out of luck
Naruto © Masashi Kishimoto
Sebagai seorang yang selalu siap menjalani pagi, hari ini bukanlah awal yang baik bagi Hinata. Terbangun dengan hangover yang membebani kepalanya, ia harus menerima kenyataan bahwa akan ada meeting dadakan hari ini—dan yang dimaksud hari ini adalah hari Sabtu dimana dia harusnya sudah memesan bangku spesial di spa langganannya.
Oke, mungkin meeting pagi ini hanya bertahan satu jam atau dua jam, hal itu tidak menjadi problem besar bagi Hinata, masalahnya adalah bahan presentasi pagi ini ada di partnernya yang sedari tadi tidak mengangkat ponselnya.
"Hai, di sini Sakura! Silahkan ting—"
"Voice mail kurang ajar."
Di dalam mobilnya, yang dikendarai dengan kecepatan penuh, Hinata masih berharap Sakura mengangkat ponselnya. Tangannya sibuk menekan-nekan dengan penuh amarah, kepalanya pusing karena kopi pagi ini habis, dan bibirnya komat-kamit mengeja satu-per-satu kata untuk pesan singkat yang akan dikirimkan kepada Sakura.
"Sa... kura. Kirim pre... sen... ta—"
BRUK!
Bagus. Ada yang punya nomor telepon derek mobil?
—
Great, apa lagi ini? Mobilnya rusak, telat meeting, dan Sakura belum mengangkat ponselnya. Sekarang ia harus berdiri di pinggir jalan menunggu taksi untuk mengantarnya ke pusat kota Tokyo. Sedangkan taksi yang sedari tadi melewatinya sudah diisi orang. Plis deh, heels setinggi 6 cm harus dipakai berjalan 200 m? Memang sih dekat, tapi tetap saja tumitnya akan berteriak minta ampun karena lecet sana-sini.
Setiap langkah yang Hinata ambil dia akan berpikir tentang bonus akhir tahun yang jumlahnya berlipat ganda. Yeah Hinata, Louboutin new edition hanya untukmu, pikirnya. Setidaknya itu bertahan selama lima belas menit karena saat ini, Hinata sudah berada di depan gedung pencakar langit yang benar-benar sepi.
Menyapa beberapa petugas yang melihatnya kebingungan karena buat apa vice manager divisi pemasaran ada di sini dengan keringat yang mengucur dari atas sampai bawah. Memang sih terlihat seksi, tapi baunya itu... duh.
Hinata masuk ke dalam lift dengan terburu-buru. Ia mengamati pantulan dirinya di cermin lift dengan cepat, sedikit tersenyum karena—thank God—maskaranya tidak luntur karena keringat. Tapi ya ampun, keringatnya itu benar-benar menggungah selera lalat dimana-mana. Parahnya lagi, parfum yang sekarang dibutuhkannya tertinggal di mobil.
Terserahlah, Hinata buru-buru mengusir pikirannya. Ia cepat-cepat keluar dari lift ketika terbuka. Ia sudah telat dua jam dari jadwal yang sudah dijanjikan atasannya. Melepas heels yang mencengkram kakinya kuat, Hinata berlari ke ruang meeting yang anehnya kosong. Berjalan perlahan dengan keringat dingin yang tiba-tiba keluar dari antah berantah, Hinata mencoba untuk masuk ke dalam untuk memastikan keadaan. Belum dua menit, ponselnya bergetar—nama atasannya tertera di layar kaca. Hinata menelan ludahnya sendiri.
"Ha-hallo?"
"Hallo Hinata? Ini aku, Obito. Maaf sekali, hari ini rapatnya ditunda dulu. Uchiha-sama sedang ada keperluan," suara di seberang tertawa renyah, "Rapatnya hari Senin. Jangan sampai telat!"—tut.
Hinata terdiam. Tidak lama setelah itu, layarnya berganti dengan nama Sakura.
"Hinata—ya ampun, maaf bangeeeet. Aku sudah mengirimkan presenta—"
Hinata menggigit bibirnya sendiri. Dosaku apa, Tuhan?
—
Mansion utama Uzumaki terletak di pinggir kota yang masih belum tersentuh polusi kota. Udara di sekitarnya juga sejuk, tidak salah jika Minato memutuskan untuk menghabiskan hari tuanya nanti di sini. Untuk sekarang, ia lebih suka melihat pemandangan di depannya.
Rumah yang biasanya sepi karena kehilangan sosok hangat serupa dirinya kini kembali 'hidup'. Anak satu-satunya yang menjadi buah hati dirinya dan istri nyentrik berambut merahnya mengembalikan senyuman di wajah Kushina.
"Mama, jangan masukkan wortel!"
"Berisik! Kau harus makan sayur!"
"Mamaaaaaaa!"
Naruto merengek-rengek untuk membuang sayurnya, sedangkan Kushina hanya terkekeh melihat kelakuan putranya yang sudah dewasa seperti anak kecil. Ia kembali memotong kentang menjadi beberapa bagian, sebelum keheningan menyambar mereka.
"Mama," Naruto memanggil ibunya yang sedang fokus memotong kentang untuk kari makan malam nanti. Sedangkan Kushina hanya berdiam diri—mengizinkan Naruto untuk melanjutkan ucapannya. "Ada yang ingin Naruto bicarakan."
Kushina kini menoleh pada anaknya, "Apa?"
Naruto berhenti mengaduk kari yang baru setengah jadi, "Naruto..." ia mengambil napas sejenak, membuat kedua orang tuanya khawatir, "Naruto..." ia melihat ayahnya sendiri, menerka apa reaksi ayahnya jika ia melanjutkan ini, "Naruto..." ia kembali melihat ibunya, berpikir mengenai kejadia terburuk yang akan menimpa nanti, "Naruto—"
"Cepatlah, nanti karinya—"
"Naruto tidak suka perempuan."
—
Setelah berendam diri di bath tub penuh busa, Hinata memutuskan untuk curhat pada satu-satunya lelaki yang ia anggap kakak. Ia berjanji, akan curhat habis-habisan mengenai masalahnya hari ini, tidak lupa masalahnya minggu lalu karena habis bertengkar dengan pelacur murahan di kantornya yang mengatai Hinata tidak tahu diri.
Dengan menenteng satu botol wine Hinata menekan-nekan tombol bel di dekat pintu apartemen temannya—yang anehnya tidak membukakan pintu untuknya. Setau Hinata, Naruto tidak akan membiarkan siapapun menunggu, ia jadi bertanya-tanya apa Naruto ada di dalam atau tidak.
"Hinata?"
Oh jawabannya tidak.
Naruto yang sedari tadi ditunggu Hinata sudah ada di depannya dengan kaus hitam dan jeans biru. Ia menenteng tas di pundaknya yang kelihatan tidak terlalu berat. Dengan kikuk, Hinata tersenyum sambil menangkat botol wine yang dia bawa. Naruto hanya tertawa kecil sebelum menghampiri Hinata dan membuka pintu apartemennya untuk mereka berdua.
Tanpa malu-malu Hinata mengambil dua gelas untuk wadah wine yang dia bawa. Naruto melihatnya keheranan, jelas-jelas gelas yang diambil Hinata bukan gelas yang cocok untuk menampung minuman sekelas wine, tapi melihat Hinata mengangkat bahunya, mungkin malam ini akan sedikit memabukkan.
Naruto cepat duduk di lantai mengikuti Hinata yang sudah mengabaikan sofa empuk di belakangnya. Hinata menuangkan wine untuk Naruto lalu dia meminum langsung dari botolnya, "Untuk Dewi Fortuna yang tukang bo'ong, jelas-jelas hari ini aku sial banget."
Naruto terkekeh sebelum meminum bagiannya, "Untuk Dewi Fortuna," Naruto menjauhkan gelasnya dari bibir, "Jadi, Nona Hinata yang katanya lagi sial, how was your week?"
Hinata kembali menegak minumannya, "Ingat Shion?" Naruto mengangguk cepat, "Si jalang satu itu bahkan tidak tau caranya memakai lipstik dan kau tahu apa yang dia katakan padaku?" Hinata menunjuk dirinya dengan berapi-api, "Dia bilang bahwa caraku dapat promosi jabatan itu murahan dengan menggaet Obito-senpai," dia memutar matanya, "Plis deh, satu kantor juga tahu, bahwa aku berusaha keras untuk itu."
Naruto hanya mendengus kecil sebelum meminum winenya kembali, "Lalu?"
"Lalu kami bertengkar, the end. Minggu ini highlightnya bukan itu—kecuali aku yang beli highlighter Naked, Tuhan itu bagus bangeeeeeet—tapi highlightnya bukan itu," Hinata berhenti untuk mengambil napas, "Aku harus berjalan—straight walking—dari depan McDonald sampai kantor! Dan itu semua hanya karena meeting dadakan yang batal karena pacarmu itu ada urusan!"
Naruto yang merasa tersinggung hanya memutar mata, "Sudah hanya itu saja?"
Hinata mengangguk cepat. "Bagaimana denganmu?"
"Aku—"
"Oh, iya hari ini aku ketabrak." Hinata menyaksikan wine di mulut Naruto keluar dengan cepat, "Lanjut, tadi kau ingin bilang apa?"
Naruto menatap Hinata tidak percaya. Memang menurut Hinata lebih penting mana sih, make up, kecapekan karena jalan kaki, atau keselamatan dirinya sendiri?
"Sinting," Naruto geleng-geleng kepala, "Anyway, aku bilang pada orang tuaku hari ini."
"Bilang apa?" Hinata menegak winenya sebelum berhenti karena sadar sesuatu. "Tunggu—" Naruto mengangguk, "—Tidak mungkin!" ia meletakkan botol winenya, dan memeluk Naruto cepat, "I'm so proud of you! Lalu kata mereka apa?"
Naruto mengusap-usap surai hitam Hinata yang tergerai, "Mereka bilang aku sakit, Hinata," Hinata memberi jarak antara dirinya dan Naruto. Ia mengamati wajah pria favoritnya yang tiba-tiba berubah sendu, "Mereka bilang aku akan sembuh," Naruto menunduk, kemudia menatap Hinata dengan pandangan sedih, "Aku takut mereka meninggalkanku, Hinata."
Hinata mengusap pipi Naruto, ia mengusapnya perlahan agar pria itu merasa nyaman. "Apa kau merasa sakit?" Naruto menggeleng, "Maka apa yang harus disembuhkan?" Ia bisa melihat bibir Naruto yang perlahan tersenyum, walau kepalanya masih menunduk, "Naruto dengar—mereka pasti akan mengerti. Kau adalah putra mereka, mereka sangat sayaaaaaang padamu, jadi mana mungkin kau akan ditinggalkan?" dia mencubit hidung Naruto pelan, "Lalu mereka bilang apa lagi?"
"Mereka bilang untuk menyembuhkanku..." suara Naruto tercekat, "Aku akan dijodohkan."
"Apa?"
Naruto mengangguk lesu. "Hinata aku tidak sakit—aku tidak ingin dijodohkan," dia meletakkan dahinya di pundak Hinata, "Semua orang akan menderita. Aku, gadis yang akan dijodohkan itu, anak kami nanti, dan—tentu saja—Sasuke."
"Naruto," Hinata memeluknya erat, "Apa... ada yang bisa kubantu?"
Naruto mengangkat kepalanya, "Kau ingin membantu?" Hinata mengangguk. "Apapun itu?" gadis itu kembali mengangguk. "Oke baiklah, kau harus dengar rencanaku—aku sudah memikirkan ini sejak di mobil tadi. Tapi please, jangan marah Hinata. Kau akan—"
"Sudah, cepat! Apa yang harus kulakukan?!"
Naruto menarik napas, "Menikahlah pura-pura denganku."
Hinata menggigit bibirnya sendiri. Mulai besok, ia akan tobat.
tbc
p.s. gila aja first story gue heeeee
p.s.s. hallo teman-teman! im new hereeee
p.s.s.s. highlighter naked bagus banget woi
