A/N: Ohayou, Konichiwa, Konbawa minna san dimana pun kalian berada dan waktu manapun kalian membuka dan membaca fic buatan author stress plus galau bin labil macam saya!
Perkenalkan saya Author baru di fandom hetalia, tapi pastinya saya bukan orang baru yang tahu Hetalia. Kalian bisa panggil saya Matt, Mattie, Shin, Nez atau Rin (?) yang terakhir rada gak nyambung sih, well, itu nama asli saya.
Sudah lama saya pingin mublish fic tapi gak kesampaian. Hohoho cerita selalu buntu ditengah-tengah sih~~*dan dengan galaunya saya membuat fic bersambung* . Tinggalkan Ke-Gajean Heading note ini, dan selamat membaca.
Oh, ya saya masih pasang genre Family and Hurt/comfort, tapi ada kemungkinan berubah tergantung chapter.
Don't Like? Don't Read
Warning: cerita didominasi oleh konten Boys Love a.k.a Yaoi, OOC demi keperluan cerita, miss typo.
Pairing: PrusCan, USUK and other pairing (ini OTP saya, kalau tidak suka jangan dibaca)
Summary: Dimana ketika hati itu terkoyak. Dimana saat kau bawa diri itu menghilang. Kupastikan aku akan menemukanmu. Karena tanpa kau sadari, benang merah yang selalu menghubungkan kita lah yang membawaku ketempat mu.
Red Thread
(...Tak akan pupus.. meski langit dan bumi sebagai pembatasnya...)
Original Story by Rin
Disclaimer © Hidekaz Himaruya
Family, Hurt/Comfort, Romance
Rated T (rated bisa berubah sewaktu-waktu)
Chapter 1
Washington DC, Monday, Month xx, year xx. O5.43 PM
.
Awan- awan putih yang tadinya berarak bersama birunya langit perlahan tergantikan oleh warna abu kelam awan mendung. Saling bertabrakan satu sama lain sampai akhirnya guntur menerjang bumi. Seolah merobek langit dengan kilatnya.
Titik-titik air berturunkan dari atas langit seolah menangisi bumi. Bulir-bulir tangisan langit turun semakin deras membanjiri bumi dpermukaannya. Tak urung angin dingin ikut serta menerpa. Membuat urung diri melangkahkan kakinya kejalanan ditengah amuk badai yang ganas. Dimana angin berteriak bisu ditengah serangan tangis langit yang deras dan pekik petir seakan membelah langit merobek telinga.
Seolah alam marah.
Pada kalian yang memimpin bumi ini, hei, manusia!
Siluet sebuah tubuh bergerak cepat dari satu sisi kesisi lainnya. Berlari menapaki jalan becek membuat seluruh tubuhnya basah tak lepas menjadi korban keganasan alam. Kaki-kakinya terus berlari menerjang dingin dan air tak mempedulikan lumpur yang menodai sebagian bagian bawah celana Jeans yang digunakannya.
Seketika pelariannya terhenti didepan sebuah rumah yang cukup besar bercatkan putih dengan halaman luas. Tapi, sekarang bukan saatnya mempermasalahkan seperti apa bentuk rumahnya. Karena yang diinginkannya sekarang adalah agar dirinya segera hangat setelah baru saja melalui keganasan alam.
"Aku pulang." kata diucap ketika kita menginjakkan langkah pada tempat dimana kita diterima untuk berteduh ditengah sebuah lingkaran bernama keluarga.
Namun, tak ada jawab dari kata yang terucap. Hanya hening menghampiri ditengah gelap yang mendera. Bukti bahwa taka ada satupun eksotensi yang ada selain bahwa ia sendiri.
Bibir merah itu mengukir senyum tipis. Bulir-bulir air mengalir mulus tanpa cela dari seluruh tubuhnya yang kuyub oleh hujan. Berturunkan bisu diudara. Dan memercik tiap kakinya memijak pada lantai dan menggenang tipis dipermukaannya.
"Matthew?" Sebuah suara yang membuatnya tersentak kaget sembari menoleh pada asal suara. Iris violetnya menangkap sosok pemuda pirang dengan sepasang emerald pada wajahnya dan alis yang – emm, tidak biasa. "Kau sudah pulang rupanya."
Terkejut? Pastinya. Karena ia pikir dirinya hanya sendiri ketika berpulang pada rumahnya. Karena keluarga yang hanya satu-satunya masih berada di Universitasnya.
"Matthew kau basah kuyub! Mana Alfred? Kenapa kau tidak pulang bersamanya?" terbesit nada khawatir dibalik suara itu.
"Ah, aku tidak apa-apa. Kalau Alfred, dia masih di Universitas." Sedikit berbohong agar pemuda dihadapannya itu tak mengkhawatirkannya secara berlebihan. Ia pun menerima saja handuk putih yang disodorkan padanya.
"Akan kumarahi dia kalau pulang." bisik pemuda beralis – tidak biasa itu. Sementara dirinya hanya tertawa kecil mendengarnya tanpa menyadari bahwa sepasang emerald dihadapannya menatap dirinya penuh kelegaan.
Sejulur tangan berkulit putih pucat itu kini ikut andil mengeringkan rambut dirty blonde pemuda berkacamata yang sudah tumbuh lebih tinggi melampauinya.
"Lebih baik kau mandi dulu. Biar aku yang bawa-barangmu keatas." Saran pria british itu.
Kembali seulas senyum manis terlukis. "Terima kasih Kak Arthur." Katanya seraya menyerahkan tas ransel miliknya.
"Gezz, buku-bukumu basah semua." Komentarnya menatap isi tas yang hampir hancur karena terbasahi oleh air.
"Nanti aku akan keringkan."
"Sudah, biar aku saja. Kau cepat mandi sana. Aku tidak mau kau masuk angin karena kehujanan."
"Baiklah." Ia tersenyum melihat perlakuan Arthur padanya. Rasanya cukup senang karena biasanya ia lah yang berlaku seperti seorang kakak. Dikarenakan kakak kembarnya memiliki perangai yang lebih kekanakan dibanding dirinya.
Matthew berjalan kearah kamar mandi. Sesampainya, ia menutup pintu kamar mandi tersebut. Perlahan ia membuka kancing kemeja yang sudah kuyub dan celana Jeansnya yang kotor akan lumpur. Dan ia langkahkan kakinya membawa dirinya yang sudah tanpa pakaian ke bawah shower untuk bermandikan percik panas air dari benda tersebut.
Tangannya bertumpukan pada tembok biru dihadapannya. Nyaman mendera tiap indra perasa diseluruh tubuhnya. Menikmati tiap bulir panas air yang menyentuh kulitnya.
Hanya bunyi gemericik air lah yang terdengar ditengah hening yang sengaja diciptakan. Tak mau membuat suara berarti yang membuat ketenangan ini rusak.
Dia berharap ketenangan ini terus berputar dalam sisa hidupnya yang entah berapa lama lagi.
Terus berpikir seperti itu, tanpa menyadari bahwa ketenangan ini hanyalah sebelum badai kembali mengamuk.
.
.
Mercedes Benz hitam terpakir didepan rumah bercatkan putih, mengeluarkan sosok seorang pria dirty blonde dengan sepasang safir yang terbingkai oleh kacamata miliknya.
Tangannya membuka kasar pintu rumah dihadapannya. Dan tanpa rasa bersalah sedikitpun ia melangkahkan dirinya masuk tanpa melepas alas kaki miliknya yang basah oleh hujan dan kotor akan lumpur.
"BLODDY HELL! Alfred! You git! Lepas sepatumu!" serangkai kata makian yang tak asing mengalir dari mulut seorang pria british yang bercelemek masak.
"Iggy! Kau datang rupanya." Tanpa mempedulikan makian yang ditunjukkan padanya tubuh itu pun menerjang memeluk pria british yang bertubuh lebih kecil dari dirinya.
"You git,lepaskan! Keringkan kepalamu! Dan lepas sepatumu!" ucapnya berontak dengan semburat merah yang terwarna jelas dikedua pipinya.
Sementara pemuda yang tengah memeluknya itu hanya tertawa sembari memberi sebuah kecup kecil didahinya. Dan membuat warna merah di wajahnya bertambah pekat.
"Oh, ya. Ngomong-ngomong Matthew sudah sampai 'kan? Tadi dia pulang duluan."
"Sudah, dan sedang mandi. Dah KAU, bisa-bisanya kau tidak pulang bersamanya dan membuat Matthew pulang kehujanan sampai basah kuyub seperti itu."
"Itu bukan salahku, Iggy~~. Matt sendiri yang duluan pulang tanpa menungguku. Jadi itu salahnya sendiri." Elak pemuda itu sambil mengerucutkan bibirnya layaknya anak kecil yang tidak mau disalahkan.
"Tetap salahmu." Keputusan final sudah terlontar , dan tidak mungkin bisa diubah maupun diganggu gugat.
"Iggy pilih kasih." Pria dirty blonde itu membuang muka dengan wajahnya yang dikembungkan tanda bahwa dia mengambek.
"Terserah." Arthur pun berjalan kearah dapur dan mulai melakukan suatu ritual yang disebut memasak oleh orang biasa, namun tidak bila Arthur yang melakukannya.
Memang niat baik karena Arthur ingin membuat agar dua bersaudara yang sudah dianggap adiknya sendiri ini tidak kelaparan. Namun, bila kau berikan masakan buatanmu pada mereka, sama saja dengan kau mengutus seorang dewa kematian untuk segera memutus nyawa mereka karena keracunan.
Mata safir itu menunjukkan ekspresi memucat saat bau tak sedap menguar dari dapur miliknya. Ia pun berjalan kearah dapur dan mengintip dari balik tembok.
"Iggy, lebih baik nanti biar Matt saja yang masak makan malam, deh." Pinta Alfred pada pemuda tersebut.
Arthur mendelik, "Memangnya kenapa, git? Sekali-kali aku yang buat tidak masalah 'kan?"
"Bukan begitu,masalahnya masakanmu itu... beracun." Tutur Alfred jujur mengungkap kenyataan.
"Kau mau bilang masakanku tidak enak?"
"Tidak enak masih lebih baik, tapi kenyataannya memang masakanmu itu beracun, Iggy."
"BLODDY HELL! YOU GIT!"
Umpatan disertai amukan sang British. Bisa dipastikan kalau Arthur akan mencekik mati Alfred kalau saja Matthew yang sudah selesai mandi tidak segera datang melerai.
"Ka-Kak Arthur tenanglah." Seru Matthew sambil memisahkan mereka berdua.
"Huaa, Matt tolong aku." Serunya sambil bergelayutan dibalik punggung adiknya.
"Berikan dia Matt!" bentak Arthur sembari mengacungkan pisau ditangannya.
Beberapa menit dihabiskan oleh ketiga orang itu dalam keributan serta umpatan dan makian dari seorang british yang mengamuk. Sampai akhirnya mereka lelah sendiri dan memutuskan kalau Matthew – seperti biasa akan memasak makan malam.
.
"Alfred, sebaiknya kau mandi dulu sambil menunggu masakan matang."Saran Arthur pada pria yang tengah duduk disofa diseberangnya sambil menonton sebuah saluran pada Televisi diruang keluarga.
"Umm, tapi pastikan kalau Iggy tidak ikut campur dalam membuat makanan, ya, Matt!" serunya pada adiknya yang tengah sibuk memasak didapur.
"ALFRED! YOU GIT!" kembali ruangan itu dipenuhi oleh raungan kemarahan Arthur dan ledakan tawa Alfred.
Sementara Matthew, dia lebih memilih untuk tidak ikut campur dan melanjutkan pekerjaannya.
Bibirnya tersungging senyum manis merdengar suara tawa dan gerutuan dari ruangan itu. Melihat keakraban kedua orang kakak yang paling penting dalam kehidupannya membuatnya lebih dari cukup untuk merasakan kebahagiaan. Namun, disamping itu ada perasaan iri yang menelusup relung hati.
Suatu hal yang terjadi dimasa lalu membuatnya berubah. Suatu kejadian yang membuat dirinya harus mengambil jarak dengan orang lain. Sebisa mungkin tidak terlalu dekat. Lebih baik tidak mendekat daripada didekati. Dia tidak mau membuat khawatir kedua 'kakak'nya seperti waktu itu. –
.
– 'Hey, Matthew...'
"!"
Sekelebat bayangan akan seorang kenangan yang terpendam dalam ingatannya terlintas dalam benak. Ia menggelengkan kepalanya berusaha menghilangkan bayangan itu.
Tangannya bertumpu pada sudut meja menahan berat tubuhnya. Nafasnya memburu akan pening sesaat yang melanda.
Tidak. Dia tidak boleh mengungkit kembali kejadian itu. Sudah cukup dirinya tersakiti akan luka lama yang sudah mengoyak habis hati juga dirinya.
Dia tidak peduli lagi pada orang itu.
Tidak akan.
Sehari sebelumnya
Berlin, Tuesday, month xx, Year 20xx. 01.35 PM
.
Tubuh berbalut kemeja putih tersebut menyilangkan kedua tangannya didepan dada. Bersandar pada kusen coklat yang membingkai kacanya. Ruby itu tengah menatap alam yang berada pada kedamaiannya. Biru cerah langit dan sinar dari mentari yang lembut tengah menyusup masuk kedalam gelap ruangan dimana dirinya berada. Merefleksikan kristalnya pada lantai marmer yang dingin tempatnya berpijak.
Sekedar menunggu ditempat teduh dimana sinar tak dapat masuk melalui celahnya.
Mengapatiskan dirinya dari kontak luar dimana terang bersinar.
Krett.
Iris semerah darah itu mengalihkan perhatiannya pada pintu kamarnya yang terbuka. Yang dimana pemuda berbadan kekar dengan pirang tersisir rapi dan sepasang langit sebagai penghiasnya terpantul refleksi dirinya yang tengah balik menatapnya pula.
"Bruder*, apa-apaan kamar gelap ini?"
Sebuah cengiran lah yang menjadi jawab akan tanya tersebut.
"Ayolah West*. Sesekali seperti ini tidak masalah 'kan? Kau terlalu kaku." Elaknya sembari tertawa dengan gaya khasnya. Sementara sang adik hanya menghela nafas menghadapi sifat sang kakak yang tidak pernah tetap dan tidak jelas.
"Terserah kau saja."
"Lantas..." perlahan ia memperkecil langkahnya dengan sang adik. "...Ada apa West?" tanyanya tetap mempertahankan seringai terpampang diwajahnya.
Pria yang dipanggil West hanya memberikan sebuah map yang berisi beberapa lembar dokumen sebagai jawaban sebelum kata terucap keluar.
"Roderich mengirimkan ini, mengenai proses perpindahan transfer pelajar untukmu ke Amerika."
Pria albino itu menerima map tersebut sebelum akhirnya cengiran layaknya bocah kembali terukir.
"AWESOME!" komentarnya. "Kesesese, kali ini aku harus berterima kasih pada Si Aristrokat itu. Oi, West! Bantu aku mengepak barang!"
Sekali lagi sang adik hanya menghela nafas menghadapi tingkah kakaknya yang selalu seenaknya itu. "Iya, iya." Ia pun mengambil sebuah koper besar berdebu yang tersimpan disudut ruangan kamar gelap itu. Tangannya pun mencari saklar lampu dikarenakan ruangan ini benar-benar gelap.
Bola mata safir itu melemparkan pandangannya pada seluruh ruangan sebelum pandangannya tertumpu pada punggung sang kakak yang sibuk memilah pakaiannya dari lemarinya.
Ada rasa penasaran yang mengendap sejak penuturan kakaknya dua bulan lalu mengenai keinginannya untuk belajar di Amerika. Suatu keinginan aneh yang membuatnya sempat berpikir bahwa kakaknya itu hanya bermain-main saja. Ah, sebenarnya kakaknya itu memang tak pernah serius dalam melakukan suatu hal.
Namun, pemikiran itu diruntuhkan saat kakaknya benar-benar serius mengurus semua proses perpindahannya bahkan sampai meminta tolong Roderich yang notabene sering dikerjai kakaknya.
Meski dia masih tak yakin dengan alasan kakaknya yang terkesan tak masuk akal untuk orang semacam kakaknya. Ia yakin ada alasan lain dibalik semuanya.
"Bruder..."
Pria albino itu memutar kepalanya sekedar menjawab panggilan dari adiknya.
"Apa?" bukan jawaban lagi yang didapat, dirinya mendapati bahwa kini adiknya duduk beriringan disampingnya. Tangannya mulai membantu memilah-milah pakaian miliknya.
Hening merayap diantara dua bersaudara Jerman itu. Tak ada kata terucap dari keduanya. Tak ada salah satupun dari mereka yang berinsiatif untuk angkat bicara memecah keheningan.
Sampai dering telepon dari sebuah ruang tamu berbunyi. Barulah Ludwig angkat bicara, namun yang diucap bukanlah sebuah tanya yang sudah lama mengendap dipikirannya melainkan sebuah izin maaf untuk menghampiri telepon yang berdering-dering memanggil majikannya untuk segera mengangkatnya dan menjawab panggilan – entah dari mana dan dari siapa.
Ruby itu menatap punggung sang adik yang perlahan mulai menghilang menjauh dari penglihatannya. Ia angkat tubuhnya dari duduk dan melangkahkan kakinya untuk merebahkan dirinya pada kasur empuk miliknya.
Tangannya meraba, meraih sesuatu yang ada dibalik bantal putih yang tertumpuk.
Sebuah pigura.
Dengan sebuah foto yang terpampang.
Bibir itu mengukir sebuah senyum lembut, yang tak biasa ditunjukkannya pada orang lain.
'Aku tahu kau ingin bertanya tentang alasan kepergianku West.'
Ia acungkan pigura tersebut keudara. Menangkap refleksi berbeda pada gambar tersebut. Jemarinya meraba halus pada sebuah wajah yang terpasang pada gambar tersebut.
'Akan kukatakan bila aku sudah bertemu dengannya.'
Lekat ia tatap. Sebuah foto diri dan seseorang yang memiliki arti lebih dalam kehidupannya. Disana terlukis senyum dalam dua wajah yang akrab dalam kebersamaan.
'Matthew...'
.
****TBC*****
.
A/N: Fyuuh, selese juga satu Chapter. Btw, kalau yang pinter pasti ngerti gimana nih jalan cerita (gak tau juga ya? bisa aja Authornya pengen gonta-ganti plotnya,*bikin cerita seenak mood* hohoho). Kecepetan? atau malah aneh?
Saya akan sangat berterima kasih bila ada yang ingin memberi saran atau masukan serta kritik yang POSITIF pada kolom review mengenai fic buatan saya agar saya bisa intropeksi. Lalu,Apakah ada yang keberatan saya memakai pair PrusCan sebagai utamanya, (kalau ada... Emang- gw- pikirin*plak*) .
Chapter selanjutnya akan saya publish kalau page review sudah lebih dari 5.
REVIEW? PLEASE?
