"Kau pikir kekuatan fisik lebih kuat ketimbang pikiran?"

"Seingatku aku tak pernah berkata demikian." Pemuda berambut hitam itu tersenyum tenang. Angin semilir datang, kemudian memainkan rambutnya yang selalu dikepang.

Pemuda pengaju pertanyaan itu berdesis tak suka, keping violet-nya mendelik benci pada pemuda di depannya. "Muu, berhenti bertingkah menyebalkan, Martial arts sialan."

"Padahal sekarang jauh lebih terlihat kalau kau lah yang memancing permasalahan."

Jika saja tak tertutup tudung panjangnya, pemuda berkepang itu pasti dapat melihat sang pengaju pertanyaan yang tengah memutar bola matanya.

"Muu, lihat saja nanti. Aku tidak akan kalah darimu! Akan kuperlihatkan kalau kekuatan pikiran lebih hebat ketimbang kekuatan yang kau agung-agungkan itu!" Jari telunjuk pemuda beriris bak kopian permata indah itu menunjuk si pria Asia, tak peduli jika sikapnya memang terlihat kelewat kurang ajar untuk siswa semacamnya.

Namun pemuda berkepang itu malah tersenyum seperti biasa, manik karamel-nya menatap lembut pemuda di depannya seolah tindakan pemuda itu tergolong hal yang wajar-wajar saja.

"Dan aku yang akan menang, Mammon."

.

.

.

Title : Persaingan

Disclaimer : Katekyou Hitman Reborn by Amano Akira

Pairing : FonMammon

Warning : AU, BL, OOC, typo(s), dan segala kekurangan yang tak dapat dijabarkan di sini

Hope you like it~

.

.

.

Prolog

.

.

.

Seorang pemuda berambut hitam berkepang baru saja meluncurkan gerakan beladiri yang terkoordinasi sempurna, lawannya menghindari serangan itu lesat dan berhasil menangkap tangannya. Seringai kemenangan menghiasi wajah sang lawan, membuat para penonton menahan napas dan sontak berpendapat bahwa pastilah lawan si pemuda berkepang itu yang akan keluar sebagai pemenang.

Namun sepertinya opini itu meleset sempurna. Pemuda Asia itu dengan cepat mengalihkan keadaan dengan beberapa gerakan yang sulit teridentifikasi beberapa mata saking cepatnya, beberapa sekon setelahnya lawan si pemuda sudah tergeletak jatuh di tanah. Wasit meniup peluit sembari mengangkat tangan kanannya, menghentikan pertandingan antar keduanya.

"SAH!" Keputusan wasit segera disambut sorak sorai yang memekakkan telinga serta tepuk tangan meriah.

"Yosh! Dengan begini pemenang turnamen beladiri tahun ini sudah ditetapkan!" Pembawa acara mengatakan itu melalui mic sambil merentangkan satu tangannya yang lain ke arah satu-satunya pemuda yang masih berdiri tegak di dalam arena, bibir pemuda berkepang itu membentuk sebuah senyum menawan, namun sama sekali tak beraura meremehkan. Seorang perempuan berambut biru tua yang duduk di bangku penonton menatap lurus si pemuda, mengingat dan mengidentifikasi kembali gerakan-gerakan beladiri sang pemenang yang tadi dilancarkannya di pertandingan final. Dua tangannya terlipat di depan dada, dengan sabar menunggu pengumuman pembawa acara yang sengaja dipotong di bagian tengah.

"Tercatat tiga tahun berturut-turut sebagai pemenang turnamen beladiri ini, berjulukan 'Badai yang tenang'. Beri tepuk tangan yang meriah pada Hibari Fon!"

Tepuk tangan yang disertai sorak sorai dan siulan kepuasan akan hasil akhir pertandingan terdengar begitu ribut hingga membelah angkasa. Perempuan tadi terdiam, sama sekali tak berniat ikut bertepuk tangan seperti yang lainnya. Ia berdiri, kemudian meninggalkan bangku tempatnya menonton pertandingan tadi.

.

.

.

Berbagai nada mengalun merdu di sebuah panggung dengan tiga orang dewasa berpakaian formal yang duduk di depannya. Berbanding terbalik dengan suasana stadion, suasana ruangan itu begitu sepi, tak ada seorang pun yang berniat membuka mulut hanya untuk sekedar mengomentari. Étude in E minor, Op. 25, No. 5 yang ditulis oleh F. Chopin mengalun lembut membelai telinga para penonton serta dewan juri di bangku penonton sana, sang pianis sendiri sepertinya tampak begitu piawai menekan berbagai tuts yang tersaji di depannya. Jemari pianis itu menari dengan lincah meski sang pianis yang diketahui merupakan seorang pemuda tengah memakai tudung kepala hitam dengan panjang hingga menutupi mata.

Setelah cukup lama, jemari lentik itu berhenti memainkan tuts piano di hadapannya, mengakhiri permainan pianonya. Senyap menggantikan permainan piano barusan, namun tak membuat gentar sang pianis yang masih duduk di bangkunya. Salah seorang juri bertepuk tangan tanpa diduga, diikuti oleh seluruh penonton yang juga bersorak mengelu-elukan permainan si pemuda, bahkan ada juga yang bersiulan dan meramaikan suasana. Pemuda bertudung panjang itu bangkit dari bangkunya, kemudian menundukkan kepala sejenak pada hadirin serta tiga juri yang akan menilainya.

"Bravo! Ini baru yang namanya permainan!" puji salah seorang juri yang duduk di paling pojok sebelah kiri sambil mengeraskan suara tepuk tangannya.

"Muu, terima kasih untuk itu," balas si pemuda santai.

"Jadi ini performa sesungguhnya pianis terkenal itu, aku baru pertama mendengarnya secara langsung," timpal juri yang berada di tengah.

"Tapi kalau tak memukau begitu pasti akan mengecewakan bukan?" Juri terakhir mengukir seringai tipis yang dibalas tatapan sedatar triplek oleh si pemuda.

"Intinya," juri tadi melanjutkan. "Terima kasih untuk pertunjukanmu di sini, 'Kabut Penghasil Ilusi', Mammon."

.

.

.

"Oi, Mammon. Tidak berniat merayakan kemenanganmu dengan susu stroberi?" tanya seorang pemuda pirang dengan poni menutupi mata, Belphegor nama lengkapnya, seorang pianis muda lain yang ikut hadir dalam concour tersebut. Namun kehadirannya bukan sebagai peserta concour seperti Mammon yang saat ini tengah memisahkan diri dari yang lain.

"Benar, Mammon-chan~. Ini waktunya merayakan kemenanganmu~," timpal pemuda lain berjambul mirip ayam berwarna hijau sembari menggoyangkan pinggulnya gemulai yang langsung dihadiahi tatapan jijik setiap orang yang berjalan melewati mereka. Jambul ayam hijau, sifat gemulai melebihi wanita anggun sekaliapun—memang tak salah jika menjuluki setiap seniman itu eksentrik. Identitas asli pemuda itu sebenarnya ialah seorang desainer pakaian yang karyanya cukup diminati di pasaran, Lussuria.

"Muu, maaf sekali untuk tawarannya, tapi aku ada urusan," sahut pianis bertudung panjang tadi sembari menghentikan langkahnya serta membalikkan badan.

"Ushishi~, sepertinya sangat menarik sampai kau melewatkan susu stroberi kesukaanmu," selidik si blonde seraya melebarkan seringainya.

"Apa mungkin Mammon-chan akan berkencan dengan pangerannya?!" Lussuria menjerit histeris, mulutnya dibiarkan menganga dan waria itu meningkatkan goyangan pada pinggulnya.

"Ushishi~, jika dia ingin berkencan dengan seorang pangeran, artinya dia akan kencan denganku. Aku pangeran asli," jawab Bel yang kerap kali menyebut dirinya sebagai salah satu makhluk berdarah kerajaan.

"Muu, untuk yang ke sekian kali, dia bukan pangeranku," sergah Mammon datar.

"Hoo? Jadi, rakyat jelata macam mana yang bisa membuatmu menolak ajakan merayakan kemenangan dengan susu stroberi, hm?" tanya Bel penuh selidik. Dua tangannya ia masukkan ke dalam saku jaket coklatnya yang berbulu, cengiran ala chessire cat-nya melebar tanpa disuruh, memperlihatkan besarnya keingintahuan yang dirasakan pemuda itu.

Mammon menatap datar pemuda dengan poni kelewat eksentrik itu—meski sebenarnya penampilannya juga sama sintingnya sih. Tangan kanannya menggenggam erat sebuah kertas putih yang dibentuk tabung memanjang namun tak sampai membuat benda itu lusuh.

"Menamparnya jauh terdengar lebih menarik ketimbang menghabiskan waktu duduk santai dengan membiarkan air berwarna merah muda itu memasuki kerongkonganku. Aku pergi." Pianis itu berbalik dan kembali melangkah, meninggalkan dua temannya yang masih setia memandangi punggungnya.

Bel terkikik geli memandangi temannya yang menjauh. "Sudah berapa tahun kalau dihitung sejak dulu?"

"Hmm~. Kalau tak salah semenjak lima tahun yang lalu kan," jawab Lussuria sembari mengingat-ingat.

"Ushishi~," pemuda pirang dengan sebuah tiara di kepalanya itu kembali tertawa, tawa yang cukup menyeramkan dan aneh untuk para orang awam. "Kuharap Mammon tak melupakan jalan pulangnya hanya karena rakyat jelata itu."

"Hee, apa maksudmu, Bel-chan?" tanya Lussuria seraya memandangi Bel dengan tatapan penuh tanya dari balik kacamata hitamnya yang ber-frame merah muda.

"Bagaimana kalau kita menengok Bos dan Hiu berisiknya? Aku ingin lihat bagaimana gendang telinga para penonton pecah bukan karena musik yang dihasilkan tapi karena teriakan dan hal sinting yang mereka lakukan?" tawar Bel masih mempertahankan cengiran khasnya.

Lussuria menepuk kedua tangannya di depan dagu, senyum cerah merekah begitu saja di bibirnya. "Tentu saja, Bel-chan. Mungkin kita harus panggil Levi juga," katanya.

"Kalau dengan paman mesum itu, aku akan menolaknya." Bel menarik kedua lengannya dan menjadikan itu sebagai bantalan kepalanya sembari berjalan ke pintu keluar.

"Heee? Memang kenapa, Bel-chan?" Lussuria menggoyangkan pinggulnya sembari mengikuti langkah pemuda yang lebih muda darinya itu untuk yang kesekian kali, membuat pemuda di sebelahnya itu merasa ingin mengeluarkan sarapan yang sudah ditelannya pagi tadi.

"Lupakan. Sepertinya Mammon benar-benar tak ingin kena rugi, ya."

"Hee? Mammon-chan?"

Di tempat keduanya tadi berdiri, beberapa anak yang merupakan peserta concour bergerombol di depan tembok yang hanya terdapat sisa solatip yang masih dengan jelas terpampang di dinding. Setiap anak yang ada di sana berbisik-bisik, menanyakan apa tahu di mana pengumuman yang harusnya terpampang di sana.

"Ada apa, Nak?" Salah seorang juri yang tadi memberi penilaian pada concour hari ini simpati.

"I- itu… pengumumannya tidak ada."

"Eh? Bukannya sudah ditempel?"

Seandainya ada yang tahu apa isi kertas yang dibentuk tabung memanjang dan tengah digenggam erat oleh sang Kabut Penghasil Ilusi tadi, mereka pasti akan mendapat jawaban di mana lembar pengumuman itu ada di mana.

.

.

.

Pintu menuju atap gedung tempat diadakannya concour menjeblak terbuka, satu sosok berjulukan Kabut Penghasil Ilusi yang baru saja memenangkan concour di urutan pertama diketahui sebagai pelakunya. Manik violet yang tersembunyi di balik tudung hitamnya langsung menemukan satu sosok paling dibencinya melebihi dunia tengah bersandar di pagar pembatas yang terbuat dari besi memanjang, telinganya tersumpal sebuah earphone berwarna hitam, terlihat sekali ia tengah mendengar sesuatu—yang pasti Mammon tak ingin tahu—dari ponsel genggamnya. Pemuda itu tengah memunggunginya, memandangi entah apa, namun tak menutup kemungkinan kini ia tengah menutup kedua matanya. Rambut hitamnya dikepang seperti biasa, ia memakai celana jins dengan baju berkerah serta jaket hitam.

Pianis bertudung itu maju mendekatinya, langkahnya tak terburu-buru, ia berjalan santai. Namun wajah pemuda itu menyiratkan hal yang nyaris sama; kekesalan, kemarahan yang meletup-letup hingga ke ubun-ubun kepala.

"Kupikir kau tak akan kemari, Mammon," kata pria itu sebelum sang pianis mencapainya. Ia berbalik, menatap lurus si pemuda bertudung dengan manik karamelnya. Pianis itu menatap pemuda itu datar, menyadari bahwa jaket yang dipakainya sengaja tak diresleting dan dibiarkan terbuka.

Mammon mendengus tak suka, "Kau meremehkanku," desisnya benci.

Pemuda itu mengangkat dua sudut bibirnya, membentuk senyum biasa tanpa berniat meremehkan, "Aku tak berkata demikian."

Pianis itu kembali melangkah, kali ini dengan menambah kecepatan dalam tiap langkah kakinya. Begitu dirinya cukup dekat dengan pemuda berkepang itu, Mammon secara spontan membuka kertas yang sengaja ia bentuk seperti tabung memanjang dengan satu tangan, kemudian melambai-lambaikannya penuh dendam.

"Kalau kau meremehkanku, kuharap ini sudah cukup untuk bisa menamparmu," desis pianis berjulukan Kabut Penghasil Ilusi itu penuh benci.

"Sayangnya tidak," balas Fon santai masih dengan mempertahankan senyum di wajahnya. Ia mengangkat sebuah medali emas yang sengaja dikalungkan di lehernya, menambah letup-letup api amarah pemuda di hadapannya.

Mammon mendesis tak suka, lagi-lagi mereka berada dalam kasta yang sama, di urutan pertama. Pemuda berkepang itu masih tersenyum penuh kemenangan padanya, kemudian menurunkan lagi medali emas yang baru didapatkannya di turnamen beladiri pagi tadi. Setelah mengambil penghargaan dan berpakaian lengkap, dia segera datang ke tempat concour pemuda yang notabene adalah musuh bebuyutannya. Jangan berpikir pemuda bermata caramel itu—Fon—mengabari si pianis dengan pesan bersahabat semacam 'hai aku sudah tiba. Bersedia ke atap untuk bertatap muka?'. Itu tidak mungkin.

Karena mereka berdua sudah tahu. Mereka saling memahami.

"Jadi, bagaimana?" tanya Fon masih dengan senyum cerah yang terukir memukau di bibirnya. "Sudah bersedia mengaku?"

"Sampai kapan pun tidak akan!" sergah Mammon kesal bercampur muak. "Kau lompat dulu dari gedung ini, pastikan detak jantungmu berhenti dan jangan lupa tulis bahwa kau mewariskan seluruh harta kekayaanmu padaku. Mungkin akan kupertimbangkan setelahnya," lanjutnya.

Pemuda bermarga Hibari itu tertawa kecil. "Jahat sekali, Mammon. Padahal di sini aku juga sengaja mengantarkan pesan."

"Oh, kau sudah ganti profesi jadi tukang pos, Martial arts sialan?" dengus sang pianis sembari menekuk kedua tangannya di depan dada. "Kita lihat surat sampah macam apa yang kau bawa."

"Luche mengundang kita untuk perayaan atas kemenanganku—oh, dan juga untukmu—siang ini. Kita bisa ke sana bersama," tawar Fon tak menyerah dengan kalimat dingin yang dilontarkan si pemuda.

"Huh, lebih baik gendang telingaku pecah sekalian dengan berkumpul bersama Bos dan yang lain," kata pemuda bermanik violet itu sembari memutar bola mata. Ia berbalik dan menjauh dari si pria Asia.

"Mammon, aku bertanya lagi. Jadi kau sudah mengaku mengenai perbandingan—"

"—Kekuatan pikiran itu lebih hebat, Sialan." Mammon berbalik dan menunjuk pemuda berkepang itu penuh benci. "Mengatakan kekuatan fisik itu lebih hebat dari kekuatan pikiran—dari musik. Akan kuperlihatkan aku lebih hebat darimu, Martial arts sialan. Dan jika saat itu tiba, akan kusuruh kau bersujud di kakiku dan mengeluarkan semua uangmu."

Fon tertawa lagi. "Entah kau ingin mengancamku atau ingin membangkrutkan semua uangku." Pemuda itu menggelengkan kepala.

"Muu, akan kulakukan dua-duanya tahu," geram sang pianis untuk yang ke sekian kali. "Dan lagi, aku cukup terkejut kau bisa membalas perkataanku tanpa melepas earphone-mu."

"Ah, lagu yang kudengarkan tak terlalu keras," aku pemuda sulung Hibari itu jujur. "Lagi pula, sepertinya suaramu lebih kencang daripada volume terkeras ponselku ini."

"Muu, kau…!" Mammon menahan emosinya dengan mengepalkan tangannya sekaligus menggertakkan giginya.

Fon tak membalas apa pun bahkan meski itu hanya helaan napas, sebaliknya ia justru melebarkan senyumnya. Kaki pria itu berjalan mendekati sang pianis, satu tangannya merogoh saku jaket yang dikenakannya. Mammon membeku di tempat, memilih menghadapi pemuda berjulukan Badai yang Tenang itu tanpa ragu atau ketakutan. Tanpa diduga, Fon menempelkan sekotak susu dengan background berwarna merah muda di dahi pianis yang tingginya lebih mungil darinya. Mammon tertegun, itu susu stroberi kesukaannya.

"Oi,"

"Ah, aku membelinya sebelum kemari. Instingku bilang pasti akan sulit membawamu ke tempat perjanjian," jelas Fon sembari memamerkan senyum lembutnya.

Mammon menggerutu dalam hati, namun mau tak mau ia meraih susu stroberi yang diberikan pemuda Asia itu dan memperhatikan kemasannya. "Muu, hari ini aku harus memujimu pintar."

"Aku tersanjung. Artinya aku sudah menang satu poin darimu." Pemuda ahli beladiri itu mengangkat satu sudut bibirnya.

"Tapi, ini saja tidak cukup," sergah Mammon. Ia berbalik dan melangkah lebih dulu. "Kau harus membelikanku benda ini lagi. Oh, dengan bonus coklat batangan. Harga untuk pujianku mahal, akan kubuat kau bangkrut karena menerimanya."

Fon memperhatikan punggung itu sejenak, kemudian menghela napas mahfum. "Aku paham, aku paham," katanya sebelum akhirnya menyusul langkah musuh bebuyutannya dan menyamai langkah sang pianis yang merupakan saingannya.

.

.

.

Mammon, salah satu pianis yang sekarang cukup terkenal dan menjadi headline dunia massa. Nama aslinya sebelum menjadi pianis adalah Viper, tapi ia membuang nama itu karena bergabung dengan Varia, satu kelompok yang cukup tersohor karena pekerjaan mereka yang mengagumkan bagi orang-orang di usia mereka. Pemimpin mereka bernama Xanxus dan ia bekerja di bidang seni lukis. Squalo yang merupakan wakilnya bekerja sebagai pembuat lagu. Levi yang—mengaku-ngaku—sebagai tangan kanan Xanxus merupakan arsitek dan seringkali mengumbar hendak membuat patung sang pemimpin suatu hari nanti, namun segera dibalas dengan kata-kata sampah khas bosnya. Waria berjambul ayam tadi yang bernama Lussuria pun juga bagian dari kelompok ini dengan profesi sebagai desainer. Semua anggota yang disbeutkan di atas sebenarnya sudah berumur dua puluh tahun ke atas, namun tidak dengan dua anggota lainnya, Belphegor serta Mammon. Belphegor terkenal berbakat dalam bidang musik sejak umur sepuluh tahun entah itu dalam memainkan piano maupun biola, namun pemuda dengan poni eksentrik itu mengaku lebih suka bersanding dengan pianonya. Dan terakhir, Mammon, dikenal sebagai pianis berbakat meski tak di usia semuda Bel dengan julukan Kabut Penghasil Ilusi yang dikarenakan permainan pianonya selalu membawa penonton bagai berada dalam dunianya yang hanya ilusi.

Hibari Fon, anak sulung dari tiga bersaudara dalam keluarga skylark—sebutan khusus bagi peranakan dengan marga Hibari. Dua adiknya, Hibari Alaude dan Hibari Kyouya, tersohor dengan kedisiplinan tinggi dan menjadi salah satu penegak hukum dan ketenangan kota. Namun berbeda dengan dua saudaranya, Fon lebih mendalami ilmu beladiri negeri tirai bambu—namun jangan sekali-kali meremehkannya.

Fon dan Mammon. Dua makhluk berbeda kepribadian sekaligus berbeda jalan. Bertemu semasa di sekolah menengah atas yang juga mempertemukan keduanya dengan para anggota Arcobaleno yang dibuat gadis paling polos dengan senyum cerah yang tak pernah mendung, Luche. Dan dalam takdir itu juga keduanya saling membenci, benci sampai rasanya setiap hari hidup dan tujuan mereka hanya diperuntukkan untuk menjatuhkan sang lawan. Lima tahun keduanya bersaing tanpa pernah saling mengalahkan, dan selama itu juga mereka mati-matian berlatih hanya demi memenangkan kata yang disebut persaingan.

Mammon dengan keras berpendapat kekuatan pikiran lah yang hebat. Karenanya dia mendalami musik yang dapat menghipnotis pikiran. Fon? Dia bukan berpendapat juga sih, anggap lah dia tengah mengatakan bagaimana studinya tentang beladiri dan hal yang wajar bukan sedikit membanggakan ilmu yang dimiliki?

Dan di sini lah Mammon, yang menjadi satu-satunya manusia yang merasa bahwa itu sebuah tantangan bagi pianis semacamnya. Tidak, tidak—dia tak akan membiarkan musik yang dapat membawa pengaruh pikiran dianggap berada satu kasta di bawah beladiri entah-apa-itu-namanya.

"Ah," Fon teringat sesuatu dari perkataan Mammon tadi. "Tapi, intinya kau mengaku kalah dariku kan?"

"Dalam mimpimu, Martial arts sialan," desis Mammon. "Aku tak akan kalah darimu."

"Dan aku yang akan menang darimu, Mammon," balas Fon sembari tersenyum.

.

.

.

To be Continued

.

.

.

A/N : HALO SEMUANYAAAA~ CIHUYYY, SAYA BISA BUAT FONMAMMON MULTICHAPTERS~~ /dibuang. Ih abisan di sini nggak ada fic FM yang AU kan ya? Yaudah deh saya buat aja :" tapi ini setting-nya mereka lagi kuliahan, tapi kalau rada aneh maapkan ya :" /plak. BTW, MEREKA IMUT KAANNN KAANNNNN?! /digaplok.

Jadi gini nih, kan FonMammon ketemuan di SMP sejak sekitaran pas SMA kelas satu, terus pas kuliah ini ceritanya mereka beda tempat tapi masih komunikasi /dor. Terus yaaa gitu dehh XD /tamparsaya. Btw kalo masih ada yang nggak ngerti tanya aja ya, jangan ragu~

Terima kasih bagi yang sudah menyempatkan diri membaca karya ini, doakan UTS saya lancar dan update ini juga lancar maknyos ya /apa. Maaf untuk segala kekurangan di fic ini mulai dari feels nggak ngena, OOC, tipo kelewat mata, plot story aneh, dsb. Jangan lupa review ya~ Semua kritik, saran, komen, fg-an, dsb akan saya tampung~. Sampai jumpa!

-Salam-

Profe Fest