Naruto tetap punya Masashi Kishimoto-sensei.
Tapi saya pinjam sebentar ya charanya. Ehe. Buat imajinasi liar yang kadang suka muncul kalau mau tidur.
Oh, ini masih cepter wan.
Cuma iseng doang, baca aja kalau mau.
Pagi ini, ya, di pagi ini. Kembali lagi dengan rutinitas kehidupan membawa buku dan alat tulis. Saat ini perang sedang terjadi di dalam kelas dua belas lantai tiga paling pojok kiri. Semua warga di sana bertempur melawan rangkaian kata penuh teka-teki yang memeras otak, mengais-ngais rasa iba melalui sinyal mata kepada sang penjaga, memalak rasa solidaritas kawan-kawan seperjuangannya, dan berharap diberikan pencerahan dimenit-menit terakhir ini. Yah, ide kreatif biasanya muncul saat sedang kepepet, kan?
Ringisan pasrah terdengar saat bel berdentang mengkumandangkan suaranya yang khas. Tak sedikit anak yang menghela nafas disaat sang pengawas merebut paksa kertas soal dan jawaban. Mencoba untuk ikhlas, mereka semua merapikan alat tulisnya dan bergegas keluar dari kelas untuk pulang (atau mungkin nge-push 1 bintang).
Tak terkecuali Sakura yang niatnya ingin cepat-cepat pulang, "Yang merasa ketua kelas disini, ikut saya ke ruang guru, ya." Akhirnya tertunda karena tuntutan jabatan yang disandangnya.
"Kamu dengar, Sara?"
"Sakura, Pak." Sakura menggerutu sembari mengambil tasnya di dekat kaki Fugaku. "Nanti Kakek saya marah kalo huruf ku-nya nggak dibaca bareng."
Fugaku hanya mengibaskan tangannya dan menyuruh Sakura untuk mengekorinya.
"Harus banget, pak?" Gerutu Sakura sembari menatap selembar kertas dengan robekan nggak elit di tangannya. Iya, nggak elit karena potongannya nggak simetris dan diragukan ada gradiennya.
Fugaku mendelik, "Yang jadi ketua kelas memang siapa?"
"Dih, bapak bawa-bawa jabatan mulu."
"Kamu bandel, sih. Cepet bikin daftar kelompoknya! Kalau nggak, besok kamu harus ulangan harian ulang."
Yeh, ngancem. Tetapi, dia sendiri jadi kicep.
"Lagian bapak tau kalau kamu mau ngajakin anak saya nge-date."
Sakura kaget, "Sasuke-kun memang bilang, Pak?"
"Lho, memang tebakan saya benar?" Fugaku pura-pura berekspresi kaget.
Ngeselin.
Fugaku hanya terkekeh sembari menyodori pulpen kebanggannya, dapat sponsor dari murid alumni tahun kemarin katanya. Tentu saja beliau menyuruh untuk memakainya dan memberi wejangan agar Sakura tidak membawa pulpennya pulang. Dia tentu tau bakat maling yang terpendam dari para muridnya.
"Ish."
"Mau jadi menantu saya, nggak? Buruan kalo ngerjain amanah dari orang tua."
"Iya, iya."
Sakura duduk di kursi, tanpa melepaskan ranselnya terlebih dahulu, di sebelah Fugaku untuk mengerjakan tugasnya mulai membagi teman-teman kelasnya dalam beberapa kelompok untuk praktik minggu depan. Sebenarnya, Sakura sudah disuruh melalui perantara salah satu temannya dari dua hari yang lalu, berhubung dia malas ke ruang guru dan kebetulan tidak ada jadwal pelajaran Kimia (sebelum hari ini) jadinya dia memilih untuk mangkir beberapa saat. Toh, ujungnya juga bakal ditarik seperti saat ini.
Sakura merasakan handphone-nya bergetar di sakunya, tapi dia memilih untuk menghiraukannya dulu. Ngeri acaranya dengan Sasuke hancur berantakan. Ya, siapa lagi kalau bukan sama bokap, calon mertuanya, juga guru yang sedang ngunyah gummy bear di sampingnya. Paket lengkap sekali jabatan Fugaku ini, nggak sekalian tambah minuman soda?
Sakura berani bersumpah, selama 17 tahun hidupnya, dia nggak pernah berharap punya pacar yang bokapnya kebetulan jadi RT di komplek perumahannya sekaligus guru Kimia di sekolahnya. Terutama punya calon mertua yang jahil dan mantan preman seperti Fugaku, Sakura sama sekali nggak berharap. Apalagi sudah menjadi rahasia umum, Fugaku dinobatkan juga menjadi guru kedisiplinan melihat pembawaannya yang tegas dan berwibawa seperti bos mafia. Membuat Sakura menambahkan poin minus besar dalam buku penilaian kriteria mertua idaman. Mungkin sebentar lagi Fugaku akan dimasukan ke dalam daftar hitamnya atau bisa juga Death Note. Hmm, sepertinya ide yang terakhir lebih menarik.
"Selesai."
Sakura menekan pulpen yang digunakannya saat membuat titik sebagai akhir penderitaan. Dan menoleh berseri sembari tersenyum sok manis ke arah Fugaku yang menyuruhnya untuk diam sebentar.
Oh, lagi telpon.
"-sekarang jangan panik dulu, Papa nanti nyusul ke sana." Fugaku akhirnya menutup telponnya.
Sakura mengernyitkan alisnya, menganggap agak sedikit gimana saat mendengar gelar "Papa" yang disandang Fugaku. Oke, jadi ini yang dinamakan plot twist yang menyeleneh dalam pengetikkan cerita saya?
Muka Fugaku terlihat pucat, Sakura menebak pasti ada kabar buruk. Beliau bergegas menghampiri meja Kepala Sekolah meminta izin entah untuk apa dan disetujui. Sakura masih tidak mengerti, memilih untuk berdiri diam dengan kertas daftar kelompok digenggamannya dan menatap Fugaku membereskan barang serta mengambil tasnya. Ah, dia tidak melupakan pulpen mahalnya. Sial.
"Sara, ikut bapak sekarang. Penting."
Sakura mendelik.
"Oke, Sara yang ada huruf ku-nya." Ralat Fugaku sembari mengecek jam lewat ponselnya, "Ayo, menantu saya yang lain pasti sedang sedikit panik di rumah sakit."
.
.
.
.
Selama diperjalanan Sakura hanya diam. Nggak mau memperkeruh keadaan, melihat kerutan muka Fugaku yang sedikit panik dan khawatir, meskipun banyak spekulasi dan pertanyaan yang muncul dalam benaknya.
"Tadi, Hana bilang ditelpon istri bapak kejang lagi."
Sakura langsung menatap Fugaku cemas, ia sangat khawatir terutama Hana yang mudah panik—Hei, Sakura. Memangnya kau kenal Hana itu siapa?—Apalagi sekarang mereka terjebak macet, padahal pintu masuk rumah sakitnya berjarak sepuluh puluh meter di depan. Ah, mengapa kota yang bukan ibukota ini bisa macet dan memangnya kemacetan bisa menular seperti flu? Hmm, ingatkan Sakura untuk mencari jawabannya di Google.
"Maaf, ya, bapak jadi narik kamu." Sakura meresponnya dengan gelengan kepala.
"Saya ngerti kok, pak. Saya janji nggak akan minta bayaran."
Lagi-lagi otak Sakura geser. Fugaku tersenyum kecil dan mengacak rambut Sakura, bapak dua anak ini memang suka out of character jika bersama satu anak didiknya ini, dengan pandangan masih fokus kepada jalanan yang padat merayap meskipun kadang-kadang melirik Sakura yang masih duduk gelisah. Sepertinya mantu cilik bapak ini berjiwa empati sangat tinggi meski sifat nyentriknya lebih dominan.
"Kau nggak usah khawatir,"
"Bapak sendiri keliatan panik gitu." Gerutu Sakura, nggak mau kalah. Apa sih ini bukan lagi di Land of Dawn.
"Yeh, bapak kan kepala keluarga." Sakura bergumam terserah untuk meresponnya.
Jalanan masih macet, nggak tahu kenapa. Dan membuat pemikiran sok ide Sakura bermunculan, "Pak, mending bapak lari aja. Duluan masuk. Nanti saya parkirin mobilnya."
"Hah?"
Sakura mendelik, "Mobil Bapak aman sama saya. Ayah saya mantan tukang ketok magic."
Fugaku balas mendelik, "Nggak menjamin. Lagian tinggal 8 meter lagi pintu masuk. Aduh... duh, Sara. Jangan dorong-dorong!"
Sakura tetap mendorong Fugaku. Memaksanya untuk keluar dan akhirnya Fugaku menyetujuinya meski nggak ikhlas dan khawatir mobilnya kenapa-kenapa, ditandai beliau keluar saat Sakura melompat ke kursi kemudi.
"Awas, ya, kalo lecet sedikit. Kamu langsung berurusan sama saya."
Sakura menutup kaca jendela sembari memberikan senyuman miringnya.
Untuk beberapa saat Sakura bernapas lega melihat Fugaku sudah berlari menuju rumah sakit karena Sakura yakin istri beliau sangat membutuhkan kehadiran suaminya. Jalanan masih padat merayap, dan mobil depan bergerak maju kurang lebih satu meter di depannya. Sakura hampir menurunkan rem tangan sebelum akhirnya tersadar, melihat sesuatu yang beda dengan mobil yang pernah dikendarainya.
ASTAGA, DIA NGGAK BISA NYETIR MOBIL MANUAL.
"KENAPA BAPAK NGGAK BILANG?" Dia menjambak rambutnya karena frustasi.
Umur legal baru disandangnya beberapa bulan yang lalu, Kartu Tanda Penduduk saja belum jadi apalagi izin mengemudi. Dan lagi baru dua kali dia diajari nyetir mobil oleh mamanya, itupun terpaksa, juga mobil yang dibawa itu selalu matic.
"AAAAAAA. MATI DEH." dia masih histeris.
Mobil di belakangnya, sih, masih belum mengklaksoninya. Belum. Mungkin nanti? Dan dia kembali histeris. Cobaan apalagi ini, padahal tadi dia sudah bersikap keren. Kali ini dia benar-benar keringat dingin, sedikit pucat dan berharap nyawanya masih bertahan pada raganya.
Oke, tenang. Ini hanya tujuh meter lagi dalam keadaan macet. Shannaro.
Sakura mencoba memberanikan diri (dan menyemangati dirinya yang sok heroik). Dia jadi menyesali karena tidak begitu mendengarkan teori-teori menyetir mobil manual yang sering diajarkan saat ia menumpang mobil kakaknya. Kalau kakaknya tau, sudah pasti Sakura habis ditebas dan tidak diberi uang jajan bulanan.
Sakura hampir menangis disaat mobil depannya berjalan maju kembali. Kali ini agak jauh, hampir pintu masuk rumah sakit.
Sudah pasti, klakson mobil-mobil di belakang terdengar menuntut.
Kami-sama, tasukete…
tbc.
