Naruto © Masashi Kishimoto

don't like don't read

...

o n e

.u m b r e l l a.

Shikamaru menguap bosan dan aku mendengus menyaksikan perdebatan Naruto dan Kiba tentang sesuatu yang—menurutku—tidak penting sembari berjalan tiga langkah di depanku dan Shikamaru. Kami sedang berjalan menuju halte bus yang berjarak 500 meter dari sekolah kami setelah mengikuti klub sepak bola. Aku mengeratkan syal ungu tua yang melilit leherku dan menyumpal telingaku dengan earphone yang sudah tersambung dengan iPod. Suara Naruto dan Kiba yang nyaring, benar-benar membuat telinga sakit.

Samar-samar aku mendengar Shikamaru berdecak sebal. Naruto dan Kiba sekarang berdebat tentang dia-lebih-cantik. Aku bertanya-tanya; siapa yang dimaksud Naruto dan Kiba. Lantas, aku mengangkat kepalaku dari iPod dan mengikuti arah pandang Naruto dan Kiba yang kini berjalan di sampingku. Arah mata mereka menuju halte bus yang jaraknya kini tak sampai 50 meter dari tempat aku berdiri. Dan aku melihat. Di sana. Di halte bus, dua orang gadis tengah duduk sembari berbincang. Dan sialnya, salah satunya menarik atensiku.

Aku mengingat; hari ini aku memakai sweater hitam dan syal ungu yang ibuku rajut sebagai hadiah di musim gugur, sarapan dengan menu yang biasa kumakan, berangkat sekolah diantar aniki, mendapatkan nilai A di ujian fisikaku, menghadiri klub sepak bola dan berlatih. Aku pikir tidak ada yang spesial, karena aku selalu melakukan hal-hal itu setiap hari (kecuali memakai sweater hitam dan syal ungu yang ibuku rajut sendiri). Secara berulang-ulang. Jadi, mengapa Tuhan mengirimkan sosok yang langsung menarik atensiku?

Dia memakai seragam sekolah menengah umum yang letaknya tak jauh dari sekolahku (aku bersekolah di sekolah khusus pria). Ketika menuju halte, aku akan melewati sekolahnya. Irisnya berwarna hijau cemerlang dengan hidung kecil dan bibir tipis. Ia memiliki rambut merah muda yang ia ikat dengan pita biru muda. Dan aku mengerti apa arti dari pita biru muda itu; ia telah memiliki kekasih. Tanpa sadar aku mendesah kecewa.

Aku tahu tradisi itu. Tradisi yang selalu dilakukan oleh gadis-gadis di sekolah menengah umum Konoha Gakuen yang cukup konyol. Mereka akan memakai pita berwarna merah setelah menyatakan perasaan pada laki-laki yang mereka suka dan sedang menunggu jawaban, sementara yang memiliki kekasih akan memakai pita berwarna biru muda.

"Shikamaruuu!"

Aku tersentak dari lamunanku ketika suara nyaring seorang gadis tertangkap indra pendengaranku. Aku menyesal melepaskan earphone-ku dari telinga. Kemudian, aku mendengar Kiba mengumpat kepada Shikamaru, "sial! Kenapa kau tak pernah cerita, jika kau punya kenalan gadis cantik?!"

"Merepotkan," Shikamaru mendengus sambil menggumamkan kata favoritnya, "ini Yamanaka Ino, tetanggaku." Shikamaru menunjuk gadis berambut pirang pucat panjang dengan malas.

Gadis pirang itu tersenyum lebar kearah kami, "Yamanaka Ino. Yoroshiku!" Aku, Naruto, dan Kiba membalas dengan berbagai macam reaksi.

Aku menunggu-nunggu Shikamaru mengenalkan si Rambut Gulali.

"Dan ini Haruno Sakura, teman Ino," jeda, Shikamaru menguap, "temanku juga." Lanjutnya. Dan Sakura hanya tersenyum sembari menganggukkan kepalanya sopan.

Haruno Sakura? Sakura di musim semi. Nama itu cocok sekali dengannya.

"Hallo, Sakura-chan! Aku Uzumaki Naruto, salam kenal!" si Naruto langsung menjawab dengan semangat. Tidak lupa dengan cengiran lima jarinya. Tsk!

"Kebetulan yang menyenangkan, bukan begitu, Shikamaru? Kita bisa pulang bersama!"

"Tsk, merepotkan." Shikamaru melirik Yamanaka Ino dengan malas. Sedangkan yang dilirik hanya mengikik senang.

Kata kakekku, walaupun aku ini pendiam, aku adalah pengamat yang baik; aku cukup yakin, Yamanaka Ino menyukai Shikamaru. Terlihat jelas dari tatapannya dan cara berbicaranya dengan Shikamaru. Tapi setahuku Shikamaru naksir kakaknya Gaara.

Tak sampai lima menit kemudian, bus pun datang. Kami semua segera memasuki bus tersebut. Dan Naruto benar-benar mencuri kesempatan dengan duduk di samping Sakura. Sementara si Yamanaka sudah menempel dengan Shikamaru yang langsung tertidur. Tsk!

Besoknya, Kiba berusaha mendapatkan nomor Yamanaka dari Shikamaru. Ia membujuk dengan berbagai macam cara; mulai dari traktir yakiniku selama tiga hari sampai berjanji akan membantunya mendekati Temari, kakak Gaara. Dan bukannya nomor ponsel Yamanaka yang ia dapatkan, Kiba malah mendapatkan trademark Shikamaru dan tertidurnya laki-laki itu. Di sampingku Naruto mencibir sambil menyalin tugas kimiaku.

Hari ini aku pulang sendiri. Naruto, Kiba, dan Shikamaru pergi karaoke bersama teman sekelas kami sebagai perayaan ulang tahun Idate. Tadi pun aku dipaksa ikut, tapi malas sekali. Sejak bertemu si Rambut Gulali—yang sialnya ia telah memiliki kekasih—mood-ku tidak terlalu bagus. Aku memang tertarik padanya, sial!

Gadis itu manis (iya, iya, yang kumaksud di sini adalah Haruno Sakura), rambutnya unik, dan matanya menyejukkan. Bayangannya yang tersenyum masih menempel di otakku. Aku bahkan dapat mengingat dengan jelas freckles di wajahnya.

Tiba-tiba saja hatiku berdebar-debar ketika mataku menangkap sosoknya yang berdiri seorang diri di halte bus. Masih dengan pita biru yang mengikat rambut merah mudanya. Aku melangkahkan kakiku lebih cepat. Tak sabar untuk berdiri di sampingnya.

"Uchiha-san?" ia mengangkat kepalanya dari ponsel flip merahnya, "hai." Ia tersenyum.

"Hn." Aku mengangguk singkat. Gugup sebenarnya.

Keheningan menyelimuti kami. Aku bukan tipe orang yang banyak bicara dan dapat mencairkan suasana seperti Naruto. Aku apatis. Dan aku yakin Sakura pun cukup malu untuk memulai suatu percakapan denganku. Terlebih kita baru kenal kemarin sore.

Angin berhembus dengan kencang. Beberapa daun yang telah berubah warna menjadi kuning kemerahan ikut terbawa. Dari ekor mataku, aku melihat Sakura yang merapatkan jaket putihnya. Aku pun mengeratkan syal ungu tuaku.

Kemudian, berangsur-angsur awan kelabu datang. Mendung menghiasi kanvas alam. Aku tebak sebentar lagi hujan akan turun. Dari ekor mataku lagi, aku melihat Sakura menarik ritsleting tasnya yang dipenuhi strap berbandul kepala boneka beruang. Lalu, ia menarik keluar sebuah payung lipat berwarna kuning.

"Hujan sepertinya akan turun."

Aku terkesiap ketika suaranya menusuk gendang telingaku. Aku meliriknya dan mendapatinya tengah tersenyum kepadaku, "ya." Aku bingung merespon seperti apa.

Beberapa detik kemudian, sebuah sepeda motor berhenti di depan halte. Aku mengangkat kepalaku dan memerhatikan si pengendara motor yang mengenakan helm putih. Seragamnya sama dengan seragam Sakura. Namun, atensiku langsung beralih ketika gadis merah muda yang sejak tadi duduk sampingku berdiri. Aku memerhatikannya yang berjalan ke si pengendara motor.

Sakura berbicara sesuatu dengan si pengendara motor yang telah melepas helm-nya. Dari percakapan yang samar terdengar, aku tahu bahwa lelaki berkulit pucat itu adalah kekasih Sakura. Aku mendengus. Ia tak lebih tampan dariku.

Kemudian, aku melihat Sakura melangkahkan kakinya ke arahku. Aku tak mengerti apa yang hendak ia lakukan dengan berjalan ke sini, sementara—aku yakin—kekasihnya datang untuk menjemputnya.

"Ambillah. Aku yakin kau tak membawa payung."

Ia menarik tangan kananku dan meletakan payung lipat kuningnya di atas telapak tanganku. Setelahnya, ia melesat pergi bersama kekasihnya dengan senyuman yang tergores manis di wajahnya. Dan aku hanya bisa tergeming seperti orang bodoh.

Aku menggenggam payung lipat berwarna kuning ini dengan erat. Hari ini aku membolos pelajaran terakhir; mata pelajaran sejarah dengan Sarutobi-sensei sebagai gurunya, demi berdiri menyandar di depan gerbang Konoha Gakuen. Aku yakin besok Iruka-sensei—guru konseling—akan memanggilku dan menceramahiku hingga berjam-jam. Tapi aku tidak peduli. Yang penting aku dapat mengembalikan payung ini kepada Sakura.

Bel berbunyi nyaring. Berbondong-bondong murid Konoha Gakuen melewati gerbang sekolah mereka. Bukannya terlalu percaya diri, tapi ini memang sebuah fakta yang tak terbantahkan; sebagian besar siswi Konoha Gakuen melirikku yang bersandar di dinding gerbang Konoha Gakuen, dan setelahnya mereka merona ataupun berbisik-bisik dengan teman mereka.

"Dan ia memberikanku lukisan wajahku yang ia buat sendiri."

Aku mengenal suara ini. Walaupun, aku baru mendengarnya sejak dua hari lalu. Dan aku melihatnya yang berjalan bersama dua orang gadis. Bersama Yamanaka dan entah siapa. Tapi aku merasa familiar dengan gadis bersurai indigo pendek yang berjalan di sebelah kiri Sakura. Tapi siapa? Wajahnya tak terlihat karena ia menunduk.

"Sai romantis sekali. Aku iri padamu, Forehead. Shikamaru tak kunjung peka dengan perasaanku."

"A-aku turut ber-berbahagia untukmu, Sa-Sakura-chan."

"Terima kasih, teman-te— Uchiha-san?"

Ia melihatku; ia menyebut namaku dengan penuh keterkejutan dan aku langsung menegakkan tubuhku yang semula bersandar pada dinding gerbang Konoha Gakuen. Tapi aku tak menyangka bahwa gadis yang berjalan di sebalah kirinya, ternyata adalah—

"Sa-Sasuke-kun?"

"Hinata?"

—seseorang yang sangat ingin kuhindari saat ini.

...

A/N: Salam kenal. Author newbie yang perlu banyak bimbingan. Sila beri kritik dan saran ^^/