanku, yang bernama Mingyu. Seperti yang bisa ditebak, Ayahku marah besar padanya dan memaki-maki Mingyu didepanku. Ayahku mengatakan bahwa lelaki seperti Mingyu sangat tidak pantas untuk menemaniku pulang, pokoknya kata-kata yang jika di dengarkan akan membuat sakit hati sekali. Malu luar biasa aku dibuatnya. Sejak kejadian itu, semua anak laki-lakimaupun perempuan di sekolahku tak berani untuk berteman dekat denganku. Kami berteman secara formal. Atau singkat katanya, aku tak memiliki teman dekat.
Tapi ya sudahlah, yang lalu biarlah berlalu. Sekarang ini statusku sudah menjadi mahasiswa. Aku sudah cukup besar untuk menentukan keputusan bukan? Jadi hari ini kuputuskan untuk pergi ke taman kota saja.
Kulihat daftar kontak yang ada pada handphoneku. Aku butuh seseorang untuk menemaniku. Tapi siapa ya? Bam Bam, Joy, Vernon, Jimin Hyung...
Jimin Hyung... hmm Jimin Hyung boleh juga.
Butuh beberapa detik sebelum sosok di seberang sana mengangkat panggilanku. Sejenak kupikir ia sudah berganti nomor handphone, atau yang lebih parah, tak mau mengangkat panggilanku. Tapi untunglah dugaanku itu tak benar.
"Yeobseo" ucapnya.
"Yeobseo" Ulangku. Uh, bagaimana memulainya? "Jimin hyung?"
"Jungkook?" responnya di seberang sana. Ia masih mengenaliku. Ia masih menyimpan nomorku!
"Ya. Emm" belum sempat kujawab ia sudah memotongnya.
"Seorang Jeon Jungkook menelfonku?" ucapnya. Hey, memangnya kenapa?
"Ya, seorang Jeon Jungkook menelfonmu, kenapa?" ucapku geli.
Ia tertawa. "Tidak. Tumben saja. Mimpi apa kau semalam, kau mau menelfonku"
Inilah yang ku sukai dari Jimin hyung. Ia memperlakukanku sama seperti ia memperlakukan teman-temannya yang lain. Kebanyakan temanku tak pernah berbicara santai denganku. Mereka selalu berkata sopan dan formal padaku. Mungkin mereka khawatir dengan Ayahku atau bagaimana. Hal itu yang membuatku seperti mempunyai jarak antara mereka. Tapi rupanya hal itu tak berlaku pada Jimin hyung, teman masa kecilku sewaktu di Sekolah Dasar.
"Bisa saja kau. Sekarang kau sedang dimana?"
"Aku sedang dirumah. Tepatnya sih di kamar." Oh, mungkin tadi dia sedang tidur sewaktu aku menelfon. Mungkin terlalu pagi. Jam 9 pagi mungkin terlalu pagi baginya?
Oke, aku harus berani mengatakannya.
"Kau mau main denganku?" tanyaku hati-hati. Aku sungguh khawatir ia akan menolaknya mentah-mentah.
Jimin hyung terdiam sejenak tak meresponku. Sedetik emudian ia tertawa kencang sekali. Bagaikan ucapanku adalah hal yang paling menggelikan di pagi ini. Astaga, ada apa antara dia dan tawanya? Mudah sekali anak ini tertawa.
"Yeobseo? Masih disana?".
Ia lalu membalasnya. "Oke, mau kemana?"
"Kau mau?" Tanyaku tak percaya. Dia mau! Akhirnya ada yang mau main denganku!
"Ya, memangnya kenapa?"
"Kupikir kau..."
"Takut dengan Ayahmu?" Tebakkan yang sangat tepat. "Tidak Kook, aku tak takut dengan Ayah killermu itu"
Baguslah. Aku menghela napas lega.
"Okay. Bagaimana jika kita ke taman kota? Tempat dulu kita biasa main." Tawarku.
"Okay." Lalu ia menambahkan. "Aku siap-siap dulu. Aku yakin kau pasti sudah mandi. Sedangkan aku..."
"Iya kau pasti masih meringkuk di kasur, sambil menarik selimut baumu itu yang tak pernah dicuci selama berbulan-bulan."
Ia tertawa lagi. Aku suka tawanya. "Tahu saja kau. Aku tak sabar. Aku mandi dulu oke?"
"Ku tunggu jam 11." Lalu mengecek ke jam tangan warna silver di tangan kiriku. "Jangan telat"
"Iya. Tak akan telat. See you!" ucapnya dengan logat Busan yang kental. Ia lalu menutup telfonnya.
Akhirnya ada juga teman yang mau pergi denganku. Apalagi dulu Jimin hyung adalah teman terdekatku semasa Sekolah Dasar. Kemana-mana selalu bersama. Aku beruntung ia masih mau berteman denganku.
Ini akan menjadi hari yang menyenangkan, ku rasa.
.
.
.
Setelah memohon-mohon pada Lee Ahjussi, supirku agar mau pulang duluan meninggalkanku, akhirnya ia mau melakukannya. Lee Ahjussi tadinya sangat kekeuh ingin menemaniku di taman kota. Mungkin itu perintah Ayahku. Tapi aku tak peduli. Aku ingin hidup normal. Dan salah satu caranya adalah dengan bertemu dengan anak yang sebaya denganku.
"Jangan lama lama ya" pinta Lee Ahjussi. Ia masuk kedalam mobil dan melaju meninggalkanku.
Disinilah aku sekarang! Di taman kota yang terletak tak jauh dari rumahku. Tempat ini adalah tempat yang sedari kecil selalu ku datangi. Disini terdapat arena khusus untuk bermain anak-anak, jogging track, tempat khusus lansia, dan beberapa fasilitas lainnya. Beberapa pepohonan yang cukup rindangpun menambah suasana nyaman di sekitar sini. Rerumputan hijau yang luas dengan beberapa bunga-bunga yang bermekaran seakan menambah semarak taman ini. Di beberapa sudut terdapat ayunan berwarna warni yang memang sudah cukup usang. Memang sedari dulu ayunan ini tak pernah diganti. Hanya warna catnya saja yang berubah-ubah. Sedikit berbunyi jika di duduki, dan beberapa murnyapun banyak yang sudah berkarat. Tak apa, aku selalu menyukai tempat ini. Bisa dibilang taman ini adalah salah satu taman ternyaman yang masih dimiliki kota ini. Tak heran, saking banyaknya pembangunan yang selalu bertumbuh setiap harinya, pemerintah mungkin seakan lupa, bahwa harus ada lebih banyak penghijauan di kota ini. Setidaknya aku sudah beberapa kali menyarankan pada ayahku agar selalu memperbarui taman-taman kota. Aku tak bisa membayangkan jika di setiap kota tak lagi memiliki taman. Akan jadi apa kota itu? Pasti sangat tidak menyenangkan untuk di huni.
Aku masih menggoreskan penaku pada buku noteku. Kali ini aku sedang tertarik untuk menuliskan tentang seorang ibu hamil yang duduk tepat di depanku. Ia duduk sendiri seraya mengelus-elus perutnya yang sudah membesar. Mungkin usia kehamilannya sudah mencapai 8 atau 9 bulan. Ia tersenyum seraya menyenandungkan sebuah lullaby yang cukup menentramkan hati. Suara ibu hamil itu memang kalah dengan bisingnya suara mesin kendaraan di sekitar kami ataupun suara anak-anak yang berlari kesana kemari. Namun suara itu masih jelas terdengar di telingaku. Ibu ini terlihat bahagia sekali. Hanya berdua dengan si jabang bayinya. Sepertinya ia menanti-nanti kelahiran calon jagoannya itu.
Ah, senang sekali melihatnya.
Sayangnya, ia hanya duduk sendiri disana tanpa ada seorangpun yang menemani. Kemana suaminya? Apakah suaminya tak mau berbagi kebahagiaan dengan kehamilan istrinya? Atau jangan-jangan suaminya telah pergi?
"Jungkook" panggil seseorang. Aku mengedarkan pandanganku, dan sosok laki-laki berbadan tegap dengan alis mata tebal dan bola mata hitamnya berdiri di depanku. Jimin hyung.
"Hey" ucapku seraya tersenyum. Astaga, Jimin hyung sudah jauh berbeda di banding semasa Sekolah Dasar. Dadanya yang bidang, lengannya yang kokoh membesar yang mana menandakan bahwa anak ini selalu pergi ke tempat kebugaran tubuh, dan rambut halusnya yang dahulu berwarna hitam kini di warnai dengan warna abu-abu yang sangat mengejutkanku. Ia jauh lebih terlihat dewasa, dan senyumnya yang tak pernah hilang dari bibirnya. Seolah-olah ia adalah dewa pembawa kebahagiaan di muka bumi ini.
Ia duduk disampingku dan mengambil buku catatan yang semula berada di pangkuanku.
"Kesempurnaan seorang wanita adalah ketika ia telah mengandung buah hati yang sangat ia cintai" Ia membacakan tulisanku dengan keras.
Seketika ku rebut noteku itu dari tangannya. "Jangan di baca" ucapku panik. Aku tak mau ibu hamil itu tahu kalau aku sedang menuliskan sesuatu tentangnya.
Jimin hyung terkekeh senang. "Masih menulis saja kau?" lalu ia merentangkan tangan kanannya di kursi ayunan di belakangku.
"Sampai kapanpun" Aku memasukkan buku dan penaku kedalam tasku. Jimin hyung menatapku dengan pandangan yang, emm, aku tak tahu maksud pandangan itu.
"Kau masih sama seperti dulu ya, Kook?"
"Maksudmu masih sama-sama manis?"
Jimin hyung tertawa. "Kalau itu sih tak usah di bilang lagi." Enak saja anak ini. Aku lebih suka di bilang tampan daripada manis. Bukankah aku cukup tampan?
"Terus maksudmu masih sama seperti dulu itu apa?" tanyaku. Ia tersenyum lagi. Rasanya anak ini menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan tersenyum. Tak ada puasanya.
"Masih sama-sama terlihat seperti bayi kelinci"
Sial orang itu. Aku dibilang mirip bayi kelinci? Anak ini bisa saja menggodaku.
Aku memukul pundaknya dengan cukup keras, sampai-sampai ia mengaduh sambil memeganginya.
"Sakit Kook" rintihnya. Aku membalasnya "Makannya jangan goda aku!" lalu kami berdua tertawa.
Perbincangan kami berjalan lancar. Kami saling menceritakan pengalaman satu sama lain, setelah beberapa tahun berpisah. Jimin hyung sekarang tengah menyelesaikan kuliahnya di salah satu universitas ternama di Seoul. Ia mengambil jurusan IT. Bisa kubilang, Jimin hyung adalah titisan dari Albert Einstein. Otaknya sedari dulu sangat encer, mungkin sampai sekarang. Buktinya ia bilang bahwa ia sudah beberapa kali mengikuti perlombaan dari tingkat nasional, hingga internasional. Bahkan ia sudah beberapa kali keluar negeri seperti Jepang, Belanda, dan Finlandia untuk melombakan hasil ciptaannya.
Ah, aku ingin sekali bisa pergi keluar negeri.
Ayahku sudah sering kali pergi keluar negeri, meskipun untuk urusan pekerjaan sih. Namun tak pernah sekalipun aku di ajaknya. Dia hanya menggilai pekerjaannya kurasa.
Mengingat hal itu akan tambah menjadikanku kesal dengan ayahku.
Saking asyiknya berbincang-bincang, tanpa sadar 6 jam telah berlalu begitu saja. Hanya bercakap-cakap saja menghabiskan waktu 6 jam! Itupun rasanya masih kurang. Masih banyak yang ingin ku ceritakan padanya. Aku masih ingin menceritakan tentang hobiku, hobinya, bahkan mungkin nostalgia tentang kenangan semasa SD, ataupun hal-hal menarik lainnya. Tapi klakson mobil Lee Ahjussi sudah memekakkan telinga kami berdua. Ia sudah datang menjemputku.
Lihat? Bahkan untuk bertemu dengan temankupun aku masih di batasi.
Memang sih aku mengabaikan 3 panggilan dari Lee Ahjussi, tapi ayolah, aku sudah besar bukan? Aku bisa pulang sendiri. Kalaupun tidak, masih ada Jimin hyung yang mau mengantarku pulang. Ia sudah bilang padaku kalau ia tak takut dengan Ayahku, dan kurasa aku percaya dengan omongannya. Namun kesempatan hari ini pupus sudah gara-gara Lee Ahjussi.
"Masih ada lain waktu. Tak apa" ucap Jimin hyung menenangkan kekecewaanku. Ya, memang masih ada lain waktu. Namun rasanya aku masih ingin lebih lama ada disini, hanya untuk berbincang-bincang dengan teman lamaku.
"Telepon saja kalau kau sedang galau." Ia mengedipkan sebelah matanya padaku. Dasar anak ini.
"Arrasseo" jawabku bitter bitter. "Bye hyung"
Ia melambaikan kedua jarinya sembari tersenyum menenangkan. Lalu akupun masuk kedalam mobil dan kaget mendapati bahwa ayahku berada di kursi belakang.
"Ayah?"
Ayahku masih melihat lurus kearah Jimin Hyung. Oh tidak, ini akan jadi buruk.
"Teman SDmu kan?" tanyanya. Aku hanya mengangguk. Ayahku juga mengangguk perlahan sambil mengelus-elus dagunya.
"Siapa orang tuanya?"
Kenapa ayah bertanya seperti itu?
"Ayahnya bernama Park Taemin. Dia arsitek yang bekerja di negeri. Ibunya namanya Park Hye Ri, pemilik rumah sakit swasta di daerah Busan" Jelasku.
Mobil berjalan meninggalkan taman. Ayahku masih bungkam. Apakah ia marah denganku? Atau dengan Jimin hyung? Semoga ia tak marah dengan padanya.
"Kau jangan terlalu dekat dengan anak itu" ucap Ayahku tiba-tiba.
"Memangnya kenapa Yah?"
"Pokoknya jangan"
Ini yang kubenci dari ayahku.
"Aku mau tahu alasannya" ucapku berani. Ayahku tak bisa selalu mengekangku.
"Kalau kau mau dekat dengan seseorang, cari tahu dulu asal usulnya, bibit bebet bobotnya. Ayah bisa mencarikan yang lebih baik"
Aku terkesiap. Astaga. Rupanya sampai sebegitunyakah ia memandang pertemananku? Ini tandanya aku harus berdebat lagi dengan ayahku.
Aku menatap ayahku dengan tak percaya. "Kenapa Ayah selalu seperti itu denganku?" tuntutku.
"Aku harus bilang berapa kali pada Ayah? Aku sudah besar Yah. Sudah dewasa!" ucapku berapi-api. "Ayah jangan mengekangku terus. Aku tak suka!"
Ayahku menatapku dengan raut wajah tegang. "Ayah tak mau berdebat tentang masa depanmu Jungkook"
"Tapi itu harus kalau Ayah selalu mengatur kehidupanku!" semburku. Aku sudah tak tahan lagi.
Ayahku mengalihkan pandangannya dariku ke Lee Ahjussi. Oh aku hampir lupa bahwa ada orang lain selain Ayahku di mobil ini. Tapi aku tak peduli. Ini bukan kali pertamanya aku bertengkar dengan Ayahku dihadapan Lee Ahjussi. Pasti orang itu sudah bisa memakluminya.
"Jangan membantah Ayah, Jeon Jungkook!"
Aku tak ingin membantahnya. Namun bagaimana mungkin aku membiarkan Ayahku bertindak semau hatinya.
"Aku hanya berteman dengan Jimin hyung. Tak lebih. Apa itu suatu kejahatan?" semburku.
"Sekali Ayah bilang tidak, ya tidak Jungkook!"
Aku benci situasi ini.
"Ayah keterlaluan" hanya itu yang dapat kuucapkan. Lalu kami sama-sama diam selama sisa waktu menuju ke rumah.
.
.
.
Malamnya ketika aku sedang menikmati makan malam seperti biasa, Ayahku datang bergabung. Aku masih kesal dengannya. Aku berharap Ayahku berhenti menganggapku seperti anak kecil yang perlu di jaga. Aku juga berharap Jimin hyung tak mendapat masalah gara-gara aku. Siapa tahu Ayahku langsung menyuruhnya untuk menjauhiku. Walaupun gagasan itu semakin membuatku kesal dengannya.
Piringku telah habis tak tersisa. Semarah apapun, aku tetap tak dapat mengalahkan rasa egoisku terhadap masakan dari Yim Ahjumma. Yim Ahjumma adalah chef terbaik yang pernah dipekerjakan Ayahku. Bukan berarti dia benar-benar menjadi chef. Hanya saja aku selalu menganggap masakannya sangatlah menggugah seleraku.
Ketika aku beranjak akan menuju ke kamarku, Ayahku berkata sembari menahanku "Duduk sebentar, Kook"
Dari cara bicara Ayah, terkadang ia memperlakukanku seperti seorang koleganya saja. Aku meletakkan lagi pantatku pada kursi makan. Menunggu Ayah mengatakan sesuatu.
"Kau masih marah pada Ayah?"
Pertanyaan konyol. Tentu saja iya!
"Iya" jawabku singkat.
"Mau menemani Ayah menghabiskan makanan ini?"
"Tidak"
"Masih lama marahnya?"
"Iya"
"Sampai besok pagi?"
"Lebih"
Kemudian Ayahku tersenyum. Ia meletakkan sendok dan garpunya dan meneguk segelas air putih. Ia mengusapkan jarinya pada dahinya. Baru kusadari bahwa raut wajahnya seperti terlihat sangat lelah. Kantung matanya menhitam, dahinya lebih banyak kerutan, dan janggut di dagunya yang baru tumbuh juga belum di cukur. Biasanya Ayahku selalu tampil dengan dagu yang bersih tanpa rambut sedikitpun. Namun kali ini ia membiarkannya sedikit tumbuh. Atau memang dia tak sempat mencukurnya?
"Jungkook, Ayah melakukan semua hal ini untuk kebaikanmu" ucapnya.
"Kebaikan? Dengan membatasi pergaulanku?" ucapku. "Apa Ayah sadar kalau selama ini aku tak pernah punya sahabat? Teman dekat? Tak ada Yah" imbuhku.
Ayahku memperhatikan dengan saksama. "Ayah tahu. Tapi bukan maksud Ayah untuk membatasi pergaulanmu"
"Tapi itu kenyataannya Yah" aku memandang Ayah dengan tajam. "Itu yang terjadi padaku"
Ayahku mengusap dahinya lagi. Ia terlihat sangat letih. Sedetik setelahnya aku merasakan sedikit rasa sesal karena sudah membentaknya beberapa jam yang lalu.
"Maafkan aku Yah. Aku hanya ingin berteman dengan orang yang ku pilih" ucapku. "Cuma berteman"
"Ayah yang harus minta maaf denganmu Jungkook" ucap Ayahku perlahan. Kemudian ayah menambahkan. "Baiklah. Kamu boleh berteman dengan anak tadi. Hanya, berhati hatilah"
Aku tersenyum perlahan. Nyaris tak percaya dengan apa yang keluar dari bibir Ayahku. Akhirnya! Oh terima kasih Tuhan!
"Terima kasih Yah" Aku menuju ke arah ayahku dan memeluknya. Aku memeluk ayahku dengan seyum terkembang. Ayahku juga mengusapkan jarinya pada rambutku.
"Ayah sayang kau Jungkook. Cuma kau yang Ayah punya" ucap Ayahku sembari mengelus rambutku. Sial, aku tak ingin menangis di depan Ayahku. Jadi yang kulakukan adalah berdiri dan mengecup pipinya.
"Aku juga sayang sekali dengan Ayah"
.
.
.
Kulirik Lee Ahjussi selama beberapa detik. Supir itu tahu betul jika aku sedang terlambat. Maka dari itu, cara mengemudinya berubah derastis, dari yang tadinya perlahan-lahan menjadi seperti di kejar maling. Untunglah Ahjussi itu cukup bijak dengan langsung mengantarkanku ke kampus dengan (hampir) tepat waktu. Karena tentu saja aku akan terlambat selama beberapa menit. Aku kesiangan. Semalam aku bergadang untuk menulis lagi di buku catatan tersayangku.
Atau lebih tepatnya yaitu insomnia.
Lebih sering terjadi akhir-akhir ini.
Kusantap roti isi yang buru-buru ku sambar dari meja makan tadi. Ayahku sudah berangkat ke tempat kerjanya ketika aku masih terlelap. Aku tak heran sih, sudah sering kali ia melakukannya. Hmm, roti ini cukup enak. Sayang sekali aku harus menikmatinya sembari kebut-kebutan dengan Lee Ahjussi. Perutku jadi sedikit tak enak.
Setibanya di area kampusku, aku berterima kasih kepada Lee Ahjussi dan bergegas untuk masuk ke dalam kelas. Suasana di kampus ini sangat ramai. Sudah banyak mahasiswa yang kesana kemari sembari menenteng beragam jenis buku. Para hewan seperti misalnya burung gerejapun ikut meramaikan suasana dengan berkumpul di suatu pohon dan asyik bercengkerama. Tanah yang masih basah karena hujan semalampun terasa sangat dingin. Walaupun pagi ini gerimis muncul perlahan, namun hal itu tak menyurutkan langkahku untuk bersemangat di pagi ini.
"Kau terlambat 15 menit" ucap Kang Songsaengnim, dosen mata kuliahku hari ini.
"Joseonghamnida Kang Songsaengnim, saya kesiangan. Boleh saya masuk?" ucapku di pintu masuk seraya membungkukkan badanku. Semua anak rupanya tengah asyik menulis di bukunya masing-masing. Apa sedang ada quiz?
"Silakan" ucap Kang Songsaengnim. Ia membetulkan letak kacamata kotaknya, lalu melanjutkan berbicara tentang mata kuliahku hari ini.
Aku begegas menduduki salah satu bangku yang kosong. Tak berapa lama, sebuah jawilan datang ke pundak kananku.
"Jungkook?" ucap seorang gadis yang duduk tepat di belakangku. Rasanya aku belum pernah melihatnya.
"Ya" sahutku. Gadis ini bermata cokelat tua dengan mata yang bulat melebar. Rambut hitamnya diikat kebelakang menjadi sebuah pony tail. Ia bermuka cukup manis. Tipikal nice girl.
"Kenalkan, namaku Seulgi" ucapnya seraya mengulurkan tangannya padaku. Tangan kananku menyambutnya.
Ia melanjutkan. "Aku juga mengambil Desain Graphis sepertimu, kita hanya beda kelas, tapi aku terpaksa masuk ke kelas ini karena jadwalku bertabrakan" terangnya. Oh pantas saja aku tak mengenalnya. Dia tak pernah satu kelas denganku sebelumnya.
"Aku hanya ingin memastikan. Jangan tersinggung ya" ia menatapku dengan penasaran. Akupun menganggukkan kepalaku.
"Kau memang anaknya Walikota ya? Tuan Jeon Wonwoo?"
Aku menelan senyumanku. Kupikir dia akan menanyakan tentang apa. Ternyata..
"Iya" jawabku singkat. Seulgi tersenyum simpul.
"Oke aku Cuma tanya itu. Thanks" Ia tersenyum padaku dan melanjutkan menulis catatan di bukunya. Kenapa dengan anak ini?
Jujur saja aku tak terlalu menyukai fakta bahwa aku di lahirkan dari orang tua pejabat terkenal. Maksudku, bukannya aku tak bersyukur. Tapi hal-hal seperti tadilah yang membuatku merasa tak nyaman. Aku tahu pasti gadis bernama Seulgi itu mungkin berfikir yang tidak-tidak tentang Ayahku. Beberapa orang mengatakan, meskipun Ayahku orang yang sangat bertanggung jawab akan pekerjaannya, namun disisi lain ia juga tak terlalu bersimpatik terhadap kaum miskin. Aku tak tahu. Hanya saja aku sering kali mendengarnya dari anak-anak di kampus ini, bahkan sewaktu aku masih duduk di bangku High School. Aku ingin dikenal karena aku apa adanya, bukan karena orang tuaku pejabat tinggi. Aku tak tertarik akan hal itu.
Ya Tuhan, aku sangat ingin hidup bebas seperti orang normal.
.
.
.
Aku makan siang di rumah makan spesial seafood di dekat kampusku bersama Kim Yugyeom, salah satu temanku. Ia orang yang sangat cerewet untuk ukuranku. Atau mungkin aku saja yang tak terlalu banyak bicara? Tapi seru sekali anak ini. Sementara aku menghabiskan udang saus telur asinku yang menggiurkan ini, ia sibuk menceritakan semua hal yang dapat ia ceritakan. Walaupun saat itu mulutnya masih penuh makannan.
"Dan kau tahu Kook? Setelah aku bilang seperti itu, besoknya dia langsung meminta maaf padaku. Beeerkali-kali" ia mengucapkan kata ber- seraya merentangkan kedua tangannya. Aku tertawa melihat tingkahnya. Sudah hampir seperempat jam ia menceritakan pengalamannya dengan mantan nomor 14nya. Rupanya ia suka sekali mengkoleksi mantan.
"Sebenernya sih dia cukup cantik, namun ku rasa dia sudah membuatku ilfeel sejak pertama kali aku mengenalnya. Habisnya mulutnya itu, Kook. Ugh, super duper bau. Aku kalau ingat dia jadi ingin mutah saja"
"Ya tak usah diingat-ingat lagi. Lagian kau kan sedang makan"
Ia melirik ke makanannya. "Benar juga ya" lalu ia menyeruput lemon teanya. "Bagaimana denganmu, Kook? Certaikan tentang mantanmu!"
Mantan?
Bagi kebanyakan orang mungkin hal itu akan mudah untuk di jawab. Tapi bagiku, itu sama menyiksanya seperti mengerjakan ujian. Aku tak mempunyai mantan. Tak satupun. Jadi bagaimana aku menceritakannya?
"Aku...belum..." Ah.. aku malu mengakuinya.
Ia menatapku dengan penasaran. "Belum apa?"
Well, aku harus menjawabnya. Siapa tahu Yugyeom dapat dijadikan teman yang enak untuk mencurahkan kegalauan hatiku.
"Aku belum pernah berkencan" jawabku pada akhirnya. Aku memandang ragu-ragu karena Yugyeom diam saja setelah aku mengungkapkan hal memalukan itu padanya.
Dan yang menyebalkan adalah, pemuda itu menatapku seolah-olah kepalaku tumbuh menjadi empat.
"Kau belum pernah.." ia tak melanjutkannya. Aku menganggukkan kepalaku, lalu menatap ke jari-jariku yang bertautan.
Seketika ia berkata dengan cukup keras untuk di dengar semua pengunjung di rumah makan ini.
"Astaga Jungkook!" ia meminum minumannya lagi. "Bagaimana mungkin?" tanyanya menuntut. Aku langsung membungkam mulutnya. Ya ampun ini memalukan.
"Jangan teriak-teriak" aku melepaskan tanganku dari mulutnya. "Orang-orang melihat kita!"
Sebenarnya tidak juga sih. Orang-orang hanya melihat kami sekilas, lalu kembali lagi pada makanannya. Mungkin mereka sudah memaklumi kelakuan dua remaja labil ini.
"Oke oke. Aku hanya heran saja" ucapnya. "Coba ceritakan, siapa tahu aku bisa membantu."
Akupun menceritakan segalanya, mulai dari sikap Ayahku hingga penjagaannya terhadapku. Pokoknya semua yang mengganjal di hatiku, ku curahkan padanya. Kurasa aku dapat mempercayai anak ini. Ia mendengarkanku dengan saksama. Ya, ini lebih baik daripada tidak diungkapkan sama sekali. Meskipun aku cukup malu mengakuinya.
"Oke jadi satu kesimpulan. Intinya, kau mau hidup bebas kan?"
Apakah itu yang benar-benar ku inginkan? Hidup bebas? Seperti remaja normal lainnya? Tanpa harus ada pembatasan pergaulan. Pengawalan. Antar-jemput oleh supir yang telah di dikte agar menjagaku. Bisa bebas berekspresi. Melakukan hal-hal gila seperti pada umunya. Jawabannya adalah...
"Ya. Aku mau seperti itu, Gyeom"
Yugyeom mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tebakanku memang tak pernah meleset"
Sebuah nada dering handphone milik Yugyeom berbunyi. Yugyeom langsung mengeceknya. Ia tersenyum sangat lebar sampai melewati kupingnya sebelum berseru "Aku akan menjemput kekasihku, Kook"
Yap, beruntungnya dia. Memiliki seseorang yang bisa diantar-jemput, bukannya seorang supir.
"Aku pergi dulu ya" lalu ia berdiri dan sebelum pergi ia berkata "Kalau kau mau curhat, datang aja padaku, aku akan mendengarkanmu. Tapi sayang sekali kekasihku sudah menunggu. Bye Jungkook" la berlalu menuju keluar dengan setengah berlari.
Dan…. aku sendiri lagi disini..
Aku sudah bilang pada Lee Ahjussi agar menjemputku pada pukul 3 saja. Dan sekarang baru jam 2 siang. Aku masih punya 1 jam bebas. Enaknya kemana ya?
Setelah membayar makananku, akupun bergegas keluar. Gerimis masih turun, dan aku tak membawa payung. Tapi aku sudah terlanjur keluar. Malas sekali jika harus kembali lagi ke tempat itu. Jadi lebih baik aku berjalan kaki saja. Sudah lama aku tak berjalan kaki. Padahal Tuhan sudah mau berbaik hati memberikan manusia sepasang kaki yang pastilah memiliki beribu fungsi. Masa tidak digunakan dengan baik?
Jadilah aku berjalan kaki di trotoar ini. Jalanan disini cukup lengang. Mungkin karena jam-jam seperti ini biasanya para pekerja dan pelajar masih berada di tempatnya masing-masing. Jadi yang ada di jalanan masih relatif sedikit. Atau mungkin memang jalanan disini memang jalan yang paling sepi diantara jalan yang lain.
Kemana aku akan pergi? Entahlah. Aku hanya mengikuti langkah kakiku saja. Hitung-hitung untuk olah raga. Sembari berjalan, akupun memikirkan perkataan Yugyeom tadi. Memang benar aku ingin hidup bebas. Bebas dalam artian bebas menentukan langkahku sendiri. Bebas menetapkan pilihanku pada siapa saja. Tanpa campur tangan orang lain. Mungkin aku harus lebih tegas lagi pada Ayahku. Sudah cukup selama ini dia mengatur hidupku. Aku tahu Ayahku sangat menyayangiku. Dan itu semua dilakukan untuk kebaikanku sendiri. Tapi, aku terus bertumbuh bukan? Dan sikapku juga semakin bertumbuh. Aku bukan lagi anak kecil. Aku bukan aset ayahku. Aku.. well.. aku hanyalah aku. Aku hanya seorang yang ingin hidup bebas! Ya, aku harus menegaskannya pada Ayahku. Sepulangnya nanti, aku akan mengatakan semuanya pada Ayahku. Tapi, mengingat kerutan di dahinya, janggutnya yang belum dicukur, dan tatapannya, aku tahu pasti Ayahku sangat kelelahan. Entah itu dalam pekerjaannya maupun dalam mengurusiku. Aku sangat menghargai Ayahku yang berperan sebagai orang tua tunggal bagiku. Pastilah sulit untuk membesarkan anaknya tanpa bantuan dari seorang istri. Aku sangat sayang padamu, Yah.
Dua pasang tangan kekar masing-masing berada di kedua tanganku. Hal itu terjadi tiba-tiba tanpa dapat kusadari. Salah satunya menempelkan sebuah benda tajam dingin di leherku. Benda itu seolah-olah siap untuk digunakan untuk menebas kepalaku kapan saja.
"Jangan teriak atau lehermu akan ku penggal!" ancam orang itu. Kedua orang itu mencengkeram kedua tanganku dengan saat kencang. Sial, aku tak bisa bergerak! Kakiku menendang kesana kemari dengan usaha yang sia-sia. Dan sebelum aku dapat berteriak, sebuah sapu tangan berwarna biru di tempelkan di bibirku dengan keras. Aroma sapu tangan itu terasa menyengat. Baunya menyita seluruh kesadaranku. Aromanya sungguh memuakkan. Kepalaku terasa berat dan mataku perlahan-lahan mengkhianati usahaku untuk kabur dengan memejamkannya. Aku merasa sangat pusing. Kepalaku berputar. Pijakanku berputar. Segalanya berputar.
Sial.
Detik berikutnya yang ku ketahui adalah kedua tanganku di borgol oleh orang tadi, dan tubuhku dilemparkan begitu saja kedalam mobil mereka. Segalanya memutih. Putih.. seputih awan terang berkelebat begitu saja di hadapanku.
.
.
.
TBC
.
.
.
Hai semua! Salam hangat sehangat senyum Kookie dari Plum! Ini cerita ketiga Plum. Cerita yang kemarin Plum tawarkan di akhir Stay With Me Chapter 11. Sebenarnya cerita ini sudah hampir 3 tahun mengendap di Lapy Plum, tapi belum pernah Plum publish karena banyak pertimbangan. Tapi kali ini, dengan sedikit remake, Plum harap kalian semua tertarik membacanya ya. Review Juseyo.. Jebal Kritik+Saran juga boleh. Silakan isi sebanyak-banyaknya.
Jangan lupa terus baca cerita Plum yang lain ya! Sayang kalian :*
Follow IG : Summer_plum (double underscores)
