Cahaya dan bunyi dari televisi yang baru dinyalakan membelah redup dan senyap di dalam apartemen. Senja di luar jendela tak cukup untuk menyinari ruangan yang lampunya belum dinyalakan. Kilasan gambar demi gambar yang bergerak setiap milidetik terpantul di lensa mata Sakura Haruno. Punggungnya menempel pada sandaran sofa, sebelah tangan memeluk bantal persegi dengan ujung mencuat, dan sebelah tangannya lagi terkulai lemas sambil menggenggam remote televisi.
Dua menit penuh televisi menyala, yang tayang di sana hanyalah kumpulan pariwara. Iklan produk makanan, minuman, alat-alat elektronik, dan pelayanan masyarakat masih mampu menahan Sakura dari menekan satu pun tombol pada remote. Dia masih bertahan untuk mengelupas rasa penasaran mengenai acara yang tayang di saluran tersebut. Namun, satu iklan produk anti-aging cukup untuk membuat Sakura menekan tombol power dan membiarkan ruangan dalam kondisi redup selama beberapa saat.
Tubuhnya mematung. Sorot matanya masih belum lepas dari layar yang sudah menghitam sepenuhnya. Kedua tangannya mengusap wajah secara perlahan sebelum dia berdiri. Kulitnya masih terasa mulus dan kencang. Padahal, tak sekalipun dia pernah mengoles atau menelan produk anti-aging. Dan dia sama sekali tak perlu ataupun ingin merasakan apa itu anti-aging.
Sakura menutup tirai dan menyalakan lampu. Cahaya tersiram pada barang-barang yang kebanyakan bersifat arkais. Apabila vintage, retro, dan lain-lainnya tak menjadi tendensi masa kini, Sakura pasti sudah dianggap aneh. Atau setidaknya kuno. Makhluk antik. Padahal nyatanya dia memang berasal dari jaman kuno. Di mana gagasan mengirim pesan bisa sampai ke penerima yang ada di seberang benua dalam jangka waktu satu detik masih dianggap delusional, gila, dan ditertawakan habis-habisan.
Sekitar seratus tahun lalu, 1914, kelahiran Sakura diiringi oleh berita dari saluran radio mengenai perang berskala besar yang terpusat di Eropa. Yang di masa kini lebih akrab dikenal sebagai Perang Dunia pertama. Perang global selanjutnya adalah perang yang membuatnya kehilangan anak sulungnya karena bom yang dijatuhkan Amerika ke tanah Jepang dari udara. Kepergian putranya disusul oleh sang suami sepuluh tahun setelahnya, meninggalkan Sakura bersama putrinya yang masih berusia sepuluh tahun.
Saat usia Sakura masih dua puluh lima tahun, beberapa bulan sebelum Perang Dunia kedua tercetus, dia terlibat di dalam suatu penelitian sebuah serum. Serum yang misinya adalah menjadi solusi untuk pengiriman manusia ke planet lain yang membutuhkan waktu selama bertahun-tahun. Serum ini akan membekukan sel dari penuaan dan membuat pihak yang tersuntik tertidur selama pembekuan itu. Hal ini dianggap menguntungkan dari berbagai aspek, termasuk kondisi fisik manusia tersebut dan pangan yang dibutuhkannya.
Sejauh ini, dua makhluk yang pernah tersuntik serum itu hanyalah seekor kelinci dan Sakura. Namun, kasusnya berbeda. Kelinci itu disuntik dengan sengaja sebagai bahan percobaan, sementara suntikan pada Sakura adalah suatu ketidaksengajaan. Kecelakaan. Serum dianggap gagal ketika Sakura yang terpaksa tertidur itu diguyur air dingin sampai terbangun. Dan kelincinya pun sama.
Dalam upaya menutupi apa yang terjadi pada Sakura—percobaan yang langsung dilakukan ke manusia—proyek tersebut ditutup dan dirahasiakan. Jika tidak, semua yang terlibat pasti harus dipenjara. Tak ada yang bisa Sakura lakukan selain menurut. Dia meminta kelinci itu menjadi miliknya pribadi dan dikabulkan. Sakura merasa tak ada yang salah dengan tubuhnya sampai dia menyadari bahwa dirinya tak tampak menua bahkan sampai usianya empat puluhan. Ditambah, kelinci yang jadi peliharaannya pun sudah melewati harapan hidup rata-rata hewan tersebut.
Di usianya yang menuju enam puluh, kondisi fisik Sakura masih sama. Kelinci itu masih hidup setelah tiga puluh lima tahun lebih. Sakura ditanyai orang-orang bagaimana dia tampak begitu awet muda, bahkan ada orang lain yang curiga. Saat itu Sakura mulai takut. Dia panik. Tak tahu harus meminta pertanggungjawaban ke mana karena proyek itu sudah ditutup dan serum dianggap gagal karena tidak berfungsi sebagaimana seharusnya. Sebelumnya, serum dianggap gagal hanya karena makhluk yang disuntik tetap bisa bangun di bawah waktu yang sudah diatur. Dan kegagalan lainnya terungkap, jangka waktu serum itu melambung. Dari yang seharusnya hanya dua sampai lima tahun, dan sekarang sudah lebih jauh dari itu.
Menanggapi rasa takutnya, Sakura memutuskan untuk pindah jauh dengan identitas palsu. Yang tahu mengenai hal ini hanyalah putri dan cucunya, dan mereka siap menutup mulut. Pindah dan pemalsuan identitas itu menjadi repetisi setiap sepuluh tahun dan sampai saat ini masih berjalan.
Kini, Sakura Haruno berdiri di tanah Swiss. Kelinci yang menjadi temannya selama beberapa dekade masih ada di salah satu sudut apartemen. Selama sepuluh tahun ke depan, dia akan hidup dengan identitas barunya. Sayuri Nakamura yang lahir di tahun 1987. Identitas Sakura Haruno yang lahir di tahun 1914 akan terus dikubur dan disembunyikan ... entah sampai kapan.
.
.
Naruto by Masashi Kishimoto. No material profit taken by writing this story.
Alternate Universe. Implied a little bit of fantasy & sci-fi.
unlike the stars overcoming long-living
by LastMelodya & daffodila
.
.
Laporan bahwa pesan sudah terkirim muncul di layar ponsel Sakura. Lima belas menit adalah jangka waktu yang terbentang di antara munculnya laporan tersebut dan detik saat Sakura mengirim pesan. Eksistensi laporan itu menyatakan bahwa ponsel si penerima sudah aktif, atau Sakura berasumsi bahwa mode pesawat terbang di ponselnya sudah mati. Artinya, orang tersebut pasti sudah menginjak tanah lagi.
Dia mengangkat wajah dan memindai ruangan super luas itu dengan mata. Hiruk pikuk bandara internasional memasuki indra penglihatannya. Orang-orang dengan varian ras berlalu-lalang di sekitar. Sayup-sayup terdengar percakapan dengan pelbagai bahasa diiringi suara putaran roda koper dan suara lembut seorang wanita yang menggema dari intercom.
Bukanlah hal mudah mencari dua kepala yang dikenalinya dalam keramaian seperti ini. Mengandalkan mata untuk memindai ruangan saja tidak cukup. Pandangannya kembali beralih pada ponsel, memastikan bahwa adanya balasan dari pesan yang sudah dikirim. Nyatanya tidak ada. Sakura mengembuskan napas panjang sebelum menghubungi salah satu orang yang ditunggunya.
Samar-samar terdengar seruan 'Okaasan' dengan suara yang familier di telinganya. Panggilan yang terjadi selama dua nada sambung itu langsung diputus begitu saja. Sakura memutar tubuh dan mencari eksistensi sumber suara. Dua tangan berbeda pemilik yang melambai di udara mempermudah pencariannya.
Sakura mengikis jarak yang terbentang di antara mereka dengan langkah santai. Bila temponya cepat, dia khawatir malah akan kehilangan arah. Jarak yang tinggal satu meter lagi itu pun langsung ditembus oleh dekapan hangat dan lampias dari kerinduan. Dekapan yang membuat Sakura merasa terjepit di tengah lingkaran tangan putri dan cucunya.
"Kenapa Swiss?" tanya Tsunade, putri Sakura, setelah pelukan dilepas sepenuhnya. "Dan mengapa baru bilang padaku saat sudah di sini?"
Sakura mengulum senyum. Apabila ada rasa bersalah yang menjerat dada, mimik mukanya sama sekali tidak memperlihatkannya. "Aku menutup mata dan memutuskan untuk pindah ke kota di mana jari telunjukku berhenti saat memutar peta. Hasilnya Zurich," jawabnya. Mata cokelat Tsunade menuntut keseriusan. Namun, Sakura tetap tak meralat kata-katanya. Mendadak raut wajahnya memasam. "Aku hanya ... tidak mau kita berdebat lagi."
Tsunade mendesah. Dia ingat tiga dekade yang lalu, terjadi perdebatan sengit di antara mereka sebelum Sakura akhirnya pindah ke Kanada. Walaupun setengah hatinya tak menyetujui sang ibu kembali pindah ke luar benua, tetapi dia menahan opininya. Lagi pula, dia tidak ke sini untuk berdebat. Apalagi mengingat usia mereka yang sudah terlampau matang. Tsunade yang berada di awal kepala tujuh, dan Sakura yang bahkan sudah melompati satu abad.
"Kau memotong rambutmu?" tanya Tsunade, sepenuhnya mematikan topik sebelumnya.
Refleks Sakura menyentuh ujung rambut merah mudanya yang sebatas dagu. Terlintas keterkejutan di wajah atas transisi topik pembicaraan yang tiba-tiba, dan dia memutuskan untuk tak membahasnya. Tangannya terangkat lebih tinggi daripada biasanya untuk menyentuh ujung rambut saja. Dua minggu terlewati semenjak dia memutuskan untuk memangkas rambut, tetapi masih terasa ada yang hilang. Padahal, dipotongnya helai-helai itu merupakan kehendaknya sendiri.
"Salon adalah hal pertama yang kucoba setelah urusan tempat tinggal selesai," kata Sakura. Dia menatap Tsunade dan Shizune, cucunya, bergantian. Sakura terkekeh pelan. "Mungkin kita perlu mencobanya bersama-sama nanti."
"Tidak, terima kasih." Tsunade mendengus. Dia mengambil langkah sambil menarik koper kecilnya. Diikuti oleh Sakura dan Shizune. Percakapan mereka berlanjut sembari berjalan. "Aku sudah terlalu tua untuk itu."
Sakura tertawa. "Kalau ukurannya tua muda, lantas aku ini apa?"
"Kurasa aku tidak perlu menjelaskan lebih banyak."
"Mama terdengar sangat putus asa, ya, Obaasan?" Shizune memperpanjang tawa Sakura.
"Terlalu muda untuk dipanggil Obaasan."
Suara bariton menggema di telinga mereka. Langkah ketiganya berhenti. Bahu Tsunade dan Shizune sama-sama menegang, sementara Sakura masih tampak santai. Mereka jelas terkejut mendengar bahasa Jepang di negeri Swiss. Dan yang lebih membuat tersentak adalah kata-kata yang dituturkannya. Shizune menggigit lidah, merutuki kesalahannya. Dia sama sekali tak menduga akan ada yang memahami percakapan mereka di sini.
Sakura mengangkat dagu dan memutar kepala. Matanya menyipit mencari sumber suara. Pria berseragam pilot tanpa topi yang menempelkan bahu pada pilar sembari menatap layar ponsel masuk ke dalam asumsinya. Dia membersihkan tenggorokan, kemudian berkata, "Kau orang Jepang, ya?"
Tanpa jawaban verbal, Sakura tahu dugaannya benar saat pria itu mengangkat wajah dengan kelopak mata melebar. Mungkin terkejut karena kata-katanya tadi ternyata terdengar. "Tadi itu maksudnya Obasan. Aunty." Sakura tersenyum penuh percaya diri. Dia mendapati pria berambut hitam itu menarik sebelah alis, tampak bingung. Bagaimana tidak, perawakan Sakura dan Shizune tampak seperti wanita seusia. "Dia memanggilku Obasan karena membiasakan anaknya untuk memanggilku begitu. Dan malah terbawa sampai sekarang, kurasa?"
Dari belakang, Shizune mengangguk. "Be-benar," katanya. Yang diucapnya bukanlah sebuah kejujuran. Dia bahkan belum menikah. Namun, kebohongan Sakura tak bisa disanggah.
Hening. Pria itu mengalihkan pandangan, sudah tampak tidak peduli lagi. Tsunade pun heran apa yang mendorong Sakura menjelaskan sebanyak itu pada orang asing. Diabaikan juga tak akan jadi masalah. Paling-paling besok orang itu sudah lupa.
Setelah memerhatikan seragam pria itu sejenak, Sakura berucap, "Menyenangkan sekali bertemu dengan orang Jepang di sini." Sakura tersenyum. Dia mengulurkan tangannya. Keheranan besar semakin melanda Tsunade. "Aku Sayuri Nakamura."
Mata pria itu menyipit. Tajam pandangannya ketika menatap Sakura. "Kau bahkan tidak memberi tahu nama aslimu." Sorot matanya kembali beralih pada layar ponsel. Kemudian dia berlalu.
Dahi Sakura mengernyit. Bagaimana pria itu bisa tahu bahwa Sayuri Nakamura bukanlah nama aslinya? Dia buru-buru menunduk, khawatir ada identitas Sakura Haruno atau nama-nama lain yang pernah dipakai yang menempel di tubuhnya. Nyatanya tidak ada. Untuk mengonfirmasi ke pria itu lagi pun tak sempat. Sakura menyilang jari dan berharap bahwa hal tadi tak akan mengantarnya pada sesuatu yang tidak diinginkan.
"Seseorang dengan fisik menarik biasanya memang sombong," bisik Shizune setelah yakin pria tadi tak akan mendengar penuturannya.
Sakura tertawa. Dia paham Shizune berusaha menenangkannya perihal tadi. "Kau berpikir dia tampan?"
Shizune mengernyitkan dahi. "Memang, 'kan?"
"Ya," timpal Sakura. Di benaknya masih terekam jelas sehitam apa iris matanya, rahangnya yang tegas, hidung, bibir dan postur tubuhnya yang proporsional. Bila hanya ada satu kata untuk mendeskripsikan fisik pria tadi, Sakura akan memilih rupawan. Dan, ada satu hal lagi yang Sakura ingat; pelat nama yang menempel di dada bertuliskan Sasuke Uchiha.
"Jadi itu alasan kau berbasa-basi dengan orang asing?" seloroh Tsunade.
"Bukan. Tentu saja bukan! Kau tahu dia terlalu muda untukku, Tsunade. Jauh terlalu muda. Dan kau tahu aku punya sumpah itu." Sakura mendesah. Sumpah yang dimaksud adalah Sakura tak ingin berhubungan terlalu akrab dengan siapa pun untuk menjaga rahasianya.
Sebelah alis Tsunade tertarik. "Biasanya kau bahkan tak ingin kenal bila tak perlu."
"Justru karena perlu. Aku akan jadi satu maskapai dengannya. Kalau diterima," papar Sakura. "Lagi pula, dia sama-sama orang Jepang. Adalah sesuatu yang menguntungkan jika memiliki kenalan dari negara asal di luar negeri. Dan, bekerja akan lebih mudah bila kau mengenal seseorang sebelumnya."
"Kapan pemberitahuan diterima atau tidaknya, 'Baasan? Dan kau melamar di posisi apa?"
"Mereka bilang paling terlambat tujuh hari ke depan. Aku melamar di posisi check in counter."
"Ah, satu hari sebelum kami pulang ke Jepang. Kemampuanmu berbahasa bisa membuatmu unggul."
Mendengar penuturan Shizune, Sakura tersenyum dan mengangguk. "Semoga."
Mendadak hening berdiri di antara mereka. Sorot mata Sakura beralih pada Tsunade. Dia menarik napas panjang. "Tsunade, kau tidak akan mendebatku?"
"Tidak." Tsunade meneguk ludah. "Aku hanya heran ... apa kau tidak lelah berlari terus?"
Sakura tertegun. Dia termenung selama beberapa saat. "Aku sudah terbiasa dengan itu."
"Terbiasa bukan berarti tidak lelah. Aku memahami itu dengan sangat baik, Okaasan," tukas Tsunade. "Lihat dirimu, hidupmu dipenuhi kebohongan sampai saat berbohong pun kau terlihat santai. Tak ada tekanan."
Sakura menggeleng lemah. Nyatanya, selalu ada tekanan batin ketika membohongi orang-orang tidak bersalah. Namun, tahun ke tahun membuatnya semakin baik dalam mengendalikan ekspresi wajah. Bahkan terkadang dia sendiri pun bingung mana ekspresi yang benar dan mana yang salah. "Kau tidak tahu apa-apa," pungkasnya.
Shizune memahami atmosfer berat yang terhidu sampai ke paru-paru. Dia buru-buru melelehkan suasana dengan membahas di mana Sakura tinggal. Sakura tampak responsif akan hal itu. Namun, dia sadar bahwa ketegangan yang berdiri di antara Sakura dan Tsunade sama sekali belum hilang. Akan tetapi, dia yakin ketegangan itu akan merenggang seiring dengan waktu yang berputar.
.
.
Suara semprotan pengharum ruangan melatarbelakangi Sakura yang tengah menyisir rambut. Dia bukanlah satu-satunya orang yang terefleksi di cermin. Beberapa orang yang baru keluar dari kubikel water closet kebanyakan mencuci tangan sambil bercermin sebelum keluar. Sakura menyadari adanya atensi berlebih yang dia terima. Dia berpikir bahwa seragam yang membungkus tubuh adalah penyebabnya.
Setelah penampilannya rapi, Sakura bergegas keluar toilet dan menuju check in counter. Dia diminta datang dua jam sebelum fasilitas itu dibuka. Dia berdiri di sekitar check in counter untuk menunggu seseorang memberi petunjuk. Kakinya menggertak-gertak pada lantai karena mulai terasa pegal. Lima belas menit lamanya dia berdiri, dan belum datang pertanda apa-apa.
Tiga meter di depannya, ada seorang wanita berambut pirang menaruh pandangan padanya. Mata beriris birunya memancarkan senyum. Sakura membalas dengan ekspresi ramah.
"Hallo. Sie sind Sayuri Nakamura, ja?" kata wanita itu. Sakura langsung tahu bahwa wanita ini adalah orang yang sedari tadi dia tunggu. "Oh, I'm sorry. I heard that you are a foreigner. Did you understand what I said earlier?"
Sakura mengangguk. "Ja, ich kann Deutsch sprechen."
"Ah, benar, aku seharusnya tidak perlu bertanya soal itu," wanita itu meneruskan bicara menggunakan bahasa Jerman. Sakura dalam hati menyetujui. Jika dia tidak bisa berbahasa Jerman—bahasa pengantar resmi di Zurich, mungkin dirinya tak akan diterima bekerja di sini. "Ich bin Ino Yamanaka. Kau bisa memanggilku Ino saja. Aku yang akan memberimu petunjuk soal bekerja di sini."
Sakura mengangguk sopan dan melebarkan senyum. "Mohon bantuannya."
Tanpa basa-basi lagi, Ino langsung menjelaskan pekerjaan Sakura. Ketika check in counter sudah dibuka, Sakura diminta untuk memerhatikan cara kerja Ino. Sesekali dia pun menggantikan Ino dengan pengawasan wanita berambut pirang itu. Sampai check in counter ditutup tiga puluh menit sebelum penerbangan, Ino berkata bahwa pekerjaan Sakura memuaskan dan dia tidak melakukan kesalahan apa pun.
Semenjak ditutup, orang-orang di balik counter tampak santai. Kata Ino, ini memang sudah masuk jam istirahat. Sakura memindai keadaan sekitar perlahan-lahan. Sebuah surat kabar yang dibuka lebar dengan headline "Pemprotesan Dignitas" membuatnya menahan pandangan.
"Dignitas?" ucapnya pelan. Sakura mencoba mengingat adakah kosakata tersebut dalam bahasa Jerman, dan jika ada, dia mencoba mencerna artinya. Namun, isi otaknya mengatakan tidak ada.
"Kau tidak tahu?" celetuk Ino. Sakura menggeleng. "Oh, tentu saja. Kau bukan orang sini. Dignitas adalah klinik penyedia jasa bunuh diri. Makanya banyak dikecam."
"Apa?! Klinik penyedia jasa bunuh diri?"
"Iya. Ada persyaratan yang harus dipenuhi sebelum permintaan bunuh diri itu disetujui, sebenarnya. Sakit parah, lumpuh, atau semacamnya. Apa pun itu, menurutku klinik seperti itu tidak seharusnya ada."
Sakura mendadak merasa mual. Bukan satu dua kali Sakura merasa ingin mengakhiri hidup. Seperti yang Tsunade bilang, dia memang lelah. Dia lelah berbohong. Dia lelah hidup tanpa merasakan seperti apa makna hidup sesungguhnya lagi. Dia lelah berlari. Satu-satunya cara untuk menghentikan itu semua adalah mati, karena dia terlalu takut untuk tinggal di lokasi yang sama lebih dari satu dekade. Namun, dia bertahan. Dia menelan rasa lelahnya karena masih menghargai hidup yang bahkan sudah tak terasa maknanya. Wajah Sakura mendadak masam. Dia sama sekali tak memahami isi kepala pionir dignitas itu.
"Benar. Sesulit apa pun, seharusnya orang-orang bisa lebih menghargai hidup," lirihnya. "Kadang-kadang kita tidak sadar bahwa kita ada di posisi yang jauh lebih beruntung daripada orang lain, karena terlalu sering melihat ke atas. Dan itu malah membuat kita menjadi depresi lantaran hidup tidak sebaik orang yang dirasa lebih beruntung itu. Kau tahu, semacam representasi rasa iri. Bagus kalau rasa iri itu disalurkan melalui usaha untuk menjadi lebih baik, tapi bagaimana jika malah mendorong seseorang untuk bunuh diri? Apalagi difasilitasi seperti itu."
Ino terdiam sejenak tanpa berkedip. Dia memejamkan mata sambil menarik napas panjang. "Kata-katamu akan cocok sekali untuk dicantumkan di dalam paragraf headline itu. Apabila menutup klinik dignitas masih terlalu jauh, setidaknya bisa menjadi upaya besar dalam meredam keinginan orang-orang untuk daftar ke sana."
Sakura membisu. Dia tak ingin membahas ini lebih jauh. Karena baginya, dignitas menjadi topik tabu yang baru.
"Frau Yamanaka," panggil Sakura. Ino tampak hendak memprotes panggilan itu, tetapi Sakura segera menyela, "Boleh aku keluar sebentar?" Sakura bersiap-siap untuk berdiri. Terlepas dari topik dignitas yang membuatnya mual, perutnya tetap dililit rangsangan lapar.
"Tentu. Tapi, counter akan dibuka lagi dalam satu jam. Kau harus kembali ke sini maksimal lima belas menit sebelumnya," kata Ino.
Sakura mengangguk. "Danke."
Dia langsung berjalan menuju food court. Hal pertama yang dia lakukan di sana adalah melirik arloji. Sakura merutuki jalannya yang terlalu lambat sehingga sudah memakan waktu sepuluh menit. Sisa waktu yang dia miliki tinggal dua puluh lima menit hanya untuk makan saja. Menyadari hal itu, Sakura memutuskan untuk membeli makanan yang praktis atau yang mudah dibawa. Pilihan pertamanya berlabuh pada sandwich.
Antrean panjang terjadi di depan satu-satunya food court yang menjual sandwich. Bila dihitung, sebetulnya hanya ada enam orang. Namun, bagi seseorang yang terburu-buru seperti Sakura, itu sudah masuk ke dalam kategori antrean panjang.
Lima belas menit berlalu sampai dia mendapat bagiannya. Dan yang dia dapatkan di sana adalah kabar bahwa sandwich sudah habis. Sementara tidak ada makanan yang lebih praktis daripada sandwich. Terlebih, dia tidak mungkin tepat waktu bila mencari makanan lain.
Sekonyong-konyong ada tangan yang menjulurkan sepotong sandwich berbetuk segitiga sama sisi ke hadapannya. Sakura terperangah. "Apa—"
"Kau harus ada di check in counter maksimal dua puluh menit dari sekarang. Tidak akan sempat jika harus mencari makanan lain." Bahasa Jepang! Sakura langsung mengangkat wajah dan mendapati eksistensi pria yang mendengar Sakura dipanggil Obaasan beberapa waktu lalu. Sasuke Uchiha. "Pegawai baru lebih baik tidak melakukan kesalahan apa pun, termasuk terlambat. Ambil sandwich punyaku."
Ternyata dakwaan sombong dari Shizune tidak sepenuhnya akurat.
Sakura tampak ragu. Namun, jika dia tidak menerimanya, dia akan melewati dua jam ke depan dengan perut yang kelaparan. Dia tak punya pilihan. "Arigatou, Uchiha-san," katanya sembari menerima sandwich tersebut dengan gerakan skeptis.
Sasuke terdiam sejenak dengan sebelah alis terangkat. Sakura langsung mengetuk ujung pelat namanya sendiri, memberi isyarat bahwa dia mengetahui nama Sasuke dari cetakan pelat nama yang digunakannya.
Keterkejutan tipis melintas di wajah Sasuke. "Namamu memang Sayuri Nakamura."
"Kenapa kau berpikir itu bukan nama asliku?"
"Sayuri, bunga bakung, bunga lily," jelas Sasuke. Sakura takjub karena Sasuke mengungkap arti dari Sayuri dengan tepat. Padahal dia berasumsi bahwa Sasuke adalah seseorang yang kelewat cuek mengenai hal tersebut. "Namamu lebih cocok Hanami, Haru ... atau Sakura. Ya, Sakura. Bukan nama yang memiliki arti bunga bakung."
Sakura mati-matian menahan diri untuk tidak terperangah. Sasuke memang menebak dengan tepat bahwa dia bekerja di check in counter, tetapi pasti banyak orang yang bisa melakukan hal serupa bila melihat seragamnya, seperti bagaimana Sakura menebak bahwa Sasuke adalah pilot. Mengenai kapan check in counter dibuka, Sakura berpikir bahwa Sasuke-lah yang akan mengendalikan penerbangannya. Soal nama pun bisa ditebak dari warna rambutnya yang merah muda, mungkin didukung iris mata hijaunya juga. Namun, perihal nama ini tetap membuat terkejut dan sedikit takut.
"Aku tidak bisa menuntut orangtuaku untuk memberiku nama yang cocok saat baru lahir," canda Sakura. Perangainya tenang seperti biasa. Tak ada indikasi berbohong sama sekali. Ketidaknyamanan semakin melanda Sakura. Dia segera melirik arloji dan bergerak gelisah. "Kurasa aku harus pergi sekarang." Dia mengangkat sandwich. "Akan kuganti. Ini kuanggap sebagai utang." Kepalanya membungkuk singkat. "Sekali lagi, arigatou, Uchiha-san!"
Lebar langkah yang Sakura ambil untuk menjauhi Sasuke. Jantungnya masih berdebar keras karena rasa takut itu. Berdasarkan pengalamannya barusan, Sasuke adalah seorang pengamat. Dia harap pengamatannya tak akan mengungkap hal lain yang sudah menjadi rahasianya. Betul-betul berharap.
Untuk menghindari itu, dia harus mengurangi kontak yang tidak perlu dengan Sasuke. Dan Sakura langsung mengutuk diri sendiri atas pengungkapan sandwich yang dianggap utang dan akan diganti. Artinya, dia harus melakukan kontak dengan Sasuke lagi. Kalau begitu, itu akan dan harus menjadi kontak "tidak penting" yang terakhir!
Lilitan di perut Sakura sudah kembali. Plastik yang membungkus sandwich dibuka, lantas dimasukkan ke dalam saku sampai tempat sampah ditemukan. Dia menggigit ujung sandwich sambil berjalan demi mengejar waktu, meskipun ini benar-benar di luar kebiasaannya yang selalu makan dalam posisi duduk.
Sandwich-nya terasa basah. Kecut yang terkecap lidah memberi tahu bahwa basah tersebut berasal dari tomat. Sakura berhenti sejenak untuk membuka sandwich. Potongan tomat yang terdapat di sana lebih banyak daripada bagaimana porsi tomat untuk sandwich lumrahnya.
.
.
Sasuke melepas topi pilotnya dan mengusap wajah. Setiap langkah yang diambil tidak semantap biasanya. Bagaimana tidak, tekanan yang dia alami sekitar dua jam yang lalu masih begitu membekas di batinnya. Di tengah badai di udara, terjadi penipisan bahan bakar dari pesawat yang dia kendalikan. Beruntung sisa bahan bakar itu cukup untuk membawa pesawat sampai ke bandara alternatif. Masalah memang sudah teratasi, tetapi lelah bekas tekanan tersebut sama sekali tak mau hilang.
Pendaratannya di bandara Zurich terlambat selama satu jam. Beruntung lagi, besok adalah hari liburnya. Malam ini dia bisa beristirahat tanpa memikirkan harus bangun pagi di keesokan harinya. Dia bahkan berpikir untuk tidur menggunakan seragam sekalian, saking lelahnya. Menyadari hal itu, Sasuke memutuskan untuk membeli makan sebelum pulang. Karena setibanya di apartemen nanti, dia yakin dirinya tak akan repot-repot untuk makan.
Sandwich menjadi preferensinya saat ini, mengingat pelayanannya akan lebih cepat daripada makanan lain, dan cara makannya pun paling praktis. Di antrean menuju counter, Sasuke menangkap sesuatu yang familier. Rambut merah muda. Wanita yang sempat dia curigai memalsukan nama dari nama asli yang dia kira Hanami, Haru, atau Sakura. Terutama Sakura.
Saat ini, Sasuke berharap wanita itu mengingat soal sandwich yang dianggap utang olehnya, meskipun Sasuke tidak menganggap begitu. Bukannya perhitungan, Sasuke hanya berpikir itu akan menguntungkan. Wanita itu berdiri di tiga urutan lebih depan darinya. Namun, dia terlalu gengsi untuk menyapa. Apalagi menagih. Dia hanya bisa berharap wanita itu memesan lebih satu dari yang seharusnya dia pesan.
Sementara Sakura melirik ke belakang pelan-pelan untuk memastikan Sasuke ada di barisan antre. Tebakannya saat melihat Sasuke di luar kaca benar. Pria itu memang akan masuk ke sini. Dia langsung teringat akan utangnya beberapa hari yang lalu. Ingatan tersebut membuatnya memesan lebih satu sandwich dari yang sebelumnya ingin dia pesan. Dan satu sandwich itu memiliki porsi tomat yang lebih banyak, persis seperti yang dia terima saat itu. Sempat Sakura ingin memesan dua, karena tahu satu potong tak akan membuat kenyang. Namun, dia takut Sasuke akan menganggap satu potong lagi sebagai utang juga.
Sasuke pura-pura tidak melihat Sakura saat wanita itu keluar dari antrean. Dia menoleh ke kanan ketika mendengar panggilan dengan sufiks "san". Sakura mengulurkan tangan yang memegang kantung kertas. Tanpa bertanya pun Sasuke tahu apa isinya. Harapannya terjawab.
"Kubayar utangku," kata Sakura. Wanita itu langsung melirik arlojinya. Tampak gelisah, lagi. "Gomen, aku harus buru-buru. Aku pergi dulu."
Belum sempat Sasuke menanggapi, Sakura sudah berlari. Sasuke keluar dari antrean meskipun tahu sandwich yang ada di balik kantung hanya satu potong. Tak akan membuat kenyang. Namun, dia hanya ingin cepat pulang dengan perut terisi. Bukan untuk memenuhinya.
Dia mengunyah sandwich sambil melangkah menuju tempat parkir. Tomat mendominasi indra pengecapnya. Salah satu sudut bibir Sasuke tertarik menyadari wanita itu masih ingat sandwich yang diberikannya memiliki potongan tomat lebih banyak.
Rencananya untuk langsung tidur sesampai di apartemen batal ketika dia sadar bahwa laptopnya masih terbuka dengan LED di sudut yang masih berkedip-kedip. Dia memijat pelipis menyadari bahwa salah satu alat elektronik penyerap listrik terbanyak itu menyala selama dia bekerja. Ditekannya tombol power dan layar pun menyala. Dugaannya bahwa laptop sedang terjebak dalam mode sleep karena ditinggalkan tanpa digunakan langsung dipatahkan oleh proses sebuah aplikasi yang tengah melakukan backup data.
Kali ini Sasuke baru ingat bagaimana dia bisa begitu ceroboh sampai tidak mematikan laptop sebelum berangkat kerja. Laptopnya terkena virus, semua datanya hilang, dan dia beruntung karena ada aplikasi yang mampu mengembalikan data yang dimakan virus. Namun, cara kerja aplikasi tersebut pun memakan waktu yang panjang—Sasuke memulai proses backup tepat setelah tiba di apartemen semalam sebelumnya, dan sekarang masih belum selesai—karena data yang terdapat di dalam laptop Sasuke terlampau banyak. Bagaimana tidak, bahkan data tugasnya saat SMA saja masih ada. Setelah proses backup yang tertulis berlangsung sepuluh menit lagi selesai, Sasuke akan menghapus data-data yang sudah tidak lagi diperlukan.
Dia terpaksa menunda tidur untuk menghemat energi listrik. Kafein yang diteguk dari teh menahan kantuknya lebih dari jangka waktu proses backup data yang tersisa. Kelopak mata yang masih terbuka lebar itu disalurkan pada pencicilan penghapusan data-data yang tak lagi penting. Dia mulai membuka dari arsip-arsip tugasnya semasa SMA, menekan tombol ctrl atau shift pada keyboard sambil meng-klik data yang tak lagi berguna untuknya, kemudian menekan opsi delete.
Ada satu arsip yang memiliki thumbnail satu foto tua berspektrum sepia dan foto yang sama dengan versi berwarna. Sasuke ingat itu adalah tugasnya saat SMA—mengubah foto lawas menjadi berwarna menggunakan software editor grafis. Dia memilih untuk mewarnai salah satu foto kakek dan neneknya yang tak memiliki latar rumit agar tugasnya bisa diselesaikan dengan lebih mudah.
Selain disebabkan adanya rasa penasaran akan hasil dari pekerjaannya dulu, entah mengapa Sasuke merasa ada dorongan lain untuk membuka folder tersebut. Dorongan yang membuatnya merasa tengah berada di tengah enigma. Enigma yang tiba-tiba terasa memiliki relevansi dengan dirinya yang tiba-tiba menahan pandangan pada wanita yang dia ketahui bernama Sayuri Nakamura saat pertemuan pertama mereka.
Dia berkali-kali membuka foto sepia dan foto berwarna itu bergantian. Kegiatan itu didasari oleh rasa tidak percaya akan hal yang tengah mendominasi layar laptopnya. Ada empat orang yang tercetak di dalam foto, dua di antaranya adalah kakek dan neneknya saat masih belia. Pakaian yang dikenakan keempat orang itu adalah kimono. Di samping neneknya, ada seorang wanita yang dia rasa mirip sekali dengan Sayuri Nakamura (dia bahkan mengerjapkan mata beberapa kali sebelum menggagas begitu).
Foto dalam versi sepia memiliki garis selebar sekitar satu setengah senti yang membingkai fotonya. Tertulis tahun yang kemungkinan menyatakan kapan foto diambil—1935—nama kakeknya, neneknya, satu nama pria, dan Haruno Sakura.
Haruno Sakura, bacaan itu terulang otomatis di dalam benak Sasuke. Entah bagaimana napasnya terasa tertahan begitu saja.
Proses pengeditan itu membutuhkan ketelitian dan atensi berlebih, sampai Sasuke hafal betul bagaimana rupa kakek dan neneknya saat di masa belia. Dulu, Sasuke mewarnai foto wanita itu dengan rambut berwarna pirang stroberi, dan matanya dengan warna cokelat kopi. Pantas saja dia merasa wanita itu familier meskipun dia yakin belum pernah bertemu sebelumnya. Mungkin, garis-garis wajah wanita itu secara otomatis terekam di otaknya karena proses pewarnaan tersebut, dan terangkat kembali saat dia melihat Sayuri Nakamura.
Seolah-olah lelah yang melandanya tidak pernah ada, Sasuke membuka software editor grafis yang sama dengan yang dia pakai beberapa tahun yang lalu, meskipun yang digunakan sekarang adalah versi terbaru. Dia mengganti warna rambut wanita itu dengan merah muda, dan warna matanya dengan hijau viridian.
Hasil penyuntingan foto membuat Sasuke terkejut setengah mati. Kedua matanya bahkan sampai dikerjapkan berkali-kali. Seseorang yang ada di layar laptopnya bukan sekadar mirip Sayuri Nakamura, tetapi betul-betul tampak seperti satu orang yang sama!
.
.
tbc
.
.
Keterangan:
Hallo. Sie sind Sayuri Nakamura, ja? = Halo. Anda Sayuri Nakamura, ya?
Ja, ich kann Deutsch sprechen. = Ya, aku bisa berbicara bahasa Jerman.
Ich bin Ino Yamanaka. = Aku Ino Yamanaka.
Frau = Ibu, Ms/Mrs
Danke = Terima kasih
Gambaran tentang tugas SMA Sasuke bisa dicari di Google dengan keyword "mewarnai foto jadul".
Note:
AKU KOLAB SAMA SENPAI! XD
Hayo tebak ini siapa wkwkwk kayaknya ketebak sih ya /siapakamu. Pokoknya ini kolabnya ganjil genap author-nya beda kalo gak ada perubahan ntarnya. Oh iya, soal tiap sepuluh tahun ganti identitas dan pindah karena gak tua-tua terinspirasi dari Age of Adaline, tapi kasusnya dibuat beda.
Makasih udah baca sampai sini! :D
