Saya mbawa fic baru, yay! Ga tau bakal bisa update rajin atau nggak, berhubung saya tahun depan udah UN. Tapi, yah, intinya akan saya usahakan.
Cover-nya saya buat sendiri, belum di-scan, edit masih ngasal. Hontou ni gomen…
Entah ini rated M karena sadis, atau apa. /dibantai/
Yah, sudahlah…Happy reading!
Killer of The Clam
KHR © Amano Akira
.
.
Chapter 1: Cold Face, Warm Heart
.
.
…Silau.
Kedua kelopak mataku bergerak-gerak. Samar-samar, aku dapat mendengar suara teriakan kaa-san dari dapur. Badanku berguling ke kanan, dan aku langsung saja meringis kesakitan ketika bagian tubuhku yang sedang memar tanpa sengaja tertindih. Setelah eranganku berakhir, aku mencoba untuk kembali jatuh dalam mimpi indahku. Tapi pada akhirnya, aku menyerah. Satu, karena sinar matahari yang melesak masuk dari sela-sela tirai kamarku benar-benar mengganggu. Dua, karena aku tahu, hari ini bukan jadwalku membolos sekolah.
Perlahan-lahan, aku bangun dari posisi tidurku. Tangan kananku dengan refleks menghalangi sinar matahari yang terlalu terang itu menuju mataku. Menguap pelan, aku lantas beranjak menuju kamar mandi untuk bersiap menuju sekolah.
Yah, meskipun aku sama sekali tidak ingin berada di tempat itu.
Coba pikirkan, siapa yang ingin berada di sekolah berisi preman dan anak-anak berandalan?
SMP Shiru memang mengerikan, aku berpikir seraya menghela nafas. Sering sekali aku membolos pelajaran dan memilih untuk tiduran di atap. Paling-paling, aku hanya masuk pada jam sebelum makan siang atau sesudahnya. Pulangnya, aku hampir setiap hari dihampiri oleh para senpai yang membenciku. Ingin menindasku karena tubuhku yang kecil dan lemah ini.
Karena tahu tidak akan menang, aku membiarkan mereka melakukan kekerasan apapun padaku. Kutahan semua rasa sakit. Lagipula kalau aku memberontak, mereka akan semakin keras padaku.
Setiap hari, selalu seperti itu…
Besok, besoknya…Besoknya lagi…
Aku bahkan tidak tahu kenapa aku bisa berada di sekolah mengerikan itu. Tou-san sudah meninggalkan keluarga ini sejak aku berumur enam tahun. Kini, ia berada di Italia. Entah apa yang ia lakukan di sana. Sempat terlintas rasa penasaran di benakku, hal apakah yang lebih penting bagi tou-san daripada aku dan kaa-san?
Menyedihkan memang. Tapi sejak saat itu, aku merasa kesulitan dalam menunjukkan ekspresiku. Semua orang di kelas memanggilku 'Si Emo'. Mungkin karena wajahku terlalu miskin emosi. Padahal…Padahal banyak sekali perasaan yang bercampur aduk dalam hatiku.
Tapi aku…tak bisa melepaskannya melalui ekspresi.
Ingin sesekali aku mengeluarkan tawa, tangis, segala ekspresi yang bisa ditunjukkan oleh manusia normal. Beberapa kali aku mencoba keras, tapi hasilnya nihil. Rasanya sulit sekali.
Sudah tidak mungkin. Wajahku sudah menjadi es. Beku. Dingin.
Hanya kaa-san yang bisa menebak isi hatiku. Hanya ia yang bisa menerobos dinding kokoh yang aku sebut 'wajah' ini. Ia selalu bisa melihat isi hatiku. Tentu saja…Kaa-san adalah orang yang baik, lembut, dan semangat. Ia bahkan memaafkan tou-san yang telah—
"Tsu-kun? Ada apa?"
Aku tersentak pelan. Segera kutengokkan kepalaku menuju sumber suara. Kulihat melalui manik cokelatku, kaa-san yang sedang memegang sendok sayur dengan pandangan cemas.
Aku tertawa kecil. "Tak apa, kaa-san. Hanya memikirkan beberapa hal saja…" Tak mau kaa-san mencemaskanku lagi, aku segera memasukkan makanan yang masih tersisa ke dalam mulutku, mengunyahnya pelan. Tubuhku yang lemah ini serasa tidak memiliki gairah untuk melakukan hal apapun, bahkan makan. Aku tidak pernah merasakan rasa lapar. Mungkin aku dapat bertahan hidup tanpa makan selama beberapa hari.
Tapi…aku tidak akan pernah menunjukkan rasa malas makan itu lagi di depan kaa-san. Apapun yang ia sediakan di depanku, pasti akan kumakan. Aku hanya tak ingin mengecewakannya.
Hingga saat ini, aku masih bersekolah pun…karena kaa-san.
"Aku berangkat," pamitku kepada kaa-san yang masih mendampingiku di depan pintu. Ia tersenyum lebar.
"Hati-hati, Tsu-kun."
Seraya menenteng tasku, aku membalas senyumannya. Bukan, maksudku, mencoba membalas senyumannya dengan wajah dinginku. Respon yang kuterima adalah tepukan penuh kasih pada kepala berambut cokelatku.
Ah. Hangat…
.
.
Ya…teruslah tersenyum seperti itu, kaa-san.
Aku tak ingin melihat air mata itu lagi…
.
.
"Yo, Tsuna!"
"Hari ini masuk?"
Aku hanya menanggapi sapaan-sapaan itu dengan lambaian tangan. Bukannya aku merasa sebal atau bagaimana. Sebaliknya, aku merasa berterima kasih kepada mereka yang masih menganggap keberadaanku. Hanya saja, pada saat-saat tertentu, aku sedang malas bicara.
Seperti saat ini.
Karena itu, aku memutuskan untuk tidur. Tadi malam, aku tidur pukul setengah satu. Kedua mataku menjerit meminta tertutup. Tidur di kelas yang suasana berisik sekali ini memang kelihatannya mustahil. Tapi tidak bagiku. Aku sudah biasa.
Lagipula…kelihatannya guru matematika yang terkenal keras kepala itu tidak datang. Bahkan mungkin, tidak akan pernah datang. Tidak mengherankan bagiku. Banyak sekali guru yang menyerah menangani kami dan memilih angkat kaki. Dengan tiap berita pindahnya salah satu guru, teman-teman sekelasku pasti langsung bersorak gembira.
Aku? Tentu saja hanya terdiam.
…Yah, karena sedang malas saja.
Kutampik topik itu dari dalam kepalaku, seraya meletakkan kepala di atas kedua tangan yang sudah terlipat di atas meja penuh coretan milikku. Selagi kedua mataku terpejam, telingaku menangkap sedikit obrolan dari belakangku.
Kebiasaanku sebelum tidur di kelas adalah menguping. Aneh, memang. Padahal aku belum tentu tertarik pada topik yang mereka obrolkan.
"Hei, kau tahu Hibari Kyoya?"
Ah…Ya, ya, aku tak kenal dan tak peduli.
"Ah! Prefek SMP Namimori yang super duper ngeri dan galak itu, kan?"
Hibari Kyoya…Ah, ya. Aku ingat sekarang. Siapa yang tidak kenal dengan pemuda yang katanya menguasai SMP Namimori itu? Merasa topik yang akan mereka perbincangkan menarik, aku membuka kedua mataku perlahan, tidak jadi tidur.
"Katanya, kemarin dia mengalahkan Yamada-senpai!"
"Eh!? Beneran? Yamada, maksudmu Yamada yang tak terkalahkan itu!?"
Bagus, pikirku. Sudah dari dulu aku mengharap agar orang itu dikalahkan. Aku muak dengan semua bualannya.
"Kalau Hibari jadi prefek di sekolah kita…Ngeri, coy!"
"Jangan! Pokoknya jangan! Nanti aku tidak bisa membawa majalah-majalah kesayanganku lagi…"
"Tidak boleh main game di kelas juga? Kalau begitu jangan!"
Aku menghela nafas. Kalau mereka keberatan, aku sih tidak peduli. Toh, aku rasa, SMP ini akan menjadi terarah dan terurus dengan kehadiran si Hibari. Aku juga ingin melihat senpai-senpai yang pernah menindasku dibantai oleh Hibari.
Meski selama ini tak melawan balik, bukan berarti aku tidak membenci senpai-senpai itu. Tentu saja aku membenci mereka. Ingin membalas dendam. Aku tak ingin merepotkan kaa-san yang setiap hari merawat luka-luka akibat perlakuan mereka.
"Lupakan saja…" gumamku seraya mengeluarkan laptop yang sengaja kubawa—untuk mengisi waktu. Setelah menyalakannya, dan memastikan internet telah terkoneksi—sekolah ini entah mengapa dan bagaimaa memiliki wi-fi, salah satu alasanku masih bertahan di tempat ini—aku lantas mengetikkan nama suatu website dengan cepat. Tak butuh waktu lama, muncul background hitam dan tulisan putih di depan mataku.
'Welcome to our community'
Aku mengangguk puas. Segera kubuka kotak pesan akunku. Seperti biasa, terdapat banyak sekali pesan hari ini. Seperti hari-hari sebelumnya. Rasanya tidak ada habisnya. Mataku tertuju pada salah satu pesan.
'Hei, Oozora! Ajari aku nge-hack, dong.'
Aku tertawa kecil sambil diam-diam membalas di dalam hati: Maaf, aku tidak menawarkan jasa sebagai tutor. Mataku tertuju pada pesan lainnya yang sedikit menarik perhatianku.
'Bagaimana rasanya menjadi hacker terbaik nomor 3 di Jepang?'
Hm…Bagaimana, ya? Sulit dijelaskan. Lagipula…aku tak tahu sejak kapan mereka membuat peringkat hacker terbaik se-Jepang. Aku tertawa di dalam hati.
Ya, seperti yang mereka katakan…aku adalah—
"Apa itu, Tsuna?"
Aku hendak mengetik beberapa kata balasan kepada si penanya, ketika salah satu temanku menyundulkan kepalanya di samping bahuku. Aku sampai terlonjak kaget. Refeks, aku menutup laptop-ku.
"Bukan apa-apa. Cuma…forum tentang game saja."
"Oh? Kau ikut forum? Tak kusangka."
Dengan itu, ia melambaikan tangan dan melangkah menjauh menuju teman-temannya. Aku mengeluarkan nafas yang entah sejak kapan sudah tertahan.
Tadi itu…hampir saja.
Pesan yang kudapat hari ini, jangan pernah membuka website super rahasia di tempat umum. Seraya menghela nafas, aku pun mematikan laptop-ku. Karena menempati tempat duduk samping jendela kelas, dengan leluasa, aku bisa melihat pemandangan murid-murid di bawah.
Yang paling menguntungkan dari letak tempat duduk ini adalah, aku dapat mengawasi mereka.
Mataku menangkap tiga sosok pemuda yang sedang berkumpul di bawah pohon sakura. Pertama kali melihat mereka, aku langsung tahu.
Mereka mengincarku, ingin memukuliku lagi. Aku tahu betul, saat mereka berkumpul membentuk lingkaran di bawah pohon itu, berarti mereka sedang membuat rencana pengeroyokan Sawada Tsunayoshi—diriku.
Sepertinya pulang sekolah nanti, akan ada kejadan merepotkan lagi. Padahal aku ingin segera membuka website tadi. Aku hanya bisa menghela nafas.
"Ya ampun…"
.
.
Entah sejak kapan aku memilih menjadi salah satu dari mereka.
Aku melakukannya hanya karena bosan.
Tahu-tahu, aku sudah menduduki peringkat tiga. Aneh, bukan?
.
.
TBC
Chapter satu baru sedikit dan gaje. Penjelasan tentang hacker dan Oozora akan dijelaskan lebih lanjut besok…
Semoga kalian suka. Jangan lupa review, ya. :D
