Kuroko no Basuke belongs to Fujimaki Tadatoshi. I own nothing but this fanfic.
WARNING: might be OOC, 90% curhatan author, (mungkin) ada kesalahan dalam penerjemahan maupun penyampaian materinya, bahasa kurang baku, no pairing (atau jika kalian merasa telah menemukan hint dari suatu maupun beberapa pair, itu kuserahkan pada masing-masing pembaca).
Enjoy!
.
.
.
Sebelumnya, kita akan flashback pada momen masa pra-bimbingan mereka. Di sini, para betreuer maupun betreuerin mengadakan sesi wawancara singkat untuk mengenal lebih dalam mengenai leiter maupun leiterin mereka.
.
"Entschuldigung."
"Eh, bentar kok orangnya gak ada—WAAA! Siapa sih yang ngagetin—oh, eh, Kuroko!?"
"Ya, ini saya, Nijimura-san."
Nijimura mangap di tempat setelah bereaksi dengan alay barusan.
"Apa ada yang salah?"
"Gue gak nyangka lo masuk Sastra Jerman … Gue kira lo lebih tertarik masuk Sastra Jepang."
"Sebenarnya, Sastra Jerman itu pilihan kedua saya, Nijimura-san. Tapi, saya tetap ambil karena ingin dicoba dulu."
"Oh, moga lo betah di sini, ya! Wilkommen zu Deutsch Literatur Universität Teikou, Kuroko!"
Aslinya, Kuroko tidak begitu mengerti karena sebelumnya tidak pernah mempelajari Bahasa Jerman sama sekali. Tapi, dia tetap bersikap sopan dengan menjawab, "… Terima kasih banyak, Nijimura-san."
"Sama-sama! Kalau ada kesulitan apa-apa, tinggal tanya aja ke gue, ya!"
"Terima kasih sekali lagi."
Meskipun tadi kurang diyakini sebagai sesi wawancara yang baik dan benar, namun setidaknya interaksi mereka masih jauh lebih normal bila dibandingkan dengan lima anggota Generasi Keajaiban di bawah ini:
.
"Entschuldigung, ssu!"
"Kise?! Elo beneran kuliah?!"
"Jahat sekali, ssu! Tentu saja aku kuliah, Kasamatsucchi!"
"Berhenti panggil nama gue kayak gitu!" Sebentar, rasanya ada hal lain yang membuat Kasamatsu penasaran, "Terus karir lo jadi model gimana?"
"Masih jalan dong, ssu! Lagian dari kampus ke tempat pemotretannya juga deket, kok!"
"Ya udah. Kalau gitu, jangan lupa dateng pas mabim, ya! Awas jangan pake alasan pemotretan lagi, lo! Itu mabim bukan klub basket kayak dulu!"
Kise mengerjap dengan polos, "Eh? Tapi, tiap Sabtu aku ada pemotretan penting, ssu—"
"DATANG ATAU GUE TENDANG LO, LEITER SIALAN!"
"Hiii! Iya, ampun, ssu!"
.
"Entschuldigung, nodayo."
"… Bentar, elo Midorima?"
"Hmph, memangnya siapa lagi, nanodayo."
"Ha, emang bener Midorima. Gayanya masih songong kayak dulu," Miyaji mencibir gak tanggung-tanggung. "Kenapa lo ambil Sastra Jerman? Kata Takao lo lebih minat masuk Kedokteran?"
"Aku masuk sini lewat jalur rapor pilihan ketiga. Jadinya tidak bisa ditolak, nanodayo."
"Wah, jangan-jangan lo bakalan ikut jalur test tahun depan." Miyaji tersenyum meremehkan, membuat Midorima sedikit terusik. "Padahal, Takao keterima di Sastra Inggris. Lumayan masih bisa bareng walaupun beda jurusan."
"Hmph, belum tentu, nanodayo."
"Ya udah, sana balik, gih. Gue gak perlu banyak wawancara ke elo, kan."
"Danke, nanodayo."
"… Oi, bisa gak sih lo hilangin kebiasaan nanodayo itu pas ngomong pake bahasa Jerman?"
"Es tut mir leid, nanodayo." Midorima sedikit membuang muka, "Ini udah bawaan lahir, nanodayo."
Miyaji menyerah.
.
"Yo."
"ENTSCHULDIGUNGNYA MANA, WOI!?"
"Apaan, sih. Ngapain pake ensuldigung segala." Udah songong, pengucapannya salah, pula. Bikin Wakamatsu makin keki aja.
"Cih, kenapa lo bisa masuk sini, sih? Katanya lo mau main basket ke Amerika? Gak mau kalah sama Kagami yang udah ke sana duluan?"
"Gue disuruh kuliah dulu sama nyokap." Aomine menguap malas, merasa kalau sesi wawancara ini terlalu membuang-buang waktu. "Udah, ya. Gue cabut dulu, dah."
"WOI INI WAWANCARANYA BELUM SELESAI—"
Salah seorang kakak tingkat menginterupsinya, "Wakamatsu, sekarang sudah waktunya pulang untuk mereka, kok."
"HAH!?"
.
"Muro-chin."
"Atsushi? Astaga, kamu benar-benar masuk sini, ya …,"
"Hm? Aku memang keterima di sini, Muro-chin."
"Baiklah, baiklah. Aku tahu itu." Himuro tertawa kecil, tangannya merogoh sebungkus maiubo yang ia siapkan sebagai hadiah selamat datang kecil-kecilan kepada setiap mahasiswa baru, "Ini, untuk Atsushi. Selamat datang di jurusan Sastra Jerman, ya. Kamu tunggu aja di sini sampai waktunya pulang."
"Baiklah~"
Well, untuk apa wawancara? Keduanya sudah saling mengenal sejak zaman SMA, kok.
.
"Entschuldigung, Betreuer."
Mayuzumi mengerutkan kening. Mengapa seorang Akashi Seijuuro yang maha absolut bisa muncul sebagai adik tingkatnya di sini?
"Akashi, kau masuk jurusan Sastra Jerman?" Pertanyaan retoris, jelas-jelas Akashi ada di sini karena diterima di jurusan yang sama dengan Mayuzumi sendiri. "Kenapa milih masuk sini?"
"Aku ingin mengembangkan sayap perusahaan keluargaku ke Jerman, Betreuer." Akashi tersenyum mantap dengan kepercayaan diri yang patut dikagumi, "Sebagai pewaris tunggal, aku harus menyiapkan segalanya dengan matang."
"… Kalau kendalanya soal bahasa, kenapa gak ambil les bahasa aja, Akashi?"
"Les dan kuliah itu dua konteks yang berbeda untuk mempelajari karakter suatu bangsa dan negara, Betreuer. Di sini, aku bisa sekalian mempelajari kebudyaan dan cara berbisnis dengan orang Jerman sendiri."
Tapi, Mayuzumi masih penasaran, "Terus, ayahmu beneran ngerestuin?"
Senyum Akashi sedikit berubah menjadi penuh arti, "Aku mengambil jurusan Manajemen Bisnis di universitas ini juga. Jadi, rasanya bukan menjadi masalah lagi dalam hal perestuan orangtua."
Mayuzumi mematung di tempat, memikirkan seberapa jenius seorang Akashi sampai berani mengambil program double-degree meskipun masih menjadi seorang mahasiswa baru.
.
.
.
Dulu, mereka dipertemukan dalam sekolah menengah pertama yang sama karena basket. Tiga tahun kemudian, mereka berpisah ke sekolah menengah atas masing-masing karena basket sebagai taruhan mereka.
Tapi, masa-masa itu sudah berakhir. Sekarang, mereka kembali bertemu untuk bersatu dalam satu universitas, satu fakultas, bahkan satu jurusan yang sama.
Apakah Sastra Jerman memang menjadi pilihan yang terbaik untuk masa depan mereka? Jawabannya belum pasti karena tahun ini menjadi awal mula mereka dalam menjalankan hidup sebagai mahasiswa. Tapi, tenang saja, sekarang kita bisa menengok kisah nyata mereka saat berjuang selama sebulan ini, kok. Maka dari itu, sebelumnya kita bernyanyi dulu, oke?
Oh, ya, bila kita mengenal lagu 'Topi Saya Bundar' sejak kecil, maka di Jerman topinya diganti menjadi segitiga.
.
Mein Hut, der hat drei Ecken,
drei Ecken hat mein Hut,
und hätt er nicht drei Ecken,
so wär er nicht mein Hut.
.
Omong-omong, bagi yang masih bingung mengapa Akashi dapat mengambil double-degree secara legal meskipun masih berstatus sebagai mahasiswa baru, jawabannya sederhana: karena dia adalah seorang Akashi.
.
.
.
Notes (berikut ini sejumlah kata subjek dalam bahasa Jerman beserta artinya):
ich (saya), du (kamu; informal), er/sie/es (dia (sesuai urutan); laki-laki/perempuan/netral), ihr (kalian), wir (kita/kami), Sie/sie (anda; formal/mereka)
.
.
.
[Liebe Akashi, tolong sampaikan kepada teman-teman kelas A dan B bahwa Kleintest diadakan besok jam 12.30 di Aula Gedung D. Pelajari saja materi yang sudah difotokopi. Danke.]
.
Begitulah pesan singkat yang disampaikan oleh sosok frau yang mengajar mata kuliah Strukturen und Wortschatz dalam ponsel layar sentuh milik Akashi. Sekarang, mereka berkumpul di teras depan Gedung C sambil duduk dengan membentuk lingkaran berukuran sedang. Mereka sepakat untuk belajar bersama setelah kelas mata kuliah Grundkurs Deutsch selesai sejak setengah jam yang lalu.
Kuroko dan Midorima sedang menghafal isi dari kertas fotokopian mereka dengan khidmat. Aomine dan Kise mengerutkan kening dengan mata yang fokus pada kertas yang sama. Akashi sibuk menandai beberapa bagian yang penting dengan spidol. Murasakibara? Dia juga membaca kertas miliknya sambil makan camilan.
"Jadi," Akashi mengalihkan pandang dari kertas fotokopian ke arah teman-teman segengnya, "Apa kalian sudah siap untuk kuis besok?"
"Sebenarnya, Akashicchi." Kise angkat bicara terlebih dahulu, "Aku masih bingung soal perubahan kata kerja ini, ssu."
Akashi jadi curiga kalau Kise tidak memerhatikan penjelasan dosen saat di kelas sebelumnya. Tapi, dia tetap menjelaskan, "Karena bahasa Jerman mengenal istilah konjugasi, di mana konjugasi merupakan perubahan kata kerja yang mengikuti subjeknya."
"Berarti kalau subjeknya berbeda, jadi kata kerjanya juga harus berbeda?"
"Tentu saja. Di kelas kita sudah mempelajari arti dari kata ich, du, er/sie/est, ihr, wir, serta Sie/sie sebagai subjek, sedangkan dalam setiap kalimat terdapat subjek dan predikat yang berupa kata kerja. Karena itu jadinya harus berbeda, Kise."
"Ich arbeite, du arbeitest, er/sie/es arbeitet, ihr arbeitet, wir arbeiten, Sie/sie arbeiten …,"
"Nah, seperti itu contohnya." Akashi merujuk pada Kuroko yang sedari tadi menghafalkan subjek beserta konjugasinya. Dia mengambil pulpen untuk membuat tabel pada buku catatan milik Kise, "Arbeiten yang berarti bekerja merupakan kata kerja dasarnya. Bila bertemu subjek ich diubah akhirannya ke -e menjadi arbeite."
"Untuk subjek du diubah akhirannya ke -st menjadi arbeitest."
"Subjek er/sie/est serta ihr diubah akhirannya ke -t menjadi arbeitet."
"Sedangkan untuk subjek wir, Sie besar, serta sie kecil diubah akhirannya ke -en menjadi arbeiten." Akashi selesai membuat tabelnya.
"Tunggu, berarti untuk wir, Sie besar dan sie kecil itu kembali pakai kata kerja dasar, dong? Yang berubah itu cuma ich, du, er/sie/est, sama ihr?"
Akashi mengangguk. Tapi, masih ada kejanggalan bagi Kise.
"Terus kenapa bahasa Jermannya dia perempuan dan mereka itu sama-sama sie, Akashicchi!? Gimana cara bedainnya, coba?"
"Nah, itulah gunanya konjugasi, salah satunya dengan membedakan antara sie berarti dia perempuan dengan sie berarti mereka." Akashi tersenyum simpul, "Kalau kata kerjanya punya konjugasi -t berarti subjeknya sie untuk dia perempuan. Sedangkan kalau pakai konjugasi -en berarti sie untuk mereka."
Kise mangut-mangut paham. Yah, salahnya sendiri karena suka diam-diam sibuk dengan ponsel di tengah kelas, sih.
"Oh ya, Akashi." Aomine mengambil giliran untuk bertanya, "Kenapa kata kerja lassen ini kalau diubah jadi ich lasse terus bagian du-nya malah jadi du lässt bukan du lastest?"
"Aomine-kun, pengucapan a umlaut itu dibaca seperti e, bukan a." Kuroko sempat-sempatnya mengoreksi di tengah sesi menghafalnya.
"Terus ini juga, kata kerja schlafen kalau diubah jadi ich schlafe dan giliran du jadi du schläfst?" Kise juga ikut-ikutan meskipun pengucapannya masih belepotan, "Terus ini ada er/sie/est schläft tapi giliran bagian ihr dan seterusnya balik lagi ke a biasa bukan a um—apalah itu yang ada titik dua di atasnya?"
"Namanya a umlaut, nanodayo."
"Ich nehme, du nimmst, er/sie/est nimmt, ihr nehmt, wir nehmen, Sie/sie nehmen—"
"Tuh, 'kan! Bahkan nehmen juga bisa berubah jadi nimmst! Astaga, kenapa mau ngucapin kata verba aja harus ada aturannya, sih …,"
"Dalam Bahasa Jerman, untuk kata kerjanya memang dibagi menjadi dua, yaitu kata kerja beraturan dan tidak beraturan." Akashi kembali menjelaskan, "Contoh kata kerja beraturan dan konjugasinya seperti yang sudah kujelaskan pada Kise tadi. Sedangkan kata kerja tidak beraturan memang memiliki peraturan yang lain lagi. Seperti nehmen yang bertemu dengan subjek du menjadi du nimmst."
Aomine melongo, "Terus cara bedain kata kerja beraturan sama tidak beraturannya itu gimana!?"
"Dihafal, nanodayo." Midorima mengangkat pangkal kacamatanya yang sedikit melorot dari hidung karena efek terlalu banyak membaca, "Frau memberi fotokopian berisi latihan ini untuk dihafal, nanodayo."
Memang benar, dalam kertas fotokopi mereka berisi contoh penggunaan konjugasi dalam kata kerja bila bertemu dengan subjek beserta soal latihannya. Hanya saja teks keseluruhannya tertera dalam Bahasa Jerman, membuat mereka yang masih belum familiar dengan cara pengajaran bahasa asing merasa agak bingung.
"Dihafal!?" Aomine terkejut, "Sebanyak ini harus dihafal!?"
"Ugh, kenapa harus dihafal, ssu …,"
"Coba kalian perhatikan baik-baik. Semua kata kerja tidak beraturan ini masih dalam kategori umum," Akashi menaruh kertas fotokopinnya sendiri di tengah-tengah lingkaran mereka sambil menunjuk semua daftar kata kerja dalam contoh, "Jadi, kalau diperhatikan secara keseluruhan, perubahan konjugasi yang berbeda aturannya dengan kata kerja beraturan itu terletak pada subjek du dan er/sie/es."
Kuroko berhenti menghafal. Murasakibara juga berhenti mengunyah camilan yang dia bawa. Lima pasang mata berbeda warna ini menatap ke arah kertas fotokopi milik Akashi secara bersamaan.
"Lihat, di sini tertera bahwa untuk subjek du dan er/sie/es, terdapat perubahan pada huruf vokal selain konjugasi akhirannya." Akashi mengambil stabilo dan mencoret bagian yang tidak sempat dia lakukan sebelumnya.
"Untuk huruf vokal e diganti menjadi i atau ie. Seperti nehmen menjadi du nimmst dan er/sie/es nimmt, serta lesen menjadi du liest dan er/sie/est liest."
"Huruf vokal a diganti menjadi ä alias a umlaut. Seperti schlafen menjadi du schläfst dan er/sie/est schläft."
"Sedangkan huruf vokal au diganti menjadi äu. Seperti laufen menjadi du läufst dan er/sie/es läuft. Meskipun untuk yang ini kasusnya cukup jarang." Akashi menoleh pada teman-temannya, "Apa kalian mengerti?"
Kelimanya mengangguk dengan kompak.
"Tapi, bagaimana kalau semua kata yang dipelajari di sini tidak keluar dalam kuis besok, ssu?" Rupanya Kise masih merasa risau dengan masalah membedakan kata kerja beraturan dan tidak beraturan ini.
"Tenang saja," Akashi tersenyum penuh arti, "Nijimura-san bilang kalau Frau tidak akan memberikan kuis di luar dari kisi-kisi yang materi yang disampaikan beliau."
"Jadi, intinya kita tetap harus menghafal, ya?"
Akashi mengangguk. Sebenarnya baik Kise dan Aomine masih merasa keberatan. Tapi, setidaknya mereka sudah mendapatkan gambaran sekilas mengenai Kleintest yang akan mereka hadapi untuk hari esok.
"Omong-omong, Murasakibara." Akashi menoleh pada pemuda berambut ungu dan bertubuh paling bongsor yang sedari tadi diam saja, "Apa kau sudah mengerti dengan seluruh materinya?"
"Mmm … sebenarnya malam ini aku menginap di apartemennya Muro-chin, biar sekalian belajar." Murasakibara mengunyah keripik kentang selaku salah satu camilan yang dibawanya, "Tapi, aku jadi lebih paham setelah mendengar penjelasan dari Aka-chin. Mungkin aku akan minta Muro-chin untuk memberi tes kecil-kecilan setelah sampai di sana. Terima kasih, Aka-chin."
"Oh, iya! Terima kasih banyak, Akashicchi! Rasanya aku jadi lebih paham setelah Akashicchi yang ngajarin, ssu!"
"Yo, Akashi. Nanti gue duduk di sebelah lo pas kuis, ya." Aomine mengulum cengiran lebar pertanda modus. Ini, sih sudah dikasih hati malah minta jantung.
"Terima kasih banyak, Akashi-kun. Aku jadi lebih mengerti tentang apa yang kuhafalkan sebelumnya."
"Te-terima kasih, nanodayo."
Akashi tersenyum kecil. Ada rasa kepuasan dalam diri sendiri ketika dia berhasil menjadi sosok yang diandalkan bagi teman-temannya. Bukankah begitu, tuan yang maha sempurna?
.
.
.
Kleintest akan dimulai satu jam lagi. Momoi Satsuki, mahasiswi baru dari jurusan Sastra Perancis di universitas yang sama, sibuk membantu teman sejak kecil yang bersiap-siap dalam menghadapi perang pertamanya.
"Oke, Dai-chan! Kita ulangi lagi, ich angle—?"
"—du angelst, er/sie/es angelt, ihr angelt, wir angeln, Sie/sie angeln."
"Très bien! Sekarang ganti ke fallen. Ich falle—?"
"—du fällst, terus … er/sie/es fällt, ihr fallt, wir fallen, … Sie/sie fallen."
"Yeay! Benar semua! Semangat untuk kuis pertamamu, Dai-chan!"
Aomine mendengus jumawa. Dirinya menjadi berkali-kali lipat lebih percaya diri dibanding sebelumnya.
.
"Ini serius, Shin-chan!?" Takao melongo saat melihat kertas fotokopian milik Midorima, "Bahasa Jerman seribet ini!?"
"Hmph, kau tidak mengerti, Bakao?" Midorima menaikkan pangkal kacamatanya yang sama sekali tidak melorot dari hidung, "Inilah estetika dari Bahasa Jerman, nanodayo."
"Dih, padahal siapa yang dulu pernah bilang menyesal karena masuk Sastra Jerman." Takao mencibir pelan, meskipun seulas senyum muncul dengan tulus dari bibirnya, "Jadi, sekarang Shin-chan sudah enjoy dengan Bahasa Jerman, hm?"
Midorima menaikkan kacamata lagi sebelum merebut kertas fotokopiannya dari tangan Takao. Pemuda bermata elang itu tergelak, dia tahu kalau Midorima sedang menikmati usaha dalam berjuang dengan pilihan terakhirnya.
.
"Ah, maaf, sepertinya aku jadi mengganggu waktu belajarmu, ya?"
"Tidak, Kagami-kun. Sebenarnya aku sudah belajar sejak semalaman." Kuroko berbicara pada Kagami lewat video call saat ini. Dia sedang menunggu Kleintest tiba di bangku luar depan Gedung D. "Kagami-kun sendiri baru selesai latihan?"
"Mhm, ini lagi istirahat sebelum tes mingguan." Kagami mengusap peluh yang mengalir dari pelipis dengan handuk kecil sembari berkata, "Good luck for your first quiz, Kuroko."
"Du auch, Kagami-kun. Vielen Dank."
Kagami menatapnya dengan geli, "Apa itu artinya, Kuroko?"
Kuroko tersenyum kecil, "Um, jawab saja dengan Bitte, Kagami-kun."
.
Sepeda yang dikayuh oleh Nijimura diparkirkan dengan sempurna pada tempatnya. Akashi turun dari boncengan setelah mengucapkan terima kasih pada seniornya pada masa SMP itu.
"Fyuh," Bibir Nijimura membentuk cengiran kecil pada sang pemuda berambut merah, "Aku salut padamu yang rela bolak-balik dari FEB ke sini demi mengikuti dua tes, Akashi."
"Aku melakukannya karena ini merupakan pilihanku sendiri," Akashi menjawab dengan senyuman kecil, "Lagipula, aku lebih ingin berterima kasih pada Nijimura-san yang bersedia menjemputku setelah kelas selesai."
"Tidak masalah. Lagipula, aku tidak ada kegiatan apa-apa setelah ini."
Keduanya berjalan untuk bertemu dengan Mayuzumi yang menunggu kedatangan mereka di kantin yang tak jauh dari lapangan parkir khusus sepeda.
Mayuzumi mengalihkan pandang dari buku light novel yang dibacanya sendirian saat menyadari kedatangan mereka, "Lama."
"Maaf, tadi dosenku sedikit mengulur waktu. Jadi, selesainya juga sedikit terlambat."
Pemuda berambut abu-abu itu menggeser segelas es teh tawar yang sudah dipesan sejak tiga menit yang lalu ke arah Akashi, "Minum ini. Habiskan."
Akashi tersenyum tipis, "Terima kasih, Mayuzumi-san."
Melihat Akashi yang disuguhi minuman, Nijimura jadi angkat bicara, "Oi, bagian gue yang mana?"
"Beli sendiri."
Bibir Nijimura semakin maju beberapa senti.
.
Kleintest akan dimulai sebentar lagi. Baik Kise maupun Murasakibara langsung berdiri dari sofa di ruang tunggu setelah melihat dua kakak tingkat yang mereka kenal keluar dari ruang aula Gedung D.
"Kasamatsucchi, bagaimana dengan Kleintestnya, ssu?"
Kasamatsu menepuk kepala Kise sambil iseng mengacak-acak rambutnya sekalian, "Cukup lancar. Berjuanglah, Kise."
Kise tersenyum lebar, "Danke schön, ssu!"
Sementara di sisi lain, Himuro sibuk mengambil semua camilan yang dibawa oleh Murasakibara di dalam tasnya.
"Ingat, Atsushi, tetap fokus dengan Kleintestnya, ya? Nanti kamu bisa ambil lagi camilannya setelah tes selesai. Aku tunggu di kantin."
"Baik~"
Dua kakak tingkat itu seakan menjadi penyemangat baru tersendiri bagi si kuning dan ungu.
.
.
.
Satu jam kemudian, dua dari enam di antara mereka berjalan dengan lesu saat keluar dari ruang aula tempat Kleintest diadakan. Momoi menghampiri mereka berenam setelah setengah jam duduk di sofa untuk menunggu.
"Bagaimana dengan kuis kalian?" Gadis merah muda itu bertanya. Mereka bertujuh berjalan keluar dari Gedung D bersama-sama.
"Apa-apaan," Wajah Aomine semakin kusut, "Aku muak dengan Kleintestnya."
Raut wajah Momoi berubah menjadi bingung, "Eh? Kenapa?"
"Begini, Momocchi." Kise tersenyum dengan raut wajah luar biasa lelah, "Memang apa yang kita pelajari soal das Verb itu keluar semua. Tapi—"
"—GUE GAK TAHU KALAU MATERI TENTANG ARTIKEL JUGA KELUAR DI SITU!" Aomine memotong dengan teriakan frustasi, "Sial! Sial! SIAL! Rasanya kepalaku ingin pecah saat mengerjakan bagian itu."
"—ya, seperti yang dibilang Aominecchi." Kise tertawa patah, "Aku juga kesulitan saat mengerjakan bagian Artikel."
"Salah kalian sendiri, nanodayo." Midorima menaikkan kacamatanya, "Jika kalian memerhatikan materi di kelas Grundkurs tadi pagi, pasti kalian bisa menjawab setidaknya tiga perempat dari dua puluh soal Artikel, nanodayo."
"Seperti apa yang dikatakan Midorima-kun. Aku juga hanya bisa mengerjakan lima belas soal Artikel karena semuanya merupakan kata benda yang sudah dibahas di kelas Grundkurs," Kuroko ikut menimpali.
Sebenarnya, Murasakibara juga tengah berwajah lesu. Bukan karena soal Kleintest, melainkan kelaparan yang melanda akibat camilannya diambil Himuro semua.
"Argh! Tapi, Frau sama sekali tidak bilang kalau Artikel juga masuk dalam Kleintest tadi! Di fotokopiannya juga cuma ada materi soal kata kerja doang!" Aomine masih frustasi, "Gue benci banget sama Artikel!"
"Yakin kau mau benci dengan Artikel, Aomine?"
"Akashi?" Aomine menoleh pada Akashi yang balik menatapnya dengan serius.
"Artikel itu menempati posisi yang penting sekali dalam Bahasa Jerman." Akashi kembali menatap ke depan, nampaknya dia sedang memikirkan sesuatu yang masih berhubungan juga, "Jadi, mau tidak mau kau harus mempelajarinya selama kau berada di jurusan ini."
Mulut Aomine menganga lebar, "… Hah? Jadi kedepannya gue bakalan ketemu sama Artikel, dong?"
"Tepat sekali."
Wajah Aomine jadi makin nelangsa.
"Oh, ya. Tadi Frau sempat bilang padaku saat pengumpulan Kleintest." Akashi akhirnya ingat juga, "Materi kita selanjutnya adalah tentang Artikel. Kita punya waktu selama dua minggu kedepan untuk mempelajarinya, artinya kita punya dua kali pertemuan sebelum Kleintest mengenai Artikel diadakan."
Mendengar informasi barusan, raut wajah kelima pemuda itu berubah menjadi horror. Kacamata Midorima mendadak retak, bahkan topeng datar milik Kuroko mulai tergoyah saking gemasnya.
"APAAAAAAA!?"
Perjalanan kalian masih panjang sekali, bung.
[END]
Notes (tentang mata kuliah yang dipelajari author untuk semester satu ini):
- Grundkurs Deutsch: mata kuliah yang mempelajari Bahasa Jerman dari dasar (level A1)
- Strukturen und Wortschatz: mata kuliah yang mempelajari grammar-nya Bahasa Jerman. Sebenarnya matkul SW ini masih berhubungan sama GD, cuman bedanya SW ini lebih fokus mempelajari grammar lebih dalam lagi.
A/N: Gila ini merupakan suatu kenikmatan tersendiri bisa curhat soal kuliah setelah lepas dari belenggu UTS HAHAHAHA /ditimpuk kamus/
Seperti yang sudah tertera di warning, 90% isi cerita di sini memang berdasarkan dari pengalaman pribadi. Jujur, gue pribadi suka belajar bahasa asing. Tapi, Bahasa Jerman ini seakan menampar gue berkali-kali buat tetep sadar dan hidup di tengah mempelajari grammarnya yang luar biasa nikmat itu :')) (terutama soal die Artikel. Saat ini gue masih belajar materi yang bertingkat-tingkat itu sampai gak inget lagi berapa kali gue pengen nangis darah karena gue bukan tipe yang pandai menghafal, tbh) :')))
Sebenarnya, gue mau ceritain soal mabim dibanding soal materi das Verb beginian, tapi gak jadi deh bisi dicyduk kating duh mampus gue /HEH/ Lagian gapapa sih soalnya gue sekalian belajar ulang lagi sampai beneran paham (serius, bahkan gue gak semudeng ini pas Frau jelasin soal das Verb dibanding gue kembali bolak-balik buka fotokopian materi buat ngetik fanfic ini). Dan, semoga kalian juga bisa paham dengan apa yang gue jelasin dalam fanfic ini. Masuk Sastra Jerman itu seru, kok! Cuman ya gitu, siap-siap mental aja, haha. Siapa tahu di sini ada yang minat masuk Sastra Jerman buat masuk kuliah /yha
Soal die Artikel, itu sengaja gak gue bahas lebih lanjut karena gue sendiri baru belajar sampai tingkat Akkusativ. Makanya gue gak berani bedah lebih lanjut buat dituangin dalam fanfic ini.
Anyway, terima kasih sudah membaca! Kritik dan saran kuterima dengan lapang dada (karena tbh ngerasa ada kejanggalan soal beberapa kosakata tapi ya udah lah ya) /heh/
