Seventeen members are belong to God, Pledis Ent, and their family
.
.
.
24 Juli 2016
Waktu itu sekitar pukul 3 sore, arus kendaraan sedang melambat di Seoul. Semua orang berlomba sampai terlebih dulu ke tujuan masing-masing, deru klakson yang bersahutan terasa percuma karena kemacetan tak 'kan terurai. Tensi meter para pengguna jalan pun terasa naik, tak sedikit yang mulai berteriak menambah kebisingan ibukota.
Aku duduk di sebuah halte, bersenandung kecil mengikuti alunan musik dari earphone di telingaku seraya menghindari tetes air hujan yang semakin deras.
Hampir setiap hari aku duduk disini, setengah jam lamanya. Aku akan menunggu Chan– adikku, pulang dari sekolahnya dan kami akan naik bus bersama. Tapi hari itu, dia memintaku menunggu lebih lama. Mungkin ia juga terjebak hujan, atau mengurus beberapa keperluan lain yang rasanya tak perlu aku risaukan.
Waktu itu adalah kali pertamaku melihatmu, lelaki berkulit putih, rambut yang sedikit basah, dengan bibir merah muda yang manis. Aku masih ingat kamu memikul tas ransel di punggung, dan sebuah tas jinjing yang kamu taruh di atas kepala untuk menepis air hujan.
Kamu berdiri di ujung halte, kita hanya terpisahkan beberapa langkah. Sesekali aku memperhatikanmu, sesekali juga aku membuang pandangan ketika kamu menoleh, menegangkan!
Agaknya logikaku hilang sesaat.
Entah volume musik yang kian menipis atau suara di sekitarku serasa menghilang.
Kamu berjalan pelan menghampiriku, dengan senyum berlesung pipi yang melekat di wajahmu. Aku ingat hari itu suhu udara cukup rendah, tapi entah kenapa telapak tanganku basah oleh keringat.
Suaramu bahkan lebih merdu dari alunan musik yang sedari tadi ku dengar. Kamu bilang bahwa hari ini melelahkan. Kamu menunjukkan beberapa draft gambarmu padaku, dari sanalah aku tahu kamu menekuni bidang rancang bangun. Kamu bercerita dengan ekspresi yang menyala tentang passion dan impianmu, tanganmu bergerak pelan di udara seraya menggambarkan seberapa besar mimpimu.
Kamu tak berhenti tersenyum dan melayangkan guyonan ringan, sesekali kamu memamerkan bakat terpendam-mu, musik hiphop itu favoritmu, kamu punya banyak bakat.
Aku senang.
Suara tawa kita melebur bersama hujan sore itu.
Kamu bilang rambutku terlihat halus, dan kemudian menyentuhnya secara spontan. Tahukah kamu, waktu itu aku berusaha mati-matian menyembunyikan rona merah di kedua pipiku.
Hening.
Suara bising yang sedari tadi menemani kini berangsur menghilang.
Waktu terasa lebih cepat ketika kita menikmatinya, hampir dua jam kita bertukar cerita.
Sesaat kemudian Chan datang, mengucap maaf berkali-kali seolah aku akan marah. Aku hanya mengusap kepalanya lembut, mungkin ini hanya khayalku atau sekejap aku mendengar dengan pelan kamu menggumam "manis." sambil tersenyum.
Kamu benar.
Malice milik Keigo Higashino berhasil jadi novel favoritku.
Terima kasih sudah mengajarkanku bahwa mimpi, passion, dan harapan itu nyata dalam waktu yang teramat singkat.
Kalau boleh aku mengulang waktu.
.
.
.
Ini hanya tentang bagaimana...
Aku ingin bisa kembali ke suatu sore yang gerimis, saat sebelum punggungmu menjauh. Dan bilang, hai namaku Yoon Jeonghan, siapa namamu?
