Remake dari Emma Chase "Tangled".
Alur cerita sesuai dengan novel aslinya, hanya akan disesuaikan dengan cast & setting lokasi ^^
Karena ini Remake, kalau ada cerita (ff) yang mirip-mirip dengan pairing yang berbeda, itu wajar ya :)
Kali ini karakternya mayoritas OOC ya. Dan FF ini akan bercerita dengan POV Jimin.
Main Cast: MinYoon
- Park Jimin (!SEME!)
- Min Yoongi (!UKE!GS!)
Support Cast:
All BTS member (GS: Kim Seok Jin, Jung Hoseok, Jeon Jungkook) & other Idol (random)
Rate M
Genre: Humour, Romance, Drama, Fluffy.
DON'T LIKE DON'T READ
CHAPTER 1
Apakah kalian melihat orang yang belum mandi di atas sofa? Cowok yang memakai kaus abu-abu dekil dan celana robek?
Itulah aku, Park Jimin.
Aku biasanya tidak seperti ini. Maksudku, itu benar-benar bukanlah diriku.
Dalam keseharian, aku berpakaian rapi, daguku dicukur bersih, dan rambut hitamku disisir ke belakang dengan cara yang menurut orang membuatku terlihat berbahaya tapi profesional. Aku memakai pakaian yang harganya lebih mahal dari biaya sewa rumahmu.
Apartemenku? Ya, tempatku berada sekarang. Tirainya ditutup, dan perabotannya terkena pantulan warna kebiruan dari televisi.
Meja dan lantainya berserakan botol bir, kotak pizza, dan wadah es krim yang kosong.
Sebenarnya apartemenku tidak seperti sekarang ini. Apartemen yang biasa aku tinggali bersih, ada seorang Ahjumma yang datang bersih-bersih dua kali seminggu.
Dan semua kenyamanan modern ada didalamnya. Dekorasinya modern—banyak nuansa warna hitam dan stainless steel—dan siapa saja yang memasukinya akan tahu bahwa seorang pria tinggal di sana.
Jadi, seperti yang kubilang—apa yang kalian lihat sekarang bukanlah diriku yang sebenarnya.
Aku sedang flu.
Influenza.
Pernahkah kalian memperhatikan beberapa penyakit terburuk dalam sejarah memiliki nada yang liris?
Kata-kata seperti malaria, diare, kolera.
Apa kalian pikir mereka memberi nama itu dengan sengaja?
Influenza.
Suaranya terdengar menarik, jika kalian mengatakannya dengan tepat. Setidaknya aku cukup yakin terhadap apa yang sedang kuderita.
Itulah kenapa aku telah bersembunyi di apartemenku selama tujuh hari terakhir. Itu sebabnya aku mematikan teleponku, kenapa aku hanya meninggalkan sofa untuk memakai kamar mandi atau membawa masuk makanan yang kupesan dari petugas pengiriman.
Berapa lama sih flu dapat bertahan? Sepuluh hari? Sebulan? Aku merasakannya seminggu yang lalu.
Alarmku berdering jam 05:00 pagi, seperti biasa. Tapi bukannya bangkit dari tempat tidur untuk pergi ke kantor yang mana aku adalah bintangnya, aku melemparkan jam itu ke seberang ruangan, hancur untuk selamanya.
Jamnya menjengkelkan. Jam bodoh. Bersuara bip-bip-bip.
Aku berguling dan kembali tidur. Ketika aku akhirnya menyeret tubuhku keluar dari tempat tidur, aku merasa lemah dan mual. Dadaku terasa nyeri, kepalaku sakit.
Nah—flu, kan?
Aku tidak dapat tidur lagi, jadi aku mendekam di sini, di sofa terpercayaku. Terasa begitu nyaman sehingga aku memutuskan untuk tinggal di sini. Sepanjang minggu. Menonton film kartun di plasma TV.
Despicable Me sedang kuputar sekarang.
Aku telah menontonnya tiga kali hari ini, tapi aku belum tertawa.
Tidak sekalipun. Mungkin keempat kalinya akan berhasil?
Sekarang ada gedoran di pintu apartemenku. Terkutuk petugas penjaga pintu.
Untuk apa dia kemari? Dia akan menyesal ketika mendapat THR Natal tahun ini, aku jamin.
Aku mengabaikan gedoran itu, meskipun muncul lagi. Dan lagi.
"Jimin! Jimin, kutahu kau ada di dalam sana! Buka pintunya sialan!"
Oh tidak.
Ini Si Menyebalkan. Atau dikenal sebagai kakakku, Jin. Kim Seokjin.
Ketika aku mengatakan kata menyebalkan maksudku dengan cara sesayang mungkin, aku bersumpah. Tapi begitulah Jin. Menuntut, berpendirian keras, tak kenal lelah.
Aku akan membunuh si penjaga pintuku.
"Jika kau tidak membuka pintu ini, Jimin, aku akan menelepon polisi untuk mendobraknya, Aku bersumpah demi Tuhan!"
Paham kan apa maksudku?
Aku menggenggam bantal yang telah berada di atas pangkuanku sejak flu terjadi. Aku menekan wajahku ke dalamnya dan menarik napas dalam-dalam. Baunya seperti vanili dan lavender. Segar dan bersih dan membuat ketagihan.
"Jimin! Kau dengar aku?"
Aku menarik bantal ke atas kepalaku. Bukan karena baunya seperti...dia...tapi untuk menghalangi suara gedoran yang terus berlangsung di pintu apartemenku.
"Aku mengambil ponselku! Aku sedang menghubungi!" Suara Jin merengek berisi peringatan, dan kutahu dia tidak main-main.
Aku menghela napas dalam-dalam dan memaksa diri untuk bangkit dari sofa. Berjalan ke pintu membutuhkan waktu, setiap langkah dari kakiku yang berat dan sakit merupakan upaya keras.
Flu terkutuk.
Aku membuka pintu dan menguatkan diri menghadapi murka Si Menyebalkan.
Dia menggenggam iPhone terbaru ditelinganya dengan satu tangannya yang terawat sempurna. Rambutnya ditarik kebelakang menjadi simpul sederhana namun elegan, dan tas hijau tua tergantung di bahunya, warna yang senada dengan roknya—segalanya tentang Jin adalah kesepadanan.
Di belakangnya, tampak pria berwajah menyesal dalam setelan jas biru yang kusut, adalah sahabat dan rekan kerjaku, Kim Taehyung.
Aku memaafkanmu, Penjaga pintu. Ini Taehyung yang harus mati.
"Ya Tuhan!" Jin berteriak ngeri. "Apa yang terjadi padamu?"
Sudah kukatakan pada kalian ini bukan aku yang sebenarnya.
Aku tidak menjawabnya. Aku tidak punya energi. Aku hanya meninggalkan pintu terbuka dan jatuh dengan wajah terlebih dulu di atas sofaku. Ini lembut dan hangat, tapi kukuh.
Aku mencintaimu, sofa—pernahkah aku bilang begitu? Yah, aku memberitahumu sekarang.
Meskipun mataku terbenam dalam bantal, aku merasakan Jin dan Taehyung berjalan perlahan ke dalam apartemen. Aku membayangkan betapa terkejutnya wajah mereka melihat kondisi ini. Aku mengintip dari balik bantalku dan melihat bahwa mata batinku sangatlah tepat.
"Jimin?" Aku mendengar kakakku bertanya, tapi kali ini ada nada kekhawatiran yang menyelimuti satu suku kata pendeknya.
Lalu dia marah lagi.
"Demi Tuhan, Taehyung, kenapa kau tidak segera meneleponku? Bagaimana kau bisa membiarkan ini terjadi?"
"Aku belum melihatnya, Jin!" Kata Taehyung cepat.
Lihat—dia juga takut pada Si Menyebalkan.
"Aku datang setiap hari. Dia tidak mau membukakan pintu."
Aku merasakan sofanya turun saat Jin duduk di sampingku.
"Jimin?" Katanya pelan. Aku merasakan tangannya bergerak lembut sepanjang belakang rambutku. "Sayang?"
Suaranya begitu khawatir, dia mengingatkanku pada ibuku.
Ketika aku masih anak-anak dan sakit di rumah, Ibu akan datang ke kamarku dengan membawa cokelat panas dan sup di atas nampan. Dia akan mencium keningku untuk memeriksa apakah masih panas karena demam. Ibu selalu membuatku merasa lebih baik. Memori dan tindakan serupa yang dilakukan Jin menyebabkan mataku yang terpejam menjadi basah.
Apakah aku sedang kacau atau apa sih?
"Aku baik-baik saja, Jin." Jawabku, meskipun aku tidak yakin apakah dia mendengar suaraku.
Suaraku hilang terhalang oleh bantal beraroma manis.
"Aku sedang flu."
Aku mendengar kotak pizza dibuka dan suara erangan saat bau keju dan sosis busuk menguar dari dalam wadahnya.
"Bukan diet yang tepat bagi seseorang yang terkena flu, adikku."
Aku kemudian mendengar suara riuh dari botol bir dan sampah, dan kutahu Jin mulai membereskan kekacauan. Aku bukan satu-satunya orang di keluargaku yang terobsesi dengan kerapian.
"Oh, itu jelas salah!" Jin menarik napas dengan tajam, dan, menilai dari bau yang bergabung dengan aroma pizza busuk, kupikir dia baru saja membuka kontainer es krim berumur tiga hari yang tidak sekosong seperti yang kukira.
"Jimin." Jin menggoyang bahuku dengan lembut. Aku menyerah dan duduk, menggosok mataku yang kelelahan.
"Bicaralah padaku," Jin memohon. "Ada apa? Apa yang terjadi?"
Saat aku melihat ekspresi galau dari kakak perempuanku yang menyebalkan, aku seakan terlempar ke masa tujuh belas tahun yang lalu. Aku berusia enam tahun dan hamsterku, Mr. Dori, baru saja mati. Dan seperti hari itu, kebenaran yang menyakitkan mengoyak dari paru-paruku.
"Ini akhirnya terjadi."
"Apa yang terjadi?"
"Apa yang telah kau harapkan padaku selama bertahun-tahun," bisikku.
"Aku jatuh cinta."
Aku mendongak untuk melihat senyumnya. Itulah yang selalu Jin inginkan terjadi padaku. Dia sudah lama sekali menikah dengan Kim Namjoon, telah jatuh cinta dengan Namjoon jauh lebih lama lagi.
Jadi Jin tidak pernah setuju dengan cara hidupku dan tidak sabar melihatku memiliki hubungan tetap. Untuk menemukan seseorang yang akan merawatku, seperti cara dia mengurus Namjoon. Bagaimana ibu masih mengurus ayah kami.
Tapi aku bilang padanya itu takkan pernah terjadi—itu bukan apa yang kuinginkan.
Kenapa membawa buku ke perpustakaan?
Kenapa membawa pasir ke pantai?
Kenapa membeli sapi ketika kalian memperoleh susu secara gratis?
Apa kalian mulai melihat gambarannya di sini?
Aku melihat Jin mulai tersenyum dan memudar ketika dengan suara kecil yang bahkan tidak kukenali, aku mengatakan,
"Dia akan menikah dengan orang lain. Dia tidak...dia tidak menginginkanku, Jin."
Simpati menyebar di wajah kakakku. Aku sudah tahu apa yang sedang berputar di kepalanya saat ini: jika adiknya sedang kacau, dia akan segera meluruskan keadaannya lagi.
Aku berharap dapat semudah itu. Tapi kupikir semua lem tikus di dunia ini tidak akan mampu menyambungkan kepingan hatiku menjadi utuh lagi.
Apakah aku sudah bilang kalau aku juga seorang yang puitis?
"Oke. Kita bisa memperbaiki ini, Jimin."
Apa aku tahu kakakku atau apa sih?
"Pergilah mandi air panas yang lama. Aku akan membersihkan kekacauan ini. Kemudian, kita akan keluar. Kita bertiga."
"Aku tidak bisa keluar."
Apa dia tidak dengar?
"Aku sedang flu."
Jin tersenyum penuh kasih.
"Kau perlu makanan panas yang enak. Kau membutuhkan mandi. Setelah itu kau akan merasa lebih baik."
Mungkin dia benar. Tuhan tahu apa yang telah kulakukan selama tujuh hari terakhir tidak membuatku merasa lebih baik. Aku mengangkat bahu dan bangun untuk melakukan apa yang Jin katakan. Seperti bocah empat tahun dengan boneka-nya, aku juga membawa bantal berhargaku.
Dalam perjalanan ke kamar mandi, aku tidak bisa mencegah untuk berpikir bagaimana semua ini terjadi. Aku punya kehidupan yang baik sekali. Sebuah kehidupan yang sempurna. Dan kemudian semuanya berantakan.
Oh—kalian ingin tahu bagaimana? Kalian ingin mendengar kisah menyedihkanku?
Oke lah, kalau begitu. Semuanya dimulai beberapa bulan yang lalu, pada malam Minggu yang normal.
Well, normal menurutku.
.
.
.
Empat bulan sebelumnya
"Oh Shit! Ya. Bagus. Ya, seperti itu."
Lihat pria itu—Yang memakai jas hitam dan sangat tampan? Ya, pria yang sedang mendapatkan blowjob dari si seksi berambut merah di kamar mandi? Itulah aku.
Aku yang sesungguhnya.
MBF: Me Before Flu.
"Ya Tuhan, baby, aku akan keluar."
Mari kita hentikan adegan ini sejenak.
Bagi wanita di luar sana yang sedang membaca ini, ijinkan aku memberi kalian suatu saran gratis:
Pernahkah ada seorang pria yang baru saja kalian temui di sebuah klub memanggilmu baby, sweetheart, angel, atau panggilan sayang sejenisnya?
Jangan salah mengartikan dengan berpikir bahwa dia begitu tertarik padamu, dia sudah memikirkan nama panggilan.
Itu karena dia tidak bisa atau tidak peduli untuk mengingat nama kalian yang sebenarnya.
Dan tidak ada gadis yang mau dipanggil dengan nama yang salah ketika dia berlutut memberiku blowjob di toilet pria. Jadi, untuk amannya, aku memanggilnya baby.
Nama aslinya? Apakah itu penting?
"Sial, baby, aku keluar."
Dia melepaskan mulutnya dengan suara pop dan menangkap spermaku dengan tangannya seperti pemain basket NBA.
Setelah itu, aku pergi ke wastafel untuk bersih-bersih dan menarik retsleting keatas. Si rambut merah menatapku sambil tersenyum saat ia berkumur dengan sebotol mouthwash untuk bepergian dari tasnya.
Menawan.
"Bagaimana kalau kita minum?" Ia bertanya, dengan yang kuyakin adalah suara seksi menurutnya.
Tapi inilah fakta untuk kalian—sekali aku sudah selesai, aku selesai.
Aku bukan tipe orang yang naik rollercoaster yang sama dua kali. Setelah dirasa cukup, dan kemudian sensasi itu hilang, begitu pula ketertarikannya. Tapi, ibuku membesarkanku menjadi seorang gentleman.
"Tentu, sayang. kau pergi mencari meja, aku akan membawakan kita sesuatu dari bar."
Bagaimanapun, si rambut merah telah berusaha dengan baik untuk mengisapku sampai klimaks. Dia pantas mendapatkan minuman.
Setelah meninggalkan kamar mandi, dia pergi mencari meja, dan aku pergi menuju bar yang oh-begitu-ramai. Bukankah aku sudah bilang sekarang malam Minggu, kan?
Dan tempat ini bernama RED. Tidak, bukan R.E.D.—red, merah, bergejolak. Mengerti?
Ini adalah klub terpopuler di Seoul. Well, setidaknya untuk malam itu. Minggu depan akan menjadi klub yang biasa. Tapi lokasi bukan masalah. Polanya selalu sama. Setiap akhir pekan aku dan teman-temanku datang ke sini bersama-sama namun pergi secara terpisah—dan tidak pernah sendirian.
Jangan menatapku seperti itu. Aku bukan orang jahat. Aku tidak berdusta, aku tidak memaksa wanita dengan kata berbunga-bunga tentang masa depan bersama dan cinta pada pandangan pertama.
Aku orang yang jujur dan terus terang. Aku mencari kesenangan—untuk satu malam—dan aku memberitahu mereka begitu. Itu lebih baik dibanding sembilan puluh persen pria lain di sini, percayalah.
Dan sebagian besar gadis-gadis di sini mencari hal yang sama denganku.
Oke, mungkin itu tidak sepenuhnya benar. Tapi aku tidak bisa mencegah jika mereka melihatku, bercinta denganku, dan tiba-tiba ingin punya anak dariku. Itu bukan masalahku.
Seperti yang kubilang, aku memberitahu mereka apa adanya, memberi mereka kesenangan dan kemudian membayari mereka ongkos taksi.
Terima kasih, selamat malam. Jangan telpon aku, karena aku sangat yakin tidak akan meneleponmu.
Akhirnya dapat menerobos kerumunan menuju bar, aku memesan dua minuman. Aku meluangkan waktu sejenak untuk menonton tubuh menggeliat dan meliuk yang melebur satu sama lain di lantai dansa saat musik bergetar.
Dan kemudian aku melihat dia, lima meter dari tempatku berdiri, menunggu dengan sabar tapi terlihat agak gelisah di antara lengan yang terangkat, uang melambai, sekawanan orang yang haus alcohol berusaha untuk mendapatkan perhatian dari si bartender.
Aku sudah bilang bahwa aku puitis, kan? Yang benar adalah, aku tidak selalu begitu. Tidak sampai saat ini. Dia luar biasa—seperti malaikat—jelita. Pilih satu kata, kata apapun. Intinya adalah, untuk sesaat, aku lupa bagaimana caranya bernapas.
Rambutnya panjang, pirang dan berkilau bahkan dalam cahaya redup dari klub. Dia mengenakan gaun backless warna merah—seksi tapi berkelas—yang menonjolkan setiap lekuk sempurna dari tubuhnya yang kencang. Mulutnya tipis, menggairahkan, dengan bibir memohon untuk dilumat.
Dan matanya.
Demi Tuhan.
Matanya yang terlihat sayu, berwarna cokelat tua. Ya aku yakin cokelat tua.
Aku membayangkan mata itu menatapku saat ia memasukkan kejantananku ke mulut kecilnya yang seksi. Organ yang sedang kubicarakan segera menggeliat karena pikiran itu. Aku harus mendapatkannya.
Aku bergegas menuju kearahnya, memutuskan saat itu juga bahwa dia adalah wanita beruntung yang akan mendapat kesenangan menemaniku untuk sisa malam ini. Dan kesenangan apa yang ingin kuraih.
Tiba sesaat sebelum dia membuka mulut untuk memesan minuman, aku mendahuluinya,
"Wanita ini akan memesan..." Aku menatap kearahnya untuk menduga apa yang akan dia minum. Ini adalah bakatku. Beberapa orang adalah peminum bir, beberapa orang peminum soda, beberapa orang penggemar anggur yang tua, yang lain brendi atau sampanye yang manis. Dan aku selalu bisa tahu siapa meminum apa—selalu.
"...Veramonte Merlot, 2003."
Dia menoleh kearahku dengan alis terangkat, dan matanya menilaiku dari ujung kepala sampai kaki. Memutuskan bahwa aku bukanlah pecundang, katanya,
"Kau hebat."
Aku tersenyum.
"Aku lihat reputasiku mendahuluiku. Ya, memang. Dan kau cantik."
Dia tersipu. Sebenarnya pipinya berubah jadi merah muda dan dia membuang muka. Masih adakah orang yang tersipu hari ini? Ini sangat menggemaskan.
"Jadi, bagaimana jika kita mencari tempat yang lebih nyaman...dan privat? Jadi kita bisa mengenal lebih baik satu sama lain?"
Tanpa ragu, ia berkata,
"Aku di sini dengan teman-temanku. Kami sedang merayakan sesuatu. Aku biasanya tidak datang ke tempat seperti ini."
"Apa yang kalian rayakan?"
"Aku baru saja mendapatkan gelar sarjana-ku dan memulai pekerjaan baru pada hari Senin."
"Benarkah? Sangat kebetulan. Aku sendiri bekerja dibidang keuangan. Mungkin kau pernah mendengar tentang perusahaanku? HanGuk Sunrise?"
Kami adalah bank investasi paling terkenal di kota ini, jadi kuyakin dia sepatutnya terkesan.
Mari kita berhenti di sini lagi, boleh kan?
Apakah kalian melihat mulut wanita cantik ini terbuka ketika aku mengatakan padanya di mana aku bekerja? Apakah kalian melihat matanya yang terbelalak? Seharusnya itu memberiku suatu petunjuk.
Tapi pada saat itu aku tidak memperhatikannya—aku terlalu sibuk memeriksa payudaranya. Mereka sempurna, omong-omong. Lebih kecil dari ukuran yang biasanya kusuka, tidak lebih dari setangkup.
Tapi sejauh yang kutahu, setangkup adalah yang kalian butuhkan.
Maksudku adalah, ingat bagaimana ekspresi terkejutnya—itu akan masuk akal nantinya.
Sekarang, kembali ke pembicaraan.
"Kita memiliki begitu banyak kesamaan," kataku. "Kita berdua dalam bisnis yang sama, kita berdua suka anggur merah yang bagus...Kupikir kita berutang pada diri kita sendiri untuk melihat kemana pembicaraan ini menuju malam ini."
Dia tertawa. Itu adalah suara ajaib.
Sekarang aku harus menjelaskan satu hal di sini. Dengan wanita lain, pada malam yang lain, aku pasti sudah ada di taksi sekarang, dengan tanganku masuk ke gaunnya dan mulutku membuatnya mengerang.
Tidak diragukan lagi. Bagiku, ini adalah usaha menuju kesana. Dan anehnya, ini cukup merangsang.
"Omong-omong, aku Jimin." Aku mengulurkan tanganku. "Dan kau?"
Dia mengangkat tangannya.
"Bertunangan."
Tidak terpengaruh, aku memegang tangannya dan mencium buku jarinya, sedikit menyentuh dengan lidahku. Kulihat wanita cantik yang enggan ini mencoba untuk menahan tubuhnya agar tidak gemetar, dan kutahu, meski kata-katanya bertentangan, aku memberikan pengaruh padanya.
Yah, aku bukan tipe orang yang benar-benar mendengarkan apa yang orang katakan. Aku melihat cara mereka mengatakannya. Kalian dapat belajar banyak tentang seseorang jika kalian mau meluangkan waktu untuk memperhatikan cara mereka bergerak, bagaimana mata mereka beralih, tinggi rendahnya suara mereka.
Mata polosnya mungkin mengatakan tidak padaku...tapi tubuhnya? Tubuhnya berteriak, 'Ya, ya, setubuhi aku di atas meja bar'. Dalam rentang waktu tiga menit, dia mengatakan padaku alasan dia ada di sini, apa pekerjaannya, dan mengijinkanku untuk membelai tangannya. Itu bukanlah sikap seorang wanita yang tidak tertarik—itu adalah sikap seorang wanita yang 'tidak ingin tertarik'.
Dan aku pasti bisa mengatasinya.
Aku hampir saja mengomentari tentang cincin pertunangannya, berliannya sangat kecil, bahkan saat diamati dari dekat berliannya tidak dapat ditemukan. Tapi aku tak ingin menyinggung perasaannya. Dia bilang dia baru saja lulus. Aku punya teman yang harus menjalani sekolah bisnis, dan hutang untuk biaya kuliahnya dapat mencekik leher.
Jadi aku berganti dengan taktik yang berbeda—kejujuran.
"Lebih baik lagi. kau tidak biasa pergi ke tempat seperti ini? Aku tidak berkomitmen. Kita sangat cocok. Kita harus mengeksplorasi hubungan ini lebih jauh lagi, kan?"
Dia tertawa lagi, dan minuman kami tiba. Dia mengambil miliknya.
"Terima kasih untuk minumannya. Aku harus kembali ke teman-temanku sekarang. Senang bicara denganmu."
Aku memberinya senyum nakal, tak bisa menahan diri.
"Baby, jika kau membiarkanku membawamu pergi dari sini, aku akan memberikan arti baru pada kata kesenangan."
Dia menggeleng sambil tersenyum, seolah-olah dia menghadapi seorang anak yang merajuk. Kemudian dia berkata dari balik bahunya saat ia berjalan pergi,
"Selamat malam, Mr. Park."
Seperti yang kubilang, aku biasanya seorang pria yang jeli. Sherlock Holmes dan aku, kita bisa berkumpul bersama. Tapi aku begitu terpesona oleh pantat indahnya, aku melewatkan petunjuk itu pada awalnya.
Apakah kalian memperhatikan? Apakah kalian menangkap detail kecil yang kulewatkan?
Benar. Dia memanggilku "Mr. Park"—tapi aku belum pernah mengatakan padanya nama belakangku. Ingat itu juga.
Untuk saat ini, aku membiarkan wanita misterius berambut pirang itu pergi. Aku berniat untuk memberinya sedikit kelonggaran, kemudian memancingnya mendekat—dan menjerat dia sepenuhnya. Aku berencana untuk mengejar dia sepanjang malam ini, kalau perlu.
Dia sangat seksi.
Tapi kemudian si rambut merah—ya gadis yang di toilet pria— menemukanku.
"Di sini kau rupanya! Kupikir aku kehilanganmu."
Dia menempelkan tubuhnya kesisi tubuhku dan mengelus lenganku dengan cara intim.
"Bagaimana kalau kita pergi ke tempatku? Hanya di sudut jalan."
Ah, terima kasih—tapi tidak.
Si rambut merah cepat menjadi memori yang memudar. Pandanganku tertuju pada prospek yang lebih baik dan menarik. Aku baru akan mengatakan itu padanya ketika si rambut merah yang lain muncul di sampingnya.
"Ini adalah adikku, Jihyun. Aku menceritakan padanya tentangmu. Dia pikir kita bertiga bisa...kau tahu...bersenang-senang."
Aku mengalihkan tatapanku pada adik si rambut merah—saudara kembarnya, sebenarnya. Dan seketika itu juga, rencanaku berubah.
Iya, aku tahu...kubilang aku tidak naik roller coaster yang sama dua kali. Tapi kalau roller coaster kembar?
Aku beritahu kalian, tak ada seorang pria pun yang akan melewatkan kesempatan itu.
-TBC-
[Review?]
