Namanya Arthur Kirkland.

Seorang pemuda berdarah Inggris yang menurut sebagian orang adalah simbolisme dari kata sempurna dalam artian yang sebenarnya. Bukan tanpa sebab sebetulnya, mengingat yang dilihat orang hanyalah fisik yang di atas rata-rata dan limpahan harta. Oh, betapa naif kacamata pandang mereka.

Namanya Arthur Kirkland.

Salah satu dari dua pewaris keluarga Kirkland yang menggariskan keturunannya sebagai keluarga tanpa celah adanya anomali. Keluarga yang tak pelak menjadi gerigi dalam atmosfer hitam tak terbagi. Keluarga dalam kungkungan budi pekerti. Keluarga hitam putih yang monoton dan selalu membawanya dalam liarnya jalan imaji. Keluarga dimana kau bahkan tak bisa mengucap harap untuk riuh rendah tawa dari hati, ataupun kasih sayang frontal tak terbagi. Tak berarti.

Namanya Arthur Kirkland.

Seorang pemuda biasa yang menyandang nama yang mampu mengejawantah rasa biasa menjadi hormat tak terhingga hanya dalam hitungan waktu. Sungguh, telaah kembali—dia hanyalah pemuda yang masih ingin berpolah sesuai umurnya dengan mengesampingkan semua anggapan mengenai dirinya dan keluarganya. Perduli setan dengan itu semua. Ia tak bisa untuk lebih tidak perduli lagi.

Namanya Arthur Kirkland.

Satu dari sekian banyak manusia di dalam dunia yang didominasi kefanaan. Satu dari berbagai eksistensi yang memutuskan untuk menjadi hipokrit dengan mengenakan topeng ilusi berkontur ekspresi. Dan juga satu dari bermacam dinamika entitas yang memiliki yang dengan keji membunuh kebenaran dirinya sendiri dan mensubtitusikannya dengan sebuah patung es tanpa hati.

Ya, namanya Arthur Kirkland.

Perfection

Hetalia Axis Power © Hidekaz Himaruya

Perfection © Golden Marionette

Warning: Shounen-ai, AU, OOC, cross-dressing, don't like don't read. I've warned you.

Genre: Romance/Drama

Happy reading!

Kesampingkan ada di mana jarum panjang dan jarum pendek sekarang, atau betapa kelamnya warna di horizon, atau fakta bahwa ada tumpukan kertas setebal 30 senti yang menunggu untuk diteliti. Abaikan semua itu—sekali lagi, abaikan.

Karena, kawan, Arthur Kirkland masih karus mencapai destinasi.

Melewati koridor gelap pengap berbau asap, pemuda dengan darah Inggris itu melangkahkan kakinya penuh sirat determinasi. Langkahnya yang derap-berderap bergema pelan dalam senyap kesunyian. Ketidakadaan eksistensi lain yang berlalu-lalang jelas mengurangi probabilitas terbongkarnya identitas. Hey, meskipun Arthur tidak memperdulikan nama keluarganya, ia masih waras untuk tidak mau dikenali orang—tidak di tempat seperti ini.

Topeng hitam menutupi sebagian wajah Arthur, memang. Tapi, hal itu tidak mengartikan bahwa indikasi mengenai identitasnya tidak akan terbongkar. Bisa saja sebaliknya, bukan? Maka, untuk menekan kemungkinan tersebut, Arthur memilih untuk menyempurnakan kamuflasenya dengan jaket hitam berhoodie yang melapisi T-Shirt putih koleksi musim gugur 2010 rancangan Jeremy Scott. Oh, dan jangan lupakan celana denim dan juga sneakers hitam Rick Owens.

Cih, kalau bukan karena pemuda Russia itu, Arthur tak akan pernah menjejak di tempat seperti ini.

Omong-omong soal tempat, nampaknya sang pemuda Kirkland itu sudah mencapai tempat tujuan. Di hadapannya sekarang berdiri dengan angkuh pintu dengan dua daun pintu berwarna sekelam langit malam. Arthur menatap pintu itu dengan pandangan nanar yang merefleksikan keraguan dalam dirinya. Tanpa sadar, Arthur mengepalkan tangannya—membuat buku-buku jarinya memutih.

Heck, cukup sudah distraksinya.

Dan tanpa pemikiran ulang, pemuda yang secara leluri terbiasa dalam lingkup penuh kedisiplinan etika tersebut mendorong daun pintu—

Krieeeet

—membuatnya melihat pemandangan yang bisa saja merubah kestatisan warna monoton dalam kanvas bernama kehidupan yang Arthur miliki.

~XxXxX~

Gelap.

Gelap.

Gelap.

Perlahan kelopak mata itu terbuka, walau hanya untuk mendapati keadaan yang tak berbeda dari alam bawah sadar—kegelapan. Detik kemudian ia menyadari bahwa kegelapan itu bukan berasal dari matanya, melainkan kain yang menutupi kedua matanya. Secara impulsif, pemuda pemilik mata tersebut bangkit dari posisinya untuk berada dalam posisi duduk. Secepat itu ia bangkit, secepat itu pula ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya.

Indera pendengaran sang pemuda berambut hitam tersebut menangkap suara-suara percakapan yang ia yakini dilakukan oleh banyak orang. Suara-suara yang saling bertubrukan itu membuat kepalanya pening selama beberapa sekon. Sang pemuda kemudian menarik nafas dalam sebelum menghembuskannya untuk menetralisir rasa sakit di kepalanya sehingga ia bisa menarik konklusi yang empiris.

"Ah, sungguh manis sekali."

"Ia terlihat buruk dengan baju compang-camping itu."

"Omong kosong. Tak bisakah kau lihat wajah Asia cantik di balik penutup mata itu? Dia pastinya akan mendatangkan limpahan uang."

Tersentak, pemuda tadi menolehkan kepalanya ke arah kanan dan kiri. Percuma—ada kain yang menutupi indera penglihatannya, ingat? Merasa hal itu sia-sia, pemuda berambut hitam tersebut mulai merekapitulasi kejadian-kejadian yang rasanya baru ia alami barusan.

Semua bermula saat Wang Yao menghantamkan botol minuman keras ke kepalanya... lalu orang-orang berbaju hitam datang... lalu terjadi pertengkaran mulut antara orang-orang berbaju hitam dengan Wang Yao... kemudian terdengar desingan peluru... kemudian... kemudian ia melihat genangan zat pekat berwarna merah... lalu apa? Ah, benar, seorang di antara orang berbaju hitam memukulnya dan menariknya keluar dari rumah sempit itu... lalu, yang ia lihat kemudian adalah kobaran berwarna merah mendominasi pandangannya... kemudian ia merasakan hantaman di tengkuk yang membawanya ke dalam alam bawah sadar.

Tubuh pemuda itu mulai bergetar hebat akan kesadaran tak terkilah—Wang Yao telah meninggalkan kefanaan dunia yang begitu ia puja. Tak digubrisnya percakapan memuakkan yang masih berlangsung—sang pemuda Asia Timur itu begitu larut dalam kenyataan bahwa dirinya kini sendiri.

Tidak akan ada lagi bentakan yang disertai pukulan tanpa helaan.

"Dua ratus ribu dollar!"

Tidak akan ada lagi hantaman keras dari botol minuman keras.

"Dua ratus lima puluh dollar!"

Tidak akan didengarnya gerutuan dingin penyembunyi kekhawatiran saat ia pulang larut malam.

"Tiga ratus dollar!"

Tidak akan dikecapnya masakan Asiatik yang selalu terhidang di atas meja rumahnya.

"Lima ratus dollar!"

Karena dirinya kini sendiri—baik secara harfiah ataupun tidak. Kenyataan itu membuat tetesan dari matanya mengalir mengikuti gaya gravitasi. Air mata itu mengalir begitu saja tanpa terdengar isakan.

"Seratus juta dollar."

Tunggu.

Kenapa ruangan menjadi hening? Lalu... apa tadi yang didengarnya? Benarkah suara yang tadi beresonansi di telinganya menyatakan bahwa ada entitas yang akan membelinya dengan harga sebegitu tinggi? Oh, pastilah kelima inderanya mulai berfungsi secara tidak normal sekarang atau itu hanyalah ilusi dalam vakum waktunya. Konyol sekali, mana ada orang waras yang mau membeli manusia yang bukan berada di strata atas dengan harga —

"Seratus juta dollar. Aku akan membelinya dengan harga seratus juta dollar."

Detik itu juga, pemuda Asia Timur bernama Honda Kiku tersebut meyakinkah bahwa kini dirinya tengah berdelusi.

~XxXxX~

Adalah sebuah hal tergila bagi Arthur Kirkland untuk menginjakkan kakinya di ruangan yang dipenuhi oleh asap hitam manifetasi dari nurani. Ia sadar betul di mana ia sekarang—tempat pelelangan manusia.

Tempat itu cukup besar dengan jendela tinggi berbingkai yang tertutup seluruhnya oleh tirai yang menyembunyikan dunia luar akan dunia gelap manusia. Deretan bangku-bangku panjang yang berundak yang menjadikan ruangan tersebut identik dengan ruangan di dalam bioskop. Namun—tentu saja—tak ada layar besar terpampang. Alih-alih layar pemutar film yang tengah beredar, Arthur justru mendapati seorang pemuda dengan paras khas Asia terkurung dalam kerangkeng besi.

Desiran aneh mengaliri seluruh tubuh sang pewaris Kirkland tersebut. Desiran aneh yang mampu membuat satuan waktu dalam pikirannya berhenti untuk memasuki vakum memikat. Desiran aneh yang sanggup membuatnya tak menyadari kehadiran pemuda yang membuatnya keluar dari kediamannya selarut ini.

"Arthur, da? Kau masih sadar, da?"

Buyar sudah lamunan Arthur. Pemuda bersurai pirang tersebut kemudian menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang pemuda tinggi tengah memaparkan senyum tanpa kehangatan, melainkan senyuman penuh intimidasi.

"Ivan," desis Arthur.

Seolah menutup telinganya dari nada bicara yang dipakai Arthur, Ivan dengan santainya mengalihkan fokus matanya ke arah objek yang sebelumnya diamati oleh sang tuan muda Kirkland. Hal itu Arthur manfaatkan untuk kembali menatap wajah putih sang pemuda dalam kerangkeng.

"Manis, eh, da?" gumam Ivan. "Ayah angkatnya mempunyai masalah denganku. Jadi, aku bunuh ayah angkatnya dan menjualnya."

Diucapkan dengan santai—layaknya mengucap jawaban atas pertanyaan yang tak perlu telaah mendalam. Tapi, itu semua cukup untuk membuat Arthur membelalak sempurna akan apa yang baru saja didengarnya. Pernyataan mengerikan yang terucap dengan senyuman.

"Kau... gila. Kukira kau sudah tidak terlibat pembunuhan dan penjualan manusia lagi."

"Aku memang sudah tidak terlibat hal semacam itu lagi, da. Tapi, Yao-Yao sendiri yang membuatku melakukan itu, da—" senyuman artifisial kembali terulas. "—Jika aku memang tidak bisa bersamanya, maka orang lain juga tidak boleh, da~"

Arthur berani bersumpah kalau kilatan di iris violet Ivan seolah melembut kala lisannya mengucap nama orang yang mengacaukan kegilaannya, mengenyahkan batasan kewarasannya, dan melenyapkan sisi kemanusiaan yang memang tak pernah ada.

Memutuskan untuk tidak ikut campur, Arthur menutup mulutnya dan menyilangkan kedua lengan di depan dada.

"Dua ratus ribu dollar!"

"Dua ratus lima puluh dollar!"

Desiran aneh dengan cepat bertransformasi menjadi perasaan tak nyaman yang tidak bisa didefinisikan dengan kelogisan. Begitu tak nyamannya perasaan yang melingkupi Arthur, hingga pemuda itu menerka bahwa dirinya bisa melakukan hal-hal konyol yang tak ada hubungan euforia ataupun histeria. Tapi... kenapa? Apakah perasaan tak nyamannya itu ada sangkut pautnya dengan sang pemuda bersurai hitam?

Ini gila.

"Tiga ratus dollar!"

Gila.

"Lima ratus dollar!"

Gila.

Heck, Persetan dengan semua itu. Pikirnya hanya terfokus pada satu hal sekarang: pemuda di balik kurungan besi.

"Seratus juta dollar."

Demi Merlin, benarkah Arthur Kirkland membiarkan lisannya mengucap demikian? Pemikiran rasionalnya berkonspirasi dengan perasaan tak nyaman tadi, eh? Lagi, tapi kenapa? Apakah karena rasa kemanusiaan untuk menolong sesama? Atau... karena ia tidak suka jika pemuda Asia berambut hitam itu mengalami hal buruk yang semestinya tidak ada dalam riwayat kehidupan remaja berparas manis itu? Atau...

"Seratus juta dollar. Aku akan membelinya dengan harga seratus juta dollar."

... Lupakan alasan. Kulminasi keinginan Arthur sekarang adalah memiliki pemuda itu.

TBC

Niatnya adalah membuat naskah untuk sosio drama... niatnya adalah menyelesaikan tugas naskah drama... niatnya adalah menyelesaikan tugas sosio drama dengan tema sosialisasi tidak sempurna di keluarga... LALU KENAPA MALAH JADI FANFIC #matiincapslock #tabokdirisendiri orz

Well, sudahlah. Toh saya memang ingin buat fic dengan tema cross-dressing. Muahahahahaha XD *ditendang Kiku*

Credit to Toboso Yana-sensei! Yeah, fic ini terinspirasi dari Kuroshitsuji volume ke 1 di mana Ciel hendak di jual.

Credit to Super Junior M! Untuk juduk lagunya yang saya jadikan judul fic! XD

Review?