First fic, alhamdulillah yuri. (untuk chapter ini sih belum ada tanda-tanda)

Sok atuh dibaca kalo penasaran, ga usah malu-malu gitu.


-Disclaimer-

VOCALOID Copyright by YAMAHA and CRYPTON

(while I'm still hoping for its software fall freely from the sky)

- Kalo ga suka ga usah dibaca-

-Kalo ga suka ngapain dibuka?-

-Yah, berhubung udah dibuka sok atuh dibaca, sayang itu kuota-

-Budayakan Read 'n Review guna perkembangan author-


The gap between pleasure and emotional theory; Voice that looks in

I disappeared so I'm distracted, so time turns

I don't do demands and interference

There's no meaning of them coming here

Just one moment's trip; To my own world

Suasana di tempat itu sangatlah ramai. Semua orang membicarakan satu hal yang sama, bak kedatangan bangsa Eropa ke tanah Asia di masa dahulu kala. Namun di sudut sana Luka bergeming, tak menghiraukan apa yang tengah diriuhkan oleh orang-orang di sekitarnya. Ia hanyut dalam dunia di dalam kepalanya, imajinasinya, khayalannya. Pandangan matanya lurus menembus dunia di luar jendela, namun entah melihat apa. Ia menerawang pada kekosongan. Seorang lelaki tua masuk ke tempat itu dan memecah keramaian yang ditimbulkan oleh orang-orang di dalamnya.

"Semuanya, diam!" serunya bagai petir yang menyambar di siang yang terik.

Sekejap suasana menjadi hening, lalu menegang. Semua orang terdiam, beberapa kembali ke tempatnya masing-masing. Namun di sudut sana Luka masih saja mendayu dalam dunianya sendiri.

"Selamat pagi anak-anak."

"Pagi pak."

"Tanpa perlu berpanjang-panjang, mulai hari ini kalian akan kedatangan teman baru."

Kembali suasana riuh. Kini keadaan di tempat itu lebih mirip dengan seorang kepala negara yang tengah memberitahu rakyatnya bahwa dalam sekali mata mendelik sebuah bencana akan datang menimpa. Di sudut sana, Luka masih mendekam dalam imajinasinya yang entah sudah berlayar hingga ke mana.

"DIAM!"

Bentakan maut itu berhasil kembali membungkam mulut mereka yang tak pernah kuasa untuk tertutup meski hanya sejenak. Dan karena radiusnya yang cukup luas, lamunan indah Luka hancur begitu saja bak kaca yang pecah berkeping-keping hanya dengan satu hembusan angin ribut. Berusaha tidak mengurangi rasa hormat sebagai warga yang budiman, ia pun beralih mendengarkan lelaki tua di depan sana.

"Miku, cepat masuk!"

Ia mengangkat sebelah alisnya. Ia menunggu yang dipanggil untuk masuk. Lalu ia merasa heran akan dirinya sendiri. Ia bingung lantaran tak mengerti mengapa ia 'tertarik' untuk melihat seperti apa orang baru itu dan kira-kira dia akan menetap di mana, semenjak masih ada sekitar tiga bangku yang kosong. Ia berharap orang itu tidak memilih bersamanya. Dan ia akan sangat senang dan berterima kasih pada orang itu jika orang itu melakukan apa-apa yang baru saja ia pikirkan.

Tanpa ia sadari anak baru itu sudah masuk dan kini berdiri di depan kelasnya, dengan wajah yang begitu segar dan energik. Sebuah senyum menghiasi wajahnya, membuatnya sempurna terlihat seperti seorang anak kecil yang baru saja dibelikan gulali di taman bermain.

"Perkenalkan dirimu."

Yang bernama Miku itu hanya mengangguk.

"Selamat pagi teman-teman. Namaku Miku Hatsune. Aku pindahan dari Sapporo. Mulai hari ini aku akan menjadi dari bagian kelas ini, mohon bantuannya!" serunya seraya membungkukkan badan.

Semua orang bersorak-sorai dan terlihat seperti perempuan bernama Miku itu sangatlah familiar bagi mereka. Luka mengamati sosok itu dengan seksama, dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Mata mereka bertemu dan Luka dengan spontan mengalihkan pandangannya ke bawah, melihat buku catatannya yang tergeletak di hadapannya.

"Masih ada tiga bangku kosong di kelas ini, pilih saja di mana kau ingin duduk."

Luka menelan ludahnya, berharap agar perempuan itu tidak memilih duduk bersamanya. Sekilas ia memicingkan matanya melihat ke arah deretan anak-anak perempuan yang dicap sebagai school idols karena kecantikan mereka. Benar saja, mereka sedang dengan sangat bersemangat meminta Miku untuk duduk di dekat mereka. Lalu ia mengalihkan pandangannya menuju kursi lainnya, kursi di sudut belakang kelas yang lain, teritorial para lelaki.

"Sepertinya di sudut sana bagus."

Luka terbelalak, ia panik, Sudut yang mana? pikirnya. Ia menggigit bagian bawah bibirnya dan mendapati anak itu sedang tersenyum ke arahnya. Tangannya menunjuk bangku di sampingnya yang kosong. Sekejap ia merasakan mual yang menjadi-jadi di perutnya. Ia merasa lebih buruk ketika lelaki tua yang dikenalnya sebagai wali kelasnya itu mengiyakkan keinginan Miku itu. Miku segera berjalan menuju tempat duduk barunya. Baru menaruh tas, anak-anak yang duduk di depan mejanya membalikkan badan dan mengajak Miku berkenalan, namun Miku hanya menanggapi mereka dengan senyum simpul. Tangannya gemetar hebat, tanpa ia sadari ia nyaris melecakkan bukunya. Keringat dingin mulai membanjiri dahinya, dan semua ketegangan yang ia rasakan membeku begitu saja saat ia melihat sebuah tangan terulur ke arahnya.

"Hei, maaf jika aku akan merepotkanmu ke depannya, salam kenal, senang bertemu denganmu," sapanya lembut.

Luka masih membeku. Ia mengulurkan tangannya perlahan-lahan, dengan kepala tertunduk. Dengan suara bergetar ia menjawab, "L-Luka… Luka Megurine… salam kenal juga…"

Luka tahu persis apa yang akan terjadi setelah semua ini terjadi. Ia memejamkan matanya dengan paksa, mengharap kematian menjemputnya sekarang juga.

+ LAL +

Bel istirahat berdering dengan sangat keras. Guru-guru yang mengajar di tiap-tiap kelas berjalan keluar, disusul dengan lautan manusia yang keluar setelahnya. Di tempatnya, Luka tengah memasukkan buku-bukunya ke dalam tasnya dan mengambil kotak bekal makan siangnya dari dalam laci mejanya ketika seluruh penghuni kelas secara ajaib sudah berkerumun di sekitar mejanya. Namun semua melihat Miku, bukan dirinya. Semua orang tidak peduli apakah ia terganggu atau tidak dan terus saja mencelotehkan hal-hal tak penting demi mengawali pertemanan mereka dengan Miku, "Namaku blablabla, umurku blablabla, aku senang sekali blablabla, ayo berteman baik denganku," atau lainnya. Luka tidak menyukai kerumunan liar semacam ini, ia keluar dari bangkunya dan berusaha untuk meninggalkan kerumunan semut yang mengincar segumpal gula kecil di sudut ruangan itu. Terlalu banyak orang yang mendesaknya, sampai-sampai ia terdorong dan jatuh tersungkur di lantai. Kotak bekalnya terlempar, berhamburan di lantai kelas. Kerumunan itu memandangnya jijik, beberapa malah tanpa beban mengeluarkan bunyi-bunyi seperti "Iuh…" atau "Menjijikkan," atau lainnya. Luka ingin sekali menangis, mati begitu saja di sana, ia sangat malu, dan ia sangat takut. Anak lelaki yang ada di sana kini mulai mengejeknya, menendang-nendang kotak bekalnya, serta menginjak isi dari kotak tersebut.

Before the fallen order

I resisted it; I pushed it down

I blocked my ears so that I couldn't hear anything

Tahu-tahu salah seorang dari lelaki-lelaki itu jatuh terjengkang. Luka mengangkat wajahnya yang kini dibanjiri air mata. Miku berdiri melindunginya, tegak dan tak tergoyahkan ia kemudian menyingkirkan sisa-sisa yang masih berdiri di sana. Ia terbelalak, tak percaya akan apa yang dilihatnya.

"Kalian pikir kalian siapa berani-beraninya melakukan hal yang sedemikian rendahnya terhadap teman kalian sendiri…" umpat Miku dengan tatapan tajam di dalam kedua bola matanya.

Anak-anak itu ngeri, sebagian besar dari mereka berlari meninggalkan tempat itu, sisanya menanggapi Miku.

"Dia bukan teman kami. Kami tidak berteman dengan nerd macamnya," jawab seorang perempuan yang merupakan pemimpin kelompok school idols sembari melontarkan tatapan jijik terhadap Luka.

"Dia temanku."

Luka terbelalak. Semua terbelalak.

"Luka adalah temanku, dan sekalipun kalian tidak menganggapnya teman kalian, ia akan tetap menjadi temanku. Sampai kapanpun, dan dalam kondisi apapun."

Luka merasa dadanya sesak. Ada sesuatu yang masuk dan meluap sampai-sampai rongga udara baginya untuk bernafas tak berfungsi. Air matanya berhenti berlinang. Gemetar tubuhnya menghilang begitu saja. Ia membeku.

"Miku, bodoh sekali jika kau lebih memilih sampah macamnya dibandingkan dengan kami. Kami memegang banyak wewenang di tempat ini, sedangkan ia? Ia hanyalah bahan lelucon tempat ini. Sampah macamnya memang sudah sepantasnya diperlakukan seperti ini."

"Begitukah…?" Miku terperanjat.

"Tentu saja."

"Seharusnya kalian memberitahuku sejak awal jika memang begitu, oh Tuhan," lanjutnya sambil tertawa.

Kini semua kebekuan yang Luka alami mencair tanpa meninggalkan jejak apapun dan kembali rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya. Ia takut, sangat takut. Ternyata Miku memang tak ada bedanya dengan mereka semua.

"Maka dari itu, Miku, bergabunglah bersama kami dan tinggalkan sampah di belakangmu itu sendiri."

"Tentu saja, aku tidak akan segan-segan, hahaha…" Miku melenggang meninggalkan Luka.

"Tidak akan segan untuk menghancurkan sistem sial kalian itu."

Miku memungut makanan Luka yang sudah terinjak itu dan melemparkannya ke arah perempuan brengsek di hadapannya. Anak itu menjerit, seketika berlari meninggalkan Miku, dengan penuh kekalahan tentunya. Yang lain mengikutinya dengan tunggang langgang. Kini kelas itu kosong. Yang tersisa hanyalah ia, dan Miku.

"Luka…"

"…"

"Luka…"

"…"

"Hey, Luka…"

"…"

Miku khawatir sekali akan keadaannya. Luka terlihat begitu terpukul dengan semua peristiwa yang terjadi barusan. Laksana melihat seseorang membunuh orang lainnya, tepat di depan matanya.

It seperated, so there's no great meaning; to the outside world

Frozen time that I can't move by myself

Since I can't do anything, it doesn't move

If I'm different because of it, then I'm present here

Just one moment's trip; To an unchanging world

"Luka!" seru Miku sambil menatap kedua mata biru laut Luka dalam-dalam.

Ia mencari di mana Luka sekarang berada dengan penuh rasa was-was. Tatapannya bagaikan do'a yang tak terputuskan, Miku sedikitpun tak mengedipkan matanya, ia terus berusaha mencari Luka.

"Luka, sadarlah!" serunya sekali lagi, lebih dalam.

Kedua mata biru laut itu masihlah kosong.

"Luka, hey, Luka…" kini suaranya terdengar meratap.

Kedua mata itu kini kembali terisi, pupil-pupil matanya secara liar menelaah Miku. Ia memberanikan diri untuk menyentuh Miku. Belum ia menyentuhnya, Miku sudah terlebih dahulu mendekap tubuh kecilnya erat. Sekilas setelah pelukan itu terlepas mata mereka kembali bertemu. Miku berdiri dan mengulurkan tangannya untuk Luka.

"Aku ingin diperkenalkan dengan seluruh wilayah di sekolah ini, aku ingin cepat beradaptasi. Maukah kau menemaniku berkeliling sejenak, Luka?" tanya Miku dengan suara lembut yang menenangkan jiwa.

Kini mata Luka berbinar-binar, ia semakin tak percaya akan semua yang telah terjadi sejak tadi. Namun di lubuk hatinya yang terdalam ia merasa sangat bahagia karena ia dapat merasakan ketulusan hati Miku akan dirinya. Ia mengangguk pelan dan keduanya melangkah meninggalkan semua beban di belakang mereka.

+ LAL +

It's okay if it's connected

I don't change; it's that simple

You don't even know my feeling

Keduanya kelelahan mengitari seluruh penjuru sekolah dan kini mereka berada di atap sekolah. Miku berjalan ke ujung tempat kosong yang luas ini dan memandangi seluruh wilayah sekolah serta beberapa lokasi di luarnya. Terlihat begitu indah. Luka mendekat dengan ragu-ragu. Ia berusaha mencari topik pembicaraan yang bagus untuk mencairkan atmosfer di antara keduanya.

"Umm…"

"Tokyo sangat indah."

"Eh?"

"Beda sekali dengan Sapporo. Tokyo jauh lebih modern."

"Ehm… ya, bisa dikatakan begitu. Ngg… kau lebih suka di sini atau di Sapporo?"

"Aku suka keduanya."

"Mengapa harus keduanya?"

"Karena keduanya memiliki ciri khasnya masing-masing."

"Aku belum pernah pergi ke tempat yang bernama Sapporo."

"Kau harus ke sana. Kau tak akan menyesal."

"Mungkin suatu saat nanti…"

"Hmm…"

Luka menatap Miku dari balik poninya. Miku terlihat begitu anggun. Dari jarak sedekat ini ia dapat melukiskan betapa cantiknya Miku. Matanya yang cerah, senyum yang tak kunjung luput dari wajahnya, sempurna sekali. Rambut hijau torquise panjang yang diikat dua di kedua sisi kepalanya membuatnya terlihat semakin manis. Suaranya juga sangatlah lembut, namun sangatlah dalam. Kemudian ia membandingkan Miku dengan dirinya, dan ia terdiam. Terlalu jauh, tak dapat dibandingkan. Miku di matanya tak lain dari seorang putri yang selalu mendapatkan apa yang ia inginkan, namun ia tak pernah lupa siapa dirinya dan bagaimana kedudukannya di mata Tuhan. Sedangkan dirinya? Ia tak lebih dari sebuah lelucon yang seringkali dimainkan oleh teman-temannya. Mempermainkannya bukanlah suatu hal yang menakjubkan. Namun ia tak ingin mengeluarkan semua yang tengah mengganjal di hatinya pada Miku. Meski bagaimanapun Miku hanyalah seorang teman yang baru ia buat hari ini, tak mungkin Miku sudah menganggapnya begitu spesial. Hal itu tentu saja mustahil. Iapun menghela nafas, dan menyudahi perseteruan dalam pikirannya.

"Luka," panggil Miku ramah.

Luka menanggapi panggilan itu dengan menatap Miku.

"Kau tahu, tak sepantasnya kau dipermainkan seperti itu. Kau harus melawan, kau dengar itu? Lawanlah mereka. Jangan biarkan harga dirimu mereka injak-injak. Lagipula, dibandingkan dengan anak tadi, kau jauh lebih cantik dan manis. Aku sangat menyukai semua yang ada pada dirimu, Luka."

Wajah Luka memerah, kepalanya memanas. Ia menundukkan kepalanya dan hanya mengucap "terima kasih" dengan suara berbisik.

Beribu-ribu pertanyaan muncul dalam dunianya, tetapi ia mengabaikannya. Baginya, saat-saat seperti inilah saat yang tak bisa ia lepas begitu saja. Saat ini ia merasa seperti tengah menjejakkan kedua kakinya dalam surga. Di sampingnya ada seorang malaikat kecil yang terlihat begitu sempurna.

I don't know…

I can't find any answers…

I don't know anything…

+ LaL +


Eaaaaa...

Alhamdulillah saya nemu lagunya Luka yang cucok sama isi chapter ini. Yah kalo anda pada nyari mungkin rada kaget soalnya lagunya *** (spoiler alert, mangga cek sendiri)

Selanjutnya apa yah?

Siapakah sebenarnya Miku?

Apakah nantinya ia akan merubah Luka mode 'weak onee-chan' menjadi 'onee-sama night fever'?

Tunggu tanggal mainnya!