Disclaimer: I do not own Naruto

My Sasuke/Ino debut fic! Dedicated for SISTER Event! Written dearly for the woman who introduced me to this pairing, Sukie 'Suu' Foxie :D

Warning: OOC, one-sided ShikaIno, cheesy... really cheesy.

Enjoy folks!


Chapter 1

One Handsome Senior, Oh La La~

Sama sekali tak ada jalan untuk menghindar.

"Oh, ayolah Ino..." Seorang gadis cantik berambut pink menatap jijik pada kamar yang bak kapal pecah di hadapannya. Orang yang melangkah masuk ke ruangan ini pasti tak akan mengira bahwa ruangan ini adalah kamar tidur milik Ino Yamanaka. "Mau sampai kapan kau meratapi nasibmu di dalam... di dalam..." Si gadis pink berusaha menemukan kata yang tepat untuk mendeskripsikan kamar tersebut tanpa menyinggung temannya; namun tak berhasil, "... di dalam lobang tikus ini?"

"Tak bisakah kau menemukan kata yang lebih baik dari lobang tikus, Sakura?" kata sebuah suara sengau dari balik selimut di atas tempat tidur.

Sakura berjalan dengan menghentakkan kaki menuju jendela di seberang ruangan. Dengan sekuat tenaga ia membuka tirai yang sudah tertutup selama seminggu itu; membuat Ino yakin ia mendengar sedikit suara robekan dari kain tirainya.

"DEMI TUHAN! Kamarmu ini lebih jorok daripada kandang!" teriak Sakura sebelum membuka jendela lebar-lebar untuk membiarkan udara pagi musim panas masuk ke kamar tersebut.

Sakura dengan kejam menyibak selimut hingga menampakkan sesosok gadis berambut pirang, dengan kaki dan tangan sekurus tongkat pemukul baseball yang selalu ia simpan untuk memukul maling, terbaring lemah di atas ranjang. Si pirang itu merintih saat cahaya matahari pagi jatuh persis di wajahnya. Kalau saja Sakura tak ingat apa tujuannya mendobrak pintu apartemen Ino pagi itu, ia mungkin akan menangis melihat kondisi sahabatnya sekarang.

Gadis yang selama dua tahun berturut-turut memegang gelar sebagai Ratu Kecantikan sekolah terbaring dengan mengenaskan di atas tempat tidur. Rambut pirang yang selalu dibanggakannya lepek, berbentuk tak keruan. Sepasang mata birunya yang jernih kini tampak kusam dengan kantong mata hitam yang sanggup membuat seekor panda malu akibat tangisan yang tiada henti di malam hari. Dan apa itu? Jerawat? Sakura tak menyangka ia akan hidup pada hari dimana seorang Ino Yamanaka membiarkan setitik jerawat menodai wajahnya.

"Kau..." Sakura meraih pergelangan tangan Ino yang kurus, "Harus..." Dengan tenaga seorang kapten klub tenis putri, ia menarik sahabatnya, "BANGUN!" Dan untuk pertama kalinya dalam seminggu itu, Ino pun terpisah dari tempat tidurnya.

Dan sekarang terduduk di lantai.

Ya, memang tak ada jalan untuk menghindar dari Sakura Haruno... Ino seharusnya tahu itu dan memasang palang baja di depan pintu apartemennya agar si gadis brutal bermata hijau itu tak bisa mendobrak masuk.

Sakura ikut duduk di lantai disamping Ino. Wajahnya sedikit mengernyit melihat bertumpuk-tumpuk tisu yang menutupi lantai kamar sahabatnya. Setelah menyeret gadis itu keluar dari lobang tikus ini, mungkin dia akan menelepon petugas kebersihan.

"Aku tahu, Ino... Aku tahu ini berat untukmu. Tapi kau harus merelakannya. Kau masih muda... Masih banyak yang bisa kau lakukan daripada mengurung diri seperti ini." Sakura mengelus kepala Ino.

Si gadis pirang tak bergeming. Ia hanya menatap kosong pada satu titik di kejauhan.

"Aku benci melihatmu seperti ini, Ino. Tidak, melihatmu seperti ini membuatku marah! Aku rasanya ingin mengikat leher bajingan itu ke belakang mobilku kemudian menyeretnya sambil melaju di jalan tol." Sakura memeluk kepala Ino di dadanya, kemudian menghela napas, "Tapi sayang, Naruto mencegahku."

Seandainya Ino tidak sedang depresi, mungkin ia akan terkekeh pada usaha Sakura untuk membuatnya tertawa.

"Si Shikamaru itu memang bodoh, brengsek, buta. Bagaimana dia bisa memilih nenek-nenek seperti si Sabaku sementara dia memilikimu?"

"Tidak..."

"Hah?"

"Shika tidak bodoh... Kalau bodoh dia tidak mungkin memenangkan kompetisi-kompetisi sains itu."

"Kau tahu betul bukan bodoh seperti itu yang kumaksud, Honey."

"Pria normal manapun pasti akan memilih Temari Sabaku... daripada aku..."

"Oh Ino-ku yang malang..." Sakura berseru sambil memeluk Ino kencang-kencang. "Aku tahu si Sabaku itu cantik, pintar, brillian. Tapi si tolol Nara tak seharusnya meninggalkanmu seperti itu."

"Untuk apa dia bersama monster manja penuntut sepertiku kalau ia bisa mendapatkan malaikat seperti Temari Sabaku?"

"HUSH! Berhentilah mencaci dirimu seperti itu. Kau bukan monster manja, titik. Aku tak mau lagi mendengar yang seperti itu keluar dari mulutmu." Sakura menarik Ino dari pelukannya untuk menatap wajah gadis itu. Wajah Ino yang dulu selalu mulus dengan make-up sempurna kini penuh dengan bekas air mata yang sudah mengering. "Kau cantik, Ino. Sudah waktunya kau berhenti menangisi masa lalu. Saatnya untuk membuat masa depan!"

"Aku... Entahlah... Kupikir... Shikamaru sudah ditakdirkan untukku..."

"Tapi dia tak berpikir demikian!"

"Kau benar..."

"Ayolah! Shikamaru sudah memilih jalannya. Kau juga harus melakukan hal yang sama! Kau tak boleh kalah darinya! Apalagi kudengar sekarang ia sedang berlibur bersama Temari Sabaku di Okinawa. Apa yang akan mereka katakan kalau sampai mereka melihatmu begini? Kau harus menunjukkan kalau kau sudah pulih dan melupakannya!" ujar Sakura berapi-api sambil mengepalkan tangan. "Lagipula ini 'kan musim panas! Musimnya Ino Yamanaka! Mana semangat musim panasmu?"

Biasanya kalau Sakura sudah mengucapkan kalimat seperti itu, Ino pasti akan menyambutnya dengan menyorakkan sesuatu. Namun dengan kondisinya sekarang, hal maksimal yang bisa ia lakukan hanyalah tersenyum lemah. Itu pun sudah membuat Sakura senang luar biasa.

Bagi Ino, meskipun Sakura berisik dan terkadang menyebalkan, ia tahu ia tak akan pernah bisa menemukan sahabat sesetia si gadis berambut pink itu di belahan dunia manapun.

"Dari mana kau tahu Shika dan Temari Sabaku sedang liburan?" tanya Ino sambil menyandarkan kepalanya di bahu Sakura.

"Tentu saja dari adiknya yang paling kecil itu! Siapa lagi namanya? Gaara kalau ga salah. Adiknya itu mengencani Hinata sekarang."

"Aku tak melihat hubungannya denganmu... Hinata 'kan mantannya Naruto?"

"Duh! Justru karena Hinata itu mantannya Naruto makanya aku kenal dia. Malahan sekarang kami lumayan akrab. Anaknya baik sih. Siapa tahu nanti kau juga bisa berteman sama si Temari Sabaku? Ouch!" Sakura meringis akibat pukulan Ino di pahanya. "Untuk apa itu?" serunya.

"Sampai kimat pun aku tak akan mau berteman dengan Temari Sabaku." Ino sudah menegakkan badannya sekarang, ekspresi wajahnya serius.

"Ya, ya, setiap orang 'kan beda-beda." Sakura menjulurkan lidahnya, "Jadi... Apa yang akan kau lakukan setelah mendengar mereka sedang liburan? Kau tak ingin mencobanya juga, hm? Liburan?" Sakura menggerakkan alisnya naik turun dengan sugestif.

"Kurasa..." Ino memulai lambat-lambat, "...itu tujuan awalmu datang kemari?"

Sakura menyeringai, "Oh, tentu saja." Ia berdiri, kemudian menarik tangan Ino untuk membantu gadis itu berdiri, "Orang macam apa yang mau melihat sahabatnya bermuram durja seperti ini terus?" Ia mendudukkan Ino di ranjang. "Tapi sebelumnya... Pertama-tama kita harus membersihkan dirimu dulu. Kau bau sekali seperti babi."

Kalimat tersebut tentunya memancing pukulan lain pada lengan Sakura.


Ino Yamanaka berdiri di ruang tengahnya sambil menatap kosong ke arah sebuah kalender yang tergantung di dinding. Delapan. Sudah delapan hari berlalu sejak malam itu, malam dimana Shikamaru mendatangi apartemennya kemudian secara sepihak memutuskan hubungan mereka. Delapan hari sudah berlalu bagi Ino Yamanaka, tanpa tidur, tanpa makan yang teratur, dan tanpa melihat cahaya matahari.

Semua tanda-tandanya sudah ada di depan mata, namun Ino tetap menolak mengakui bahwa Shikamaru sudah berhenti mencintainya. Atau dari awal lelaki itu memang sama sekali tak pernah mencintainya?

Semuanya sudah ada disana; Ino yang terjaga sampai larut malam menunggui telepon Shikamaru, Ino yang dibuat menunggu selama dua jam pada janji kencan mereka, Ino yang tertidur di ruang makan menunggui Shikamaru yang berjanji akan datang makan malam, Ino yang menemukan pakaian dalam wanita lain di tumpukan pakaian kotor lelaki itu... Oh, dan jangan lupakan inbox Shikamaru yang dipenuhi email mesra dari Temari Sabaku.

Ia sudah melihat semuanya, namun dengan bodoh mengabaikannya dan malah terus meyakinkan dirinya bahwa ini adalah sebuah ujian dari Tuhan untuk melihat seberapa besar kesetiaannya pada kekasihnya.

Ketika Shikamaru dengan terus terang berkata bahwa ia tak lagi mencintainya, Ino merasa wajahnya baru saja dihantam oleh sebuah pemukul bisbol. Ia terlalu syok untuk berkata apapun. Pria yang paling dicintainya di dunia ini dengan jujur meminta untuk mengakhiri hubungan mereka, karena ia sudah jatuh cinta dengan wanita lain.

Kalau saja Ino bukan seorang penganut agama Katolik yang taat, ia mungkin sudah mengambil pisau dapur dan memotong nadinya saat itu juga.

Tapi tidak, ia tak melakukan hal sebodoh itu.

Ino malah melakukan hal yang lebih bodoh lagi, yakni mengurung diri di apartemennya, tanpa lampu, tanpa cahaya matahari, menyiksa dirinya sendiri dengan pikiran-pikiran bahwa semua ini terjadi karena kesalahannya.

Mungkin dia terlalu berisik, atau terlalu menuntut? Ino sadar bahwa selama empat tahun hubungan mereka, Ino selalu saja merecoki Shikamaru. Dari dekorasi apartemennya, pakaiannya, makanannya, Ino selalu mengatur semuanya. Mungkin Shikamaru sudah muak pada cewek pirang bermulut besar ini?

Atau mungkinkah karena penampilannya? Mungkin dia terlalu pucat... atau terlalu gemuk? Ino pernah bertemu pacar baru Shikamaru beberapa kali. Perempuan itu adalah pelatih klub renang SMA mereka. Tak diragukan lagi Temari Sabaku memang punya tubuh yang indah bak seorang model, ditambah lagi kulit cokelat naturalnya yang eksotis. Tak heran klub renang banyak peminatnya, termasuk Shikamaru.

Ino menghela napas, kemudian memutuskan bahwa sudah cukup baginya memandangi kalender hari itu. Ia pun menyeret langkahnya menuju piano hitam di seberang ruangan.

Satu-satunya hal yang menghubungkan gadis pesolek seperti Ino dan pemuda pemalas seperti Shikamaru adalah musik. Keduanya sangat senang bermain piano. Apalagi Ino. Piano up-right hitam itu pun mereka pilih bersama waktu merayakan satu tahun anniversary mereka.

Piano ini menyimpan banyak kenangan manis diantara mereka berdua. Terlalu banyak malahan, hingga Sakura menyarankan untuk menjualnya.

Atau kalau tak ada yang mau membelinya, kau sumbangkan saja untuk sekolah, begitulah kata Sakura.

Tapi tentu saja Ino tak bisa menemukan setitik pun keberanian dalam dirinya untuk menjual piano yang tanpa ia sadari sudah menjadi belahan jiwanya tersebut.

Setelah mengambil posisi, Ino langsung memainkan sembarangan nada yang pertama kali muncul di kepalanya. Ia bahkan tak tahu lagu apa yang dimainkannya. Saat jari-jarinya menari diatas tuts-tuts piano, Ino tak bisa mencegah dirinya untuk tidak mengenang kembali masa-masa indah yang dihabiskannya bersama Shikamaru.

Sejak dia memutuskanmu dengan cara seperti itu, dia tak lagi punya arti apa-apa dalam hidupmu! kata-kata Sakura saat 'berkunjung' ke apartemennya kemarin kembali terngiang.

Itu tidak benar.

Bagi Ino, Shikamaru adalah segala-galanya.

Kau pantas mendapatkan yang lebih baik!

Shikamaru adalah hal terbaik yang pernah terjadi di dalam hidupnya. Karena kebodohannya-lah lelaki itu meninggalkannya.

Kau perlu bertemu dengan orang banyak Ino! Menyendiri seperti ini hanya akan membuatmu berpikir macam-macam.

Ino sudah tahu, cepat atau lambat Sakura pasti akan menyeretnya keluar dari apartemennya.

Alunan suara piano di ruangan itu mendadak berhenti. Ino sudah meletakkan kedua tangannya di pangkuannya. Matanya yang sebiru langit terpaku pada sebuah kopor yang tergeletak di dekat kaki piano-nya.

Sudah sejak kemarin kopor itu berada disitu. Tepat setelah Sakura membuat Ino mandi secara paksa, gadis berambut pink itu menelepon seorang petugas kebersihan. Begitu pria dari agen petugas kebersihan itu datang, Sakura langsung memberinya instruksi untuk membuat apartemen Ino kembali terlihat seperti baru, sementara kedua gadis itu mengosongkan isi lemari Ino ke dalam sebuah kopor. (Lebih tepatnya Sakura yang melakukannya, Ino hanya duduk diam menonton.)

Setelah si petugas kebersihan selesai, Sakura memberinya tip yang besar karena pria itu sekalian membetulkan pintu Ino yang dirusaknya tadi. Si gadis pirang mengamati semua adegan ini dengan bingung. Ia tahu Sakura pasti merencanakan suatu liburan, tapi ia tak menyangka akan secepat ini.

Besok akan kujemput kau. Jangan coba-coba mengembalikan isi kopor ini ke dalam lemari ataupun mengurung dirimu lagi! Kau tahu aku bisa berbuat nekat!

Kalau Sakura Haruno berkata seperti itu, artinya dia tidak main-main. Dia mungkin akan memanggil pasukan pemadam kebakaran untuk menyeret Ino keluar kalau diperlukan.

Ino melirik arloji di pergelangan tangan kanan-nya. Sudah jam setengah dua. Tapi Sakura sama sekali belum menunjukkan tanda-tanda akan datang. Kalau ia tak salah dengar, kemarin sahabatnya itu berkata akan datang menjemputnya sekitar jam makan siang. Jam makan siang mereka biasanya antara jam dua belas sampai setengah satu. Jadi... si cherry blossom itu terlambat, pikir Ino dongkol.

DING DONG!

"Panjang umur dia..." gumam Ino sembari bangkit dari kursinya. Memang sudah seharusnya dia datang sekarang. Ino bergegas menuju pintu.

DING DONG!

"Ya ya!" Ino bahkan tidak repot-repot mengintip melalui lubang pintu untuk melihat siapa yang membunyikan belnya. Dia sudah seratus persen yakin kalau orang itu adalah sahabat yang dari tadi ditunggunya.

"Kau terlam-... Oh my."

Tatapan mata Ino yang biru jatuh pada dada bidang di hadapannya. Ia harus sedikit menjauh untuk dapat memandang wajah dengan sepasang mata gelap paling memesona yang pernah dilihatnya. Mata hitam itu begitu mengagumkan, dihiasi bulu mata tebal dan lentik. Alisnya yang rata melengkung indah di atas mata yang menatapnya sedalam tatapannya sendiri ke mata laki-laki itu.

Sakura tidak operasi plastik, kan? –adalah hal pertama yang terlintas di benak Ino.

Ino segera menghindari tatapan laki-laki itu. Pandangannya kemudian jatuh pada hidung dengan bentuk indah, pipi yang agak cekung, dan tulang pipi yang menarik. Akhirnya ia kembali menatap mata indah yang masih memandangnya lekat-lekat itu.

Secara keseluruham wajah itu merupakan perpaduan maskulin paling sempurna yang pernah dilihat Ino. Tentu saja selain wajah Shikamaru.

Dengan sedikit tergagap Ino berkata, "A-Apa anda salah pintu?"

Laki-laki itu menggelengkan kepalanya yang berambut sehitam matanya. "Kurasa tidak."

Jawabannya membuat Ino melongo. Jangan-jangan Sakura memang operasi plastik...?

"Kurasa ya... Kecuali, kalau kau sahabatku yang baru saja operasi plastik." Oke, jawaban itu sama sekali tak terdengar cerdas. Ino mengutuki dirinya karena lagi-lagi mengucapkan hal bodoh yang pertama kali terlintas dalam kepalanya.

Mata lelaki itu bersinar geli. Dan saat itulah Ino menyadari, lelaki di hadapannya ini terihat berumur tak jauh berbeda darinya. Bibirnya sama sekali tak bergerak saat ia berkata dengan nada datar, "Kau tak mengenaliku?"

Ino menelengkan kepala ke samping, dahinya mengernyit. Ia yakin ia sama sekali tak mengenal lelaki ini. Dengan wajah seperti itu, mustahil ada orang yang bisa melupakannya. "Maaf, saya tidak tahu..."

Lelaki itu menurunkan pandangannya, "Ternyata benar kata orang-orang." gumamnya. Belum lagi Ino bisa menyanyakan apa kata 'orang-orang', lelaki itu sudah mendahuluinya, "Haruno mengirimku kemari."

Meskipun sedikit, Ino pun mulai mengerti alasan si orang ganteng ini bisa nyasar ke pintunya. "Memangnya apa yang dilakukan Sakura hingga ia begitu sibuk dan tak bisa menjemputku?"

"Dia menunggu di bawah, bersama Naruto. Dimana kopormu?" Ia melihat ke belakang Ino.

Ino mundur ke belakang, mempersilahkan lelaki itu masuk. "Sebentar, aku akan mengambilnya."

Si pirang masih belum begitu mengerti mengapa si lelaki ganteng misterius ini mau repot-repot naik ke sini hanya untuk menjemputnya. Kalau Sakura memang terlalu malas untuk naik ke sini, dia bisa saja meneleponnya.

Saat itulah Ino baru ingat, ia tak punya sambungan telepon di apartemennya. Ia memotong kabelnya beberapa hari yang lalu untuk mencegah dirinya agar tidak meneleponi Shikamaru dan memohon-mohon pada lelaki itu untuk kembali padanya. Ino bahkan sampai nekat merendam telepon genggamnya dalam bak cuci piring sampai benda itu rusak supaya ia tak tergoda mengirim SMS ke mantan pacarnya itu.

Tapi absennya telepon masih tak bisa menjelaskan mengapa si lelaki ganteng ini menuruti permintaan Sakura.

Apa jangan-jangan si cowok ganteng ini punya hubungan khusus dengan Sakura? Eh, tapi Sakura kan pacaran sama Naruto? Eh... ini semakin membingungkan!

Ino memejamkan mata untuk menghentikan rentetan dugaan yang terbentuk di kepalanya.

"Ini kopormu?" Si cowok ganteng mengangguk ke arah kopor abu-abu di kaki piano.

"Ya."

Tunggu dulu. Kalau dia berada disini menjemputku... Jangan-jangan... dia...

"Umm... Maaf. Apa secara kebetulan kau ikut dalam liburanku bersama Sakura?" tanya Ino hati-hati. Mendengar pertanyaannya, gerakan lelaki itu yang ingin menarik kopor terhenti sebentar.

Ia melempar sebuah seringai kecil pada Ino sebelum menjawab, "Begitulah."

Ino mengangguk-angguk. "Kau... temannya Naruto?" Apa lagi yang bisa disimpulkan Ino? Kalau lelaki ini temannya Sakura, mustahil Ino tak mengenalnya. Jadi satu-satunya penjelasan yang masuk akal adalah percaya atau tidak, orang ganteng ini temannya si konyol Naruto.

"Ya. Hey, roda kopormu rusak ya?" tanyanya sambil mengecek bagian bawah kopor Ino.

"Umm... iya. Maaf. Aku tidak punya kopor lain." Ino mendekatinya, "Aku bisa menyeretnya kok." Seharusnya Ino tadi mengangkatnya berdua dengan Sakura. Tapi sekarang perempuan itu malah membuatnya terjebak bersama orang asing yang belum dikenalnya ini. Maka, ia pun tak punya pilihan lain kecuali menyeretnya sendiri.

Dasar si jidat lebar itu!

"Tidak usah." Sebelum Ino bisa ngotot, lelaki itu sudah mengangkat kopor yang Ino yakin beratnya mencapai dua puluh kilo itu ke pundaknya. Sakura bilang mereka akan berlibur selama dua minggu, jadi dia tidak tanggung-tanggung saat mengemasi kopor itu. Ino hanya bisa ternganga menatap lelaki di hadapannya. "Kau pastikan saja semua jendela sudah terkunci."

"Eh? Kumohon! Jangan repotkan dirimu! Turunkan saja kopornya. Kita bisa mengangkatnya berdua."

"Aku baik-baik saja." Ia berbalik menuju pintu, "Kutunggu kau di luar."

Belum lagi Ino bisa melontarkan alasan-alasan lain, lelaki itu sudah berada di koridor luar. Dia pun terpaksa menuruti cowok itu dan memastikan semua jendela terkunci, kompor tidak menyala, dan semua listrik padam. Setelah selesai, ia langsung mengambil tas tangannya dan berlari keluar. Ia tak ingin membuat si cowok asing baik hati itu berdiri terlalu lama dengan beban seberat dua puluh kilo di punggungnya.

Ini pertama kalinya ada orang asing yang secara sukarela melakukan ini padanya. Bahkan saat dulu bersama Shikamaru. Mereka berdua selalu menggotong kopor itu bersama-sama layaknya sepasang kekasih.

Tapi kalau dipikir lagi, Shikamaru memang bukanlah tipe laki-laki macho. Jauh berbeda dengan lelaki ganteng yang sedang menunggunya mengunci pintu apartemennya ini.

Begitu urusan dengan pintu selesai, mereka berdua langsung turun menggunakan lift.

"Maafkan aku. Padahal kita belum saling kenal. Tapi aku sudah merepotkanmu." kata Ino dengan nada menyesal.

"Sudah kubilang tak apa." sahut lelaki itu dengan nada datar. Ekspresi wajahnya sama sekali tak berubah meskipun dengan beban ekstra di punggungnya. "Lagipula, aku mengenalmu."

Kata-kata itu menarik perhatian Ino. "Eh? Benarkah?"

"Tentu saja. Kita kan..."

DING.

Pintu lift terbuka saat mereka mencapai lantai dasar. Lelaki itu tak menyelesaikan kalimatnya dan langsung keluar menuju lobi. Ino mengikutinya dari belakang. Di kejauhan ia bisa melihat Naruto dan Sakura sedang bercanda di dekat pintu masuk.

Ketika melihat mereka, pasangan itu menoleh kemudian melambai. Hanya saja, saking tak bisa menahan kegembiraannya karena melihat Ino, Naruto pun berteriak-teriak, "INO! INO! AKU TAK PERCAYA KAU BENAR-BENAR TURUN!" serunya seakan-akan Ino yang keluar dari apartemennya adalah suatu keajaiban Tuhan.

Teriakan Naruto membuat semua orang di lobi melempar pandangan aneh ke arah mereka. Sakura terpaksa menjitaknya untuk mencegahnya mempermalukan dirinya lebih jauh lagi.

Begitu Ino sampai di tempat Sakura, ia tak membuang waktu dan langsung mencecar gadis itu. Tentunya dengan berbisik supaya tak terdengar para laki-laki. "Sama sekali tidak lucu, Sakura. Apa-apaan maksudmu menyuruh orang lain menjemputku ke atas? Kau tak tahu betapa canggungnya tadi saat dia membawa koporku? Kau tahu? Koporku yang beratnya dua puluh kilo itu! Lagipula kenapa sih bukan kau saja yang naik ke atas?"

Sakura hanya menyambut kata-kata Ino dengan gelak tawa.

"Tunggu disini. Aku akan ambil mobil," kata si cowok yang namanya masih belum Ino ketahui itu. Ia pun melenggang keluar diikuti Naruto, meninggalkan para cewek menunggu di lobi bersama bagasinya Ino.

"Jadi... siapa itu? Kenapa kau akrab sekali dengannya sampai-sampai kau bisa menyuruhnya jadi kuli angkat barang?"

Tawa Sakura meledak lagi setelah mendengar kata-kata Ino. "Kukira itu cuman gosip, tapi ternyata yang orang-orang bilang benar, ya?" Ia tertawa lagi.

"Apa sih sebenarnya yang dikatakan orang-orang? Cowok itu tadi juga ngomong begitu."

"Kau ini ya Ino..." Sakura menjitak kepala temannya, "...benar-benar cuek."

"Ouch! Untuk apa itu?" Ino meringis sambil memegangi kepalanya. "Kalau aku cuek, aku tak akan mau ikut liburan ini."

"Kau betul-betul tak tahu siapa cowok yang mengangkat barangmu itu?"

Ino menggeleng dengan sebal. Memangnya cowok itu artis sampai-sampai Sakura tak percaya kalau Ino tak mengenalinya?

"Makanya... kalau di sekolah itu jangan hanya ngeliatin Shikamaru saja. Lihat juga cowok lain di sekelilingmu! Dia itu Sasuke Uchiha, setahun di atas kita, teman sekelasnya Naruto, kapten tim sepak bola! Memangnya selama ini kau kemana saja sih sampai tak mengenalinya?"

Ino hanya bisa melongo mendengar penjelasan Sakura. Sasuke Uchiha... Sasuke Uchiha... Rasanya dia memang pernah mendengar nama itu sekali atau dua kali. Tapi ia tak memedulikannya. Sebagai kapten tim sepak bola, seharusnya seluruh sekolah mengenal Sasuke Uchiha, karena dia sudah berkali-kali berpidato untuk timnya di depan seluruh murid apabila memenangkan suatu kejuaraan.

Bagaimana aku bisa begitu bodoh?

Pantas saja cowok itu tadi terlihat kaget saat ia berkata tak mengenalinya tadi.

Ya Tuhan! Aku pasti terlihat seperti cewek jalang sombong yang tak peduli pada apapun kecuali dirinya sendiri!

"Lalu... Apa yang dilakukannya bersama kita sekarang?" tanya Ino yang baru sembuh dari kekagetannya.

"Ino! Jangan berkata seolah-olah dia yang mengintili liburan kita!"

"Aku tidak berkata seperti itu. Aku hanya bertanya..."

"Dia itu orang yang menawarkan Naruto untuk ikut liburan bersamanya, di villanya, dengan menggunakan mobilnya! Dengan kata lain, dia sponsor utama liburan ini!"

"APA?"

"Kaget 'kan? Ya, aku juga kaget. Apalagi waktu dia bilang..."

BEEP.

Suara klakson lembut terdengar, membuat Ino dan Sakura menoleh. Tepat di depan mereka terparkir sebuah Carrera GTS, dengan tak lain tak bukan Sasuke Uchiha sendiri di belakang kemudinya. Atap mobil tersebut sudah diturunkan, membuatnya sempurna untuk digunakan pada cuaca cerah seperti hari itu. Kali ini Ino berhasil menjaga ekspresinya tetap datar, meskipun di dalam hati ia ber-ooh dan aah karena selama ini ia pikir ia hanya akan mungkin melihat mobil itu di TV.

Namun sekarang, ia akan pergi berlibur dengan menggunakan mobil ini!

Tidak seperti Ino, tanpa malu-malu Sakura langsung loncat masuk seakan-akan mobil tersebut miliknya. Ino rasanya ingin meneriaki sahabatnya itu. Namun menahan diri ketika Sasuke turun dari mobil untuk membantu Ino memasukkan kopornya ke bagasi.

"Tidak usah Uchiha-san." Ino mengangkat tangannya untuk menghentikan Sasuke yang sudah siap mengangkat kopor itu lagi. "NARUTO! KEMARI! ANGKAT INI!" teriak Ino layaknya seorang diktator.

Belum lagi Naruto bisa mencerna kata-kata Ino, Sasuke sudah mengangkat kopor itu dan membawanya ke bagasi mobilnya, membuat Ino makin merasa tak nyaman.

"Jadi kau sudah tahu namaku, ya?" katanya setelah misi pengangkutan barang bawaan Ino selesai.

"Iya..." Mereka berdua berdiri di belakang mobil. Ino menunduk malu, sementara Sasuke menyilangkan kedua lengannya di depan dada sambil menatap gadis di hadapannya dengan intens. "Maafkan aku, Uchiha-san. Seperti yang kau bilang... Yang orang-orang katakan itu benar."

"Uchiha-san itu kakakku. Namaku Sasuke."

"Oh," Ino sedikit bingung dengan kata-kata tersebut, namun tetap mengangguk. "Baiklah, Sasuke-san."

"Aku turut prihatin." kata lelaki itu tiba-tiba.

Tanpa bertanya, Ino sudah tahu apa yang dimaksud cowok itu. Dia sedikit terkejut karena orang seperti Sasuke ternyata juga mendengar tentang hubungannya dengan Shikamaru. Ia pun tersenyum lemah, kemudian berkata, "Tidak apa-apa... Kuharap liburan ini bisa membantuku."

Saat itulah Ino tiba-tiba teringat akan pertanyaan yang sejak tadi mengganggu benaknya. Ia sudah berniat menanyakan hal ini pada Sakura sejak kemarin, namun karena sahabatnya itu tak pernah berhenti nyerocos, pertanyaan ini pun terus-terusan terlupakan. Tapi ia akan menyakannya sekarang, pada orang yang menjadi sponsor utama acara liburan mereka.

"Ngomong-ngomong, Sasuke-san..."

"Hn?"

"Kita akan pergi kemana?"

Sepasang mata gelap milik lelaki itu berbinar geli. Ino bisa merasakan tatapan laki-laki itu menyusuri setiap inci wajahnya, membuatnya ingin menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Namun ia menahan keinginan tersebut.

"Aku tak percaya kau menerima ajakan liburan seseorang tanpa tahu kau akan kemana dan pergi dengan siapa."

"Well, awalnya aku memang tak tahu akan pergi denganmu, tapi aku tahu aku akan pergi bersama Sakura." ujar Ino defensif.

Sasuke menyentuh poni panjang Ino yang jatuh menutupi sebelah matanya. Dengan lembut ia menyelipkan poni pirang tersebut ke belakang telinga gadis itu, membuat sepasang mata aquamarine tersebut menatap langsung ke dalam sepasang mata gelap di hadapannya. Tanpa sadar Ino menahan napasnya saat wajah Sasuke perlahan-lahan mendekati wajahnya.

Bibir lelaki itu mendekati telinganya, kemudian berbisik, "Kita akan pergi ke suatu tempat yang akan membuat rambut pirangmu ini makin mencolok."

"WOIII INO! SASUKE! NGAPAIN KALIAN NGOBROL DI SITU? UDAH SIANG NIH! TAR KITA SAMPENYA MALEM!" teriak Naruto tanpa malu-malu, memancing perhatian para pejalan kaki.

Sasuke menjauhkan dirinya dari Ino, "Naruto benar. Kita harus berangkat sekarang."

Setelah Sasuke berada pada jarak yang aman, Ino pun melepaskan napasnya perlahan-lahan. Ia menelan ludah saat menyadari jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Saat naik ke kursi penumpang di belakang, ia berusaha menenangkan dirinya.

Tenanglah Ino! Kau hanya tertarik pada wajah ganteng cowok itu! Satu-satunya orang yang kau cintai hanyalah Shikamaru!

Ino bernapas lega mendengar batinnya sendiri. Itu benar. Dia berdebar-debar hanya karena wajah Sasuke sangat tampan. Bukan karena hal lain.

Daripada itu...

Ino mengeluarkan sunglass dari tas tangannya. Setelah mengenakannya, ia merebahkan kepalanya pada jok di belakangnya sambil menengadah menatap matahari yang menyinari bumi tanpa ampun.

Sudah lama ia tak berlibur ke pantai.


A/N: Yak, itulah chapter pertama. Doakan saya supaya bisa selesai akhir Agustus ini yah! Gak bakal panjang-panjang kok! ehehehe. Saya tahuuu cheesy banged romancenyaa! Tapi opini kalian tentang cerita ini akan sangaaat saya nantikan. Kalo ada kritik atau saran juga monggo di review~ hehehe ^^V

See ya in the next chapter,

xoxo
shiorinsan