Mari mengheningkan cipta sejenak, mendo'akan saudara/i kita yang sedang mengalami musibah di Palu dan Donggala. Terima kasih.
#PrayforPalu
#PrayforDonggala
#PrayforIndonesia
xxxxx
Just Remember Me
x
x
x
Naruto belongs to Masashi Kishimoto
x
x
x
Ino menggeliat di lantai ubin yang dingin, berusaha meregangkan ikatan tali pada kaki dan tangannya yang melilitnya dengan sangat kuat. Pekikan tertahan mengumbar dari mulutnya yang tersumpal kain. Bulir-bulir keringat, darah dan air mata membasahi wajah cantiknya yang kini mulai dihiasi luka lebam. Setelah upayanya membebaskan diri gagal, Ino pun memaksakan diri untuk merangkak dengan lengan dan lutut kanannya, tak mengindahkan rasa sakit yang mendera kala luka-luka di tubuhnya bergesekkan dengan lantai yang kasar. Hanya satu hal yang dipikirkan Ino, "aku harus segera menolong Sai!"
Buk! Buk! Buk! Suara hantaman benda keras yang mengenai tulang dan otot di tubuh Sai menjadi satu-satunya suara bising di ruangan yang temaram itu. Sai terlihat tak berdaya ketika seorang pria berulang kali menendang dan memukuli tubuhnya dengan baseball bat. Sai meringis dalam bungkamannya ketika pria itu berusaha meremukkan jemari tangannya yang terikat dengan permukaan sol sepatu yang tajam.
Namun tiba-tiba pria itu tersentak ketika menyadari gerakan Ino. Ia pun beralih ke Ino, menarik rambutnya dengan kasar. "Berusaha menyelamatkan pangeranmu, huh?" cibirnya dengan nada mengejek, kemudian menghempaskan tubuh Ino ke lantai, menendang bahu dan rusuk wanita itu secara bertubi-tubi.
"Rasakan ini! Rasakan! Dasar wanita jalang!"
Setelah puas menyakiti Ino hingga babak belur, pria itu melintasi ruang bawah tanah yang pengap, berjalan ke arah rak kayu di sudut, mengambil sesuatu berukuran kurang lebih empat puluh senti meter yang terbungkus kain perca yang lusuh. Mata Ino membelalak ketika pria itu menyingkirkan kain lusuh tersebut dan mengacungkan sebuah benda berkilauan di tangannya. Sebuah pisau dapur.
Pria itu mendekati Ino dan Sai yang terkapar di lantai dengan langkah-langkah pendek.
"Bagaimana kalau akhir ceritanya seperti ini; Ino Yamanaka membunuh ayah biologis anaknya setelah perdebatan mereka mengenai hak asuh, kemudian memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri karena dilanda rasa bersalah," tutur pria itu dengan dramatis seraya menyunggingkan seringai licik ke arah Ino dan Sai.
"Inojin pasti akan sangat tertekan jika mengetahui ibunya membunuh ayahnya sendiri," katanya lagi.
"Setelah itu..." Pria itu berjongkok di depan Ino yang mulai menangis, memohon-mohon pada pria itu melalui tatapan dan rintihannya yang tertahan.
"Aku akan membesarkan Inojin menjadi sepertimu, Ino... Menjadi seorang pembunuh..."
"Tidaaak!"
Ino bangun dari tidurnya dengan tersengal-sengal. Peluh mengucur deras dari keningnya dan sekujur tubuhnya gemetaran. Peristiwa menyakitkan itu masih menghantuinya hingga sekarang, menyandera alam bawah sadarnya melalui mimpi buruk yang semakin sering dialaminya selepas kepulangannya dari rumah sakit sebulan lalu. Ino meraih botol obat anti depresi dari atas nakas, mengeluarkan tiga butir obat dari dalamnya dan mendorongnya ke dalam tenggorokan dengan segelas air.
Sebenarnya Ino tak ingin terlalu bergantung pada obat-obatan, tapi dia tak memiliki pilihan lain. Mengkonsumsi obat anti depresi dan berkonsultasi ke psikolog secara teratur atau mendekam di rumah sakit jiwa seperti lima belas tahun yang lalu. Ino tak ingin kembali ke rumah sakit jiwa, meski ia tahu bahwa pengobatan di sana lebih efektif dan efisien ketimbang hanya meminum obat-obatan berdosis tinggi yang bisa merusak tubuhnya.
"Kau harus bisa melewati semua ini, Ino... Demi Inojin... Demi kebahagiaan Inojin... Demi masa depan Inojin..." Ino mengucapkan kalimat-kalimat tersebut layaknya merapalkan mantra yang ia yakini bisa menguatkan dirinya menghadapi trauma masa lalu yang mencengkeram jiwa. Namun, keyakinannya itu perlahan terkikis seiring berjalannya waktu.
Jika lima belas tahun yang lalu, Ino bisa bangkit dari keterpurukan, memulai hidup baru dan mengubur semuanya, kini ia tak bisa melakukannya lagi. Masa lalunya telah tersingkap. Aib dan dosa-dosanya telah terungkap. Ino tak lagi bisa menyembunyikan kenyataan tersebut dari siapa pun.
Hanya tinggal menunggu waktu sampai Inojin sudah cukup dewasa, lalu seseorang mengatakan padanya bahwa ibunya adalah seorang pembunuh. Membayangkan hal itu saja sudah membuatnya ingin terjun dari ketinggian. Apalagi jika suatu saat nanti hal itu benar-benar terjadi. Ino lebih baik mati daripada harus hidup menanggung kebencian Inojin pada dirinya.
xxxxx
Sai melempar jaketnya ke sofa ketika berjalan melintasi ruang tamu menuju kamarnya di lantai dua. Bertahun-tahun hidup di panti asuhan, Sai sudah terbiasa dengan kebersihan dan kerapihan. Biasanya ia akan menyimpan jaketnya di lemari mantel atau langsung menaruhnya di keranjang cucian kotor, tapi malam ini ia tak peduli. Tubuhnya sudah terlalu lelah karena berkendara selama tujuh jam demi mengamankan investasinya di Iwagakure.
Sai masuk ke kamar mandi, menanggalkan semua pakaiannya dan menyalakan pancuran. Ia meringis ketika siraman air dingin menyengat luka-luka di tubuhnya yang belum pulih sepenuhnya. Rasa sakit yang merunjam kembali mengingatkan dirinya pada peristiwa penyiksaan itu, tak peduli sekeras apa pun usahanya untuk mengenyahkan kejadian buruk itu dari benaknya.
Sasuke telah menyarankannya untuk pergi ke psikiater atau mengikuti kelas konseling di mana para anggotanya saling berbagi pengalaman dan saling memberi dukungan. Tapi Sai menolak semua usulan tersebut dan menegaskan pada semua orang bahwa dirinya sama sekali tak mengalami trauma apa pun setelah peristiwa menyakitkan itu.
Selain harus merelakan beberapa tulangnya yang patah dan bersabar hingga kulitnya yang dipenuhi luka dan memar kembali normal seperti sedia kala, Sai merasa dirinya baik-baik saja. Ia kembali melanjutkan hidupnya setelah keluar dari rumah sakit, seolah dia hanya mengalami kecelakaan yang ringan, bukan peristiwa penyiksaan sadis yang hampir merenggut nyawanya.
Dibesarkan tanpa kasih sayang dan perhatian orangtua telah membentuk dirinya sebagai pribadi yang mampu bangkit dengan kekuatan sendiri, tanpa mengandalkan siapa pun. Dorongan untuk tetap tangguh di segala situasi semakin kuat ketika Sai mulai menyadari bahwa ia tak hanya berjuang untuk dirinya sendiri. Tapi juga berjuang untuk melindungi orang-orang yang dicintainya, yakni Inojin dan... Hinata.
Sai menuangkan shampoo di telapak tangannya, lalu mulai mengeramasi rambutnya dan memberi pijatan lembut di kulit kepalanya. Setelah itu ia menyabuni tubuhnya. Figure mungil Hinata Uzumaki tercitra dalam benaknya ketika Sai merasakan kejantanannya telah mengeras di telapak tangannya dan Sai pun sadar kalau dirinya butuh pelepasan. Sudah berminggu-minggu sejak terakhir kali ia bermasturbasi.
Demi menjaga cintanya pada Hinata, Sai tak pernah menjalin hubungan asmara dengan wanita mana pun. Tidak pula berkunjung ke host club atau love hotel demi melampiaskan hasrat seksualnya dengan perempuan bayaran. Sai hanya butuh membayangkan dirinya bercinta dengan Hinata untuk mencapai puncak kenikmatan. Tidak lebih. Semua aman dan terkendali. That's why, Sai menganggap hubungan ragawinya dengan Ino Yamanaka beberapa tahun lalu merupakan kesalahan terbesar dalam hidupnya.
Saat itu ia dan Ino sedang menghadiri pesta yang diadakan keluarga Uchiha di sebuah hotel. Entah apa yang menyebabkan dirinya menenggak alkohol melebihi batas toleransi. Sai hanya ingat kalau ia dan Ino berciuman di koridor hotel, lalu keesokan paginya mereka terbangun di atas ranjang yang sama, tanpa sehelai benang pun yang melapisi tubuh mereka. Setelah kejadian itu, Sai menghindari alkohol sebisa mungkin agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Sai kembali menyalakan pancuran dengan intensitas air yang lebih sedikit, kemudian membersihkan seluruh permukaan kulitnya dari sisa-sisa sabun. Gerakannya terhenti saat pandangannya terpaku pada ujung kejantanannya yang kian membengkak. Sai melumuri telapak tangannya dengan sedikit sabun dan mulai memberikan perhatian khusus pada miliknya yang semakin besar dan tegang.
Sai bersandar pada dinding keramik kamar mandi yang licin sambil memejamkan mata, membayangkan dirinya sedang bercinta dengan Hinata. Wanita itu menggelinjang di bawahnya, tubuh yang indah dan mulus mendekapnya erat, tungkai wanita itu melingkar di pinggangnya, pinggul seksinya terangkat, menyambut setiap hunjaman-hunjaman Sai dengan suka cita, memohon-mohon padanya untuk bergerak lebih cepat dengan jeritan sensual, kemudian melantunkan namanya, only his name, saat mencapai klimaks.
Pada puncak kenikmatannya sendiri, Sai menatap mata biru Hinata yang mengunci pandangannya dengan tatapan penuh cinta. Mata biru? Tidak. Mata Hinata berwarna lavender. Namun, tubuh yang berbaring di bawahnya, yang telah memberinya orgasme hebat bukanlah Hinata. Dan tatapan penuh cinta itu bukan berasal dari Hinata. Mata biru itu...
"Ino!" Sai mengerang.
Khayalan bercinta dengan Hinata lenyap dalam sekejap, tergantikan oleh gambaran-gambaran peristiwa penganiayaan itu. Bayangan pria jahanam yang menyiksa Ino dengan kejam, menendang-nendang tubuh ramping Ino, memukuli wanita itu dengan beringas dan merunjam perut Ino hingga tubuhnya bersimbah darah. Sai berpegangan pada dinding kamar mandi. Kakinya terasa lemas dan perutnya terasa melilit. Peristiwa menyakitkan itu masih terasa begitu nyata setelah sekian lama.
x
x
x
to be continued
Notes :
Birthday fic to my beautiful Queen, Ino Yamanaka. Semoga gak terlalu telat, karena terkendala banyak hal, akhirnya baru bisa publish sekarang dan ini pun belum kelar T.T
Maap-keun jika banyak kesalahan di sana-sini. Terima kasih sudah berkenan mampir di sini. Feel free to critic and review :)
