.

.

ESTROUS CYCLE

.

.

Chapter 1: Proestrus

.

.

.


Ia menikmati rasa perih dan panas yang mengoyak tubuhnya. Tangisan lirih keluar dari mulutnya, ia ingin merasakan lebih, lebih dari ini. Luhan mengerang lemah, kedua tangannya meraba leher, dada, perut—dan nafasnya tertahan ketika ia merasakan penisnya begitu keras dalam genggaman. Ah! Belum cukup, ia ingin, butuh lebih, lebih—lebih banyak.

Setiap jengkal kulitnya terasa terbakar, tubuhnya yang telanjang di atas ranjang hanya bisa menggeliat untuk mendapatkan lebih banyak sentuhan. Ia melenguh ketika tangannya menjentik puting yang mengeras. Siapa saja, pikirnya putus asa, siapa saja, sentuh aku. Gagahi aku. Perkosa aku. Tolong.

Ah.

Ketika akhirnya—akhirnya!—ia melihat seseorang memasuki kamar, Luhan melenguh. Nafasnya semakin memburu ketika ia merasakan tangan-tangan menelusuri tiap lekuk tubuhnya yang tegang. Mulut yang hangat melumat jakun, puting, pusar—melumat seluruh pertahanan dirinya yang nyaris tidak ada hingga hancur sepenuhnya.

Bibir yang mencumbunya, tangan yang menggerayangi sekujur tubuh hingga ia tidak bisa mengontrol diri, semua itu membuatnya luluh lantak. Luhan mengejar tangan-tangan yang dingin itu, menggesekan tubuhnya pada sosok solid yang menindihnya. Lututnya terasa lemas dan ketika tangan yang berada di putingnya bergerak ke bawah, meraba-raba di antara selangkangan—meremas kejantanannya, Luhan merintih. Semua sentuhan terasa tidak cukup tapi juga terlalu berlebihan di satu waktu.

Tolong!

Ia menjerit. Lalu semuanya menjadi gelap.

.

.

.

.

.

.

"Kau berhasil keluar dari siklus tanpa Alpha?"

Minseok mengerutkan keningnya setelah mendengar cerita Luhan. Pembicaraan tentang siklus triwulan yang dialami seorang omega mungkin bukan sesuatu yang seharusnya dibicarakan di depan umum. Tapi di cafe yang sepi itu, Luhan terpaksa menceritakan kejadian semalam ketika temannya bertanya. Ia tidak bisa berkata 'tidak' pada mereka, ia juga tidak bisa berbohong.

Wajah Luhan memerah mendengar Minseok bertanya dengan suara lantang. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan dan tidak menjawab.

"Kau lupa 'lagi', hyung", tambah Yixing dengan nada polos yang membuat Luhan semakin tidak ingin bicara dengan kedua sahabatnya itu. Memang tidak umum untuk seorang omega seperti Luhan tidak memiliki pasangan biarpun ia sudah berumur hampir dua puluh tahun. Biasanya omega mencari pasangan sejak pertama kali insting seksual mereka muncul. Akan lebih mudah jika seorang omega memiliki partner Alpha yang bisa membantu saat siklus birahi mereka datang.

.

"Iya, iya, 'lagi'," ujar Minseok sambil menyesap kopinya dengan khidmat, "Ini sudah kedua kalinya tahun ini kan."

"Dengan banyaknya alpha yang terpincut oleh wajah manis gege, kenapa Lu-ge tetap bersikeras tidak memiliki partner jadi sebuah misteri besar, ya?"

Luhan menempelkan keningnya di meja, berharap bisa menenggelamkan dirinya. Ia sudah sering menjelaskan bahwa ia tidak ingin memiliki partner Alpha karena ia tidak ingin menjadi budak. Semua orang tahu bahwa omega adalah budak Alpha, ras yang lebih dominan karena kekuatannya. Tapi teman-temannya tidak memahami keputusannya, tidak mengerti kenapa ia menghindari suatu kepastiaan demi harga dirinya.

"Yep," Minseok mengangguk ke arah Yixing, "Ia lebih memilih tangannya ketimbang orang betulan."

"Diam kalian berdua," gerutu Luhan akhirnya, enggan mendengar kedua orang itu membicarakan kehidupan seksualnya lebih jauh. Itu sama sekali bukan urusan mereka, terima kasih. Mendengar kegusarannya, Minseok dan Yixing hanya tertawa dan menunjukan cengiran lebar ke arah Luhan.

Luhan mengangkat kepala dan menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi. Rambut yang bewarna pirang terang membingkai wajahnya. Matanya, bagian yang membuat setiap Alpha yang melihat Luhan berlomba-lomba menarik perhatiannya, bersinar hangat kontras dengan keningnya yang mengerut.

"Lagipula aku tidak sendirian," gumam Luhan, bicara dengan suara rendah biarpun pengunjung di cafe tempat mereka berkumpul itu hanya mereka bertiga, "Yifan membantuku.

Minseok menatapnya prihatin.

"Itu tidak lebih baik, Lu," ujarnya hati-hati, "Sama sekali tidak lebih baik."

Luhan hanya mengangkat bahunya, tidak melihat ada yang salah dengan Yifan membantu siklus-nya. Sudah dua tahun terakhir Yifan membantu Luhan dan tidak pernah ada masalah sampai sekarang. Ia dan Yifan sudah mengenal satu sama lain sejak kecil, sejak mereka bertetangga di Beijing sebelum Yifan pindah ke Kanada. Ketika mereka tahu bahwa mereka sama-sama berada di Seoul, Luhan untuk melanjutkan studinya sedangkan Yifan untuk bekerja, persahabatan mereka sejak kecil diteruskan.

.

"Kenapa ya, Yifan-ge tidak memiliki partner," Yixing mengerutkan wajah, berkonsentrasi mengaduk kopinya, "Padahal banyak sekali orang yang ingin memiliki partner Alpha seperti dia."

Luhan tidak berkomentar, memilih untuk meminum kopinya. Sudah menjadi rahasia umum Yifan yang tampan dan bertubuh atletis memiliki banyak penggemar. Pekerjaannya sebagai model salah satu clothing line hanya membuat fansnya semakin banyak. Bukan cuma satu-dua kali ada omega tidak dikenal yang mendatanginya dan (Luhan meringis setiap kali mengingatnya) menawarkan tubuh mereka untuk dimiliki Yifan. Tapi pemuda itu tidak pernah menerima satu pun dari mereka.

"Mungkin dia menunggu Luhan ingin memiliki Alpha."

Luhan terbatuk, kopi yang sedang diminumnya menetes ke baju. Matanya membelak menatap Minseok.

"Tentu saja tidak!"

"Itu satu-satunya penjelasan yang masuk akal," ujar Minseok santai sembari mengangkat bahunya.

Luhan memalingkan wajahnya, tidak mau menanggapi. Ia selalu iri pada Minseok yang terlahir sebagai beta, biarpun tidak sekuat alpha, setidaknya ia tidak perlu merasakan siklus triwulan-nya. Ia bisa memilih partner hidupnya tanpa ada batasan. Ia tidak perlu merasakan bagaimana tubuhnya berkhianat, menginginkan sesuatu yang sebenarnya tidak ia inginkan. Untung saja siklus itu hanya terjadi tiga bulan sekali. Setidaknya untuk setiap seminggu yang dihabiskannya dengan mengurung diri di kamar agar tidak ada orang yang tidak dikenal memanfaatkan tubuhnya, Luhan memiliki 3 bulan minus seminggu untuk hidup tenang.

Biarpun beberapa hari sebelum siklusnya mulai juga sama mengerikannya. Alpha-alpha yang bisa mencium bahwa ia akan mengalami siklus tiba-tiba mendatanginya dengan mata penuh nafsu. Luhan bergidik.

.

"Tapi kau sudah tidak apa-apa sekarang, Lu?" tanya Minseok, ada kekhawatiran di dalam nadanya yang membuat Luhan kembali ingat kenapa pemuda itu adalah sahabatnya. Yixing juga menatapnya dengan tatapan khawatir. Luhan menghela nafas panjang.

"Ya, semuanya sudah kembali normal."

.

Suara denting lonceng terdengar, penanda bahwa seseorang memasuki cafe. Luhan tidak perlu mendengar sapaan bersemangat Yixing, "Yifan-ge!" untuk mengetahui siapa yang baru saja datang. Aroma alpha Yifan terlalu pekat, omega mana pun bisa menciumnya.

"Hai, Yifan," sapa Minseok sembari menarik satu kursi mendekat ke meja mereka. Luhan membeo sapaan itu dan Yifan menunjukan senyum tipis pada mereka bertiga.

"Hai," sapanya singkat sembari duduk di sebelah Minseok.

"Kami baru saja membicarakanmu, ge," kata Yixing sambil menunjukan senyum lebarnya, membuat lesung pipinya muncul.

"Hm?"

"Membicarakan siklus Luhan lebih tepatnya," kekeh Minseok, mengerling dengan wajah iseng ke arah Luhan yang mengerang dan menyikut sahabatnya itu.

Yifan tertawa, tangannya terangkat untuk menepuk pipi Luhan. "Kau tahu mereka akan berhenti membicarakan ini kalau kau akhirnya mau menerima alpha, kan?"

Luhan menghela nafas panjang. Pembicaraan yang selalu sama tiap tiga bulan.

"Aku tidak tahu kenapa aku masih berteman dengan kalian bertiga."

.

.

.

.

Sekitar satu jam kemudian, ketika kopi di cangkir sudah kosong atau tinggal separuh dan pembicaraan mereka sudah melantur ke mana-mana, mulai dari photoshoot Yifan terakhir, anak-anak konglomerat di kelas Minseok yang mengambil kuliah Bisnis Manajemen, resital dansa Yixing, hingga dosen killer di jurusan sastra yang diambil Luhan (dan bagaimana ia selalu menarget Luhan di kelas), cafe itu sudah mulai ramai. Sudah cukup sore untuk pegawai kantoran dan anak-anak sekolah datang berkunjung. Suara denting lonceng dan sapaan "selamat datang!" dari barista yang bertugas berkali-kali terdengar.

Lonceng berdenting lagi untuk kesekian kalinya. Mereka berempat sedang membicarakan tentang restoran yang baru buka di Myeongdong ketika Luhan tiba-tiba menolehkan wajahnya.

"Luhan?"

Samar-samar Luhan masih mendengar suara teman-temannya tapi adrenalinnya terpacu. Jantungnya berdebar tidak karuan hingga ia merasa bisa mendengar debaran di telinganya. Pupilnya melebar dan ia tanpa sadar berdiri.

Aroma alpha yang bahkan lebih menyengat dari Yifan tercium. Rasanya seperti menghisap substansi terlarang karena saat itu ia tidak bisa berpikir lagi. Seperti ada obat di dalam darahnya yang membuat tubuhnya menjadi sensitif tapi juga membutakan indera-inderanya, membutakan akal sehat. Yang ia bisa rasakan hanya aroma maskulin yang begitu kuat hingga ia seperti direngkuh di dalamnya. Ia tenggelam dan tidak bisa bernafas, tapi ia justru merasa lebih hidup daripada biasanya.

Ada suara erangan terdengar, kasar dan penuh nafsu hingga membuat Luhan gemetar. Kemudian ia melihatnya, pemuda yang baru masuk ke dalam cafe itu.

Ia melihat wajah yang tirus dan rambut yang gelap, ia melihat seragam blazer yang dikenakannya, tapi semua itu terasa tidak penting ketika ia melihat mata pemuda itu. Nyaris emas dan liar, seperti binatang buas.

Luhan memejamkan matanya dan dunia seperti berhenti berputar. Ia merasakan sesuatu yang basah menyentuh lehernya sebelum sesuatu yang tajam menusuknya. Kelenjar di lehernya membuka dan ia dibanjiri kenikmatan. Suara erangan terdengar seperti bukan suaranya sendiri. Ia tidak peduli jika ia berejakulasi disaksikan oleh semua orang di cafe itu. Saat ini yang ia tahu hanya tubuhnya terasa ringan dan panas dan ah.

Ia mendengar bisikan parau sebelum kesadarannya menghilang.

.

"Milikku."

.

.

.

.

.

Luhan mendengar suara-suara sebelum ia membuka matanya. Suara teritakan dan bisik-bisik yang tidak bisa ia mengerti seolah dalam bahasa lain. Ia mencoba menarik nafas, tapi yang kemudian membuatnya terbangun adalah rasa sakit di lehernya.

"APA KAU IDIOT?!"

Suara Yifan terdengar keras hingga Luhan mengernyit.

"BOCAH TENGIK! KAU MENANDAINYA! TANPA PERSETUJUANNYA!"

.

Oh.

.

Saat itu Luhan baru menyadari apa yang terjadi di cafe. Wajahnya memerah dan ia refleks memegang lehernya. Kelenjar aromanya dirobek. Ia sudah ditandai.

Ia sudah menjadi milik seseorang.

Luhan bangun dari tempatnya berbaring, sedikit terkejut ketika menyadari bahwa ia sudah berada di apartemennya. Tubuhnya terasa berat namun ketika ia mencoba berdiri, ia tidak merasa terlalu buruk.

Pelan-pelan ia berjalan keluar kamar.

.

Kehadiran yang pertama ia sadari adalah pemuda yang berlutut di lantai. Pemuda berambut gelap yang telah menggigit lehernya. Ia langsung mengangkat kepalanya begitu Luhan masuk ke ruangan, wajahnya pucat. Reaksi itu membuat Yifan yang berdiri di depannya serta Minseok dan Yixing yang mengitarinya menoleh ke arah Luhan.

"Lu!"

Luhan hanya tersenyum lemah dan mengangkat bahunya. Pandangannya tetap tertuju pada pemuda itu. Anak sekolah, pikirnya getir ketika melihat seragam salah satu sekolah swasta yang sering ia lihat.

Ia berjalan mendekat dan berlutut di depan pemuda itu. Luhan mengernyit ketika melihat bibir yang robek dan lebam di pipi, tidak salah lagi perbuatan Yifan. Ia tahu Yifan protektif terhadapnya, tapi ia tidak menyangka sampai seperti ini. Walaupun sebenarnya bisa dimengerti.

.

"Siapa namamu?" tanya Luhan lembut.

Pemuda itu menatapnya ragu. Matanya tidak lagi liar seperti ketika di cafe, ada ketakutan dan keraguan yang terpancar. Ia terlihat masih sangat muda dan Luhan tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

"Sehun," ujarnya parau,"Oh Sehun."

"Sehun," ulang Luhan, "namaku Luhan."

Saat itu ia merasakan cengkraman kuat di bahunya, mendorongnya menjauh dari Sehun.

"Ia menandaimu, Luhan," suara Yifan terdengar geram.

Luhan ingin tertawa. Miris. Ia tahu. Oh, betapa ia tahu. Lehernya masih terasa sakit dan ada darah kering di sana. Aroma tubuhnya tidak seperti tubuhnya. Ada campuran bau Oh Sehun di tubuhnya, ia tahu bahwa ia sudah ditandai. Sudah diklaim.

"Aku..." Luhan terlihat ragu sejenak sebelum berdecak pelan, frustasi. "Aku membiarkannya, Yifan."

Ia mendengar suara nafas tertahan. Bukan Yifan, mungkin salah satu dari Minseok atau Yixing.

"Yifan, kau tahu aku bisa menghadapi alpha-alpha lain," Luhan mencoba menjelaskan, ia mengerling ke arah Sehun sekilas, "Aku membiarkan dia Sehunmenandaiku."

Yifan terlihat terkejut. Tapi hanya sesaat sebelum ekspresinya kembali mengeras.

"Jangan mencoba melindunginya, Lu."

"Aku tidak melindunginya," ujar Luhan yakin, mengangkat kepalanya untuk menemui tatapan Yifan, "aku hanya menceritakan apa yang terjadi."

Yifan masih terlihat tidak percaya. Ia menatap Luhan lama, tapi ketika Luhan tidak melepas pandangannya, akhirnya ia menghela nafas panjang.

"Aku harap kau tahu apa yang kau lakukan, Xiao Lu."

Luhan tersenyum dan mengangguk.

Tidak, ia tidak tahu, batinnya menjerit. Tapi teman-temannya tidak perlu tahu itu.

.

.

.

.

"Kenapa kau berbohong?"

Sehun bertanya langsung, tanpa basa-basi begitu pintu depan tertutup. Yifan, Minseok, dan Yixing memutuskan untuk pulang dan memberikan kesempatan untuk Luhan beristirahat. Seharusnya Sehun juga pergi, tapi Luhan menahannya. Ia perlu tahu siapa anak itu, atau setidaknya ia perlu tahu bagaimana ia harus menghubungi Alpha yang sudah menandainya. Bagaimanapun nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Suka ataupun tidak akan ada waktu ketika Luhan membutuhkan anak itu.

Luhan tidak menjawab, hanya mengisyaratkan Sehun untuk duduk di sofa.

"Aku menandaimu dengan paksa," ujar pemuda itu lagi, tidak menghiraukan isyarat Luhan, "kau seharusnya melaporkanku."

Alpha memang memiliki kekuatan yang lebih besar, kontrol atas omega yang ditandainya. Karena itu ada undang-undang yang melarang seorang Alpha menandai omega atau beta tanpa persetujuan yang ditandainya. Menandai dengan paksa sama saja seperti ia telah memperkosa Luhan, bahkan lebih buruk karena ia jadi memiliki kontrol atas Luhan. Ia bisa melakukan apapun pada Luhan dan semua itu legal karena Luhan adalah omega-nya.

Luhan tersenyum lemah.

"Aku tidak berbohong," ujarnya, ketika Sehun menatapnya skeptis Luhan menambahkan, "baiklah, mungkin sedikit. Tapi kupikir aku seharusnya bisa menghentikanmu."

"Aku Alpha, kau tidak bisa menghentikanku."

Luhan tertawa. Sehun tidak tahu betapa banyak Alpha yang sudah ia tolak selama ini.

"Berapa umurmu, Sehun?"

Sehun mengerutkan keningnya, lalu membuang muka.

"Enam belas."

Senyum di wajah Luhan memudar. Pemuda di depannya bahkan belum legal, masih di bawah umur bahkan untuk membuat keputusannya sendiri. Luhan menggelengkan kepalanya lalu mengambil kain dari laci di dapur. Ia bisa merasakan pandangan Sehun mengikuti setiap gerak-geriknya, tapi ia menahan diri untuk tidak berkomentar. Ia membasahi kain dengan air di wastafel.

.

Ketika ia berjalan kembali kepada Sehun, pemuda itu duduk di sofa dengan kepala tertunduk. Luhan ingin menghela nafas, antara kasihan dan masih tidak percaya ini terjadi. Ia berlutut di depan Sehun, memaksa pemuda itu untuk mengangkat kepala agar Luhan bisa menyeka darah di bibir dan di pipinya yang merah dengan kain.

"Ini akan meninggalkan bekas beberapa hari," ujar Luhan pelan, "maaf, Yifan agak protektif."

Sehun tidak menjawab. Ia bahkan tidak melihat ke arah Luhan. Rahangnya mengatup, tegang, dan Luhan tidak mengerti reaksi itu sampai ia melihar rona merah di pipi Sehun dan kakinya yang gemetar. Luhan mengedipkan matanya beberapa kali sebelum tersenyum kecil. Dia malu? Bocah manis.

Setelah Luhan selesai menyeka luka Sehun, tiba-tiba pemuda yang lebih muda itu mengambil kain dari tangannya.

"Maaf," gumam Sehun pelan seakan ia takut, dan Luhan tersenyum. Tidak lama karena kemudian nafas Luhan tercekat ketika kain yang lembab itu menyentuh lehernya. Ia mencoba membuat tubuhnya rileks, Sehun hanya akan membersihkan bekas darah di sana. Ia harus tenang. Tidak ada apa-apa.

Tapi kemudian tangan Sehun menyentuh bekas gigitan di kelenjarnya. Luhan teringat pada kenikmatan yang membanjirinya ketika Sehun menancapkan taringnya di sana. Begitu nikmatnya hingga tanpa stimulasi apapun ia sudah nyaris mencapai klimaks di depan banyak orang. Betapa memalukan. Ia belum pernah mengalami hal seintens itu. Tubuhnya gemetar.

Tangan Sehun berhenti bergerak dan suara nafasnya terdengar memburu. Luhan mengangkat kepalanya dan matanya bertemu dengan Sehun. Wajah pemuda itu tampak terbagi antara menyesal tapi juga liar. Dan Luhan menggigit bibirnya.

.

Ia lupa bahwa Alpha bisa mencium aroma omega yang terangsang.

.

"Luhan."

Suara Sehun ketika mengucapkan namanya pertama kali membuat Luhan menahan nafas. Parau dan terdengar begitu lembut tapi juga bergairah.

Sehun menarik lehernya dan menempelkan bibirnya ke milik Luhan. Awalnya hanya bibir bertemu bibir, kemudian Sehun mulai menggigiti bibirnya, mengulumnya. Luhan mendesah ketika merasakan lidah Sehun menjilat bibirnya, dan menyesal kemudian karena pemuda yang lebih muda menggunakan kesempatan itu untuk memasukan lidahnya ke dalam mulut Luhan.

Mereka baru bertemu hari ini.

Lidah Sehun menyentuh langit-langit mulutnya, memainkan lidahnya. Memakannya.

Ia baru enam belas tahun.

"Luhan."

Ia masih anak-anak.

Jari Sehun di lehernya menekan bekas gigitan di kelenjar dan Luhan mengerang keras. Ia mencengkram lengan Sehun dan membiarkan tangan pemuda itu menjamahnya.

.

.

.

.

"Luhan, aku ingin menyentuhmu."

Luhan ingin tertawa. Ia duduk di atas tempat tidur tanpa benang sehelai pun sejak Sehun melucuti bajunya dalam perjalanan dari ruang duduk ke kamarnya. Sehun sudah menyentuh banyak hal. Ia tidak tahu apa lagi yang diinginkan pemuda itu. Ia sudah menyentuh Luhan.

Kecuali ia menginginkan lebih.

.

"Sehun," mulai Luhan pelan, menyilangkan kakinya untuk menutupi kemaluannya. Tapi Sehun mencengkram pahanya, menahan gerakannya.

"Biarkan aku menyentuhmu," ulangnya lagi, suaranya bergetar, "Aku ingin menandai setiap jengkal tubuhmu dengan tandaku, Lu."

Nada Sehun tidak menyediakan tempat untuk argumen, seakan ia tidak membutuhkan persetujuan Luhan sama sekali. Seakan tubuh yang diinginkan oleh Sehun itu bukan tubuhnya, tapi milik Sehun. Sebelum Luhan sempat mengatakan apapun satu tangan Sehun memilin putingnya, satu tangannya yang lain meremas bokong pemuda itu dengan kuat hingga Luhan terpaksa mendorong tubuhnya maju. Kemaluannya menyentuh bahan kasar dari celana yang dikenakan Sehun dan ia tidak kuasa menahan erangan yang keluar dari bibirnya.

"Sehun..."

"Lu," desah pemuda itu di telinga Luhan, "aku ingin menjamahmu."

Luhan menggelengkan kepalanya, menolak. Tapi kemudian Sehun menggesekan kemaluannya dengan milik Luhan, mendesah di telinganya dengan begitu penuh hasrat hingga Luhan menggigil. Ia seharusnya tidak melakukan ini. Bukankah ia selama ini menolak menjadi omega yang hanya menjadi objek pemuas Alpha?

"Lu, aku ingin bercinta denganmu."

Luhan memejamkan matanya erat-erat. Kakinya lemas. Sehun meremas-remas bokongnya, mencumbu bibirnya.

"Luhan." desahnya lagi, menggigit leher Luhan tepat di kelenjar aromanya, "Aku ingin memasukan penisku. Membuat jejak di dalammu hingga kau akan selalu ingat padaku. Bahwa kau milikku."

Luhan pikir ia seharusnya bergerak. Atau setidaknya melakukan sesuatu, mengatakan apapun untuk menghentikan Sehun. Tapi semua itu sulit dilakukan ketika Sehun sibuk melumat putingnya dalam mulut, tangannya yang dingin meremas-remas penis Luhan dengan kasar (tapi oh, jangan berhenti).

Ia tidak bisa melakukan apapun ketika Sehun melebarkan kedua kakinya, membuat seluruh bagian paling privat dari Luhan terpampang tepat di depannya. Luhan tahu ia seharusnya malu, ini pertama kalinya ada orang lain yang melihat bagian intimnya. Tapi kemudian Sehun membungkuk dan menjilat lubang duburnya dan ya Tuhan, ah. Ah!

Lidah Sehun masuk dan Luhan tidak bisa berpikir lagi. Di kepalanya hanya ada tolong, tolong, Sehun lakukan lagi. Ah. Sehun. Dan ia merasakan lubangnya dimasukan sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih panjang dan keras. Apa yang dilihatnya membuatnya mengerang.

Sehun memasukan jari telunjuk, bersama dengan lidahnya.

.

Ah.

.

Klimaksnya datang begitu kuat hingga tubuh Luhan langsung lunglai.

Ia tidak kuat lagi menopang tubuhnya dan ia membiarkan tubuhnya merosot di kepala tempat tidur. Tubuhnya terasa lengket oleh keringat dan sperma, tapi ia tidak bisa bergerak. Sehun mengecup pipinya, pelipisnya, kemudian bibirnya. Bibirnya digigiti oleh pemuda yang lebih muda darinya itu. Sehun melumat lidahnya, membuat Luhan mengerang pelan sebelum menutup matanya.

.

"Milikku."

.

.

.

.

tbc

.

.


Salah satu cerita dari wattpadku. Uhm, ini cerita yang kutulis ala kadarnya jadi uh, aku nggak yakin dengan kualitasnya. Anyway, cerita ini bukan prioritas utamaku jadi updatenya mungkin akan lama, tergantung situasi. Terima kasih sudah membaca :)