Hai, semua! Anne datang lagi dengan kisah baru. Ini hasil pergolakan batin aku setelah dua hari dilanda stress dengan tugas kuliah full presentasi. Benci banget lihat anak-anak lain yang masih santai dan bahagia nggak dibuat pusing dengan materi presentasi. Ya, derita penampil awal, tapi sekarang sudah lega..

So, dari rasa iri dengan kebahagiaan teman itulah, muncul cerita ini. Pertama buat premis ceritanya setelah maju presentasi. Jadi masih ada dosen dikelas tapi udah sibuk bikin cerita. Hahahaha! Jangan ditiru!

Agak berbeda dengan kisah-kisah sebelumnya yang khas kehangatan keluarga. Cerita ini agak aku buat.. kelam! Aku ciptakan beberapa OC di sini.

Penasaran? Langsung ke TKP!

Happy reading!


Segerombol anak kelas 6 keluar dengan tampang sumringah. Pulang telah tiba. Beberapa dari dari mereka sudah menghampur ke pelukan para penjemput. Beda dengan Lily, sejak Al lulus dan masuk Hogwarts, ia jadi sering sendirian tiap kali pulang sekolah. Terkadang Lily benci juga berjauhan dengan kedua kakaknya yang menyebalkan itu.

Hugo, sepupunya, memang sama-sama di kelas 6, namun mereka beda sekolah. Lokasi sekolah Lily dengan Hugo cukup jauh terbilang sama dengan jarak rumah mereka.

"Lily!" hampir saja Lily berlari ke arah gerbang sekolah, ada suara khas yang sangat ia kenal memanggil namanya.

Muncullah sosok pria berkacamata di arah samping lorong sekolah. "Dad, kok datang dari sana? Dad parkir di samping? Tumben?" kata Lily sembari berlari dan memeluk hangat pria yang dipanggil Daddy itu.

Tubuh sang ayah hanya diam tanpa berkomentar, toh Lily juga tak memperhatikan gelagat aneh Harry karena asik bergelayut manja. "Ayo, Dad! Kita pulang! Aku sudah lapar," Lily menarik tangan Harry dengan kuat untuk mengajak berjalan. Berdua mereka akhirnya menyusuri lorong.

Sisi kanan dan kiri, terdapat beberapa ruangan penyimpanan properti sekolah. Sebagian dari ruangan itu kini sudah dikunci seiring dengan para murid dan guru yang meninggalkan sekolah.

"Aku tadi sempat terjatuh, Dad, saat lomba volly, tapi tak apa. Aku tak terluka, kok. Ya, walapun sedikit sakit, tapi aku nggak nangis, Dad, terus..,"

Baru disadari Lily ayahnya tak ikut berjalan mengikutinya. Lily tak mendengar ada langkah kaki berat suara sepatu yang sering ia dengar saat jalan berdua dengan sang ayah. Apalagi seperti sekarang ini, tidak ada orang lain selain mereka di sana.

"Dad?" panggil Lily saat membalikkan tubuhnya.

Lily sudah hampir beridiri di ujung lorong, beberapa langkah lagi sudah sampai di area parkir sisi sekolah. "Dad!" Panggil Lily sekali lagi.

Tak percaya dengan apa yang dilihatnya, Lily terpana melihat sang ayah sudah mengacungkan tongkat tepat ke arahnya.

"Dad, kenapa? Dad sakit? Ada ap—"

"Crucio!"

Duss! Suara keras keluar dari ujung tongkatnya. Hentakan keras diterima Lily hingga tubuh kecilnya terjatuh menghantam lantai. "Aaagghh!" Lily mengerang dengan tubuh kejang kesakitan tiap kali lontaran mantra tak termaafkan itu disebut.

"Crucio!" rapal Harry lagi.

Tubuh Lily tak hentinya bergerak-geralk ekstrim menahan sakit yang tak terkira. Ia sudah menangis tak kuat menahan rasa sakit. Lily merasa ada yang meremas organ-organ dalam tubunya dengan begitu kuat. Tapi kenyataannya, tak ada siapapun yang menyentuh tubuhnya.

"Dad, kau—"

"Jahat? Ya, sayang. Ayahmu ini memang jahat. Ia tak segan-segan menyiksa tubuh putri kecilnya sampai mati.. ditangannya sendiri. Avad—"

"Expelliarmus!"

Serangan begitu kuat datang dari arah tak terduga. Sebelum mantra pembunuh itu terlontar, tongkat dan tubuhnnya lebih dulu terlontar hingga menghantam tembok lorong. Dua orang datang sambil berlari dengan tongkat teracung di tangan mereka. "Bajingan!" Umpat si pria berkacamata yang datang langsung mengunci pergerakkan tangan dan mencekik sekaligus mendekatkan tongkatnya di depan hidung. "Kau apakan putriku, hah? Kau tau aku siapa?"

"Ha-Harry Potter!"

Lily yang terkapar di lantai baru sadar siapa yang melemparkan mantra expelliarmus tadi. "Dad? Lalu itu siapa?" batin Lily. Suaranya sulit sekali keluar. Di depannya kini ada dua Harry dan satu Ron, pamannya.

Tangan Ron sudah menggeledah di area tubuh pria yang mirip dengan Harry itu. "Bloody hell, ada ramuan polyjuice di sakunya. Ada yang sembunyi-sembunyi mengambil rambutmu, Harry." kata Ron makin membuat geram Harry.

"Pengang dia!" Harry langsung melepas cengkramannya dan beralih ke arah Lily.

"It's oke, sayang. Bertahanlah. Ini Dad!" Harry merengkuh tubuh lemas Lily. Putrinya itu sama sekali tak menunjukkan keadaan yang baik. "Dd-dad, sakit!" tutur Lily lemah.

Harry makin mengeratkan pelukannya pada Lily. Tak tega rasanya Harry melihat putri bungsunya itu merasakan mantra penyiksa. Ia tahu benar bagaimana sakitnya tubuh akibat lontaran salah satu mantra tak temaafkan itu.

Sesaat kemudian Ron tiba-tiba berteriak, "Harry.. lihat! Dia mulai berubah,"

Harry melihat pria yang berani menyamar menjadi dirinya mulai kehilangan efek dari ramuan pengubah. "Yaxley Jr?!" bisik Ron.

"Ya, ini aku." Jawabnya enteng masih dalam kuasa kuncian Ron.

"Apa masalahmu dengan anakku sampai kau menyerangnya? Masalahmu denganku, bukan dengan Lily!" bentak Harry sangat marah.

Ron terus menjaga Yaxley Jr agar tidak ikut berontak. "Ow, tentu dia juga. Kau dan semua yang membuatmu bahagia, akan berurusan denganku," balasnya.

Uhuk! "Dad?" dalam dekap Harry, Lily tiba-tiba terbatuk. Ada noda merah mengotori seragam sekolahnya, "darah! Ron, aku harus segera membawa Lily ke St. Mungo. Kau urus bajingan itu dan jebloskan lagi dia ke Azkaban.

Saat Harry berdiri dengan tubuh Lily yang ia gendong siap ber-Apparate, Yaxley Jr berteriak kembali pada Harry, "kau tak akan bisa bahagia saat dia terpuruk, Potter! Camkan itu!"

- Tbc -


Bagimana? Tunggu chapter selanjutnya!

Aku tunggu reviewnya, ya, teman-teman!

Thanks,

Anne xo