Fairy Tail © Hiro Mashima

.

.

.

Kelinci Hitam Present

"Eternal"

Main Character: Gray Fullbuster and Juvia Lockser

Genre: Friendship, Romance and Supernatural

Warning: OOC, AU and Typo(s)

Summary: Mereka memiliki nama yang sama, bahkan wajah merekapun sama. Tetapi kepribadian mereka sedikit berbeda, setidaknya itulah yang Gray tahu dari dua sosok Juvia dalam hidupnya.

Anak laki-laki itu menunduk, menahan sesuatu yang kapan saja bisa mengalir melalui indra penglihatannya. Hari mulai mendung, sebentar lagi akan turun hujan pasti. Di depannya, gadis bersurai biru muda itu tersenyum paksa.

"Um… Juvia hanya akan pergi sebentar kok! Gray-sama tidak boleh menangis."

"Baka! A… aku tidak menangis! Laki-laki tidak boleh menangis, 'kan?!" laki-laki bernama Gray itu berteriak kencang. Lengannya secara kasar menghapus buliran air yang sudah menggenang di rongga matanya. "Dan berhenti memanggilku Gray-sama, itu menjijikkan."

Gadis itu tersenyum senang. Dia memeluk erat teru teru bozu yang selalu dibawanya kemana-mana. "Maaf hehe. Nah kapalnya akan berangkat. Gray-sama jaga diri baik-baik, ya. Begitu aku kembali, kita main bersama lagi."

Dengan kaki kecilnya ia berlari meninggalkan Gray, menuju pada orang tuanya yang sejak tadi berdiri beberapa meter di belakangnya dengan dua koper besar di tangan. Setelah melambaikan tangan—tanda perpisahan, ia bersama kedua orang tuanya masuk ke dalam kapal yang akan mengantar mereka ke tempat tujuan.

"Gray-sama jaga kesehatan yaaa! Makan yang banyak, jangan lupa belajar!" Gray masih bisa mendengar suaranya yang bergetar itu. Gray tersenyum menyanggupinya. Setelahnya sosoknya tidak terlihat lagi karena kapal yang membawanya semakin jauh dari dermaga.

"Oh ayolah dia hanya pergi liburan, kenapa aku sesedih ini? "rutuk Gray sembari menendang kerikil di dekat kakinya. Dia pun memutuskan untuk kembali ke rumah sebelum hujan benar-benar turun.

Siapa yang bisa menduga kalau saat itu adalah terakhir kalinya mereka bertegur sapa.

Gray terbangun dari tidur singkatnya. Lelaki bersurai gelap itu melirik jam tangannya melalui sudut mata, dimana jam enam lebih empat puluh lima menit tertera disana. Masih ada waktu lima belas menit sebelum jam pelajaran dimulai, ia masih bisa tidur dan melanjutkan fragmen masa lalu yang mendominasi mimpinya.

Tetapi sepertinya mustahil, Gray tidak dapat terlelap melihat kondisi kelasnya yang dibilang kacau; meja dan kursi tergeletak asal, vas bunga yang pecah dan kapur tulis—yang eksistensinya telah menjadi butiran kasar—berhamburan di lantai. Di antara tumpukan meja, iris Gray bisa melihat laki-laki bersurai merah muda dengan syal kotak-kotak berdiri heboh dan tersenyum puas.

Natsu Dragneel, salah satu rival dan teman Gray sejak SMP. Hal yang lumrah bila terjadi cekcok diantara mereka. Biarpun Gray menganggap Natsu rival—dan oh, begitu pula sebaliknya—tetapi, dimata orang lain mereka terlihat seperti sahabat dekat, atau lebih cenderung saudara. Cekcok yang setiap hari terjadi diantara mereka dianggap sebagai bentuk keakraban satu sama lain.

"Hoi Gray sudah bangun? Kau tidak akan tidur tenang kalau aku membuat keributan di sini, 'kan?" Natsu tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi putihnya yang sempurna. "Yosh! Ayo segera ladeni aku! Kita adu tinju seperti biasa!"

Gray melenguh. Sebenarnya dia cukup malas meladeni Natsu yang berisiknya minta ampun. Berbicara saja dia sudah seperti memakai toa, benar-benar tipikal manusia berisik. Tetapi karena Natsu cukup mengganggu tidurnya, akhirnya Gray meladeninya. Yeah hitung-hitung mengasah lagi kemampuan karatenya.

Dan adu pukul terjadi diantara mereka. Semua murid laki-laki ikut mengelilingi dua makhluk kekanakan itu, sekedar memberikan sorakan dan memanas-manasi kedua belah pihak, ada juga yang hanya tertawa seakan semuanya lucu.

"Seperti biasa kau hanya tertawa melihat mereka, Mira," komentar seorang gadis bersurai pirang yang diikat setengah, Lucy Heartfilia kepada temannya, Mirajane. Sementara keadaan kelasnya begitu heboh, dua gadis itu memilih untuk duduk di pojok kelas, mengamati kebisingan kelas dengan mata mereka sendiri.

Mirajane tertawa untuk kesekian kalinya. "Bukankah mereka terlihat akrab? Natsu yang blak-blakan dan Gray yang acuh."

"Itu yang kau sebut akrab?" kedua alis Lucy bertaut heran. Mirajane mengangguk semangat, mengiyakan keraguan Lucy.

"Lagipula ini tidak akan bertahan lama, sebab sebentar lagi dia akan datang—"

Brak!

Belum selesai Mirajane bicara pintu kelas telah dibuka secara kasar, memperlihatkan seorang gadis dengan rambut merah mencoloknya. Tangannya dilipat di depan dada, matanya menyaksikan keributan yang terjadi dengan bengis.

Tidak cukup lima detik setelah kemunculan gadis merah itu, kelas yang tadinya ricuh menjadi hening. Beberapa murid laki-laki kembali di bangku mereka masing-masing, dan murid perempuan terlihat membereskan sisa kekacauan yang rutin terjadi di kelas mereka.

Gadis merah itu, Erza Scarlet. Sekarang dia menatap tajam dua makhluk yang diyakininya sebagai biang dari semua kekacauan yang terjadi. Natsu dan Gray yang tadinya bersemangat bagai kobaran api sekarang malah ciut, tidak lupa memasang kuda-kuda untuk melarikan diri.

"Natsu… Gray..."

Dua pemilik nama tersebut meneguk ludah secara bersamaan. Tatapan intimidasi dari Erza Scarlet membuat niat mereka untuk melarikan diri lenyap.

Bugh! Bugh! Bugh!

Jam pertama diawali dengan Matematika. Setelah Erza—yang notabene adalah ketua kelas—memberikan salam, Gildarts yang bertanggung jawab penuh sebagai wali kelas dan guru mata pelajaran mengabsen siswa satu per satu.

"Natsu? Gray? Kenapa dengan wajah kalian?" sebelum mengabsen, perhatian Gildarts tertuju pada dua siswanya yang kini babak belur, Natsu dan Gray tentunya.

"Tadi ada Nenek Sihir yang mengamuk—HIE?!" tanpa sadar Natsu memeluk lengan Gray—yang sangat kebetulan menjadi teman duduknya—setelah menerima death glare maksimal Erza.

"Jangan menyentuhku! Najis tau!"

"Apa?! Kau mau berkelahi lagi, artis porno?!"

"Tadi saja kau kalah dariku!"

"Aku belum kalah! Sini lanjutkan perkelahian tadi!"

"NATSU! GRAY! SUDAH HENTIKAN!"

BUGH! BUGH! BUGH!

Sekarang yang tarjadi adalah Natsu dan Gray dibopong menuju ruang kesehatan setelah Erza membabi buta mereka dengan jurus karatenya. Walaupun Gray juga mendapat pengakuan dalam karate, tetapi kemampuannya itu ternyata masih jauh dibawah Erza yang sudah mengikuti turnamen karate sampai ke luar negeri.

Sedangkan Gildarts menatap dua muridnya itu prihatin. Murid lainnya malah tertawa seakan semuanya terlihat lucu bagi mereka. Bersamaan Natsu dan Gray yang dibopong menuju ruang kesehatan, seorang gadis bersurai biru muda masuk ke dalam kelas tanpa ada yang menyadarinya.

"Juvia? Kau terlambat?" kaget Gildarts, baru menyadari kalau bangku yang seharusnya kosong di pojok kelas kini telah terisi.

"Iya. Maaf sensei."

Jam makan siang adalah surga bagi banyak orang. Beberapa siswa memilih untuk menikmati makan siang mereka di kantin sekolah, namun ada juga yang lebih memilih untuk makan di dalam kelas. Seperti empat gadis XII-B ini, mereka lebih senang menikmati makan siang mereka di kelas yang sekarang terlihat lengang itu.

"Lucy kenapa tidak makan bersama Natsu?" tanya Mirajane kepada Lucy yang asik menikmati makan siangnya.

Yang ditanya mengangkat wajah, kemudian tersenyum. "Biarpun aku berpacaran dengan Natsu, bukan berarti aku harus selalu bersama dia 'kan? Dia memiliki teman, akupun sama." Ucap Lucy yang kini diketahui sedang menjalin hubungan dengan Natsu.

"Aku suka sifatmu itu, Lucy. Biarpun kau memiliki pacar tapi kau tidak lupa dengan teman." Komentar Erza dengan mata yang berkilat-kilat sambil melahap cake di hadapannya.

"Um. Aku ingin seperti Lucy saat memiliki pacar nanti!" seru gadis bersurai dark blue dengan tangan yang dikepal keatas, Wendy. Mirajane mengelus rambut gadis bertubuh kecil itu dengan sayang. Diantara mereka Wendy-lah yang paling muda, bisa dibilang dia mengikuti kelas akselarasi sewaktu SMP dan saat ia masih sekolah di SMA lamanya.

"Ngomong-ngomong… Lucy apa kau punya cinta pertama?" tanya Mirajane. Yang ditanya langsung blushing.

"I-Itu… anu sebenarnya aku…,"

"Hei Mira cinta pertama Lucy adalah Natsu, kau harus camkan itu." Erza meluruskan. Telunjuk tangannya naik untuk merapatkan letak kacamatanya, tidak lupa dengan senyuman menggoda untuk Lucy. Layaknya bunglon, karakter Erza memang dapat berubah sewaktu-waktu, dan itu cukup unik dimata banyak orang.

Sepasang iris gelap menatap keempat anak gadis itu dengan malas. Benar, siapa lagi kalau bukan Gray. Pemuda itu lebih memilih untuk berdiam diri di kelas daripada merasa gerah akan kepadatan kantin diwaktu jam makan siang. Lagipula moodnya terlanjur berantakan karena dipukul Erza tadi pagi.

Gray menguap lebar. Benar-benar sebuah topik yang membosankan menurutnya. Perempuan di kelasnya benar-benar tidak kehabisan topik jika menyangkut percintaan.

"Dan kau Erza bagaimana dengan Jellal?"

Iris Erza melebar. Mendengar sebuah nama yang sudah lama tak disebutkannya membuat sang ketua kelas dilanda keheningan, tapi bukan Erza namanya kalau dia tidak segera mengendalikan dirinya. Kini tangannya yang nganggur mengibas rambut merahnya dengan angkuh, "Kami sudah lama putus." Lucy, Mirajane dan Wendy nyaris tersedak makanan mereka sendiri. Keadaan kelas yang mulai sepi membuat Gray—mau tak mau—mencuri dengar pembicaraan mereka.

"HEEE BAGAIMANA BISA?!"

"Entah, mungkin karena perbedaan usia? Sebenarnya aku tidak ingin membahas laki-laki menyebalkan itu." Erza lekas berdiri, membuat Gray—yang memang duduk di belakang Mirajane—terpengarah. Seketika ia merinding ketika Erza menatapnya dengan sudut bibir yang terangkat.

"Ooh, Gray kau menguping pembicaraan wanita?" nada bicara Erza terdengar menghina, membuat rona merah di kedua pipi Gray. Kedua tangannya kini berada di pinggang.

"A-Apa?! Kalian yang bicara terlalu keras!"

"Ah Gray," Mirajane yang duduk di depan Gray menoleh, "Apa kau punya cinta pertama juga?"

Deg.

Ekspresi dari pemuda itu berubah. Keheningan mulai mendominasi keadaan, dimana keempat gadis didepannya diam karena menunggu jawaban sang pemuda, sedangkan yang ditunggu memberikan jawaban malah bungkam. Ini benar-benar tidak seperti Gray yang mereka kenal.

"Hee? Tentu saja tidak." Gray menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, kedua tangannya disilang di belakang kepala. Ini adalah gaya santai khas Gray Fullbuster.

Dia berbohong tentunya.

"Kau benar-benar orang yang menyedihkan." Komentar Erza yang kini memasang ekspresi simpati, membuat Gray kesal bukan main.

Malas meladeni Erza, Gray memilih untuk memalingkan wajah. Namun, irisnya menangkap sebuah pemandangan lain di sudut kelasnya; dimana seorang gadis bersurai biru muda tengah menikmati makan siangnya dalam diam. Kontur wajahnya yang cantik seperti biasa terlihat datar, iris dark bluenya terlihat kosong. Seperti tidak ada yang benar-benar menarik perhatian darinya.

Juvia Fernandes. Orang-orang mengenalnya sebagai gadis yang pendiam, keberadaannya pun jarang disadari. Gadis berkulit pucat itu selalu berdiam diri di bangkunya. Wendy terkadang mengajaknya bicara tetapi selalu dibalas singkat olehnya, dia begitu tertutup.

Gray menghela napas berat. Benar-benar orang yang berbeda, gumamnya dalam hati.

"Kenapa kau menangis?" anak laki-laki bersurai kelam itu sedikit menunduk, menatap heran pada gadis kecil yang meringkuk di depannya. Padahal hari itu hujan tetapi gadis bersurai biru itu malah membiarkan tubuh kecilnya di lahap hidup-hidup olehnya (hujan).

Tidak mendapatkan jawaban, laki-laki itu menjadi geram. Sekarang dia ikut berjongkok di depan gadis itu, menatapnya intens dengan iris gelapnya. "Haloo, kenapa kau menangis?" sekarang dia menanyakannya dengan volume suara yang dinaikkan, sedikit mengalahkan suara hujan saat itu.

"A… aku tidak menangis."

"Bohong."

"Hiks… sudah kubilang kalau Juvia tidak menangis!"

Bruk.

Anak laki-laki itu merasakan bahwa keseimbangannya goyah karena dorongan gadis bersurai biru itu. Ia terjatuh kebelakang, matanya melebar karena kaget. Hei padahal dia hanya berniat baik, tapi kenapa gadis itu malah mendorongnya kasar?

Iris dark blue milik gadis itu ikut membulat. Sadar akan tindakan kasarnya sang gadis kembali terisak. "Maaf… maafkan aku,"

Jam terakhir diisi dengan pelajaran Sejarah. Pelajaran yang terus-terusan membahas masa lalu itu cukup mengundang rasa kantuk, apalagi Erza yang sebenarnya sangat malas membahas masa lalu karena teringat akan mantan (?). Karena itulah saat bel pertanda pulang bunyi, kebahagiaan terpancar dari mimik banyak siswa. Namun sebelum pulang guru yang bertanggung jawab dengan pelajaran Sejarah meninggalkan tugas kelompok yang terdiri dari dua orang. Entah karena faktor kesialan atau takdir, Gray mendapat kelompok yang sama dengan Juvia Fernandes.

"HUAHAHA kelompokmu extreme sekali Gray!" tawa Natsu meledak. Bisa dibilang moodnya sangat baik karena sekelompok dengan Lucy yang notabene adalah kekasihnya. Lucy cukup pintar dan rajin, jadi yakin saja kalau Lucy juga akan mengerjakan bagian Natsu. Ah bahagianya punya pacar rajin—setidaknya itulah jerit kebahagiaan hati Natsu.

"Sabar Gray, setidaknya kau memiliki kesempatan untuk bicara dengan Juvia. Ah itu kalau dia merespon sih." Gajeel menyeringai. Ingin rasanya Gray melempar buku yang dipegang, tapi mengingat buku itu milik Erza, akhirnya Gray mengurungkan niat kejinya. Setidaknya dia lebih sayang nyawa.

Setelah melalui perang batin yang cukup rumit, Gray memutuskan untuk mendekati gadis yang duduk di pojok kelas itu, Juvia Fernandes. "Juvia, kau tidak lupa 'kan dengan tugas kelompok ini?"

Gadis bernama Juvia itu mendongkak. Seperti biasanya mimik wajahnya selalu datar, "Biar Juvia saja yang mengerjakannya,"

Huooo baik sekali anak ini! Ah tidak Gray, jangan samakan dirimu dengan Natsu. Membiarkan perempuan mengerjakan semuanya sendiri benar-benar tidak keren, pikir Gray campur aduk.

"Tidak, tidak! Ini tugas kelompok bukan? Lebih baik kita kerja bersama-sama." elak Gray yang ngotot untuk mengerjakan tugas kelompok itu bersama-sama.

"Baiklah. Hari minggu jam sepuluh di perpustakaan kota." Juvia merapikan bukunya tanpa melirik sedikitpun lawan bicaranya. "Terlambat lima menit Juvia akan pulang."

Glek. Gray meneguk ludah. Apa gadis itu baru saja mengancamnya?

Yang benar saja!

TBC

Published: 01/03/2015

Words: 1.975

(Not included author's note.)

A/N:

1. Salam kenal, dan terima kasih untuk reader yang sudah baca story ini sampai akhir. Bisa dibilang ini adalah story pertama saya, dan mohon maaf kalau story ini masih banyak kekurangan, terutama dalam diksi dan pemilihan judul, duh moga saja judul storynya nyambung sama isinya :')

2. Karena masih newbie saya benar-benar masih butuh saran dan masukan dari para senior disini, terutama buat fandom ini. Moga story saya ini layak disebut ff :')

3. Last, saya akan usahain buat update cerita ini sebelum UN. Jadi, terima kasih sebelumnya kepada reader yang nyempatin diri buat baca dan review cerita saya ini :D