Kuroko No Basuke © Tadatoshi Fujimaki
AkaKuro Fanfiction Written by Amaikey
Sorry For Out Of Charachters
NEVER TO LATE
Chapter 1
Terpaan angin menghembus badannya yang kurus, rambut biru muda langitnya kesana kemari karena angin, setang sepeda disangga tangannya. Mengenakan tas slempang di bahu kanan mengitari pinggangnya. Dengan almameter putih dan dalaman kemeja biru serta celana seragam hitam yang di kenakannya.
Kuroko melajukan sepedanya, menghiraukan klaskon berisik memekakkan telinga. Jalanan ramai klakson kendaraan, pagi hari yang sibuk.
Mengayuh sepedanya menuju ke sekolah, Senior High School Teiko. Beruntung memiliki kecerdasan yang bisa dibilang pintar atau kebetulan, entahlah Kuroko malas memikirkan dirinya yang bisa masuk ke Sekolah yang terkenal di Tokyo itu.
Fasilitas yang dibilang mewah, memiliki ekstrakulikuler yang banyak meraih mendali di kejuaraan Nasional. Kuroko suka. Karena itu ia ingin sekali masuk ke Sekolah yang ternama itu.
Nasib awal yang baik, dan dia senang. Ayahnya hanya seorang karyawan biasa di salah satu perusahaan dan Ibunya hanya Ibu Rumah Tangga. Jadi Kuroko ingin sesekali membanggakan untuk kedua Orang Tuanya dan tidak ingin menyulitkan.
Anak baik adalah anak yang berbakti kepada orang tua, tidak mempersulit –Ibu Kuroko bilang begitu—
Kuroko mengayuh sepedanya dan berhenti di depan gerbang sekolah, kaki kanan masih menyentuh pedal sepeda kaki kiri menapak di aspal hitam di alasi dengan sepatu sekolahnya yang bermerek Old Belenc.
Sebelum masuk ke dalam wilayah sekolah yang luasnya tidak kira-kira, Kuroko ingin melihat-lihat pandangan gedung Sekolah dari luar di pagi hari.
Luas dan dia bersekolah disini hingga akhir kalo bisa. Menakjubkan.
Suara daheman seorang fitur paruh baya –penjaga gerbang sekolah— Mengganggu moodnya di pagi hari, walau wajah menampilkan selalu sama datar tanpa ekspresi.
Kata satpam, "Jangan berhenti disitu, cepat masuk dan bawa sepedamu. Kau ingin terlambat?"
Kuroko berpikir bahwa pak satpam penjaga gerbang sekolah ini terlalu baik mengingatkannya sampai merusak mood.
Kuroko mengayuh pedal sepedanya, membawa masuk ke dalam wilayah luar gedung sekolah menuju parkiran untuk menaruh sepedanya, banyak sepeda yang berbaris disana. Ternyata bukan dia saja yang berkendaraan sepeda. Tidak jadi minder, tapi Kuroko ternyata terus berpikir.
Pagi hari sudah menguras pikiran membuatnya selalu berpikir.
Sekarang berpikir apa mereka semua seperti Kuroko atau hanya tidak ingin membuat polusi udara lebih membludak makannya banyak berbaris yang menggunakan sepeda daripada kendaraan seperti mobil, misalnya.
Kuroko berjalan ingin masuk ke dalam gedung sekolah yang bertingkat-tingkat. Kuroko melihat-lihat matanya mengitari parkir sebelum masuk ke gedung sekolah dan tampak tidak terkejut.
Kuroko memang berpikir macam-macam sejak tadi tapi nyatanya bukan sepeda saja yang berbaris banyak, parkiranpun dipenuhi banyak mobil juga dan berapa harga satu mobil yang warnanya merah mencolok lebih mencolok dari yang lain? Wow inilah yang namanya Tokyo, Senior High School elit.
Kuroko sudah tidak terkejut lagi.
Kuroko santai berjalan masuk ke gedung sekolah, membenarkan tas slempang dan seragamnya.
Berjalan di sepanjang koridor, siswa yang di sekelilingnya seperti sudah saling kenal, apa dia akan bertemu teman semasa Middle School nya juga disini?
Tapi mustahil sepertinya. Kuroko ingin melihat mading yang berisi info masuk kelas dimanakah dia. Dari kejauhan Kuroko melihat banyak orang.
"Mungkin madingnya disana."
Sayang, tubuh pendeknya tidak mendukung Kuroko untuk melihat info kelasnya yang tertera di mading.
Tubuh menjulang tinggi kebanyakan menghalangi pandangan info mading yang ingin dilihat, padahal sering bermain basket dengan kawanan dulu sewaktu Middle School, masa tidak naik-naik juga.
Kuroko melihat seseorang beda dari yang lain, rambut biru tua, kulit gelap, lebih kentara dari yang lain karena kulit dan rambut yang dimilikinya dapat barisan paling depan pula.
Mendumal karena siswa yang lain tidak mau kalah.
"Cih, aku dulu. Kalian bersabarlah." Katanya.
Dilanjutkan dengan suara nyaring menyusul. "Aominecchi, lihat namaku juga aku di kelas mana."
Kuroko melihat di sisi kanan tempatnya berdiri ada seseorang rambut kuning tidak, lebih enak dibilang pirang. Memiliki anting di telinganya. Premankah? Tapi tidak kelihatan seperti itu. Sadar di perhatikan terus si rambut pirang menoleh dan tersenyum. Sok keren. Orang itu menyapa Kuroko.
"Hai." Di lanjutkan dengan, "Ada yang anehkah dengan diriku? Kau pendek, mau lihat info kelasmu dimana? Aku bisa bantu."
Kuroko tidak terima dibilang pendek. Frontal sekali. Si rambut pirang yang menyebalkan –menurut Kuroko— menanyakan namanya. "Namamu?"
Kuroko enggan menjawab, masih sakit hati dibilang pendek seperti tadi.
Tapi orang ini sudah ada niatan baik untuk membantu dan dirinya ingin sekali cepat-cepat masuk kelas. Apa boleh buat.
"Tetsuya Kuroko."
Si rambut pirang yang mengatainya pendek berseru meneriaki namanya. Memanggil temannya mungkin yang berada paling depan dekat mading yang terus mendumal.
"Aominecchi carikan kelas mana yang namanya Tetsuya Kuroko."
Tiba-tiba si rambut pirang menjulurkan tangannya di hadapan Kuroko. Oh, bermaksud ingin kenalan. Diikuti serta dengan senyuman ala model majalah pasta gigi ekonomis.
"Ryouta Kise. Salam kenal Kurokocchi."
Kenapa namaku diberi embel-embel cchi? Terlihat aneh untuk didengar.
Kuroko hanya menampilkan ekspresi datar terlihat tidak senang memang tapi hanya membiarkan saja, karena si rambut pirang –Kise- sudah membantunya.
Membalas juluran tangannya dengan sedikit ulasan senyum tipis. Kuroko bisa tersenyum tergantung situasi.
"Terimakasih Kise-kun. Salam kenal juga." Lalu kembali lagi wajahnya seperti sedia kala datar tanpa ekspresi.
Terdengar suara lenguhan nafas berat seperti kelelahan. Kulit gelap -tidak gelap amat- rambut biru gelapnya sedikit berantakan karena rambutnya sedikit dan tidak panjang, wajahnya menampilkan kesal.
"Sial, ramai sekali aku sampai sulit bernafas. Oi, kau seenaknya saja menyuruh." Menunjuk tepat di hadapan wajah Kise, yang di tunjuk hanya tertawa kecil mengejek.
"Kau berlebihan Aominechhi. Sekalian Aominecchi daripada aku menyerobot itu tidak baik."
Kuroko hanya memerhatikan keduanya. Diam, karena tidak mengenal yang lain hanya Kise yang baru beberapa detik berkenalan tadi. Masih mengatur nafas, seperti lari maraton, padahal hanya melihat info yang ada di mading.
"Dan siapa Tetsuya Kuroko?"
Kise menjawab. "Oh, dia kesulitan menuju mading karena tubuh pendeknya jadi aku bantu dan menyuruhmu."
Kuroko terus diam mendengarkan ejekan pendek dari Kise, sudah biasa emang faktanya Kuroko pendek dan dia diam tidak protes. Aomine menolah-noleh kepalanya mencari seseorang.
"Sekarang dimana dia?"
Ah, ini dia hawa keberadaannya tipis seperti kertas jadi kadang orang terkejut kalau tiba-tiba dia muncul dan bertanya-tanya darimana asalnya dia muncul. Biar Kise yang memberitahu.
Kise seperti terkena kejutan setrum listrik. "Hah? Kau buta? Dia disampingku Aomine—aw kenapa kau menjambak rambutku?!"
Aomine tidak terima dibilang buta, enak saja. Begini-gini juga dulu ingin menjadi pilot persyaratan yang tidak boleh cacat mata.
Mengabaikan pekikan kesakitan dari Kise, Aomine melihat di sisi kiri Kise ada seseorang disana dengan tampilan wajah tanpa ekspresi memerhatikan mereka berdua yang ribut dari tadi.
"Waaaahhh. Sumpah aku tidak sadar." Loncatan kecil dari kaki panjang Aomine.
Kuroko sudah biasa, banyak yang bilang dia keturunan hantu. Padahal keturunan ibu yang gen bersurai biru muda turun-menurun bukan darah biru tapi surainya yang biru, ingat itu. Kuroko berinisiatif memperkenalkan diri.
"Aku Tetsuya Kuroko." Kuroko menjulurkan tangannya dan dengan senang hati Aomine membalas.
"Daiki Aomine. Salam kenal juga Tetsu." Kuroko tidak keberatan di panggil dengan nama depan, lagi pula Aomine sudah membantunya.
Mungkin Kuroko akan berteman baik dengan Kise dan Aomine.
Berpikir realistis Kuroko seperti itu. Kise masih mengusap rambutnya yang di jambak Aomine sambil menampilkan wajah cemberut.
Aomine bersuara lagi, "Aku, Kau dan Tetsu sekelas. Kita bagian kelas A bertempatan di ujung koridor bagian lantai atas."
"Aomine-kun terimakasih." Aomine melihat Kuroko yang tersenyum, walau hanya tipis tapi menampilkan kepolosan pada dirinya dan Aomine membalas dengan hal yang sama.
"Tidak perlu sungkan, Tetsu."
Tiba-tiba Kise merangkul keduanya. "Nah, karena sudah selesai sesi perkenalan mari kita ke kelas bersama-sama."
Aomine menampilkan wajah kesal, Kuroko hanya diam saja membiarkan.
Berjalan dengan sulit karena rangkulan dari Kise, bayangkan kau di rangkul sambil menaiki anak tangga hingga sampai di kelas dan terus di perhatikan sepanjang lorong koridor sekolah. Kuroko bisa di bilang hanya orang yang biasa-biasa saja, tapi dia sudah bersyukur bertemu teman yang baik seperti Kise dan Aomine di hari pertamanya besekolah disini.
Geseran pintu masuk kelas di buka Kise yang masih merangkul Aomine dan Kuroko. Yang berada di dalam kelas langsung menatap mereka ber tiga dengan masing-masing wajah yang diam merhatikan.
Kuroko yang di lihat seperti itu melepaskan diri dari Kise karena risih di perhatikan seperti itu.
"Oi, lepaskan. Aku ingin duduk."
Aomine pun melepaskan diri dari rangkulan Kise. Masing-masing dari mereka mencari tempat duduk.
Aomine yang memilih duduk bagian belakang urutan bangku kelompok ke 3 dari pintu kelas dan Kuroko memilih tempat duduk yang dekat jendela yang memperlihatkan hamparan luas wilayah sekolah di luar sana dan juga memperlihatkan lapangan untuk berolahraga. Kise masih diam di pintu kelas berjalan menempati tempat duduk di samping kanan Kuroko bertepatan di depan Aomine.
Kise melebarkan matanya kala dia melihat seseorang di belakang Kuroko.
Kuroko tahu ada yang salah dengan Kise tapi diam membiarkan, bukan urusannya dan dia tidak ingin ikut-ikutan.
"Akashicchi, kau disini juga? Bukannya kau ada di Kyoto?"
Jawaban yang di lontarkan membuat Kuroko diam mendengarkan suara itu dingin seperti tidak peduli. Terlalu dingin menurut Kuroko.
"Bukan urusanmu aku ada dimana."
"Aku hanya bertanya, dingin sekali Akashicchi. Kita kan teman sewaktu SMP, bahkan sekelas."
"Kita bukan teman."
Kise yang mendengar itu pun cemberut seperti tidak senang mendengarnya, Kuroko yang melihat itu berbalik ke belakang melihat seseorang yang menjawab tidak enak kepada Kise.
Memiliki surai merah, matanya juga, wajahnya sarat akan ke angkuhan dan dingin, bukan seperti orang baik-baik. Orang itu balas meliriknya. Kuroko berbalik lagi menghadap ke depan papan tulis.
Aomine bersuara, "Kise, kau duduklah. Jangan ganggu dia."
Kasihan, Kuroko prihatin. Tanpa sadar tangan Kuroko menepuk-nepuk pundak Kise. Kise senang, menampilkan senyuman lagi seperti biasanya, mengangguk seperti tahu arti tepukan yang diberikan Kuroko. Menyuruhnya bersabar.
Kise duduk di bangkunya. Aomine, Kise dan orang yang di belakangnya itu mungkin satu teman se waktu mereka SMP—Kuroko berpikir begitu.
Bunyi bel tanda masuk sekolah berbunyi menandakan untuk masuk kelas, siswa masih banyak di luar menggosip entah membicarakan apa, masuk menyerbu ke dalam kelas untuk memulai pelajaran, serta seorang sensei di belakangnya.
Pelajaran pun dimulai sebelum sensei memulai untuk memperkenalkan diri dan juga menyuruh anak murid satu persatu memperkenalkan diri di depan kelas.
Menunggu dan mendengarkan siswa yang maju ke depan satu per satu memperkenalkan namanya. Kuroko menunggu giliran setelah Kise.
Bunyi bangkunya berderit menandakan orang yang mendudukinya berdiri, giliran Kuroko yang memperkenalkan diri. Berjalan melewati beberapa siswa yang memerhatikan Kuroko dari bangku yang di dudukinya sampai depan dekat papan tulis putih bersih.
Kuroko memulai perkenalannya dengan menampilkan wajah yang dimilikinya, tanpa ekspresi.
"Tetsuya Kuroko. Salam kenal."
Kuroko membungkuk 90 derajat seperti biasa memperkenalkan diri. Rasa sopannya tidak boleh tertinggal walau sudah ber sekolah di wilayah Ibu Kota. Suara bisik-bisik terdengar memenuhi kelas setelah usai Kuroko memperkenalkan diri, masih di perhatikan dengan bisik-bisik entah apa yang mereka bicarakan tentangnya, Kuroko menulikan telinganya, tidak peduli.
Kise yang mendengar bisik-bisikan itu pun hanya diam tidak peduli juga sama dengan Aomine.
Jeritan tertahan dari beberapa wanita yang ada di dalam kelasnya terdengar sampai membuat Kuroko risih. Tadi bisik-bisik yang entah seperti mengejek Kuroko, sekarang seperti seorang maniak fangirl walau tidak keras-keras suara.
Kuroko penasaran, tapi sirna sudah penasarannya karena alasan yang membuat beberapa wanita menjerit tertahan seperti kena tembakan melesat tidak kena.
Orang itu, yang di anggap Kuroko dingin, angkuh ga kira-kira dan membuat cemberut Kise teman pertama baik untuk Kuroko.
Kuroko terus memerhatikan sampai orang itu memperkenalkan diri. Kise diam saja, Aomine pun.
"Seijuurou Akashi."
Tatapannya seperti tidak tertarik, bosan dan tidak peduli terpampang semua di sana. Di wajahnya itu. Akashi tidak membungkuk seperti Kuroko, melenggang kembali ketempat duduknya.
Jujur sebenarnya Kuroko sedikit kesal dengan sikap Akashi yang tidak tahu sopan santun. Tapi Kuroko ingat tempat, ini Ibu kota dan SMA elit.
SMA yang memiliki biaya besar dan Kuroko mendapatkannya hanya dengan test masuk, dengan biaya potongan.
Selesai sesi perkenalannya yang di akhiri dengan Aomine yang berkenalan terakhir. Pelajaran di mulai dengan awal pelajaran Matematika di kelasnya.
Sampai tiba bel istirahat berbunyi.
Siswa berhamburan keluar seperti kacang kaleng yang dibuka tutupnya, Kuroko sedikit heran padahal sensei belum keluar.
Kuroko harus terbiasa, ini lain bukan Sekolah di desa nya waktu SMP. Kuroko mengeluarkan tempat bekal dari tas slempangnya yang sudah di siapkan ibunya tadi pagi. Membuka tutupnya dan tersenyum seperti bersyukur, masakan Ibu Kuroko memang sangat enak untuknya. Jadi harus bersyukur.
Kise yang melihat itu pun terpengarah tertarik dengan bekal Kuroko yang isinya ada nasi kepal yang diselipkan rumput laut isi telur ikan, telur dadar gulung, tomat merah kecil-kecil, dan sosis goreng berbentuk gurita. Obento yang sempurna dan enak di makan.
"Kurokocchi itu semua kau yang siapkan?" Kise masih menatap tempat bekal Kuroko yang bewarna biru muda, sumpitnya pun bewarna sama seperti itu ciri khas Kuroko –serba biru muda—
"Bukan Kise-kun, tapi Ibuku."
"Enak ya Kurokocchi, Ibuku selalu sibuk tidak sempat pasti menyiapkan itu semua. Hanya bisa sarapan pagi. Itupun hanya roti tawar dan susu putih." Kise berdiri membalik badan ke belakang menepuk kepala Aomine yang masih tertidur walau pelajaran sudah usai untuk waktu istirahat.
"Aominecchi, ayo kekantin kau tidur terus-ssu." Tidak bangun juga. Kise memukul kepala Aomine dengan pensil mekanik yang di milikinya. Yang di pukul menggeram, kesal tidurnya di ganggu.
"Berisik." Bangun dengan tiba-tiba dan menuju pintu kelas. Berhenti di ambang pintu kelas. Menoleh ke belakang. Ingin mengajak Kuroko makan bersama di kantin.
"Tetsu—oh kau sudah membawa bekal." Tidak jadi mengajak, lalu menggeser pintu kelas dan pergi meninggalkan Kise.
"Aominecchi tunggu. Oh, Kurokocchi aku ke kantin dulu."
Kise mengejar Aomine, berlari kecil keluar kelas. Fokus makannya sempat teralih dengan Kise dan Aomine, Kuroko kembali lagi memakan obentonya. Sepi, mungkin hanya dia yang ada di dalam kelas sebelum Kuroko sadar suara berat menyaut dari belakang. Kuroko tidak sendirian di dalam kelas tapi sama seseorang. Ucapannya membuatnya sedikit kesal.
"Anak manja selalu di siapkan bekal." Kuroko tahu siapa pemilik suara orang ini apalagi persis di belakang tempat duduknya. Diam membiarkan. Bersaut lagi seperti meledek dirinya.
"Masih anak kecil? Disiapkan bekal seperti itu." Katanya.
Kuroko diam-diam jengkel, harga diri yang di pertaruhkan disini. Harga diri harus di jaga tinggi-tinggi hingga mati –Kuroko berprinsip seperti itu untuk hidupnya—
Kuroko berbalik menatap orang yang sedang meminum kotak susu yang di tatap hanya melihat keluar jendela, seperti tidak peduli. Kuroko jengkel, ia menanggapi bicara Akashi.
"Akashi-kun tidak usah mengurusi orang lain." Sudut mata Akashi melirik Kuroko dingin, judes minta ampun. Kuroko menatapnya dengan tanpa ekspresi walau sebenarnya kesal.
"Kau kenapa? Merasa tersindir ucapanku?"
"Iya. Karena aku membawa bekal Akashi-kun, ini lihat." Kuroko memperlihatkan tempat bekalnya.
"Aku membicarakan perempuan di bawah sana yang sedang membawa bekal, bukan kau."
"Tapi aku membawa bekal juga Akashi-kun."
"Percaya diri sekali."
Kuroko melihat keluar jendela melihat kebawah dan benar disana ada perempuan yang membawa bekal dengan tempat makan bewarna pink.
Kuroko malu, tapi jelas sebenarnya Akashi memang menyindirnya. Kuroko berbalik lagi tidak mau berbicara dengan Akashi.
"Oi, kau siswa yang menggunakan test untuk masuk ke sekolah ini kan?" Kuroko tidak menjawab.
"Aku berbicara denganmu." Akashi menendang kursi belakang yang di duduki Kuroko.
"Bukan urusan Akashi-kun jika aku masuk ke sekolah ini dengan test."
Akashi memandangnya dari belakang dengan wajah kesal karena lawan berbicaranya tidak berbalik.
"Aku harus tahu, aku tidak mau tersaingi kepintaran denganmu."
Kuroko berbalik lagi, "Memangnya Akashi-kun melewati test juga? Aku rasa tidak."
Akashi menjawab. "Kalau ya?"
Kuroko yang mendengar itu pun terkejut masa benar ada orang yang sama seperti Kuroko yang ingin masuk sekolah elit dengan biaya sedikit karena Kuroko mengikuti test.
Jadi sistemnya seperti ini, SMA Teiko adalah SMA terkenal di Tokyo bisa mendaftar dengan mengikuti test atau membayar semua biaya selama bersekolah di SMA Teiko dan hanya 3 orang yang di terima dari ratusan orang yang mendaftar dengan mengikuti test jika berhasil itu sebuah keberuntungan dan bersekolah dengan separuh dari biaya biasanya.
Kuroko mendapatkannya, dia selalu berdoa kepada Kamisama menyiapkan persembahan semalam suntuk untuk membuatnya berhasil dan Dewa Dewi mendengarnya, tak luput juga dia terus-terusan belajar. Kuroko merasa Akashi tidak perlu mengikuti test.
"Terlihat jika Akashi-kun orang kaya tidak mungkin jika masuk ke Sekolah ini dengan menggunakan test masuk." Kuroko polos tanpa di saring jika berbicara.
"Kenapa harus dengan kekayaan masuk kesini? jika dengan memanfaatkan otak juga bisa masuk ke sini walau banyak resiko."
Kuroko berbalik menatap Akashi, yang di tatap hanya memandangnya dingin dan angkuh seperti menantang. Kuroko menampilkan wajah tanpa ekspresi. Selalu.
"Aku urutan pertama dalam mengikuti test."
"Akashi-kun sombong."
"Tidak, aku hanya memberitahu."
"Aku tidak ingin tahu Akashi-kun."
"Dan kau urutan ke tiga hampir tidak berhasil."
Kuroko tidak tahan, "Akashi-kun jangan sombong, intinya aku berhasil sekarang dan sudah bersekolah disini."
"Kau hanya beruntung."
Kuroko tidak ingin berbicara lagi dengan Akashi. Berbalik mendiamkan, Akashi yang melihat itu hanya tetap menampilkan wajah poker facenya.
Kuroko sibuk merapihkan tempat makannya, mengambil buku kecil favoritnya di dalam tas untuk di baca, melepaskan waktu istirahat yang tersisa 5 menit lagi. Hening di dalam kelas hanya berdua saja Kuroko dan Akashi.
Kuroko heran kenapa Kise dan Aomine tidak kembali juga, aneh rasanya hanya berdua dengan Akashi si orang sombong –menurut Kuroko—
Akashi bersuara lagi, "Kau tidak memberi selamat karena aku urutan pertama dalam mengikuti test?"
Kuroko membalik lembaran dalam buku kecilnya, diam mendengarkan.
Kuroko heran lagi kenapa Akashi banyak berbicara dengannya sedangkan dengan Kise singkat minta ampun. Tendangan di belakang bangkunya membuat Kuroko berbalik.
"Kenapa aku harus mengucapkan? Kita baru kenal Akashi-kun."
"Harus. Karena kau mengikuti test juga dan aku yang dapat urutan pertama." Akashi mengacungkan jari telunjuknya saja ke empat jari yang lain di kepal menunjukkan angka satu pada jarinya.
"Selamat." Kuroko mengucapkannya dengan wajah sama saja datar tanpa ekspresi tidak dingin seperti Akashi berikan, hanya memunculkan kepolosan dalam dirinya.
"Dan Akashi-kun kau kesepian? Mengajak aku berbicara terus."
Jawaban yang di terima Kuroko, "Tidak."
Lalu keduanya diam sampai Kise dan Aomine kembali dan bel tanda masuk pun berbunyi.
Sore pukul empat waktunya usai pelajaran dalam sekolah.
Semua siswa dalam kelas sibuk dengan berserakan peralatan tulis yang ada di dalam meja dan di masukkan ke dalam tas. Bangku saling berderit, Kuroko masih sibuk dengan buku-bukunya.
"Kurokocchi, mau pulang bersama?"
Kuroko melihat Kise yang berada di sampingnya dan Aomine juga.
"Tidak Kise-kun aku menggunakan sepeda."
"Oh begitu, aku duluan Kurokocchi bye." Kise keluar dari ruang kelas melambai kepada Kuroko di pintu kelas, Kuroko membalasnya dengan mengangguk.
"Tetsu hati-hati." Aomine sepertinya sudah menganggap Kuroko teman dekat walau pertama kali mengenal.
Kuroko menoleh, melihat Akashi masih disana. Sedang menelpon entah dengan siapa.
"Ya, aku akan segera keluar. Tunggu disana."
Akashi menutup lipatan pada handphone merahnya. Kuroko hanya meliriknya sebentar, mengenakan tas slempangnya lalu berjalan keluar disusul Akashi dari belakang.
Sampai luar gedung sekolah Kuroko berjalan ke parkiran menghampiri sepedanya dan Akashi sudah di tunggu supir pribadinya dan masuk ke dalam mobil. Kuroko melihatnya, entah kenapa baru kali ini di sekolahnya ada yang membuatnya Kuroko penasaran yaitu tentang Akashi.
Tidak memperdulikan lagi, Kuroko berjalan menuju parkiran untuk mengambil sepedanya.
Di keluarkannya sepeda biru muda dari parkiran memulai memedal pada injakan sepeda lalu mengayuh sepedanya untuk pulang, matahari hampir terbenam separuh karena sudah sore.
Kuroko melajunya cepat tidak ingin di pukuli kepalanya dengan centong nasi dari ibunya karena pulang terlambat, melewati lampu lalu lintas menghindari kucing yang lewat tidak ingin menabrak.
Rumahnya cukup jauh dari sekolah cukup menguras keringat untuk menuju rumah dan sekolah. Kuroko tidak keberatan sesekali berolahraga, pikirnya.
Mengurangi kecepatan karena sebentar lagi sampai rumah.
Turun dari sepeda dan menuntunnya masuk ke dalam teras rumah memarkirnya di luar.
Membuka pintu tercium aroma sup yang menguar penyambutan yang nikmat untuk Kuroko. Melepas sepatunya dan meletakkan begitu saja.
"Aku pulang."
Ibu Kuroko menghampiri dengan tangan kanan yang masih memegang sendok sup. Tersenyum.
"Di habiskan tidak bekal yang aku buat?"
Kuroko mengeluarkan tempat makanannya dari tas dan memberikan kepada Ibunya.
"Selalu Bu."
Ibu Kuroko membuka tempat makanannya dan melihat jika isinya sudah habis.
Hati seorang Ibu akan senang jika masakan buatannya sudah habis di makan oleh anak tersayang.
"Mau mandi? Aku siapkan air hangat."
"Tidak perlu, cukup menggunakan air biasa saja Bu."
Kuroko berlalu mulai menaiki tangga menuju lantai atas tempat kamarnya dan bersiap-siap mandi.
Kamarnya tidak terlalu luas hanya sederhana saja. Banyak poster terpampang di dinding, pemain basket yang di idolakannya dan juga bola basket ada di dekat mejanya.
Mengambil handuk dan bergegas mandi. Tidak butuh waktu lama untuk mandi Kuroko sudah keluar dari kamar mandi.
Ibu Kuroko meneriaki dari dapur.
"Tetsuya makan malam sudah siap."
Kuroko bergegas kebawah untuk makan malam. Handuk untuk mengeringkan rambut biru mudanya di kalungkan di leher. Baju biasa untuk tidur nanti.
"Ayah sudah pulang?"
"Mungkin sebentar lagi."
Ibu Kuroko sibuk menata makanan di meja makan untuk makan malam, menunggu sang suami pulang untuk makan malam bersama.
Keluarga hangat dan harmonis.
Derapan kaki terdengar, muncul sosok paruh baya fitur ayah mengenakan jas dari kantor kelelahan terpampang di wajahnya namun senyuman tetap di keluarkan untuk anak dan istri.
Sudah di bilang keluarga yang manis dan hangat untuk di lihat.
"Aku pulang. Sudah siap ya makan malamnya?"
Kuroko hanya tersenyum tidak menjawab. Semangkuk nasi sudah di siapkan semua sudah mengumpul bersama.
Ibu Kuroko melirik Kuroko untuk memimpin doa. Kuroko yang melihat itu hanya mengangguk. Doa di mulai. Selesai berdoa.
"Selamat makan."
Kuroko menyuapkan sup kedalam mulutnya. Lezat. Terus memakan masakan Ibunya, hingga tuntas.
Ayah Kuroko memulai pembicaraan di ruang makan.
"Bagaimana sekolahnya?"
"Bagus. Itu sudah pasti dan baik-baik saja."
"Aku dengar anak dari pemilik tempat aku bekerja juga sekolah disana. Bahkan mengambil jalur test juga."
Kuroko bergeming seperti mengetahui akan berlanjut seperti apa.
"Memangnya pemilik perusahaan tempat Ayah bekerja siapa namanya?"
"Ah kau benar aku belum memberitahu. Namanya Akashi Masaomi."
Akashi Masaomi. Akashi Seijuurou. Sebentar. Itu terlihat mirip. Marganya terlihat mirip. Mungkin kebetulan. Ya pasti kebetulan. Marga Akashi banyak kan?
Kuroko ingin begitu terus berpikir begitu. Tapi kenapa bisa? Ya dunia begitu sempit.
Kuroko terus menyendokkan sup ke dalam mulutnya terus seperti itu sambil mendengar ayahnya berbicara.
"—Dan anaknya urutan pertama dalam test. Tapi aku heran kenapa harus melalui test padahal Akashi Masaomi sangat kaya."
Kuroko terbatuk. Tersedak oleh tahu yang ada di dalam sup. Ibu dan Ayah Kuroko hanya melirik. Ibu Kuroko tampak khawatir.
Ibu Kuroko memeringati. "Tetsuya pelan-pelan, supnya masih panas."
Ayah Kuroko melanjutkan lagi. Tidak tahu anaknya sudah kenal dengan anak sang pemilik tempat Ayahnya bekerja.
"Kau seharusnya sudah tahu Tetsuya, kau juga ikut dalam test kan?"
"Iya Ayah, anak pemilik dari tempat ayah bekerja bernama Akashi Seijuurou." Kuroko memberi pernyataan, tidak pertanyaan.
"Betul. Kau kenal? Mungkin sekelas."
"Kenal. Bahkan dia duduk di belakangku."
Ibu Kuroko seperti bebinar dalam matanya. "Benarkah Tetsuya? Kau harus baik-baik dengannya."
"Kenapa harus bu?"
"Tidak juga si, pokoknya kau harus berhubungan baik dengannya."
Obrolan keluarga selesai, makan malam pun juga selesai, Kuroko beranjak dari tempat makan. Menyelesaikan tugas-tugas dari sekolah.
Menaiki demi anak tangga arah ke kamarnya, deritan pintu kamar di bukanya menyalakan lampu belajar di mejanya dan membuka lembar demi lembar buku yang ingin di selesaikan tugasnya.
Anak yang berhasil melewati masa test harus lebih giat dalam belajar jika tidak ingin di tendang dari sekolah atau di kenakan biaya normal yang mahalnya tidak kira-kira. Sepintas Kuroko memikirkan apa yang Ayahnya katakan.
Pantas namanya familiar dan mirip. Tidak heran jika Akashi begitu sombong padanya tadi.
Rasanya Kuroko ingin menjambak rambut Akashi yang menyombongkan diri tadi bahkan meremehkannya juga.
Kuroko kalem, dia laki-laki tidak usah memikirkan hal tidak penting, seperti gadis remaja tidak mau bekerja sama.
Kuroko berpikir hal yang sama dengan Ayahnya, Akashi bahkan anak dari orang kaya mungkin sangat kaya anak dari bos ayahnya di perusahaan.
Kenapa harus melewati test untuk masuk ke sekolah mewah itu? Kenapa harus repot-repot belajar untuk melewati test seperti itu?
Dan ayolah, kenapa Kuroko harus peduli? Oke jangan di pikirkan.
Handphone warna biru muda Kuroko berdering.
From: Unkwon Number
Aku tahu sekarang tentangmu.
Kuroko heran siapa orang asing yang memberi message seperti itu.
Kuroko tidak peduli terus melanjutkan belajarnya hingga kantuk menyerangnya. Buku-buku di bereskan dan di masukan ke dalam tas untuk besok.
Lalu tidur lelap sampai pagi datang.
Tidak peduli terus-terusan begitu terus lafalannya dalam pikiram sampai pada akhirnya memikirkan terus dari siapa message itu datang dan memberitahunya begitu hingga membawanya ke dasar mimpi yang isinya menemukan rambut merah dan setajam mata dingin yang sedang tersenyum meremehkannya.
Bangun terkejut kerena alarm dan teriakan Ibunya dari lantai bawah.
Bergegas mandi dan memakai seragam sekolah siap-siap berangkat tanpa sarapan dan membawa bekal dari Ibunya.
Mengeluarkan sepeda dari rumahnya dan melajuka pedal sepedanya menuju sekolah.
Sebelum itu ia berpamitan terlebih dahulu kepada ibunya yang lagi-lagi sedang menggenggam sendok sayur.
Ibu yang sibuk di pagi hari memang. Kuroko masih memikirkan siapa pengirim message semalam ternyata.
Memasuki gerbang sekolah dan memarkirkan sepedanya.
Bertemu denga Kise di lorong sekolah. "Selamat pagi. Kurokocchi."
"Pagi Kise-kun."
Mereka berjalan bersama menuju kelasnya. Duduk di tempat mengeluarkan buku kecilnya meluangkan waktu untuk membaca sampai bel masuk berbunyi.
Kuroko fokus memperhatikan sensei yang sedang menjelaskan siklus dari hujan asam.
Kuroko melirik orang yang ada di depannya tidur pulas tidak mendengarkan atau meperhatikan sensei yang sedang mengajar dan menjelaskan.
Orang itu Haizaki, baru dua hari bersekolah disini Kuroko sudah mendengar tentang rumornya anak brandal. Kuroko tidak peduli yang ada di dalam pikirannya adalah Kuroko anak baik-baik, tidak sombong dan suka bermain basket.
Terus mencatat sampai Kuroko mendengar ada lemparan kapur dari depan.
TAK!
"Kau tidur di saat pelajaranku, kalau kau tidak ingin mendengarkan penjelasan materi yang aku berikan lebih baik kau pulang tidur nyenyak di dalam kamarmu anak nakal."
Nyatanya di tanggapi serius, "Benarkah? Baiklah."
Haizaki mengambil tasnya lalu beranjak dari tempat duduk. Tidak memperdulikan sensei yang sudah marah besar terhadapnya.
Kuroko hanya menanggapi dengan datar dan tetap tidak peduli. Walau prihatin dengan kelakuan Haizaki yang seperti itu.
Kuroko rupanya sudah hafal dengan nama-nama teman yang satu kelas dengannya. Kuroko masih enggan untuk mendekati teman-temannya.
Perbedaan dalam status membuatnya mundur dan tidak berani untuk bersosialisasi dengan yang lainnya. Takut terjadi hal yang tidak menyenangkan.
Pagi-pagi sudah berpikir negatif.
Kuroko sudah mewanti-wanti tidak akan makan di kelas lagi. Jika tidak ingin mendengar gerutuan pedas dari Akashi yang menyebalkan baginya.
Lebih baik keluar sambil menenteng tempat makananannya.
Sebenenarnya, Ia sempat berpikir untuk tidak usah di sediakan bekal karena dia laki-laki, masa laki-laki di bawakan bekal terus tapi baru ingat dia harus menghemat uang dan ingat jika jajanan kantin sudah membuatnya menguras uang hingga sampai akar kantong yang dalam.
Kuroko hanya orang yang ingin mandiri tidak ingin selalu meminta uang terus-menerus dengan orang tuanya.
Menuju atap sekolah untuk makan siangnya. Anak tangga di taikinya satu persatu dengan tempat makan di tangannya dan juga buku kecil. Kuroko suka membaca Light Novel.
Pintu atap sekolah di bukanya, sinar matahari menusuk matanya hingga Kuroko harus memejamkan matanya.
Membuka perlahan, sampai melihat orang yang sedang duduk santai disana, dengan wajahnya yang menampilkan biasa-biasa saja dan menggeluti buku yang sama dengan Kuroko pegang.
Light Novel. Seri yang sama. Agak senang ada teman yang memiliki ketertarikan yang sama dengannya.
"Ano. Boleh aku duduk di sini?"
Orang itu menoleh sedikit terganggu dengan adanya orang lain di sana selain dirinya.
Menatap datar kepada Kuroko, "hmm."
Kuroko duduk disampingnya. Makan dengan diam. Bukunya di taruh begitu saja tanpa di baca.
"Kau kelas 1?" tanya orang itu tiba-tiba.
Kuroko menelan makanannya. "Iya."
To Be Continued
Review Saran & Komentarnya Thanks ^^
