Mereka berada di lorong-lorong bawah tanah. Suara langkah kaki dalam jumlah banyak terdengar keras dari atas.

"Cuma masalah waktu sampai kita ditemukan," keluh Ranpo. Dia tidak suka situasi seperti ini. Detektif hebat sepertinya lebih cocok duduk di suatu tempat menyusun strategi dan menyampaikan instruksi. Bukannya malah terjebak dalam kejar-kejaran dengan organisasi yang berniat menghancurkan Yokohama sampai-sampai Agensi lagi-lagi harus genjatan senjata dengan Port Mafia.

Yosano memegang erat tas senjatanya yang sekarang terasa berat. Dia sudah kelelahan bertarung dengan golok melawan belasan orang dalam perjalanan ke sini. Kekuatan penyembuhannya adalah hal yang sangat diincar dalam perang. Tidak mengherankan kalau dia adalah salah satu target musuh.

"Sial ... Harusnya aku bisa ... Menghabisi mereka ..." geram Chuuya yang duduk menyandar dalam kondisi terburuknya. Luka-luka yang didapatnya jelas adalah hasil dari penggunaan corrupt.

"Kau beruntung Mori-san meneleponku dan memberitahu lokasimu." Dazai berkomentar. "Apa hanya itu cara mengalihkan perhatian musuh?"

Chuuya mendecih, "Ya. Berkat itu si bocah harimau dan Akutagawa berhasil lolos. Ada keluhan?"

Dazai mengalihkan pandangannya ke langit-langit. "Yosh, Ranpo-san, apa kau membawa buku yang ditulis detektif Guild?" Yang dia maksud adalah Poe.

"Apa yang kau rencanakan, Dazai-san?" Kenji menatapnya dengan mata berbinar. Dazai selalu punya ide aneh, yang tidak terpikirkan olehnya.

"Ada sih, sepertinya ini bukan buku misteri." Ranpo mengeluarkan sebuah buku dari saku dalam pakaiannya. "Katanya ini juga bukan karyanya, cuma ringkasan dari sebuah novel lain."

Dazai mengangguk. "Tapi efeknya masih sama kan?" tanyanya memastikan.

"Kau mau meminta kami masuk ke dalam cerita ini?" Ranpo menegaskan.

"Iya, itu tempat persembunyian yang sangat ideal, bukan?" Dazai membenarkan.

Yosano tercenung, "Tapi berarti kau tidak akan bisa ikut, Dazai." Sementara langkah kaki yang semakin dekat dan letusan senjata api memekakkan telinga.

"Itu bukan masalah. Sekarang, cepatlah." desak mantan eksekutif termuda Port Mafia itu.

Ranpo menghela napas, mulai membuka buku tersebut. "Berjanjilah untuk selamat, Dazai." Kata-katanya dibalas dengan senyuman biasa. Seolah kondisi sekarang hanya rutinitas harian yang membosankan.

"Tentu, Ranpo-san."

Dalam sekejab, buku itu menyeret masuk Ranpo, Yosano, Kenji dan Chuuya (yang sudah kehilangan kesadarannya) ke dalam novel. Dazai yang tinggal sendirian di lorong menghela napas. "Aah, baiklah. Sekarang giliranku." Dengan mata yang bersinar dengan kepercayaan diri, pemuda itu mulai dengan melepas mantelnya. Menggunakan kain tersebut untuk membungkus buku agar tidak menetralkan kemampuan Poe dengan sentuhan langsung.

Sementara pria-pria bersenapan laras panjang mengepungnya dari dua sisi, Dazai mendekap buku yang sudah dilapisi mantel itu di depan dadanya. "Apa kalian semua mau menemaniku bunuh diri? Sungguh orang-orang yang sangat baik." Mengambil sesuatu dari sakunya dan mengangkat sebelah tangan tinggi-tinggi, anggota agensi itu memamerkan tombol pemicu bom.

Chuuya membuka matanya, merasakan silau dari terik matahari. Tunggu, bukankah harusnya dia berada di lorong gelap? Terperangkap dikepung musuh bersama kelompok kecil anggota Agensi. Tapi kenapa sekarang dia malah terbaring di atas rumput? Dikelilingi pohon rindang ... Ini di dalam hutan?!

"Hai, sudah cukup tidur siangnya, Tuan Mafia?" Itu sapaan yang kurang menyenangkan dari detektif utama ADA, Edogawa Ranpo. Pria 26 tahun itu menyandar ke pohon sambil mengipas-ngipas diri dengan sehelai daun lebar.

"Aah, begini lagi ya. Kau menjebakku di buku lagi? Kali ini apa ceritanya?" Chuuya yang pernah mengalami hal serupa sebelumnya otomatis berspekulasi.

"Bukan aku. Ini idenya Dazai." tukas Ranpo. "Lagipula ini latar yang terlalu indah untuk jadi lokasi pembunuhan, kan?"

"Hmm, lalu mana si Dazai itu? Aku sedang ingin menghajarnya." Chuuya mengatakan hal tersebut dengan suara datar. Seperti sedang mengatakan ingin makan ketika lapar. Namun tinjunya yang sempat terkepal itu perlahan diturunkan ketika dalam sepersekian detik akal sehatnya berhasil menyimpulkan efek kekuatan Dazai yang menyebabkan keberadaannya di tempat ini menjadi mustahil.

"Nah, karena sepertinya otakmu sudah kembali berfungsi, ayo pergi." Ranpo berdiri. Tadi Yosano dan Kenji meminta izin untuk pergi duluan mencari sungai atau bahan makanan, sedangkan Ranpo bertugas menunggu sampai Chuuya bangun.

Chuuya bangkit, tidak ada gunanya untuk protes. Pada keadaan seperti ini mungkin berdamai dengan ketiga anggota agensi itu adalah pilihan terbaik. "Aah, ngomong-ngomong, bagaimana caranya keluar dari novel ini? Biasanya kau harus memecahkan semacam misteri, kan?" Tapi ini lebih terlihat seperti genre fantasi.

"Kita akan tahu setelah mengumpulkan lebih banyak informasi." Ranpo berjalan di depan, melompat-lompat kecil mengikuti kupu-kupu kuning. Tidak perlu waktu lama untuk mereka sampai di bawah pohon besar, dimana Yosano dan Kenji terlihat berbincang dengan dua orang pemuda yang tidak dikenal.

"Hai, Ranpo-saan!" Kenji melambaikan tangan. "Mereka Eugeo dan Kirito." Dengan riang dia memperkenalkan.

Anak bernama Eugeo itu tersenyum lembut. "Apa kalian 'anak hilang Vecta' juga? Pagi tadi Kirito, lalu Kenji-kun dan Yosano-san. Siapa kalian?"

"Detektif hebat, Edogawa Ranpo!" Ranpo memperkenalkan diri dengan khas.

"Apa julukan itu berkaitan dengan tugas mulia Anda?" tanya Eugeo, baru pertama mendengar istilah tersebut.

"Benar sekali! Menolong orang lain adalah tugas mulia. Silahkan tanyakan apa saja padaku." Ranpo menepuk dadanya dengan bangga.

Mengabaikan istilah anak hilang Vecta yang disematkan padanya.

"Aku Nakahara Chuuya." Eksekutif Port Mafia urung menyebutkan pekerjaannya. Menjadi mafia tidak bisa disebut tugas mulia, kan? Begitu pikirnya. "Apa yang kalian lakukan?"

"Menebang kayu. Yang tidak selesai sejak beratus tahun lalu." Kirito yang menjawab.

"Pohon yang besar, ya," kagum Kenji. "Terus, apa yang akan kalian lakukan setelah berhasil?" tanyanya dengan antusias yang tidak dibuat-buat.

"Menyelamatkan Alice." Ada sesuatu menyala di netra Eugeo. "Pergi ke ibu kota dan menyelamatkan Alice."

"Singkatnya, kalian harus menyelesaikan tugas tebang pohon baru bisa pergi ya?" Ranpo menyimpulkan. "Kenji-kun, Nakahara, kalian bantuin mereka." Dia mengeluarkan perintah.

"Baiik!" Kenji memukulkan tinjunya. Membuatnya terlempar ke belakang sebagai efek hukum III Newton.

"Ah, bukannya kemampuan kita tidak bisa digunakan dalam situasi ini ya?" komentar Yosano, teringat pengalamannya.

"Oh, benar." Cetus Ranpo seperti baru mengingatnya.

Chuuya menatap kedua tangannya. "Huf, padahal ini bukan hal mustahil dengan corrupt." Dia ingin segera keluar dari buku, ngomong-ngomong.

"Bukan mustahil kau akan mati, begitu?" sambar Yosano cepat sekaligus tepat sasaran.

Eugeo dan Kirito berpandangan, tidak begitu paham maksud percakapan yang mereka dengar. "Begini, aku senang kalian ingin membantu. Tapi sekarang sudah sore, apa kalian mau ikut ke Desa Rulid?" Eugeo menawarkan.

Eugeo dan penduduk desa memang aneh. Mereka jelas bukan NPC, dan mungkin bukan pula player di Underworld ini. Tapi bagi Kirito, orang-orang sesama anak hilang Vecta jauh lebih aneh.

"Kirito-san, Selka-san memintaku memanggilmu untuk makan malam!" Itu suara Kenji. Mereka sama-sama untuk sementara tinggal di bawah pengawasan Suster Azalia.

"Baik!" Kirito bangkit dari posisi duduknya di kasur tempat tidur. "Sebelum itu, Kenji, ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padamu."

Anak berambut pirang yang terlihat suka menolong itu membuka pintu yang tidak dikunci. "Apa itu, Kirito-san?"

"Apa kalian bukan berasal dari dunia ini juga?" Pertanyaan langsung ke inti.

Kenji tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Sesuatu yang buruk terjadi." Perkataan sederhana tapi tidak jelas itu membuat Kirito teringat sesuatu.

Sesuatu yang buruk ... Apa dirinya di dunia nyata juga sedang dalam bahaya yang memaksa agar dia log in ke sini? Untuk sekejab, bayangan ekspresi Asuna yang dipenuhi kekhawatiran berkelebat di kepalanya. Apa yang terjadi?

"Apa Kenji tahu bagaimana caranya keluar dari sini?" tanya Kirito, sedikit menyimpan harapan pada anak yang lebih muda darinya itu.

"Hmm, kalau menurut Ranpo-san..."

"Menyelamatkan Alice?!" ulang Chuuya dengan nada tinggi. Bagaimana mungkin mereka akan menyelamatkan seorang gadis yang dibawa sudah 6 tahun ke tempat yang tidak diketahui pasti, sementara orang-orang yang punya gambaran lebih tentang dunia ini malah tersandera oleh tugas mulia nan nyaris mustahil. Lalu detektif itu mengatakan hanya itu caranya keluar dari novel ini?! Chuuya ingin meneriakkan itu kalau tidak takut membangunkan adik-adik Eegeo di ruang sebelah.

Mengingat umur, Ranpo dan Chuuya menolak menerima fasilitas seperti Kirito dan Kenji. Mereka bukan anak-anak, begitu pemikiran yang membuat kedua pria dengan tinggi pas-pasan itu memilih menginap di rumah Eugeo. Yosano sendiri memutuskan untuk bantu-bantu seperti yang dilakukan Selka, dengan memperoleh izin menetap sementara sebagai imbalannya.

"Alice adalah misteri terbesar saat ini, Nakahara. Jadi wajar saja kalau itu kunci untuk keluar dari sini." Ranpo menjelaskan deduksinya. "Mengenai masalah pohon, aku yakin Eugeo dan Kirito akan menebangnya dalam waktu dekat."

Chuuya mengerutkan dahinya, tapi kemudian mendengus untuk menetralkan emosinya. "Ini sudah beberapa hari. Bagaimana pertempuran di Yokohama ... Ya?" gumamnya sambil menatap ke atas, terhenti di langit-langit rumah Eugeo.

"Aku tidak yakin dengan persamaan waktu di sini dengan dunia nyata." Ranpo menanggapi. "Mungkin baru beberapa menit atau bahkan detik yang terlewat sebenarnya."

"Gitu ya. Ngomong-ngomong, kenapa kali ini kau memanggil namaku dengan benar?" Chuuya heran kenapa Dazai dan Ranpo cenderung mengomentari topinya. Biasanya Dazai mengejeknya penyangga topi dan Ranpo memanggilnya Topi Mewah atau yang semacamnya. Tapi kali ini tidak begitu.

"Sekarang ini kita sedang bekerjasama, jadi tidak ada untungnya membuatmu marah. Yah, alasan utamanya karena kau sedang tidak memakai topi itu."

Chuuya meraba kepalanya. "Hah?! Sejak kapan..."

"Selka, kudengar dulu kau punya seorang kakak?" tanya Yosano ketika mereka sedang berdua di dapur.

Untuk sesaat ekspresi gadis kecil itu mengeras. "Ya ... Kenapa?"

"Kudengar juga kamu mempelajari beberapa seni mulia. Bisa ajari aku juga?" Yosano mengalihkan topik pembicaraan. Berbicara masalah Alice sepertinya akan lebih baik jika dilakukan oleh Kirito.

"Aku belum begitu mahir. Jenis seni mulia apa yang ingin Yosano-san pelajari?" Sekarang matanya terlihat lebih bercahaya ketika membahas ini.

"Pengobatan."

Yosano menyahut tanpa pikir panjang. Mereka tidak tahu seberapa kuat musuh yang akan mereka hadapi, atau seberapa kacaunya situasi ke depan. Jika di dunia ini kemampuannya tidak bisa digunakan, Yosano setidaknya ingin bisa melakukan alternatif lainnya yang berkaitan.

"Kikuoka-san, ada program dari luar yang menyusup masuk." Lapor Higa, menatap fokus layar besar komputernya.

Lanjutannya belum bisa dipastikan. Aku bahkan tidak yakin ini cerita yang bagus. Tapi sebenarnya cukup menyenangkan membayangkan alur cerita Alicization dengan campur tangan tokoh BSD. Mungkin ada kemungkinan dimana Eugeo tidak harus mati, hehe.