Taomio present...

~ A Tale of Two Sisters ~

THIS IS NOT MY STORY!

This story belong to Julia Quinn. ^^

I'm just really miss HunTao :'( so i changed the characters name of this story.

Oh yeah, this is GS! If you don't like it, please just leave. I beg you J

.

.

.

.

Oh Sehun menghembuskan napas lelah dan menoleh ke kanan dan kiri, sebelum membawa kudanya ke luar dari istal. Sungguh melelahkan menghindari tiga wanita sekaligus.

Pertama, adik perempuannya. Oh Luhan memiliki pandangan yang kuat tentang bagaimana kakak lelakinya harus menjalani hidup, dan Luhan tidak malu berbagi pandangan tersebut.

Pandangan yang selalu berusaha diabaikan oleh Sehun selama delapan tahun terakhir ini.

Biasanya, Luhan adalah orang yang menyenangkan dan sangat masuk akal. Namun, sepertinya Luhan merasa statusnya sebagai wanita yang telah menikah memberinya hak untuk mendikte Sehun, sekali pun Sehun seperti yang sering kali ia ingatkan pada Luhan, lebih tua satu tahun daripada Luhan.

Lalu, ada juga sepupunya Yixing, yang, jika masih mungkin, bahkan lebih lugas lagi dibandingkan Luhan.

Satu – satunya alasan Yixing tidak menempel dengan adik perempuannya dalam daftar wanita-yang-harus-dihindari-dengan-cara-apa-pun-juga yang sudah dibuatnya adalah karena Yixing sedang hamil tujuh bulan dan tidak bisa bergerak dengan cepat.

Jika Sehun dianggap sebagai orang jahat karena melarikan diri dari wanita hamil yang berjalan tertatih – tatih, ia sama sekali tidak peduli. Yang terpenting ketenangan pikirannya.

Akhirnya, meskipun ia malu untuk mengakuinya, ia juga menghindari Minseok.

Sehun mengerang. Tiga hari lagi, Huang Minseok akan menjadi istrinya. Meskipun tidak ada yang salah dengan Minseok, waktu yang dihabiskannya bersama wanita itu selalu terasa canggung dan membuatnya berulang kali menoleh ke jam.

Itu bukanlah pernikahan yang dibayangkannya selama ini, tapi kenyataannya memang seperti itu. Jadi, ia terpaksa harus menerima apa yang sudah menjadi nasibnya.

Sehun menghabiskan delapan musim perburuan jodoh di Busan, menjadi seorang pria menawan yang berkeliaran di kota Busan, sedikit menebarkan pesona, tapi tidak sampai membuat para ibu yang gugup menyeret putri mereka menjauh darinya. Sehun tidak pernah secara sadar menghindari pernikahan-yah, setidaknya dalam beberapa tahun terakhir ini-tapi di saat yang bersamaan, ia juga tidak pernah bertemu dengan wanita yang mampu membuatnya jatuh cinta.

Hasrat, iya. Gairah, sudah tentu. Tapi, cinta sejati? Tidak pernah.

Jadi, saat ia mulai mendekati usia tiga puluh tahun, sisi praktis dalam pikirannya telah mengambil alih keputusannya. Ia memutuskan jika tidak bisa menikah karena cinta, maka sebaiknya ia menikah demi mendapatkan lahan yang seluas mungkin.

Dan, masuklah Huang Minseok.

Berusia dua puluh dua tahun, wanita cantik berambut pirang, memiliki mata hitam yang menarik, cukup cerdas, dan kesehatannya prima. Dan, mas kawin yang dibawa oleh Minseok adalah lahan yang subur seluas delapan hektar yang membentang si sepanjang perbatasan sebelah Timur Geoje, salah satu estate milik keluarga Oh.

Delapan hektar bukanlah jumlah yang terlalu besar untuk seorang pria yang memiliki lahan tersebar di seluruh penjuru sebelah selatan Geoje, tapi Oedo adalah salah satunya properti yang bisa dianggap oleh Sehun sebagai miliknya sendiri. Sementara sisanya adalah milik ayahnya, sang raja usaha, sampai sang ayah wafat dan mewariskan gelar tersebut kepada putranya.

Meskipun Sehun tahu bahwa gelar Jeoha-pangeran penerus tahta-beserta seluruh atributnya memang sudah menjadi haknya sejak lahir, ia tidak terburu – buru ingin mendapatkan hak dan kewajiban yang menyertai gelar tersebut. Sehun adalah salah satu dari sedikit pria di lingkungan pergaulannya yang benar – benar menyukai orang tuanya; hal terakhir yang ingin ia lakukan adalah mengubur mereka.

Ayahnya, dengan kebijaksanaan yang tidak terbatas, memahami bahwa pria seperti Sehun membutuhkan sesuatu yang menjadi miliknya sendiri, jadi pada ulang tahun Sehun yang kedua puluh empat, sang ayah menyerahkan Oedo kepadanya, salah satu properti yang tidak menyertai gelar Jeoha.

Mungkin karena rumahnya yang elegan. Mungkin karena kolamnya yang berisi song-eo (ikan trout) unggulan. Mungkin hanya karena tempat itu adalah miliknya sendiri, tetapi Sehun sangat mencintai setiap meter persegi Oedo.

Sehun menyadari bahwa putri tertua tetangganya di Oedo telah memasuki usia menikah-yah, saat itu, rencana tersebut sepertinya serba cukup masuk akal.

Huang Minseok adalah seorang wanita yang cukup cantik, memiliki mas kawin yang cukup banyak, kepribadian yang cukup menarik, dan serba cukup masuk dalam segala hal.

Hanya saja tidak cukup sempurna untuknya.

Namun, rasanya tidak adil jika ia menyalahkan Minseok karena tidak bisa membuatnya jatuh cinta. Sehun tahu apa yang dilakukannya pada saat ia melamar Minseok. Hanya saja ia tidak memperhitungkan bahwa pernikahan yang akan segera dijelangnya itu akan terasa seperti tali jeratan di seputar lehernya. Meskipun sejujurnya, situasinya tidaklah seburuk itu sampai seminggu terakhir ini, ketika ia datang ke aula Huang untuk merayakan rencana pernikahannya yang sebentar lagi akan diselenggarakan, bersama keluarganya dan keluarga Minseok. Belum lagi bersama sekitar lima puluh orang teman terdekat mereka.

Sungguh mengejutkan mengatahui ada banyak sekali orang asing yang bisa ditemukan di antara para tamu yang datang.

Itu sudah cukup membuat seorang pria menjadi gila. Sehun cukup yakin ia akan menjadi salah satu pasien di rumah sakit jiwa, setelah ia meninggalkan gereja pada hari Minggu pagi, dengan cincin warisan leluhurnya melingkar di jari Minseok.

"Hun oppa! Sehun oppa!"

Itu adalah suara seorang wanita. Suara yang sudah sangat dikenalnya.

"Jangan mencoba menghindariku! Aku melihatmu!"

Sial. Itu adalah adik perempuannya, dan jika semuanya berjalan seperti biasanya, itu berarti Yixing juga sedang berjalan tertatih – tatih di belakang Luhan, siap menawarkan ceramahnya sendiri, segera setelah Luhan terdiam untuk menarik napas.

Dan-astaga-besok ibunya akan datang ke sini untuk melengkapi persekutuan yang mengerikan itu.

Sehun merinding-benar – benar merinding secara fisik-saat ia memikirkan hal itu.

Ia melajukan kudanya dengan cepat-secepat yang mampu dilakukannya, mengingat ia berada begitu dekat dengan rumah-berencana untuk menggunakan kekuatan penuh begitu ia berada di jarak aman sehingga kecepatan kudanya tidak akan membahayakan siapa pun.

"Sehun oppa!" teriak Luhan, jelas sekali tidak memedulikan tata krama, harga diri, atau bahkan bahaya, saat adiknya itu berlari menuruni jalan setepak, tidak memperhatikan akar pohon yang mencuat ke jalan yang dilaluinya.

Dan, tersandung!

Sehun memejamkan matanya dengan pasrah, saat ia menghentikan kudanya. Ia tidak akan pernah bisa melarikan diri sekarang. Saat ia membuka matanya lagi, Luhan sudah duduk di tanah, terlihat sedikit kesal, tapi tidak membuyarkan tekad adiknya itu untuk berbicara dengannya.

"Luhan! Luhan!"

Sehun menatap ke belakang adiknya untuk melihat sepupunya Yixing berjalan tertaih – tatih secepat yang bisa dilakukan oleh tubuhnya yang terlihat mirip seperti bebek.

"Apakah kau baik – baik saja?" tanya Yixing pada Luhan, sebelum berbalik ke arah Sehun dan bertanya, "Apakah dia baik – baik saja?"

Sehun menatap adiknya. "Apakah kau baik – baik saja?"

"Pertanyaan macam apa itu?"

"Pertanyaan yang penting." Jawab Luhan sambil meraih tangan Yixing yang terulur dan menarik dirinya sendiri agar bisa berdiri, dan nyaris menjatuhkan wanita yang sedang hamil itu. "Kau selalu menghindariku sepanjang minggu ini~"

"Kita berada di sini baru dua hari, Luhan."

"Yah, rasanya seperti sudah seminggu."

Sehun terpaksa harus setuju dangan adiknya.

Luhan memelototkan mata kepada Sehun, saat ia tidak juga menjawab. "Apakah kau akan terus duduk di atas kudamu, atau kau akan turun dan berbicara denganku seperti manusia yang beradab?"

Sehun mempertimbangkan pilihan itu.

"Kasar sekali," sambung Yixing, "jika kau tetap berada di atas kuda, sementara ada dua orang wanita yang berdiri di depanmu."

"Kalian bukan wanita," gumam Sehun, "kalian adalah keluarga."

"Sehun!"

Sehun berbalik ke Luhan. "Apakah kau yakin kau tidak terluka?"

"Iya, tentu saja, aku~" Mata Luhan yang berwarna coklat gelap seperti miliknya membelalak, saat ia memahami maksud pertanyaan Sehun. "Yah, sebenarnya, pergelangan kakiku terasa sedikit ngilu, dan~" Luhan terbatuk beberapa kali untuk sekadar penekanan, seolah itu bisa membuktikan pengakuan Luhan tentang pergelangan kakinya yang sakit.

"Bagus," ujar Sehun dengan tegas. "Kalau begitu, kau tidak membutuhkan bantuanku." Dan, setelah mengatakannya, Sehun kembali melajukan kudanya, meninggalkan mereka. Mungkin sikapnya memang kasar, tapi Luhan adalah adiknya dan akan terus mencintainya tidak peduli apa pun yang terjadi. Lagi pula, Luhan memanggilnya hanya untuk membicarakan pernikahannya yang akan berlangsung beberapa hari lagi, dan itu adalah hal terakhir yang ingin dibahasnya saat ini.

Sehun pergi ke arah barat, ia memilihnya bukan saja karena arah jalan itu merupakan jalur melarikan diri yang paling mudah, tapi juga karena ia bisa berada di antara tanah yang akan menjadi mas kawin Minseok. Mengingatkan dirinya kembali kenapa ia akan menikahi Minseok mungkin bisa membuat pikirannya kembali fokus. Tanah itu sangat bagus, hijau dan subur, dengan kolam yang indah dan kebun apel kecil.

"Kau menyukai apel," gumam Sehun dengan suara pelan. "Kau selalu menyukai apel."

Apel sangat lezat. Pasti akan menyenangkan sekali jika bisa memiliki kebun apel sendiri.

Itu adalah harga yang hampir pantas untuk dibayar dengan pernikahan.

"Pie," lanjut Sehun. "Kue tart. Pie dan tart apel yang tidak terbatas. Dan juga saus apel."

Saus apel juga lezat. Sangat lezat. Jika ia bisa terus menyamakan pernikahannya dengan saus apel, setidaknya ia bisa mempertahankan kewarasannya sampai minggu depan.

Sehun menyipitkan matanya ke kejauhan, berusaha mengukur masih sejauh apa jarak yang harus ditempuhnya untuk bisa sampai ke tanah Minseok. Tebakannya tidak lebih dari lima menit menunggang kuda, dan-

"Halo! Halo! Hall-ooooo!"

Oh, hebat sekali. Wanita lagi.

Sehun memelankan laju kudanya, menoleh ke sekeliling sambil mempekirakan dari mana asal suara itu.

"Di sini! Kumohon, tolonglah aku!"

Sehun berbelok ke sebelah kanannya, lalu ke belakangnya, dan seketika itu juga menyadari kenapa ia tidak melihat gadis itu sebelumnya. Gadis itu sedang duduk di tanah, pakaian berkudanya yang berwarna hijau bisa menjadi penyamaran yang efektif, di antara rerumputan dan semak rendah di sekilingnya. Rambut gadis itu panjang dan berwarna coklat terang, dikepang ke belakang dengan gaya yang tidak akan pernah dilihatnya di ruang santai rumah – rumah yang ada di Busan, tapi terlihat menawan pada gadis itu.

"Selamat pagi!" sapa gadis itu, sekarang terdengar sedikit tidak yakin.

Dengan enggan Sehun menghentikan kudanya dan turun. Ia hanya menginginkan sedikit privasi saat pergi menunggang kuda ke padang rumput, tapi ia adalah seorang pria yang terhormat (meskipun tadi ia memperlakukan adiknya dengan sedikit kasar), dan ia tidak bisa mengabaikan seorang wanita yang sedang mengalami kesulitan.

"Apakah ada masalah?" tanya Sehun dengan suara lembut saat ia berjalan mendekat.

"Sepertinya pergelangan kakiku terkilir," ujar gadis itu sambil meringis saat mencoba melepaskan sepatu botnya. "Aku sedang berjalan – jalan, dan~"

Gadis itu menengadahkan wajah, mengerjapkan mata hitam miliknya yang mempunyai kantung mata seperti panda beberapa kali, kemudian berkata "Oh."

"Oh?" ulang Sehun.

"Kau adalah Oh Sehun."

"Benar."

Senyuman gadis itu terlihat aneh dan sama sekali tidak berkesan hangat. "Aku adik Minseok eonnie."

.

.

.

Huang Zitao merasa seperti orang bodoh, dan ia tidak suka merasa seperti orang bodoh.

Ia rasa semua orang memang tidak suka merasa seperti orang bodoh, tapi ia mendapati kebodohannya saat ini sangatla menjengkelkan karena ia selalu menganggap akal sehat adalah sesuatu yang paling bisa diandalkan.

Ia pergi berjalan – jalan, ingin melarikan diri dari kerumunan tamu yang menyebalkan, yang menginvasi rumahnya selama seminggu untuk ikut merayakan pernikahan kakak perempuannya.

Kenapa Minseok menginginkan pernikahannya disaksikan oleh lima puluh orang, Zitao sendiri tidak tahu alasannya, dan ia tidak akan pernah bisa mengerti. Dan itu belum termasuk tamu lain yang berencana akan datang pada hari upacara pernikahan.

Namun, Minseok menginginkannya, atau lebih tepatnya, ibu mereka menginginkannya, dan sekarang rumah mereka dipenuhi oleh para tamu, begitu pula dengan rumah tetangga mereka dan penginapan setempat. Zitao pasti akan menjadi gila jika terlalu lama berada bersama mereka. Jadi, sebelum ada yang menyeretnya dan memohon bantuannya untuk menjalankan tugas yang sangat penting, seperti memastikan cokelat terbaik sudah dikirimkan pada para Wangbi-nyonya besar-dari kota lain yang datang ke acara perayaan ini, ia segera mengenakan setelan berkudanya dan pergi melarikan diri dari rumah.

Pada saat ia mencapai istal, ia mendapati bahwa pengurus istal telah memberikan kudanya pada salah satu tamu. Mereka berkeras bahwa ibunya yang memberi izin untuk meminjamkan kudanya, tapi penjelasan itu tetap tidak bisa membuat suasana hati Zitao menjadi lebih baik.

Jadi, ia memilih pergi berjalan kaki, menyusuri jalan setapak, dan berusaha mencari ketenangan dan kedamaian, tapi sayangnya ia tidak memperhatikan jalan dan terjerumus ke lubang tikus. Ia bahkan belum menyentuh permukaan tanah saat menyadari bahwa pergelangan kakinya terkilir. Pergelangan kakinya sudah bengkak di dalam sepatu botnya, dan karena hari ini ia berencana untuk menunggang kuda, tentu saja ia mengenakan sepatu bot langsung, dan bukannya sepatu bot bertali yang bisa dengan mudah dan cepat dilepaskan dari kakinya.

Satu – satunya hal baik yang terjadi pagi ini adalah tidak turun hujan, meskipun dengan kesialan yang selalu mengikutinya belakangan ini, belum lagi langit di atas kepalanya yang sudah tampak abu – abu, Zitao bahkan tidak terlalu yakin akan hal itu.

Sekarang, penyelamatnya tidak lain dan tidak bukan adalah Oh Sehun, sang Jeoha-sang pangeran penerus tahta-, pria yang tiga hari lagi akan menikah dengan kakaknya. Menurut Minseok, pria itu adalah seorang bajingan sejati dan sama sekali tidak sensitif dengan perasaan wanita yang cenderung lembut.

Zitao tidak sepenuhnya memahami apa yang dimaksud oleh Minseok dengan perasaan yang lembut, dan sebenarnya ia meragukan bahwa dirinya memiliki perasaan semacam itu di dalam dirinya. Namun, tetap saja, itu tidak cukup untuk menjelaskan seperti apa sang Wangseja muda itu. Penjabaran Minseok membuat Oh Sehun terdengar sedikit kasar, dan orang yang tidak menyenangkan. Sama sekali bukan seperti pria terhormat, yang bersedia menolong seorang gadis yang sedang kesulitan.

Pria itu memang terlihat seperti seorang bajingan. Zitao mungkin bukanlah seorang pemimpi romantis seperti Minseok, tapi bukan berarti ia tidak peka terhadap sikap dan penampilan seorang pria. Oh Sehun-atau lebih tepatnya Hun, nama panggilan yang ia dengar selalu digunakan oleh Minseok untuk merujuk pria itu-memiliki mata cokelat paling menawan, yang pernah dilihatnya di wajah seorang manusia. Di wajah orang lain, mata itu mungkin aka terlihat terlalu feminim (apalagi dilengkapi dengan bulu mata yang panjang dan hitam), tapi Oh Sehun adalah pria bertubuh tinggi dan gagah. Semua orang pasti akan menyadari bahwa pria itu ramping dan atletis di balik mantel dan celanan selututnya, bahkan orang – orang yang tidak terlalu memperhatikan juga pasti akan menyadarinya juga, dan Zitao terus meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tidak memperhatikan Sehun.

Oh, baiklah, ia memang memperhatikan pria itu. Namun, bagaimana tidak? Sehun berdiri mnejulang di depannya seperti seorang dewa yang sangat berbahaya, tubuh Sehun yang gagah menutupi sinar matahari yang masih tersisa.

"Ah, iya," ujar Sehun, entah kenapa terdengar tidak yakin, menurut pendapat Zitao. "Yiyang."

Yiyang? Memang mereka baru diperkenalkan tiga kali. "Zitao," tegasnya.

"Zitao," ulang Sehun, masih cukup berani menyunggingkan senyuman tidak bersalah kepada Zitao.

"Memang, Minseok eonnie juga memiliki adik yang bernama Yiyang." Rasa keadilan memaksa Zitao untuk berkata demikian. "Usianya lima belas tahun."

"Dan aku bisa membayangkan, dia masih terlalu kecil untuk berkeliaran seorang diri."

Komentar Sehun menyiratkan bahwa ia juga masih terlalu kecil. Mata Zitao menyipit saat mendengar kesan sindiran pada suara Sehun. "Apakah kau sedang menegurku?"

"Aku tidak berani melakukannya."

"Karena aku tidak berusia lima belas tahun," tegas Zitao, "dan sepanjang waktu aku selalu berjalan seorang diri di sekitar sini."

"Aku yakin itu."

"Yah, sebenarnya tidak berjalan kaki," aku Zitao, entah kenapa amarahnya sedikit mereda saat melihat ekspresi wajah Sehun yang datar, "tapi dengan menunggang kudaku sendiri."

"Kalau begitu, kenapa hari ini kau tidak menunggang kuda?" tanya Sehun sambil berlutut disamping Zitao.

Zitao bisa merasakan bibirnya mengerut dengan ekspresi wajah yang jengkel. "Seseorang mengambil kudaku."

Alis Sehun terangkat. "Seseorang?"

"Seorang tamu," tambah Zitao.

"Oh," ujar Sehun bersimpati. "Sepertinya memang ada banyak sekali tamu di rumahmu."

"Seperti wabah belalang," gumam Zitao, sebelum menyadari bahwa ia telah bersikap sangat kasar pada pria yang sejauh ini terbukti sebagai orang kasar yang tidak menyenangkan seperti yang dijabarkan oleh Minseok. Apalagi, sebagaian tamu yang dijulukinya sebagai wabah belalang adalah teman – teman pria itu. "Aku minta maaf," ujar Zitao dengan cepat sambil menatap Sehun dengan mata yang bersorot ragu – ragu.

"Jangan meminta maaf," jawab Sehun. "Kau pikir kenapa aku pergi berkuda keluar?"

Zitao mengerjapkan mata. "Tapi, ini pernikahnmu."

"Iya," ujar Sehun dengan getir, "memang benar, iya kan?"

"Yah, iya," jawab Zitao, membeo perkataan Sehun, meskipun ia tahu pria itu mengatakannya secara tidak sadar, "memang benar."

"Aku akan mengatakan satu rahasia kepadamu," kata Sehun, dengan santai menyentuhkan tangan ke sepatu bot Zitao. "Boleh?"

Zitao mengangguk, kemudian mencoba untuk tidak merintih saat Sehun menyentuhkan tangan ke sepatu botnya.

"Pernikahan," ujar Sehun, "hanyalah untuk wanita."

"Orang akan berpikir pernikahan setidaknya membutuhkan satu pria," balas Zitao.

"Benar," aku Sehun, akhirnya berhasil membebaskan kakinya dari kungkungan sepatu bot. "Tapi jawablah dengan jujur, apakah pengantin pria memiliki tugas lain, kecuali berdiri di depan altar dan berkata, 'Saya bersedia'?"

"Pria harus melamar."

"Hah." Sehun mendengus jengkel. "Proses melamar hanya membutuhkan waktu sebentar, dan dilakukan berbulan – bulan sebelum pernikahan. Tapi, pada saat orang hendak melaksanakan pernikahan yang sebenarnya, ia nyaris tidak mengingatnya."

Zitao tahu perkataan Sehun memang benar. Sampai saat ini memang belum ada pria yang pernah melamarnya, tapi saat ia bertanya kepada Minseok apa yang dikatakan oleh sang Jeoha saat melamar kakaknya itu, Minseok hanya menghela napas dan berkata, "Aku tidak ingat. Tapi aku yakin dia mengatakan sesuatu yang sangat biasa."

Zitao menyunggingkan senyuman bersimpati pada calon kakak iparnya. Minseok tidak pernah memuji Sehun. Tapi sepertinya Sehun sama sekali bukan jenis pria yang buruk. Bahkan, ia merasakan semacam ikatan kebersamaan dengan Sehun karena mereka berdua melarikan diri dari aula Huang untuk mencari ketenangan dan kedamaian.

"Aku tidak yakin pergelangan kakimu patah," ujar Sehun sambil menekan lembut pergelangan kaki Zitao.

"Tidak, aku yakin aku tidak mematahkannya. Pasti kakiku akan lebih baik besok."

"Benarkah?" tanya Sehun, mengangkat satu sudut bibir, dengan ekspresi ragu. "Aku yakin kakimu belum akan membaik besok. Setidaknya butuh waktu seminggu, sebelum kau bisa berjalan dengan nyaman."

"Tidak sampai seminggu!"

"Yah, mungkin tidak akan sampai seminggu penuh. Aku yakin kakimu tidak perlu dioperasi. Tapi kau pasti akan pincang selama beberapa hari."

Zitao menghela napas, suara helaan napas yang panjang dan pasrah. "Seharusnya aku terlihat memukau sebagai pengiring pengantin Minseok eonni; sejujurnya, ia tidak terlalu memperhatikan detail pernikahannya sendiri. Tapi Sehun sangat ahli berpura – pura tertarik, jadi ia hanya mengangguk sopan dan menggumamkan sesuatu yang tidak masuk akal, lalu mencoba untuk tidak terlalu terkejut saat Zitao berseru, "Mungkin sekarang aku tidak perlu melakukannya!" zitao menatap Sehun dengan kegembiraan yang tidak disembunyikan, mata hitam Zitao berbinar – binar. "Aku bisa menyerahkan tugas itu pada Yiyang dan bersembunyi di belakang."

"Di belakang?"

"Belakang gereja," jelas Zitao. "Atau di depan. Aku tidak peduli di mana. Tapi sekarang aku tidak perlu ikut ambil bagian dalam upacara pernikahan yang menjengkelkan ini. Aku-oh!" seketika itu juga Zitao menutupi mulutnya dengan tangan, sementara pipinya langsung merah padam. "Aku minta maaf. Pernikahan yang menjengkelkan itu adalah pernikahanmu, iya kan?"

"Meskipun aku jengkel mengakuinya," ujar Sehun, tidak bisa menyembunyikan kilat kegembiraan di matanya, "iya."

"Hanboknya berwarna kuning," gerutu Zitao, seolah itu bisa menjelaskan segalanya.

Sehun menunduk untuk memperhatikan setelan berkuda Zitao yang berwarna hijau, merasa yakin ia tidak akan pernah bisa mengerti jalan pikiran wanita. "Apa?"

"Aku diharuskan mengenakan hanbok berwarna kuning," ujar Zitao kepada Sehun. "Seolah harus duduk sepanjang upacara pernikahan belum cukup buruk, Minseok masih memilihkan hanbok berwarna kuning untukku."

"Eh, kenapa upacara pernikahannya akan begitu mengerikan?" tanya Sehun, tiba – tiba ikut merasa takut.

"Minseok eonni tahu aku pasti akan terlihat sangat jelek mengenakan warna kuning," kata Zitao, mengabaikan pertanyaan Sehun.

"Aku akan terlihat seperti korban wabah penyakit. Para tamu yang lain pasti akan berlarian ke luar gereja sambil menjerit."

Seharusnya, Sehun merasa cemas oleh kemungkinan bahwa pernikahannya akan menjadi histeria massa; justru, ia merasa cemas karena ia mendapati kemungkinan itu membuatnya merasa senang. "Memangnya, apa yang salah dengan upacara pernikahan?" tanya Sehun lagi, menggelengkan kepalanya sedikit, saat ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa Zitao masih belum menjawab pertanyaannya yang sebelumnya.

Zitao mengerutkan bibir, saat wanita itu menyentuhkan jari ke pergelangan kakinya sendiri, dan tidak terlalu memperhatikan Sehun. "Memangnya kau tidak melihat jadwal acaranya?"

"Eh, tidak." Sekarang, Sehun mulai berpikir tindakannya itu mungkin suatu kesalahan.

Zitao mengangkat wajah, mata panda berwarna hitam milik wanita itu memperlihatkan sorot kasihan. "Seharusnya, kau melihat jadwal acara yang dibuat Minseok eonni." Hanya itu yang dikatakan oleh Zitao.

"Miss Huang," ujar Sehun, sengaja menggunakan suaranya yang terdengar paling tegas.

"Daftar jadwalnya panjang," ujar Zitao. "Dan, akan ada burung – burung."

"Burung – burung?" ulang Sehun, tersedak oleh kata – kata itu, hingga seluruh tubuhnya berguncang oleh serentetan batuk yang tidak berani.

Zitao menunggu sampai Sehun tenang kembali, sebelum wajah wanita itu memperlihatkan ekspresi polos yang penuh dengan kecurigaan, dan bertanya, "Kau tidak tahu?"

Sehun mendapati dirinya tidak bisa melakukan apa pun selain cemberut.

Zitao tertawa terbahak – bahak, dengan suara yang selembut dan semerdu alunan musik, lalu berkata, "Kau sama sekali tidak seperti yang dijabarkan oleh Minseok eonni."

Nah itu baru menarik. "Benarkah?" tanya Sehun, berusaha menjaga suaranya agar tetap terdengar tidak acuh.

Zitao menelan ludah dengan susah payah, dan Sehun bisa melihat bahwa Zitao menyesali lidahnya yang keceplosan. Meskipun begitu, Zitao tetap harus mengatakan sesuatu, jadi Sehun menunggu dengan sabar sampai Zitao mencoba memperbaiki kesalahannya dengan berkata, "yah, sejujurnya, Minseok eonni tidak banyak bercerita tentang apa pun. Yang sepertinya mendorongku untuk menganggapmu sedikit tertutup."

Sehun duduk di atas rumput di samping Zitao. Rasanya sangat nyaman berada di dekat Zitao, setelah ia selalu menjadi pusat perhatian di anatara kerumunan di aula Huang. "Kenapa kau bisa sampai pada kesimpulan itu?" tanya Sehun.

"Aku tidak tahu. Aku rasa aku hanya membayangkan jika kau bukanlah orang yang tertutup, pasti perckapanmu dengan Minseok eonni akan sedikit lebih..." Zitao mengerutkan kening. "Bagaimana aku mengatakannya?"

"Santai?"

"Tepat sekali!" Zitao berbalik ke arah Sehun dengan senyuman yang sangat menawan, dan mendapati napasnya terekat karena terpesona. Minseok tidak pernah tersenyum seperti itu kepadanya.

Yang lebih buruk, ia tidak pernah mengingatkan Minseok tersenyum seperti itu kepadanya.

Namun, Huang Zitao... itu baru wanita yang tahu bagaimana harus tersenyum pada pria. Dari bibir Zitao, dari mata Zitao, senyuman Zitao menyebar dari setiap inci kulit wanita itu.

Sial, sekarang senyuman itu merayap turun hingga ke bagian tengah tubuhnya, yang seharusnya tidak boleh tersentuh oleh seorang adik ipar.

Seharusnya, Sehun segera berdiri, seharusnya Sehun segera membuat alasan untuk membawa Zitao kembali ke rumah-apa pun juga untuk mengakhiri percakapan kecil mereka karena tidak ada hal yang lebih memalukan dan tidak bisa diterima daripada menginginkan adik ipar sendiri, dna tiga hari lagi Zitao akan benar – benar menjadi adik iparnya.

Namun, alasannya pasti akan dibuat dengan tidak tulus, seperti saat tadi ia mengatakan kepada Zitao bahwa ia berkuda ke sini hanya untuk melarikan diri dari kemeriahan pesta pra pernikahan.

Belum lagi masih ada fakta lain bahwa bagian tubuhnya yang tidak pantas untuk disebutkan di depan wanita pasti akan terlihat terlalu mencolok jika dalam posisi berdiri.

Jadi, Sehun memutuskan menikmati kebersamaannya dengan Zitao karena ia tidak pernah bisa menikmati kebersamaannya dengan orang lain sejjak ia tiba di sini dua hari yang lalu. Zitao adalah orang pertama yang bertemu dengannya, yang tidak memberinya selamat atau, dalam kasus adik perempuan dan sepupunya, tidak berusaha mengatakan kepadanya bagaimana seharusnya ia menjalani kehidupannya.

Sejujurnya, ia mendapati Huang Zitao sangat menyenangkan, dan karena ia merasa yakin reaksinya terhadap senyuman Zitao hanyalah kegilaan sementara yang hanya akan terjadi sekali. Itu bukanlah masalah yang serius, hanya sedikit memalukan-yah, tidak ada salahnya jika ia memperlama kebersamaan mereka.

"Benar," ujar Zitao, jelas sekali gadis itu sama sekali tidak memperhatikan masalah sensitif yang sedang dihadapi oleh Sehun. "Jika percakapanmu dengan Minseok eonnie bisa lebih santai, aku bisa yakin pasti ada lebih banyak hal yang bisa dikatakan Minseok eonni kepadaku."

Sehun justru berpikir untung saja calon istrinya bukanlah orang yang suka berhati – hati. Satu nilai plus untuk Minseok. "Mungkin," ujar Sehun, sedikit lebih tajam dari yang seharusnya, "dia hanya tidak suka bercerita."

"Minseok eonnie?" ujar Zitao sambil mendengus. "Tidak mungkin, Minseok eonnie selalu mengatakan segala hal kepadaku tentang~"

"Tentang apa?"

"Bukan apa – apa," ujar Zitao dengan cepat, tetapi gadis itu tidak mau menatap mata Sehun.

Sehun tahu sebaiknya ia tidak memaksa. Apa pun yang hendak dikatakan oleh Zitao, jelas sekali itu akan menyudutkan Minseok, dan jika ada satu hal yang bisa ia nilai dari Huang Zitao sejauh ini, maka itu adalah fakta bahwa Zitao merupakan orang yang sangat setia. Dan, Zitao tidak akan mengungkapkan rahasia antarsaudara.

Lucu. Tidak pernah sekli pun terlintas dalam pikiran Sehun bahwa seorang wanita seperti Minseok mungkin memiliki rahasia. Minseok terlihat selalu... transparan. Bahkan, ketransparanan itulah yang meyakinkannya bahwa pernikahan mereka bisa berjalan dengan baik. Jika seorang pria tidak akan bisa mencintai istrinya, maka sebaiknya pria itu tidak melamar si wanita.

"Apakah menurutmu sekarang sudah cukup aman untuk kem-bali?" tanya Sehun sambil menggerakkan kepalanya ke arah aula Huang. Ia lebih suka tetap berada di sini bersama Zitao, tetapi sepertinya tidak pantas jika ia berduaan dengan Zitao lebih lama lagi. Lagi pula, ia merasa sedikit... lebih tenang sekarang, dan ia pikir ia sudah mampu berdiri tanpa mempermaukan dirinya sendiri.

Belum tentu seorang gadis polos seperti Huang Zitao akan mengerti kenapa seorang pria memiliki tonjolan di depan celana selututnya.

"Aman?" ulang Zitao.

Sehun tersenyum. "Dari wabah belalang?"

"Oh." Wajah Zitao tertunduk. "Aku meragukannya. Aku rasa eomma sudah mengatur acara makan siang khusus untuk para wanita."

Sehun tersenyum lebar. "Bagus sekali."

"Mungkin, untukmu," balas Zitao. "Aku pasti diharapkan hadir di sana."

"Sang pengiring pengantin?" tanya Sehun dengan senyuman jail. "Sudah pasti kau diharapkan hadir di sana. Bahkan, mereka mungkin tidak bisa memulai acara tanpa dirimu."

"Tahan lidahmu. Jika mereka sudah cukup lapar, mereka bahkan tidak akan menyadari jika aku tidak ada."

"Lapar, ya? Padahal aku pikir para wanita makan seperti burung."

"Itu hanya dilakukan di depan pria. Jika tidak ada pria, maka kami semua menggila dengan ham dan cokelat."

"Bersama – sama?"

Zitao tertawa, suara yang jernih dan merdu. "Kau sangat lucu," ujar Zitao sambil tersenyum.

Sehun mencondongkan tubuh ke depan, dengan ekspetasi wajah yang paling berbahaya. "Apakah kau tidak tahu, kau tidak seharusnya mengatakan pada seorang bajingan bahwa ia lucu?"

"Oh, kau tidak mungkin seorang bajingan," kata Zitao dengan sikap tidak acuh.

"Memangnya kenapa?"

"Kau akan menikah dengan kakakku."

Sehun mengangkat bahu. "Pada akhirnya, bajingan juga harus menikah."

"Tidak dengan Minseok eonni," kata Zitao sambil mendengus, "Minseok eonni adalah istri yang terburuk untuk seorang bajingan." Zitao menatap Sehun lagi, dengan senyuman yang cerah dan menawan. "Tapi, tidak ada yang perlu kau khawatirkan karena jelas sekali kau adalah seorang pria yang sangat masuk akal."

"Aku tidak tahu apakah aku pernah disebut sebagai pria yang masuk akal oleh seorang wanita," ujar Sehun.

"Aku bisa meyakinkanmu bahwa aku mengatakannya sebagai sebuah pujian tertinggi."

"Aku bisa melihat kau memang bermaksud seperti itu," gumam Sehun.

"Akal sehat sepertinya terlihat sebagai sesuatu yang mudah," kata Zitao, menekankan setiap perkataannya dengan gerakan tangan. "Aku tidak mengerti kenapa hanya sedikit orang yang memilikinya."

Sehun tergelak mendengarnya. Ia pun berpikir seperti itu, meskipun ia tidak pernah terpikir untuk mengungkapkannya selantang yang dilakukan oleh Zitao.

Kemudian, Zitao menghela napas, suara yang terdengar pelan dan gelisah, yang mampu langsung menunduk ke dalam hati Sehun yang terdalam. "Sebaiknya aku segera kembali," ujar Zitao, terdengar sama sekali tidak senang dengan gagasan itu.

"Kau belum pergi terlalu lama," tegas Sehun, jelas sekali ingin memperlama percakapan mereka.

"Kau yang belum pergi terlalu lama," koreksi Zitao. "Aku sudah pergi sejak sejam yang lalu. Dan, kau memang benar. Aku tidak bisa menghindari acara makan siang yang sudah disiapkan oleh ibuku. Eomma pasti akan sangat marah, yang aku rasa masih bisa kutanggung karena eomma sering sekali marah – marah, tapi rasanya tidak adil untuk Minseok eonnie. Toh, aku adalah pengiring pengantin dalam pernikahannya yang akan dilangsungkan sebentar lagi."

Sehun bangun dan berdiri, lalu mengulurkan tangannya kepada Zitao. "Kau adalah adik yang sangat baik, iya kan?"

Zitao menatap Sehun dengan intens, saat meletakkan tangan di atas telapak tangan Sehun. Hampir seperti Zitao berusaha untuk mengukur jiwanya. "Aku mencoba untuk menjadi adik yang baik," ujar Zitao dengan suara pelan.

Sehun meringis saat ia teringat dengan adiknya sendiri, yang berteriak kepadanya sambil duduk di tanah. Ia mungkin harus menemui Luhan dan meminta maaf. Toh, hanya Luhan satu – satunya saudara yang dimilikinya.

Namun, saat ia berkuda kembali ke aula Huang, dengan Huang Zitao duduk dengan nyaman di belakangnya, di atas pelana yang sama, lengan Zitao melingkari pinggangnya, ia sama sekali tidak memikirkan Luhan.

Atau Minseok.

.

.

.

~ TBC ~

Okay, gue balik lagi dengan membawa cerita orang lain :v

Seperti yang gue tulis di awal cerita, cerita ini punyanya mbak/bu Julian Quinn :3 Gue langsung jatuh cinta pas baca awal cerita punyanya ini. Dan gue pikir kalo main HunTao lebih greget lagi kalik yak :v

Ya udah berhubung kangen banget sama mereka dan jarang banget sekarang cerita mereka. Ya udah bisa lah buat obat kangen :3

Semoga kalian juga sukak

Cerita ini gue ambil dari buku antologi "Where's My Hero?", jadi buku antologi romantis ini dibuat oleh tiga penulis ternama, dan salah satunya favorit gue. Yaitu Lisa Kleypas! Tapi, malah lebih kecantol sama karyanya mbak Julia Quinn xD lol. Tapi ceritanya mbak Lisa Kleypas tetep emejing kok :3

Gue cuma ngubah nama chara sama tempat dan gelar, dan yang berhubungan lainnya. Soalnya aku buat ini di Korea. Kalo asli cerita kan di London. Nah menyesuaikan gituk.

Untuk informasi, cerita gue lagi gantung :p tak perlu untuk menyinggung – nyinggung yak xD plak

Gue usahain bisa cepet update next chapter ^^ see ya