.

.

Fairy Tail © Hiro Mashima

A Fairy Tail Fanficton

By Serly Scarlet

Title : Me & My Brother

Rate : T/M
(Ujung-ujungnya pasti jadi Mature. Jika itu terjadi aku akan memindahkannya)

Warning : AU, Typo, dll

.

.

.


Chapter 1
-The Handsome Old Man-


.

.

[Erza's P.O.V]

Erza Scarlet, nama lengkapku. Aku terlahir di keluarga Scarlet yang kehidupannya sederhana. Orang bilang kalau yang namanya sederhana itu sama saja dengan miskin. Apa mereka tidak pernah membuka buku kamus? Sederhana berarti bersahaja ; tidak melebihkan apa yang ada hanya demi mendapatkan pujian dari orang sekitar.

Rumah keluarga Scarlet juga kecil dan sederhana. Di dalamnya hanya ada ruang tamu yang tidak terlalu luas namun selalu tertata dengan baik agar siapapun tamu yang berkunjung bisa merasa nyaman. Lalu dapur kecil dengan satu set peralatan masak yang lengkap. Kemudian kamar Ibuku yang dimana pintunya terhubung dengan ruang tamu. Dan yang terakhir adalah sebuah tangga kayu, jika kalian menaikinya kalian akan menemukan pintu kamarku.

Baiklah, lupakan dulu masalah kesederhanaan keluarga Scarlet.

Sekarang aku sedang menunggu Ibuku yang katanya sedang melakukan lembur kerja sampai larut malam. Sambil menunggu Ibuku pulang, aku telah merebahkan tubuhku lurus di atas sofa sambil memandangi layar Televisi yang terletak di sudut kiri ruang tamu.

Acara TV favoritku adalah Stand Up Comedy.

Apa kalian tahu? Dulu waktu aku masih menduduki bangku sekolah menengah atas, hampir semua orang disekolah terutama sebagian besar siswa laki-laki selalu berkata; "Kau ini sangat cantik, tapi sayangnya wajahmu itu selalu terlihat serius. Jadi wajar saja kalau mereka sedikit takut padamu." Dan sayangnya aku tidak pernah peduli dengan ucapan-ucapan seperti itu. Baik atau buruk tentang pandangan mereka terhadapku, itu terserah saja. Aku hanya ingin menjadi diriku.

Seandainya salah satu dari mereka ada yang berkunjung ke rumahku tahu apa yang sekarang sedang aku rasakan, mungkin persepsi mereka perlahan akan berubah. Kenapa? Karena aku sedang tertawa lepas, merasa bahagia, itu karena sedang merasa terhibur oleh Acara TV favoritku.

Acara TV favoritku pun berlalu, tapi aku terus membiarkan layar telivisinya terus menyala. Aku pikir akan ada Acara TV yang menarik lainnya, tapi ternyata malah membuatku bosan. Kalian pasti setuju denganku. Apa yang kalian rasakan? Ketika menyaksikan Serial Drama yang dimana dialognya terdengar seperti romance picisan. Omong kosong, itulah yang ada dalam pikiranku.

Karena bosan, aku sampai mengalihkan pandanganku ke langit-langit. Sekali-sekali aku menatap arloji yang melingkari pergelangan tangan kiriku. Sudah hampir jam 11, tapi Ibuku belum pulang juga. Ya sudahlah, mungkin Ibuku masih harus mengurus pekerjaannya ini dan itu. Entahlah, aku tidak terlalu faham dengan pekerjaan seorang sekertaris.

Oh tidak, sekarang aku mulai merasa ngantuk. Aku berusaha menahan mataku untuk tetap terjaga, tapi berat sekali rasanya. Yah, sepertinya aku harus mengistirahatkan tubuhku. Jika tidak, mungkin aku akan jatuh sakit. Tidak perlu khawatir, karena indera pendengaranku ini cukup waspada. Aku bisa terbangun dengan cepat jika ada suara-suara yang mengganggu gendang telingaku, termasuk nanti Ibuku pasti mengetuk pintu kalau sudah pulang.

Baiklah, aku tidur dulu…

.

.

.

"Erza…"

Tok Tok Tok

"Erza…"

Sepasang mataku pun terbuka dengan tegas. Aku sudah mengatakannya, bukan? Indera pendengaranku cukup waspada. Apalagi yang sedang memanggil namaku sambil mengetuk pintu rumahku ini adalah seorang wanita yang memiliki suara Alto yang sama persis sepertiku. Siapa lagi kalau bukan Ibuku? Dan aku adalah anak kandungnya.

Aku segera menyingkir dari sofa, dan segera menyeret langkahku menghampiri pintu. Aku pun membukakan pintunya. Yah, inilah Ibuku. Tetangga disamping rumahku pernah berkata ; "Jika umur kalian berdua sebaya, mungkin kalian akan terlihat seperti saudara kembar." Ayolah, menurutku itu terlalu berlebihan. Aku hanya mewarisi wajah Ibuku.

Nama Ibuku, Irene Scarlet. Usianya sekitar 53 tahun. Mengenai pekerjaan Ibuku, seperti yang katakana tadi, Ibuku adalah seorang Sekertaris. Ibuku bekerja di kantor perusahaan Fullbuster Advertising, yaitu perusahaan yang membidangi jasa periklanan. Setahuku, itu adalah salah satu perusahaan termana di kota Magnolia.

"Maaf telah membuatmu terlalu lama menunggu, Erza." Kata Ibuku. Ia tetap tersenyum padaku, meskipun wajahnya terlihat sedikit lelah. Tapi syukurlah, ibuku pulang dalam keadaan baik-baiknya.

"Tidak apa-apa Ibu, sungguh." Aku segera meraih Ibu ke dalam pelukanku. Hangat, itulah yang setiap hari aku rasakan setiap kali aku memeluk Ibuku. " Yang paling penting adalah, Ibuku yang 'Paaaling Cantik' di dunia ini pulang dalam keadaan selamat." Rayuku.

"Hahaha." Senang sekali rasanya begitu mendengar suara tawa kecil yang merdu milik Ibuku, terngiang masuk ke telinga kananku. "Kau tahu, Erza? Sepertinya Ibumu yang 'Paaaling Cantik' ini adalah orang yang paling beruntung, karena Ibu telah melahirkan seorang putri yang 'Paaaling Cantik' dan 'Paaaling Berbakti' di dunia ini."

"Hahaha. Apa itu? Benar-benar pujian yang aneh." Ejekku. Maksudku, rasanya kata-kata Ibuku barusan seolah-olah seperti aku yang mengatakannya sendiri. Mungkin suara kita berdua memang tidak bisa dijelaskan dengan kata Mirip.

Setelah melepaskan pelukanku terhadap Ibu, aku tidak sadar kalau sedari tadi tangan kanannya sedang menjinjing sebuah kantong. Oh, mungkin hanya peralatan Make up. Ibuku seorang Sekertaris. Jadi harus tetap tampil cantik, meskipun sudah berumur tua.

"Sini, biar aku yang bawakan," aku segera mengambil alih kantong itu ke tanganku.

"Iya, terima kasih." Ucapnya. Ia juga baru saja masuk ke dalam rumah dan melewatiku. Tiba-tiba saja berhenti melangkah dan berpaling kembali padaku. "Apa kau sudah makan nak? Jika belum, Ibu akan membuatkan makan malam untukmu."

"Tidak! Jangan," kantong milik Ibu yang masih terjinjing ditangan kananku ini, aku letakan di atas sofa yang satunya lagi- sofa yang hanya muat untuk duduk satu orang. Aku kembali mendekati Ibu dan merangkul pundaknya, lalu menuntun Ibu hingga duduk nyaman di atas sofa tempat saat dimana aku tadi merebahkan tubuhku. "Biar aku saja yang memasak untuk Ibu." Kataku.

Dengan sigap aku menyingkir dari hadapan Ibu, lalu menyeret langkahku menuju ruang dapur.

"Hey, nak. Masak adalah kewajiban bagi seorang Ibu untuk anaknya." Ucapan Ibu barusan telah membuatku langkahku terhenti dan berdiri tepat dilawang sebelum memasuki ruang dapur.

Aku pun mengalihkan perhatianku kembali untuk menatap wajah Ibuku. "Lalu, siapa yang telah mengajarkanku dari kecil untuk berbakti kepada orang tua?" tanyaku.

"Baiklah, kau yang menang nak." Jawab Ibuku, tentunya ia menyerah atas ucapanku barusan.

Baiklah, sekarang aku benar-benar sudah di dalam ruang dapur. Aku men-sibuk-an diriku, menyiapkan peralatan masak dan bumbu dapur yang aku perlukan. Lalu menggeledah isi Kulkas untuk menyiapkan bahan masakan. Dari arah ruang tamu, terdengar suara televisi yang masih menyala.

"Pemirsa, kita ke berita selanjutnya. Aktivitas tawuran antara pelajar SMA Blue Pegasus dengan SMA Sabertooth kembali terjadi di kawasan Kota Crocus Blok E." Itu adalah suara milik seorang presenter wanita yang biasa memaparkan sebuah berita sebelum menayangkan TKP/Tempat Kejadian Perkara. "Seorang Kepala Sekolah dari SMA Blue Pegasus, Ichiya Vandalay Kotobuki, tewas seketika saat setelah berusaha mencoba melindungi para siswa-siswanya dari serangan balik yang dilakukan oleh siswa-siswa SMA Sabertooth."

"Hahaha." Mendengar berita barusan, Ibuku yang masih bersantai di ruang tamu, tiba-tiba tertawa.

Aku sendiri hanya memutar sepasang bola mataku. Aku hanya sedang berpikir, kalau pria bernama Ichiya Vandalay Kotobuki itu benar-benar bodoh. Dikatakan sebagai seorang pahlawan pun sangat jauh sekali. Rela mati demi melindungi murid-muridnya yang sudah pasti semuanya berandalan. Seandainya aku adalah kepala sekolah SMA Blue Pegasus, aku lebih memilih untuk meminta bantuan para polisi.

Ah, sudahlah. Lebih baik aku segera menyelesaikan pekerjaanku di dapur.

.

.

.

Baiklah, semua persiapan makan malam telah aku selesaikan. Mulai dari menata piring dan dan peralatan makan pendukung lainnya telah aku tata rapih di atas meja ruang tamu. Sebenarnya Ibuku tadi juga ikut membantuku, ia keluar-masuk ke dapur, membawakan semua hidangan yang telah aku masak. Ibuku memang seperti itu, gesit dan selalu merasa gatal untuk membantu, meskipun aku tidak begitu merasa kesulitan dengan pekerjaanku.

Tibalah untuk makan malam…

Aku duduk berdampingan dengan Ibuku. Sebelum memulai, entah itu sarapan pagi atau makan malam, masing-masing kedua tangan kita selalu mengatup sambil memejamkan mata. Apalagi kalau bukan sedang berdoa? Ini adalah bukti bahwa kita selalu bersyukur atas kelancaran dalam hidup.

Berdoa pun selesai…

Ibu segera menyantap satu sendok makan malam buatanku. Apakah masakanku kali ini benar-benar enak? Entahlah, kalau aku mengingat yang dulu-dulu Ibuku selalu menilai masakanku. Hanya ada 2 penilaian, antara kurang garam atau terlalu asin karena banyak garam.

"Erza, apa kau tidak merasa kalau-" Ibuku tiba-tiba menghentikan ucapannya. Apakah Ibu akan mengatakan lagi kalau masakanku malam ini kurang garam ataukah sebaliknya? Terlalu asin karena banyak garam. "Kau benar-benar semakin pandai memasak?!"

"Benarkah?!" Jelas aku sangat senang. Itu karena Ibuku selalu jujur dalam penilaiannya. Jika menurutnya A, Ibuku pasti akan mengatakan A. Jika menurutnya B, Ibuku pasti akan mengatakannya juga. Dan pujian yang diucapkan Ibuku barusan benar-benar jujur dari lubuk hati. "Baiklah, mulai malam dan seterusnya biar aku saja yang terus memasak untuk Ibu. Setuju?" saranku dengan penuh semangat.

"Tidak," tolaknya.

"Menyebalkan, aku kira Ibu akan berkata padaku Baiklah." Gumamku yang tentu saja sedikit kesal.

Di samping itu, aku juga ikut mencoba menyantap satu sendok makan malam buatanku sendiri, dan ternyata memang enak. Jujur saja, aku baru pertama kali masak seenak ini.

"Ayolah Erza, kau tidak perlu marah seperti itu padaku." Bujuk Ibu, dan ia juga sedang mencubit bagian pipi kiri wajahku yang mungkin masih terlihat masam.

"Aku tidak marah," sangkalku.

"Oh, benarkah? Tapi Ibu malah merasa kalau caramu berbohong benar-benar payah. Siapa yang mengajarimu? Hahaha..." Baiklah, sekarang Ibuku sedang mentertawakanku cukup puas.

Tapi pada saat yang bersamaan, Ibuku juga meraih kedua belah pipiku, lalu membenamkan wajahku hingga terjepit disela-sela lehernya. Hangat… Demi Tuhan, aku tidak akan pernah merasa bosan dengan kehangatan yang diberikan Ibu padaku.

Dan aku juga merasa kalau jemari tangan Ibuku sedang membelai dan menyisir secara perlahan terhadap rambutku. Jika kalian ingin tahu. Baik dari segi bentuk tubuh, wajah, maupun suara, kita berdua juga memiliki kesamaan dalam warna rambut, Scarlet.

"Oh ya, Ibu hampir lupa. Tunggu sebenar," Ibu tiba-tiba menyingkir dariku.

Aku melihat Ibuku sedang mengambil kantong belanjaan miliknya yang tadi sempat kuletakan di atas sofa. Setelah mengambilnya, Ibu kembali duduk bersanding dekat denganku. Ia juga mengeluarkan isi kantong itu. Ternyata sebuah kotak berukuran kecil yang dibalut dengan kertas Kado. Ibu segera menyerahkan kotak itu padaku, dan aku pun menerimanya dengan senang hati.

"Ibu, apa ini?" tanyaku penasaran.

"Nanti kau juga akan tahu setelah membukanya." Jawabnya itu benar-benar rasa penasaranku semakin bertambah.

Memang hari ini hari apa? Apa hari ini adalah Hari Anak Nasional? Jika memang iya, tidak mungkin Ibu akan memberikannya padaku. Kenapa? Sudah jelas, aku sudah bukan anak kecil lagi. Aku yang sekarang adalah seorang gadis terdaftar dalam kategori Dewasa. Bahkan aku juga sudah pantas untuk menikah jika memang ada seorang pria yang ditakdirkan untuk menjadi jodohku.

Tanpa berpikir panjang lagi, aku segera melucuti setiap lipatan-lipatan kertas kado yang membungkus kotak yang di dalamnya masih tidak aku ketahui. Kira-kira apa ya isinya? Ah sudahlah, nanti juga aku akan tahu setelah membukannya. Baiklah, sekarang kertas kadonya sudah berhasil aku singkirkan. Sekarang di tangan kananku adalah sebuah kotak kecil berwarna putih. Begitu aku membuka penutupnya-

"Ibu, ini-" ucupanku langsung terhenti, karena isinya cukup mengagetkanku.

Kotak kecil berwana putih yang masih aku ngenggam ini rupanya berisi sebuah jam tangan. Aku memang memang memiliki banyak koleksi jam tangan di kamarku, tapi yang aku lihat ini adalah jam tangan dengan model yang begitu elegan, berwara hitam mengkilap, terdapat butiran permata putih yang tersusun melingkari setiap sisinya. Jika aku nilai, ini adalah jam tangan dengan harga yang cukup fantastis.

"Selamat Ulang Tahun, Erza sayangku." tiba-tiba saja Ibuku mendaratkan ciuman hangatnya pada bagian keningku, lalu melepaskannya dan menatapku dalam-dalam.

Mungkin Ibu sedang memperhatikan wajahku yang dimana perasaanku sedang bercampur aduk antara merasa senang dan bingung hanya karena hadiah ulang tahunku malam ini. Eh, tunggu! Hari ulang tahunku kan besok.

"Ibu, hari ulang tahunku bukannya besok?" tanyaku.

"Lebih baik kau lihat jam tanganmu yang sudah usang itu, sekarang jam berapa?" perintahnya.

Kenapa harus melihat jam tangan lamaku? Padahal jam tangan yang ada di dalam kota ini juga- Eh? Aku tidak sadar kalau jam tangan mahal ini dari tadi jarumnya tidak bergerak. Jangan-jangan baterai-nya sudah habis? Mungkin Ibuku lupa memeriksannya saat membeli jam tangan mahal ini. Aku segera mengalihkan perhatikanku, menatap jam tangan lamaku, ternyata memang sudah Jam 00.30 AM.

Benar, hari ulang tahunku sudah tiba.

"Baiklah, kalau begitu sekarang berikan jam tangan lamamu itu padaku. Aku ingin lihat apakah jam tangan itu pantas dipakai untuk putriku yang 'Paaaling Cantik'-" Ibuku tiba-tiba mencubit dan memainkan batang hidungku, sakit. "Di dunia ini. Hahaha…" Lalu melepaskannya.

"Ibu, sakit…" rintihku manja.

"Sini, berikan jam tangamu." Ibu malah merebut jam tangan lama yang masih melingkar di tangan kiriku, dan langsung dipakaikan ditangannya. Ibuku terkadang seperti anak kecil. "Jam tanganmu ini tidak buruk." Setelah memakai jam tangan lamaku, Ibu kembali menatapku. "Kenapa tidak kau pakai? Apa kau tidak suka?" tanyanya.

"Ah?! I-Iya, aku menyukainya." Sulit sekali mengungkapkannya dengan kata-kata. Yang bisa kulakukan hanyalah mengusap kedua mataku. Air mataku hampir lolos begitu saja.

"Kalau begitu tunggu apalagi? Ayo cepat pakai nak. Ibu ingin melihatnya." Pintanya. "Baiklah, kalau begitu biar Ibu saja yang pakaikan untukmu."

"Ibu, tunggu-" cegahku, tapi Ibu sudah terlanjur mengeluarkan jam tangan mahal yang masih terletak di dalam kotak kecil ditanganku.

"Kenapa?" tanyanya heran.

"Bukan apa-apa. Hanya saja, jam tangan itu mungkin baterainya sudah habis. Jadi, aku pikir mungkin besok pagi aku akan membelinya." paparku.

"Bodoh, kenapa harus repot-repot membeli baterai jam. Hahaha…" lagi-lagi Ibu mengejekku. Tapi ia juga sedang membantuku memasang jam tangan baru yang mahal itu di pergelangan tangan kananku. "Baiklah, sekarang kau boleh melihatnya. Apakah jam itu cocok untukmu. Hmm…"

"Baik, seperti jam tangan ini memang cocok ditanganku meskipun besok pagi aku harus membeli baterai-" Eh?! Jam tangan mahal yang kupakai ini berhasil membuatku terkejut.

Lebih jelasnya. Setelah jam tangan mahal ini terpasang dipergelangan tangan kananku, tiba-tiba jarumnya bergerak. Begitu juga dengan jarum menit dan jamnya, bergerak mengatur sendiri sesuai dengan standar waktu dunia. Apakah ini sihir? Entahlah, aku benar-benar tidak mengerti.

"Ibu, kenapa jam tangan bisa-"

"Baiklah, kau ingin mengatakan 'Kenapa jam tangan itu tiba-tiba bisa bergerak sendiri?' Benarkan?" potongnya. "Yah, mungkin karena… kau adalah putriku yang 'Paaaling Cantik', dan satu-satunya orang yang bisa membuat jam tangan itu bergerak dengan sendirinya. Hahaha…" Bercandanya tidak lucu.

"Ibu! Aku serius, eh!" kataku. Dengan sikap manjaku, aku langsung menangkap lengan kanan Ibuku dan mengguncangnya.

"Baiklah, Ibu akan memberitahumuu. Sebelum membelinya, pelayan toko yang bekerja disana mengatakan kalau 'Jam ini bisa bergerak dengan mengandalkan denyut nadi'. Selebihnya, itu adalah jam tangan paling mahal yang pernah Ibu belikan untukmu. Hahaha…"

Benar dugaanku. Jam tangan yang kupakai sekarang ini benar-benar jam tangan mahal. Dan yang membuatku khawatir- "Ibu, seandainya jam tangan ini hilang. Apa Ibu akan marah padaku?" Benar, aku mengkhawatirkan hal itu terjadi. Karena baru pertama kali ini Ibu memberiku hadiah dengan harga yang mahal.

"Menurut Ibu, kata Hilang yang kau ucapkan itu adalah Mitos. Karena sampai sekarang, kau selalu menjaga dan merawat 'Apa yang sudah Ibu berikan padamu?' dengan baik."

Aku kembali memperhatikan jam tangan baru yang masih melingkar di pergelangan tangan kananku. Setelah mendengar ucapan Ibu barusan, aku berjanji tidak akan pernah menghilangkan apa yang sudah Ibu berikan padaku. Termasuk hadiah ulang tahunku malam ini. Bukan soal mahal, tapi ini masalah ketulusan.

"Erza." Panggilnya.

"Iya?" sahutku.

Begitu mengalihkan perhatianku kembali menatap wajah Ibuku, aku langsung terheran karena wajah Ibu. Entah sejak kapan wajah Ibuku seperti dipenuhi dengan rasa bersalah. Hal itu membuat perasaanku yang tadinya bahagia berubah menjadi rasa khawatir.

"Maafkan Ibu," lirihnya.

"Maaf? Kenapa Ibu meminta maaf padaku?" Kalau mengingat kebelakang, aku merasa kalau Ibu tidak pernah salah merawatku dan selalu memperlakukan dengan baik.

"I-Iya, Ibu minta maaf. Karena selama satu bulan ini- Ibu tidak pernah memberitahumu. Takutnya, kau tidak akan menerima keputusan yang dilakukan secara diam-diam oleh Ibumu ini." Sungguh, ucapan Ibu kali ini sama sekali tidak membuatku faham.

"Ibu, katakan saja padaku terus terang." Pintaku.

"I-Iya, baiklah. Ibu akan jujur padamu. Tapi Ibu ingin kau berjanji, kau tidak akan marah setelah mendengar keputusan Ibumu ini. Mengerti?"

"Baik, aku mengerti. Aku tidak akan marah." sebenarnya aku merasa kesal karena dari tadi Ibuku mengatakan hal yang berbelit-belit. Aku baru saja menyingkir darinya. Sekarang aku sedang berdiri sambil menanam kedua tangan di kedua belah pinggangku, dan pandanganku tetap kupertahankan untuk menatap Ibu. "Jadi katakanlah,"

"Baiklah, kalau begitu dengarkan Ibu baik-baik." Sekarang Ibuku pun berdiri sambil menatapku sangat serius. "Mulai minggu depan kita akan pindah ke Alvarez."

"Apa?!" Jelas aku kaget, karena ini terlalu mendadak. "Kenapa? Apa Ibu diperintahkan untuk pindah kerja?" aku harap perkiraanku benar.

"Tidak, justru sebaliknya. Ibu telah mengurus surat pengunduran diri."

"Tapi-!"

"Tidak ada tapi-tapi! Keputusan Ibu sudah bulat!" Apa dia benar-benar Ibuku? Entahlah, aku merasa kalau dihadapanku ini adalah orang asing yang sedang menyamar menjadi Ibuku. "Itulah kenapa malam ini Ibu pulang terlambat dari yang biasanya."

"Kenapa Ibu melakukan hal seperti itu?! Jangan katakan kalau Ibu sudah bosan mengurusku! Bosan membiayai semua keperluanku! Lalu sekarang Ibu berniat membuangku-"

"Jika benar seperti itu, Ibu akan membuangmu saat setelah kau lahir!" Dan baru pertama kali ini Ibu membentakku sangat keras. Aku takut sekali sampai-sampai tubuhku seperti tidak mau bergerak. Namun tiba-tiba saja Ibu memeluku sangat erat. Seperti biasa, kehangatannya selalu menyelimutiku. Nyaman sekali. "Ibu mohon, jangan sekali-kali berpikir yang tidak-tidak tentang Ibumu ini."

Sekarang aku benar-benar merasa ngantuk…

.

.

.

Kriing! Kring!

Aku kenal dengan suara gemerincing itu, karena suara itulah yang membangunkanku di pagi hari. Tunggu! Sejak kapan aku ada disini? Di kamarku sendiri. Padahal seingatku, semalam aku tidur di sofa ruang tamu. Pada saat itu kepulangan Ibuku membuatku terbangun. Kalau tidak salah, Ibu memberiku hadiah tepat dihari ulang tahunku yang ke-19 tahun. Apa semua itu hanya mimpi? Tapi bagiku, kejadian semalam benar-benar sangat nyata.

"Erzaaa! Apa kau sudah bangun? Sarapanmu sudah siap!" itu adalah suara Ibuku yang berteriak memanggilku dari lantai bawah.

Mendengar panggilan itu, aku segera menyingkir dari tempat tidurku. Lalu menghampiri jendela kamarku yang masih tertutup oleh kain tirai, dan kusampingkan tirai itu sehingga membiarkan cahaya sang surya di pagi hari yang hangat masuk menembus kaca jendela dan membiasi wajahku.

Setelah menghangatkan tubuhku, aku menyeret kakiku kembali menghampiri tempat dimana aku selalu merias diriku. Ada sebuah cermin yang dimana aku menatap diriku bisa menatap diriku sendiri. Yah, aku melihat diriku yang masih memakai piama. Rambutku yang sedikit berantakan aku sisir dengan tanganku, lalu mengikatnya. Setelah itu aku segera membereskan tempat tidurku dan melipat selimut yang biasa aku pakai saat sedang tidur malam.

Bagus, sekarang kamarku sudah kembali rapih…

Aku segera keluar dari kamarku dan berlari kecil menuruni anak tangga, sampai akhirnya aku bertemu dengan Ibuku di ruang tamu. Ia sedang menyiapkan beberapa roti panggang untuk sarapanku. Aku sendiri sedang berjalan menghampirinya dari belakang. Lalu Ibuku pun menoleh karena menyadari keberadaanku.

"Selamat pagi, sayangku." Sambutnya. Tidak lupa, Ibu juga memberikan kecupan manis terhadap dahiku.

"Pagi," kataku. Aku membalas kecupan tadi dengan cara memeluknya.

"Oh ya, Erza." Eh? Tidak biasanya Ibu melepaskan pelukanku lebih dulu. "Apa hari kau ada acara?"

"Acara? Tunggu sebentar." Aku sedang berpikir. Semenjak aku lulus SMA dua minggu kemarin, aku akhir-akhir ini tidak pernah memuat janji dengan teman-temanku. "Sepertinya tidak ada," kataku.

"Baiklah kalau begitu. Ibu ingin hari ini kau tetap berada di rumah, karena sebentar lagi kita akan kedatangan tamu." Jelas Ibuku.

Tamu? Aku harap tamu itu adalah teman Ibuku yang satu perusahan. Yah, sepertinya kejadian kemarin malam itu memang bukan mimpi. Kemarin malam Ibu mengakatakan padaku tentang keinginannya untuk berhenti jika benar tamu itu adalah teman Ibu yang bekerja di kantor yang sama. Maka aku akan mencoba memintanya supaya membujuk Ibuku untuk kembali bekerja.

Baiklah, akan kulakukan nanti…

.

.

.

Sudah hampir Jam 12.00

Seharian aku hanya duduk di sofa sambil menatap layar televisi yang acaranya sama sekali tidak aku suka. Dan kenapa tamu yang dari tadi aku tunggu-tunggu masih belum juga datang? Di tambah lagi, Ibuku juga tidak ada. Tadi pagi Ibu pergi berbelanja untuk menyuguhi tamunya nanti, dan sampai sekarang belum pulang.

Ting Tong

Nah, itu dia? Akhirnya tamu Ibuku sudah datang. Aku bisa tahu yang datang itu adalah tamu, karena Ibuku tidak pernah menekan Bell jika pulang ke rumah. Aku segera menghampiri pintu dan membukannya.

"Selamat Siang," Oh, rupanya ini tamu Ibuku. Seorang pria yang mungkin umurnya sebaya atau lebih tua dari Ibuku. Menurutku, pria tua ini lumayan tampan. Apalagi pakaian formal warna abu-abu yang ia pakai membuatnya terlihat begitu gagah. Eh?! Wajah pria tua ini tiba-tiba saja mendekati wajahku. "Irene, apa ini kau? Selama satu bulan kita tidak bertemu, aku merasa hari ini kau tampak lebih muda dari yang biasanya."

"M-Maaf, aku adalah putrinya." Sepertinya aku memang harus memperkenalkan diriku kepada pria tua ini. "Namaku, Erza Scarlet."

"Oh. Hahaha…" Kenapa pria tua ini malah mentertawaiku? Benar-benar tidak sopan. "Maaf, aku kira kau Irene. Maksudku, aku tahu Irene punya satu orang putri. Tapi aku tidak mengira kalian berdua memiliki wajah yang sangat mirip. Entahlah, kata mirip saja tidak cukup untuk menjelaskannya. Hahaha…"

"Igneel, kau sudah datang rupanya." Itu Ibuku. Akhirnya ia datang juga dengan kedua tangannya yang sedang menjinjing kantong belanjaan.

"Oh, Irene! Maaf, aku sedikit terlambat." Pria tua yang masih berdiri di dekatku ini, melambaikan tangannya ke arah Ibu.

"Oh,Benarkah? Kupikir, aku yang terlambat pulang. Sedangkan kau disini terlalu lama menungguku," papar Ibuku.

Aku memperhatikan Ibuku sedang berjalan kemari, menghampiriku yang masih berdiri di depan rumah bersama pria tua yang baru saja Ibu panggil dengan nama Igneel. Dan sekarang Ibuku benar-benar sudah berada di antara aku dan Igneel. Eh?! Kenapa tiba-tiba Ibu memberikan pelukan mestra kepada pria tua ini?! Mencurigakan.

"Bagaimana kabarmu, sayang?" Ya Tuhan, sekarang pria tua bernama Igneel ini dengan mudahnya mencium bibir Ibuku. Memang hubungan mereka sedekat apa? Jujur saja, kejadian ini membuat jantungku nyaris copot.

"Kau bisa melihatnya. Hmm…" Eh?! Astaga, Ibu malah memberikan ciuman balik kepada pria tua ini.

"Tunggu dulu! Ibu, sebenarnya siapa pria ini?!" tanyaku tegas. Menurutku tingkah laku mereka berdua tidak wajar, karena Ibuku sebelumnya tidak pernah menceritakan apa-apa padaku soal pria ini.

"Oh, Erza. Maaf, aku hampir lupa kau ada disini. Hahaha…" Menyebalkan, Ibu malah mentertawakanku. Padahal adegan yang tidak senonoh tadi telah membuatku sedikit kesal. "Kalau begitu kemarilah. Kau bisa memeluk kami berdua."

"Bukankah kita sekarang sudah menjadi satu keluarga?" sambung Igneel. Eh?! Tadi dia bilang apa? Satu keluarga.

"Erza. Kenapa kau diam saja?" tanya Ibuku. "Kau boleh memanggil Igneel dengan sebutan Ayah."

"Irene, kau tidak memaksanya."

"Memang kenapa? Kita berduakan memang sudah menikah. Jadi sudah sepantasnya putriku memanggilmu Ayah. Karena kau adalah Ayah baru untuk putriku"

Apa?! Rupanya mereka berdua sudah menikah tanpa sepengetahuanku…

.


-To be Continue-


.

Cerita ini hanya sekedar Imajinasiku yang tiba-tiba muncul setelah lama menghilang dari dunia FFn. Jika dikatakan cuma iseng-iseng, bisa jadi...
Eh, sebenarnya aku hampir lupa cara nulis FFn. XD

Baiklah, lupakan.

Harapanku cuma satu ; Semoga kalian suka, :D