Disclaimer:
That I need one is a dead giveaway.
Warning:
AU, chara death(s), possibly OOC. No chara bashing purpose. Don't like don't read.
Summary:
Bunyi 'klik' pelan yang terdengar ketika dingin lingkaran borgol membelenggu kedua pergelangan tangannya adalah satu-satunya peringatan sebelum putra tunggal Minato Namikaze itu menangkap ucapan Detektif Kakashi Hatake yang berkata, "You're under arrest."
-x-
-x-
-x-
Poison Paradise
-x-
-x-
-x-
Kankuro tahu, bukan salah Nenek Chiyo jika pelayan tua keluarga Sabaku itu lupa memberitahukan bahwa upacara pemakaman almarhumah Nyonya Besar Hyuga diajukan menjadi pukul dua, bukan pukul lima. Namun ketika sore itu Kankuro tiba di halaman depan kediaman Hyuga yang tentunya sudah sepi pelayat, si anak tengah mendadak seperti kehilangan muka. "Ya Tuhan, aku belum pernah setelat ini menghadiri acara pemakaman orang," tuturnya sendiri sambil melirik ke arah beberapa pelayan berseragam yang sibuk berlalu lalang membereskan bangku-bangku dan karangan bunga bertuliskan ungkapan belasungkawa. "Apa tidak lebih baik kita pulang saja?"
Gaara, si bungsu berambut merah tanpa alis yang turun dari mobil paling akhir terdengar tak sependapat. Katanya, "Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali." Yah, sekalipun prosesi pemakaman itu sendiri sudah berakhir sejak tadi.
Kankuro menoleh ke kiri. "Bagaimana, Temari?"
"Gaara benar." Sebagai anak tertua, tentu saja Temari paham betul bahwa selama ini Hiashi Hyuga belum pernah sekalipun absen dari semua acara yang digelar keluarga Sabaku. "Aku bisa lebih malu lagi kalau kita tidak hadir sama sekali." Si gadis berambut pirang membungkuk sebentar di depan kaca spion mobil yang ia tumpangi bersama kedua adiknya. Memberi kesempatan pada Kankuro dan Gaara untuk membetulkan simpul dasi mereka sementara Temari memastikan letak bros yang tersemat di dada kanannya tidak bergeser. "Ayo."
Kankuro mengangguk. Dibarenginya langkah sang kakak bersama Gaara yang mengekor di belakang mereka. Sesampainya di bawah pilar utama, ketiga bersaudara itu disambut oleh seorang kepala rumah tangga berkimono hitam yang kemudian mengantar mereka hingga ke ruang serbaguna yang terletak di sayap timur kediaman keluarga Hyuga. Ucapan terima kasih yang datar dan pendek dilontarkan Temari pada sang kepala rumah tangga begitu ia dan kedua saudaranya dibukakan pintu ke ruangan tersebut. Ketiganya pun masuk. Pintu ditutup.
Rupanya ruangan itu tidak kosong. Ada tujuh orang mendiaminya ketika Temari, Kankuro dan Gaara masuk ke sana. Dua orang pertama yang dilihat Temari adalah sepasang kakak-beradik perempuan berambut gelap lurus panjang dan bermata bening yang menjadi ciri khas semua anggota keluarga Hyuga. Hinata dan Hanabi. Tak jauh dari keduanya Temari melihat Neji Hyuga tengah duduk di samping tunangannya. Kalau Temari tidak salah, gadis berambut cepol dua itu Tenten namanya. Dan kalau tidak salah juga, hubungan dua sejoli tersebut masih belum sepenuhnya direstui oleh Hiashi yang menjadi wali Neji semenjak ayah pemuda itu meninggal dunia. Temari tak heran. Jangankan Tenten yang memang anak orang biasa, Hiashi bahkan masih belum benar-benar merelakan putri sulungnya, Hinata, digandeng oleh Naruto Namikaze. Padahal Naruto adalah putra tunggal Minato Namikaze, seorang industrialis farmasi terkemuka.
"Temari? Gaara?" suara seorang pria paruh baya terdengar menyapa dari balik meja di sudut ruangan. "Kankuro ikut juga?"
Temari menoleh sebelum membungkuk dalam diikuti kedua adiknya. Sebab suara tadi adalah suara Hiashi Hyuga, sang tuan rumah yang baru-baru ini resmi menjadi duda. "Selamat sore, Paman." Tutur si pemilik mata hijau, "Kami ikut berduka cita atas kepergian Bibi." Tambahnya kemudian, " Maaf baru bisa datang sekarang."
"Ah, tak apa," balas Hiashi. "Terima kasih sudah menyempatkan diri datang kemari. Duduklah."
Kankuro bergerak paling cepat. Mengambil slot kosong di samping Sasuke Uchiha, kontraktor muda yang tampak merengut disebelah seorang model pendatang baru berambut pirang yang terkenal dengan nama Ino Yamanaka. "Tumben sekali kau betah berlama-lama di rumah orang, Uchiha," tegur desainer video game itu sekenanya.
Sasuke cuma mendengus. Tak tahu saja Kankuro kalau pemuda berambut gelap itu sedang dongkol pada Hiashi yang berniat mengalihkan proyek pembangunan restoran barunya pada pihak lain.
"Lama tak bertemu, Gaara," sapa Ino pada si bungsu Sabaku. "Kau kemana saja?"
"Kuliah," jawab Gaara sedingin dan sedatar biasanya.
Bibir Ino mengerucut. "Ketus sekali kau ini."
Sementara itu Temari berjalan menghampiri Hinata, memeluk tubuh mungil si gadis berambut biru tua sambil mengatakan, "Kau harus tabah." Karena Temari tahu bahwa Hinatalah orang yang paling dekat dengan mendiang ibunya.
Hinata mengangguk lemah. "Terima kasih, Kak."
"Kau juga, Hanabi," ujar Temari pada si bungsu kembang api.
Hanabi menjawab mantap, "Tentu, Kak Temari." Celetuknya setelah itu, "Atau kau mau kupanggil 'Nona Jaksa' mulai sekarang?"
Temari menghenyakkan pantat di samping Hinata sambil mengusap kepala Hanabi. "Telat kau ini. Aku sudah enam bulan menjadi jaksa wilayah Konoha Barat."
'Klek,' suara pintu terdorong membuka.
"Eh?" Ino berkomentar dengan kedua alis terangkat naik begitu gadis cantik itu melihat sosok Naruto yang datang sambil membawa seteko kopi, "Jadi kau yang membuat kopi, Naruto? Rasanya pasti jadi hancur sekali."
Sang pemuda berambut pirang jabrik merengut tak terima. "Jahat sekali kau, Ino." Sungguh, tidakkah putri tunggal keluarga Yamanaka itu bisa melihat betapa besar usaha Naruto untuk membuat Hiashi menilainya sebagai calon menantu yang serba bisa?
Di belakang Naruto, seorang gadis berambut merah jambu tampak mengekor dengan nampan penuh berisi cangkir terpegang di tangannya. Nama gadis itu Sakura Haruno, asisten peneliti mikrobiologi yang bekerja di Namikaze Pharmaceutical Industry Co. Ltd sejak tahun lalu. "Kak Temari?" sapanya begitu ia melihat Temari yang duduk di sebelah Hinata. "Kapan datang?"
Naruto ikut menoleh. "Jaksa Sabaku?" Agak tersentak tampaknya pemuda itu. Mungkin karena sudah terlalu banyak dicekoki macam-macam cerita tentang betapa ganasnya Temari di meja hijau. Wajar saja, mengingat Naruto memang berteman baik dengan seorang pengacara malas tukang tidur yang pernah berseteru dengan sulung Sabaku itu di pengadilan.
"Baru saja, Sakura," sahut Temari. Lalu ditanyakannya pada Hinata sambil melirik Naruto, "Inikah pacarmu itu?"
Hinata mengangguk. "I-iya," jawabnya seraya menunduk tersipu.
"Hanabi, bisa tolong kau ambilkan tiga cangkir lagi?" perintah Hiashi pada putri bungsunya. "Kita minum Koffe Roem sama-sama."
Hanabi mengangguk sebelum bergegas memenuhi permintaan ayahnya.
"Koffe Roem?" tanya Kankuro setelah mendengar nama kopi termahal di dunia itu disebut. "Wah, hebat sekali Paman bisa mendapatkan Koffe Roem di tengah musim panas seperti ini."
"Tidak juga, Hinata yang mendapatkannya," terang Hiashi sambil menuding sang putri sulung. Yang dituding hanya bisa tersenyum kecut. Pasalnya, Hinata mendapatkan kopi langka tadi dengan bantuan dari hampir semua orang yang hadir di ruangan itu.
Ketika Hiashi bilang ingin dibelikan sekilo Koffe Roem, Hinata langsung menghubungi Neji. Ia pikir Neji yang berprofesi sebagai juru masak pasti tahu caranya mendapatkan tumbukan biji pahit asal Iwa itu. Tapi ternyata Neji sendiri sudah berminggu-minggu tidak menjumpai Koffe Roem beredar di pasaran. Rumitnya proses pengerjaan dan langkanya bahan baku memang membuat Koffe Roem sulit dicari. Harganyapun bisa mencapai empat ribu dollar per pon. Neji lalu meminta tolong pada Tenten. Kebetulan sekali Tenten ingat kalau Sakura sekarang ditempatkan di Iwa, satu-satunya daerah penghasil Koffe Roem di dunia. Sakura berhasil mendapatkan kopi itu dengan bantuan Ino yang lantas mengirimkan kopi tadi pada Tenten untuk diberikan pada Hinata. Sementara Tenten terpaksa meminta tolong Sasuke karena ternyata pihak bea cukai Konoha menjatuhkan pajak barang mewah sebesar 20% untuk tiap gram Koffe Roem yang didatangkan dari Iwa.
Tak ayal, sewaktu sampai di tangan Hinata, bungkus asli kopi itu sudah lecek tak beraturan. Hanabi bahkan curiga kalau salah satu dari beberapa orang yang dimintai tolong kakaknya itu sempat membuka bungkus Koffe Roem dan mengambil sedikit bubuk kopi untuk dicicipi sendiri.
Tiba-tiba saja Neji berkelakar, "Aku tidak yakin lain kali Hinata bisa mendapatkannya lagi."
Bagi Hiashi, Naruto, Temari, Kankuro dan Gaara perkataan Neji itu memang tidak lucu sama sekali. Tapi bagi beberapa orang lainnya ucapan tersebut terasa sangat mengena. Merekapun terkikik geli sementara Hinata hanya bisa menunduk malu.
"Sudahlah, sekarang kita minum kopi sama-sama," kata Hiashi setelah Hanabi muncul kembali sambil membawa tiga cangkir tambahan yang dimintanya. Sang tuan rumah menuangkan sendiri kopi super mahal itu ke tiap cangkir, mempersilakan para tamunya minum lebih dulu sebelum menuangkan kopi untuk dirinya sendiri.
"Astaga, rasanya pahit benar," keluh Kankuro sambil meringis dan menggigit lidah.
"Ini kopi, Kankuro," timpal Tenten. "Tentu saja rasanya pahit."
"Iya, aku tahu. Tapi keterlaluan juga kalau orang tega menjual aspal panas seharga empat ribu dollar."
"Aspal panas darimananya?" Naruto nimbrung, "Sini, kalau kau tidak mau biar buatku saja."
Kankuro menyerahkan cangkir kopinya pada Naruto dengan sukarela. Heran ia, bisa-bisanya minuman sepahit itu menjadi barang langka.
'Drrrrt…drrrrt…drrrrt….'
Nada getar ponsel terdengar menyela dari arah meja Hiashi. Si empunya pun beranjak bangkit. "Paman permisi sebentar," pamitnya sebelum membawa secangkir kopi yang isinya tinggal setengah untuk mengangkat panggilan telepon ke ruangan lain.
"Iya, Paman," Naruto dan Tenten yang menyahut. Ah, semangat calon menantu.
Sepeninggal Hiashi dari ruangan itu Hinata terlihat memandangi cangkirnya yang sudah hampir kosong sembari berkata, "Aku jadi kangen pada kopi buatan Ibu…"
Naruto cepat-cepat merangkul bahu kekasihnya dan berusaha menghibur. "Hinata jangan begitu, Bibi 'kan sudah berada di tempat yang jauh lebih baik sekarang. Aku yakin suatu saat nanti kopi buatanmu akan seenak kopi buatan Bibi."
Hinata membalas, "Benarkah?"
"Tentu saja!" seru Naruto yakin. "Bukankah nanti kau yang akan menjadi Nyonya Besar Hyuuga berikutnya?"
Temari mengoreksi, "Maksudmu Nyonya Besar Namikaze?"
Naruto berpikir sebentar. "Iya, ya." Lanjutnya sambil menggaruk-garuk kepala, "Yang bakal menjadi Nyonya Besar Hyuuga 'kan Tenten."
Disebelah Neji, Tenten tersenyum penuh harap. "Kalau Paman Hiashi mau merestui, tentu saja."
"Paman pasti mau," Ino meyakinkan. "Nyatanya sekarang Paman sudah mulai melunak, 'kan?"
"Entahlah, Ino." Neji ikut pesimis. "Kurasa Paman cuma melunak karena sudah terlalu lelah memikirkan penyakit yang diderita mendiang Bibi."
Naruto protes. "Hey, Neji. Kau malah mengingatkan Hinata pada Bibi lagi!"
Neji menatap sepupunya pasrah. Mana mungkin mau tidak ingat? Bagaimanapun juga ini masih hari berkabung, meskipun pada dasarnya semua orang sudah merelakan kepergian sang nyonya. Sebab penderitaan almarhumah ibu dua anak itu semakin lama semakin membuat keluarganya tidak tega. Neji sendiri selalu terenyuh tiap kali melihat Hinata menangis di tepi ranjang pesakitan sambil meratapi kondisi ibunya yang sudah tiga bulan terakhir tidak bisa diajak bicara. "Hinata, jangan bersedih terlalu lama, ini sudah tak—"
"Sumpah, aku paling benci kalau kau sudah bicara soal takdir," sambar Naruto sewot. "Ini takdir, itu takdir, semuanya takdir."
"Ya, dan sepertinya aku sudah ditakdirkan pulang sekarang," sela Sasuke sambil berdiri. "Percuma aku berlama-lama disini. Ayahmu itu memang keras kepala, Hanabi."
"Yakin mau pulang sekarang?" Hanabi bertanya. "Siapa tahu kalau kau bujuk sedikit lagi Ayah mau berubah pikiran."
"Peduli setan," balas Sasuke acuh. "Panggilkan saja Paman Hiashi supaya aku bisa berpamitan."
Hanabi mengangkat bahu. "Baiklah." Si bungsu Hyuga itupun keluar, mencari sang ayah yang menyingkir untuk mengangkat panggilan telepon beberapa menit sebelumnya.
Mungkin ini adalah takdir, seperti yang selalu digembar-gemborkan oleh Neji. Sore itu Sasuke tak sempat berpamitan langsung pada Hiashi Hyuga. Ia —bersama tamu-tamu yang lain, tentunya— hanya sempat mendengar suara teriakan Hanabi ketika gadis itu menemukan ayahnya dalam keadaan kejang-kejang dan mulut berbusa.
-x-
-x-
'Ting-tong…'
Naruto menggelit malas, lalu—
'Ting-tong…'
—melirik dengan mata masih setengah terpejam ke arah jam di atas meja.
'Ting-tong…'
Masih pukul enam pagi. Siapa yang sampai hati bertamu jam segini?
'Ting-tong…'
Ya Tuhan, kemana para pelayannya? Masa tidak ada yang membukakan pin—
'Ting-tong…'
—tunggu dulu, sejak kapan tembok kamarnya berubah warna menjadi fuchsia?
'Ting-tong…'
Naruto ingat sekarang, ia tidak sedang berada di rumahnya sendiri. Semalam ia memutuskan untuk menginap di rumah Shika—
'Ting-tong…'
"Iya, iya! Sebentar!" Naruto menggerutu sambil tertatih-tatih bergerak menuruni ranjang tempatnya tertidur semalaman. Sempat dirutukinya si tuan rumah yang pasti juga masih belum bangun sampai sekarang. Sang pemilik rambut pirang yakin benar kalau temannya yang berprofesi sebagai pengacara itu dengan sengaja membiarkan Naruto bangun lebih dulu dan membukakan pintu untuk siapapun makhluk tidak sabaran yang menghajar bel rumahnya di depan sana.
'Ting-tong…'
Masih dengan balutan piyama hasil pinjaman, Naruto turun ke lantai satu. Bergegas diraihnya pegangan pintu seraya bersiap memaki sang tamu yang tak kenal waktu. "Kalau memang benci menunggu, kenapa bertamu sepa—"
Sisa perkataan Naruto terpotong di udara. Di balik lempengan daun pintu itu didapatinya tiga orang petugas kepolisian tengah menunggunya dengan raut penuh praduga.
"Selamat pagi," sapa basa-basi sang polisi berambut perak yang mengenakan masker penutup muka. "Apakah Anda Naruto Namikaze?"
Setengah linglung Naruto menjawab, "…hm? …ya, begitulah…kurasa."
Apa yang terjadi pada detik berikutnya sukses melenyapkan kelinglungan Naruto dalam sekejap. Bunyi 'klik' pelan yang terdengar ketika dingin lingkaran borgol membelenggu kedua pergelangan tangannya adalah satu-satunya peringatan sebelum putra tunggal Minato Namikaze itu menangkap ucapan Detektif Kakashi Hatake yang berkata, "You're under arrest."
-x-
-x-
-x-
TBC
-x-
-x-
-x-
a/n: Saya tahu, fic yang satu lagi memang belum saya update. Tapi mau bagaimana lagi? Pekerjaan saya di dunia nyata tiba-tiba berlipat belakangan ini dan plot untuk fic yang satu ini menolak diminta antri. Huft. Oh ya, adakah disini yang masih ingat film Death At A Funeral? Nah, tontonan itulah yang menginspirasi ditulisnya fic ini. Heh, gak penting ya?
Yup, Temari adalah seorang jaksa wilayah di fic ini. Dan yup juga, Shikamarulah yang akan menjadi pengacara Naruto. Hu'um, Naruto dituduh membunuh calon mertuanya. Itu berarti, saya mungkin –mungkin, ya, mungkin— harus mempertemukan Shikamaru dan Temari di ruangan pengadilan chapter depan nanti. Meskipun bukan dalam situasi sidang, tentunya.
Pendapat Anda?
Thanks for reading.
