Disclaimer: Bukan punya saya

Genre: Romance, Drama

Rated: T

Warning: OOC, gaje, typo, dan sebagainya.

Love Me!

"Minggu depan aku akan kembali ke ORB."

"A... Apa?!" Meyrin berseru kaget. Pemuda berambut biru gelap di yang duduk di depanya ini baru saja mengatakan hal yang sangat mengejutkan. "Kenapa mendadak sekali?"

"Sama sekali tidak mendadak. Aku hanya tidak memberitahumu tentang hal ini. Urusanku di sini sudah selesai, jadi aku harus segera kembali," jawab Athrun lesu. Ia baru saja pulang dari mengurus administrasi kepindahannya dari PLANT ke ORB sebulan setelah pelantikan Lacus menjadi pemimpin yang baru. Dengan sedikit bantuan dari Kira, perjuangannya mengurus segunung berkas kepindahannya itu bisa lebih cepat dari perkiraan. Rencananya setelah ia kembali ke kamar, ia akan langsung tidur, tapi kedatangan gadis berambut merah ini membuatnya membatalkan rencananya.

Meyrin menunduk sedih. Matanya terus memandang ke bawah, tidak berani beradu pandang dengan pemuda yang ada di depannya. Athrun hanya diam menatap gadis itu. Menunggu respon darinya.

"Kenapa..." Si gadis kembali berbicara. Masih dengan menundukkan kepalanya. "Kenapa Athrun-san tidak tidak tinggal di sini saja?" tanya gadis itu. Ia tahu kalau Athrun memang akan pindah ke ORB, bahkan pemuda itu sudah menerima jabatan untuk menjadi admiral di militer ORB. Tapi kenapa begini cepat? Ia bahkan belum menyatakan perasaannya pada pemuda itu.

Athrun menghela napas, kemudian tersenyum. Namun tidak langsung menjawab pertanyaan Meyrin. Ia duduk diam memperhatikan gadis itu. Ia masih tertunduk diam dengan tangan mencengkram kedua lututnya, seperti ingin menangis. Athrun tahu kalau gadis ini memiliki perasaan padanya, tapi tidak dengan dirinya. Ia tidak pernah punya perasaan lebih terhadap gadis ini.

"Meyrin, di sini bukan tempatku," jawab Athrun akhirnya.

"Kenapa?! Bukankah kau berasal dari PLANT?! Kenapa pergi ke ORB yang jelas-jelas bukan tempatmu berasal?!" Meyrin menaikkan nada suaranya dan memberanikan diri menatap mata si pemuda.

"Aku memang berasal dari PLANT, tapi tempatku bukan di sini sekarang. Mungkin ini terdengar konyol bagimu, tapi aku mencintai ORB, dan sudah memutuskan untuk mengabdi di sana," jawab Athrun tenang. Masih menatap lurus gadis di depannya dengan sendu.

"Kenapa... Kenapa kau begitu mencintai negara itu? Bukannya negara itu tidak ada hubungannya denganmu?"

"Memang... Tapi aku menyukai negara itu. Negara netral dimana para koordinator dan natural bisa hidup berdampingan dengan rukun. Dan kau tahu? Alasanku untuk kembali bergabung dengan ZAFT pada awalnya adalah untuk melindungi ORB." 'Dan juga Cagalli,' tambah Athrun dalam hati.

"Ka... Kalau begitu aku akan ikut denganmu." Meyrin mendongak. Air mata sudah menggenang di kelopak matanya. Air mata keputusasaan karena tidak bisa menahan kepergian orang yang dicintainya. Hanya ini satu-satunya cara. Ia harus terus berada di dekat Athrun meskipun ia tahu jelas siapa yang ada di hati pemuda itu.

Athrun menggeleng, "Tidak Meyrin, tidak sepertiku, tempatmu adalah di sini. Lagipula-"

"Tidak! Aku ingin terus bersamamu! Apa kau tidak tahu bagaimana perasaanku padamu?!" Meyrin meledakkan emosinya. Air mata yang sedari tadi berusaha ditahannya, kini telah mengalir di kedua pipinya.

Athrun menatap sendu gadis di depannya ini. Mungkin dia terlalu banyak memberi harapan pada gadis ini. Tapi sungguh, dia sama sekali tidak bermaksud begitu.

"Aku tahu... Tapi maaf, aku tidak bisa menerimanya..."

"Kenapa?" tanya Meyrin. Suaranya bergetar pilu.

"Karena aku menganggapmu hanya sebagai seorang teman dan juga sebagai adaik," jawab Athrun lembut. Tak ingin lebih menghancurkan perasaan si gadis.

"Aku akan berusaha menjadi gadis yang kau inginkan, sampai kau bisa menyukaiku. Jadi, tolong izinkan aku ikut ke ORB denganmu..." Meyrin tetap bersikeras.

"Tidak bisa Meyrin, meskipun kau berubah seperti apapun, perasaanku padamu akan tetap sama," Athrun diam sejenak, kembali menatap mata sang gadis kemudian kembali berucap, "Karena aku sudah punya seseorang yang kucintai. Aku pikir kau sudah tahu hal itu."

Perkataan terakhir Athrun berhasil menghancurkan hati Meyrin. Ia tahu ada wanita lain yang dicintai Athrun. Ia bahkan tahu siapa orangnya. Tapi ia tidak menyangka perasaan Athrun akan sebesar itu.

"Apa representatif ORB orangnya? Kenapa?! Kenapa kau begitu mencintainya? Bukankah dia sudah menghianatimu dengan menikah dengan orang lain?"

"Kau tahu dia tidak menghianatiku. Itu dia lakukan demi ORB. Negara yang dicintainya yang juga kucitai," jawab Athrun tenang.

"Ta, tapi bukankah dia tidak mencintaimu? Bukankah dia sudah menolakmu?"

Athrun kaget, darimana gadis ini tahu hal itu?

"Darimana kau tahu?"

Meyrin tersentak. Ia kelepasan bicara. Memang seharusnya ia tidak tahu informasi itu.

"I, itu tidak penting Athrun-san. Bu, bukankah sudah saatnya anda melepaskannya?" Meyrin gugup dan berusaha mengalihkan perhatian.

Athrun menghela napas. "Walaupun dia menolakku, aku tidak akan menyerah begitu saja. Karena kalau aku menyerah, aku akan meyesal pada akhirnya."

Jawaban Athrun berhasil membuat Meyrin menghentikan niatnya untuk kembali berdebat. Ia berdiri dari kursinya dan memandang athrun dengan marah. Tanpa berkata apapun Meyrin berlari keluar meninggalkan Athrun. Air mata mengalir deras dari matanya. Sakit... Hatinya sangat sakit menerima penolakan Athrun. Kenapa? Kenapa susah sekali membuat pemuda itu berpaling padanya? Bukankah ia sudah ditolak oleh sang representatif ORB?

Apa yang kurang dari dirinya? Apa yang tak dimilikinya tapi dimiliki oleh si represetatif ORB itu?

Apakah ini saatnya dia menyerah dengan perasaannya? Tidak, tidak... Dia tidak mau menyerah dengan perasaannya. Dia harus melakukan sesuatu...

~##########~

Cagalli menghela napas panjang kemudian menyenderkan kepalanya ke kursi kerja yang didudukinya. Pekerjaan hari ini sungguh melelahkan. Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore hari tetapi masih banyak tumpukan berkas yang harus diperiksa.

Merasa perlu istirahat sebentar, Cagalli bangkit dari duduknya, menuju sofa di sudut ruangan, kemudian membaringkan tubuhnya di sana.

Lama gadis itu terdiam di sana. Pikiranya berkelana kemana-mana. Memikirkan ORB yang belum sepenuhnya pulih, memikirkan orang-orang yang disayanginya, dan... memikirkan seorang pemuda yang dicintainya.

Teringat percakapan mereka di telepon beberapa hari yang lalu.

Flashback

"Beberapa hari lagi aku akan kembali ke ORB," ujar Athrun pada lawan bicaranya di seberang sana. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Athrun sengaja menelpon Cagalli selarut ini agar bisa lebih leluasa bicara tanpa ada gangguan.

"Aku mengerti... Apa urusanmu di sana sudah selesai?"

"Masih ada beberapa hal yang harus diurus."

"Begitu..."

Hening melanda beberapa saat.

"Cagalli..."

"Hm?"

"Saat aku kembali nanti, ada yang ingin kubicarakan denganmu."

"... Tentang apa?"

"Tentang... hubungan kita."

Cagalli mendesah lemah. Sebenarnya ia benci dengan topik ini. Semuanya sudah jelas, tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.

"Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan soal hal itu. Hubungan kita sudah-"

"Tidak! Aku tidak bisa menerimanya. Itu hanya keputusan sepihak darimu!" nada bicara Athrun meninggi.

"Athrun, mengertilah... Hubungan kita sudah tidak bisa dilanjutkan lagi. Aku sudah memikirkannya, selama ini aku salah paham tentang perasaanku padamu. Aku tidak pernah mencitaimu, bahkan menyukaimu. Jadi kumohon, jangan bahas masalah ini lagi. Kita akan bekerja bersama-sama di ORB, aku tidak mau kita jadi canggung saat berhadapan nanti."

Lama tidak ada jawaban dari Athrun. Cagalli tidak tahu apa yang sedang dipikirkan pemuda itu, namun Cagalli masih menunggu jawaban dari Athrun. Ia berharap Athrun bisa mengerti keputusannya ini.

"Jadi, kau tidak pernah mencintaiku?" bukannya menjawab, Athrun malah balik bertanya. Suaranya sedikit bergetar.

Cagalli tidak menjawab. Ia takut kalau ia mulai bicara, sebuah isakan akan keluar dari bibirnya. Jadi dia memutuskan untuk diam dan berusaha mengendalikan perasaannya terlebih dahulu.

"Cagalli?" Panggil Athrun. Heran kenapa Cagalli tidak menjawab.

"Ya... Aku tidak pernah mencintaimu." Hanya itu jawaban yang dari mulut Cagalli. Gadis itu berusaha agar suaranya tidak terdengar bergetar, "Maaf..." ujarnya lagi.

Lalu Cagalli menutup telepon secara sepihak, tanpa menunggu balasan dari Athrun.

End of flashback

Cagalli kembali menghela napas panjang. Menutup mata dengan sebelah tangannya. Sejak percakapan di telepon beberapa hari yang lalu, Athrun belum menghubunginya lagi. Ia harap hubungan mereka tidak memburuk, karena mereka akan sering bertemu karena pekerjaan.

Cagalli berpikir apakah ia terlalu kasar pada pemuda itu? Mungkin Athrun akan membencinya karena hal ini. Tapi, apa boleh buat kalau itu terjadi, ia sudah membulatkan tekadnya utuk melepaskan Athrun, ia tidak boleh merubah keputusannya. Demi Athrun, demi dirinya sendiri, dan demi janjinya pada gadis itu.

Ketukan pintu membuyarkan lamunan Cagalli. Ia segera duduk dan sedikit merapikan rambutnya yang agak kusut.

"Masuk!" ujar Cagalli pada orang di depan pintu.

Pintu terbuka dan menampilkan sosok Kisaka dari sana.

"Ah, kau rupanya... Ada apa?"

"Ada yang ingin menemuimu."

"Siapa?"

"Seorang gadis, namanya Meyrin Hawke."

Deg! Cagalli langsung bisa menduga kira-kira apa alasan Meyrin datang menemuinya.

"Cagalli?" panggil Kisaka. Heran dengan Cagalli yang tidak kunjung menjawab. "

"Ya? Ah, Suruh gadis itu menemuiku sekarang!"

Kisaka mengangguk dan keluar ruangan. Beberapa saat kemudian seorang gadis berambut merah memasuki ruangannya.

"A, ano..." gadis itu berdiri kikuk di depannya.

Cagalli tersenyum kemudian berdiri dari duduknya dan menghampiri Meyrin. "Apa kabar? Lama tidak bertemu ya..."

"Ca, Cagalli-san... Sebenarnya saya datang kemari karena-"

"Duduklah terlebih dahulu, baru kita bicara." Cagalli menarik tangan Meyrin dan membimbingnya menuju sofa.

Dengan kikuk, Meyrin mengikuti Cagalli untuk kemudian duduk di salah satu sofa panjang. Cagalli berjalan menuju kulkas kecil di dekat meja kerjanya dan mengambil dua buah kaleng jus dari sana. Kemudian kembali duduk tepat di depan Meyrin. Cagalli menyodorkan salah satu kaleng minuman pada gadis itu.

Meyrin menerima kaleng jus itu, "Te... Terima kasih, Cagalli-san..."

"Jangan sungkan..."

Cagalli membuka kaleng jusnya dan meminumnya sedikit. Ia lalu memperhatikan gadis yang duduk di depannya. Rambut merahnya digerai tanpa tambahan aksesoris apapun. Ia memakai dress lengan pendek selutut berwarna biru gelap. Terlihat manis di mata Cagalli. Cagalli berpikir apakah ia akan cocok memakai gaun seperti itu? Tapi dengan segera ia merasa geli dengan pikirannya sendiri. Mana mungkin ia cocok memakai pakaian super feminim begitu.

Meyrin bergerak-gerak gelisah dalam duduknya. Kaleng jusnya ia letakkan di meja kecil di depannya, tidak mood untuk minum. Ia bingung bagaimana harus memulai pembicaraan dengan Cagalli. Kata-kata yang sudah disusun dalam kepalanya tiba-tiba menghilang. Dan lagi ia terlalu gugup untuk memulai pembicaraan. Alhasil ia hanya menundukkan kepalanya.

Cagalli tertawa pelan memperhatikan Meyrin. "Tidak perlu gugup begitu Meyrin, aku tidak makan orang kok," canda Cagalli.

Meyrin tersenyum kikuk. Rasa gugupnya sedikit berkurang karena ucapan Cagalli. Ia membulatkan tekadnya untuk bicara.

"Ano, Cagalli-san," mulai Meyrin. Ia memberanikan diri menatap wajah sang representatif ORB.

"Ya?" jawab Cagalli, menunggu kata-kata berikutnya keluar dari gadis berambut merah itu. Sejujurnya ia sudah bisa sedikit menebak hal apa yang akan dibicarakan oleh Meyrin, dan itu membuatnya sedikit gugup. Tapi ia berhasil menyembunyikan kegugupannya dengan baik.

"Se, sebenarnya yang ingin saya bicarakan adalah tentang Athrun-san," ujar Meyrin takut-takut.

'Sudah kuduga,' batin Cagalli. Namun ia tidak menanggapi ucapan Meyrin. Hanya menunggu gadis itu melanjutkan kata-katanya.

Melihat tidak ada tanggapan dari Cagalli, Meyrin berniat melanjutkan, "Maaf tiba-tiba saya bicara begini. Ta, tapi saya ingin menanyakan sesuatu pada anda."

"Silahkan, tanyakan apa saja." Cagalli tersenyum.

"A, apakah anda masih... Mencintai Athrun-san?"tembak Meyrin langsung.

Mata Cagalli terbelalak lebar. Tentu saja ia tidak menyangka bahwa Meyrin akan menanyakan hal seperti itu. Tapi akhirnya ia mengerti satu hal. Meyrin datang ke sini mungkin karena ia khawatir bahwa ia akan menerima Athrun kembali.

Kalau boleh jujur, ia memang sangat ingin menerima kembali pemuda itu. Tapi dia tidak bisa, dan tidak boleh malakukannya. Selain karena janjinya pada Meyrin, ini juga demi kebahagiaan Athrun. Athrun tidak boleh kembali padanya, ia harus mencintai gadis lain, yang akan mancintainya sepenuh hati, dan akan menemaninya setiap saat. Tidak seperti dirinya.

Nah, sekarang jawaban apa yang harus ia berikan pada gadis merah di depannya ini?

Meyrin terus menatap Cagalli lekat-lekat, menunggu jawaban seperti apa yang akan didapatkannya. Keringat dingin mulai membasahi telapak tanggannya. Ia berharap Cagalli akan menjawab sesuai keinginannya.

Setelah keheningan yang cukup menyiksa, sang representatif akhirnya bereaksi. Namun ekspresi yang ditunjukkan Cagalli sama sekali diluar dugaan Meyrin. Cagalli malah terkekeh geli. Tentu saja Meyrin jadi bingung dibuatnya.

Cagalli menghentikan kekehannya, lalu tersenyum lembut. "Kau khawatir Athrun akan kembali padaku?" Bukannya mejawab pertannyaan Meyrin, Cagalli malah balik bertanya.

'Deg' Meyrin terkejut dengan perkataan Cagalli. Bagaimana dia bisa tahu apa yang dipikirkannya. Apakah raut wajahnya bisa sejelas itu menunjukkan apa yang ada di pikirannya?

"Ba, bagaimana Anda bisa..."

"Kau mudah dibaca Meyrin," ujar Cagalli masih dengan tersenyum.

Meyrin menuduk malu. Tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya diam menunggu jawaban Cagalli

"Kau tidak perlu khawatir," ujar Cagalli akhirnya. "Aku sudah bilang kan kalau hubungan kami sudah berakhir?" Cagalli memberi jeda sebentar, berusaha menenangkan perasaannya sendiri. "Lagipula, aku sudah berjanji padamu bahwa aku tidak akan menerimanya kembali," lanjut Cagalli.

Meyrin masih terdiam, tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Ia kemudian memberanikan diri mengangkat wajahnya menatap Cagalli yang sedang tersenyum lembut ke arahnya. Perasaan Meyrin terasa lega seketika, mengetahui bahwa kekhawatirannya tidak terbukti.

Meskipun Meyrin melewatkan satu fakta bahwa Cagalli tidak mengatakan kalau ia tidak mencintai Athrun lagi.

"Terima kasih, Cagalli-san..."

"Nah, ayo kita bicara hal lain saja, bagaimana keadaan PLANT sekarang?" Cagalli merubah topik pembicaraan. Perasaannya bisa terbaca oleh Meyrin kalau terus membahas tentang Athrun.

"Ah, keadaannya tidak jauh berbeda dari ORB, kami masih melakukan perbaikan di sana-sini akibat perang yang lalu, Cagalli-san" jawab Meyrin antusias. Perasaannya suda jauh lebih baik sekarang.

"Begitu ya... Sepertinya Lacus dan adikku bekerja dengan baik."

"Adik? Ah, maksud anda Kira-san?"

"Tentu saja! Siapa lagi?"

"Saya kira dia kakak anda,"

"Ahaha... Mana mungkin! Jelas-jelas aku lebih dewasa darinya."

Meyrin tertawa menanggapinya.

Akhirnya sepanjang sore Cagalli dan Meyrin terus mengobrol tentang bermacam-macam topik sampai hari mulai gelap.

"Sudah jam segini rupanya."

Meyrin mengangguk, "Benar, tidak terasa kita sudah ngobrol banyak." Meyrin menyetujui. Tidak disangka ia bisa mengobrol akrab dengan Cagalli. Meyrin jadi tahu bahwa Cagalli adalah gadis yang menyenangkan. Suka bicara blak-blakan dan humoris. Berbeda yang ia bayangkan selama ini. Ia yang biasanya kikuk bertemu orang baru bisa bicara panjang lebar dengan Cagalli. Ia jadi mengagumi sang representatif ORB.

"Kau menginap di mana malam ini? Mau menginap di tempatku?" tawar Cagalli.

"Terima kasih atas tawarannya Cagalli-san. Tapi saya akan kembali ke PLANT malam ini juga. Saya sudah pesan tiket untuk malam ini."

"Malam ini juga? Kenapa buru-buru?"

"Saya hanya pamit untuk pergi sebentar pada kakak saya. Dan saya tidak bilang akan pergi ke ORB."

"Begitu ya..."

"Iya... Kalau begitu, saya pamit dulu, Cagalli-san. Terima kasih untuk hari ini." Meyrin beranjak dari duduknya.

Cagalli mengangguk, "Baiklah kalau begitu..."

Cagalli ikut berdiri untuk mengantarkan Meyrin ke luar. Tiba-tiba sesuatu melintas di pikirannya.

"Ah, Meyrin... Boleh aku memberimu saran?"

"Saran?"

Cagalli mengangguk, "Begini... Bagaimana kalau kau pindah ke ORB?"

Meyrin sedikit terbelalak mendengar ucapan Cagalli.

"Ah, maaf tiba-tiba bicara aneh, aku hanya memberi saran. Kalau kau tinggal di sini kan bisa... Uhm... sering-sering bertemu dengan Athrun,"

Sebenarnya bukan karena itu Cagalli meminta Meyrin untuk tinggal di ORB. Kalau Meyrin ada di sini, Athrun akan lebih sering berada di dekat dengan gadis itu karena ia akan memberikan Meyrin jabatan yang pekerjaannya bisa terus dekat dengan Athrun. Dengan begitu, akan lebih mudah baginya dan bagi Athrun untuk saling melupakan.

"Saya sangat berterima kasih Anda memikirkan saya sampai seperti itu, tapi saya harus menolak. Athrun-san bilang tempat saya adalah di PLANT, jadi saya akan tetap tinggal di sana." Meyrin melihat raut kecewa dari Cagalli. Cepat-cepat dia melanjutkan, "Lagipula, saya akan sering-sering menghubungi Athrun-san. Saya juga akan sering-sering datang ke sini."

"Begitu ya..." Cagalli mendesah kecewa. Sayang sekali Meyrin tidak mau mengikuti sarannya. Kalau begitu ia harus lebih berusaha agar tidak terlalu dekat dengan Athrun nantinya.

"Kalau begitu saya pamit dulu. Tolong rahasiakan kunjungan saya ini dari Athrun-san..."

"Tenang saja, mulutku terkunci rapat kok," jawab Cagalli.

Kemudian Meyrin pun pergi meninggalkan gedung pemerintahan ORB untuk kembali ke PLANT.

Dalam perjalanan pulang, Meyrin terus memikirkan macam-macam hal. Perasaannya campur aduk. Ia senang kunjungannya ke sini mendapatkan hasil yang memuaskan. Tapi di lubuk hatinya, terdapat rasa bersalah yang amat besar terhadap Cagalli. Ia pernah melakukan kebohongan besar pada Cagalli, yang menyebabkan hubungannya dengan Athrun benar-benar berakhir.

Ya, berakhirnya hubungan Athrun dan Cagalli bukannya tanpa sebab. Dirinyalah yang menyebabkan hal itu terjadi. Tapi Meyrin tidak merasa sepenuhnya bersalah. Ia mencintai Athrun, karena itu ia akan melakukan apapun agar Athrun mau berpaling padanya. Apapun!

'Kami-sama... Aku tidak salah kan?'

~##########~

Athrun akhirnya tiba di ORB, negara yang mulai sekarang akan jadi tempatnya tinggal. Kali ini sebagai dirinya sendiri, Athrun Zala, bukan sebagai Alex Dino. Dan ia sudah benar-benar resmi menjadi penduduk ORB.

Ia baru saja sampai di ORB dan saat ini sudah berada di depan kantor pemerintahan. Ingin menemui Cagalli tentu saja. hari sudah beranjak senja sekarang. Di langit sudah terlihat sedikit semburat merah. Tapi ia yakin Cagalli masih berada di ruangannya, sedang berhadapan dengan setumpuk berkas. Semoga saja begitu, ia sudah tidak sabar bertemu dengan gadis itu.

Athrun melangkah memasuki gedung pemerintahan. Sesekali ia disapa oleh para pegawai yang baru akan pulang. Para pegawai tentu saja sudah mengenal siapa dia, hanya saja Athrun tidak yakin kalau ia sudah dikenal sebagai Athrun Zala atau masih sebagai Alex Dino. Tapi hal itu tidak begitu penting. Di benaknya sekarang hanya ada Cagalli, ia harus menemui Cagalli secepatnya.

Saat sudah mendekati ruangan Cagalli, ia berpapasan dengan Kisaka.

Athrun membungkuk sedikit untuk menyapa pria itu, "Apa kabar Kisaka-san?"

"Baik," jawab Kisaka datar. "Kau datang mau menemui Cagalli?"

Athrun mengangguk kecil, "Ya."

"Masuklah! Kurasa dia tidak akan keberatan," ujar kisaka. Setelah itu ia undur diri dari hadapan Athrun.

Athrun tersenyum dan langsung melangkahkan kaki ke ruangan Cagalli. Begitu sampai di depan ruang representatif, Athrun mengetuk pintu dua kali. Ketika ada jawaban 'Masuk!' dari dalam, Athrun langsung membuka pintu dan memasuki ruangan.

.

Cagalli sedang memeriksa beberapa berkas ketika seseorang mengetuk pintu ruang kerjanya.

"Masuk!" perintahnya tanpa mengalihkan pandangan dari kertas yang dibacanya.

Begitu mendengar pintu dibuka dan ditutup kembali, Cagalli akhirnya menoleh. Matanya sedikit terbelalak begitu melihat siapa yang masuk. Namun ia segera mengendalikan diri dengan merubah raut wajahnya kembali datar.

"Athrun, kau sudah datang. Selamat datang kembali," ujar Cagalli seformal mungkin pada Athrun yang kini berjalan mendekatinya. Ia sudah tahu Athrun akan cepat-cepat menemuinya begitu kembali ke ORB, karena itu dia sudah menyiapkan kata-kata yang akan diucapkan.

Athrun yang menyadari keterkejutan Cagalli tadi merasa sedikit senang. Walaupun wajah itu segera berubah datar.

"Ya, aku kembali... Padamu..." Athrun menatap Cagalli dalam-dalam, berharap maksud dari kata-katanya bisa tersampaikan pada Cagalli.

Cagali berdebar mendengarnya. Hatinya merasa sakit melihat ekspresi Athrun. Ia ingin sekali memeluk pemuda di depannya ini. Tapi ia tidak boleh melakukannya, karena itu akan menghancurkan tekadnya selama ini.

Mengabaikan perkataan Athrun barusan, Cagalli berujar, "Ada perlu apa kau kemari?"

"Kau tahu kenapa aku kemari," ujar Athrun dengan nada bergetar menahan amarah. Ada apa dengan gadis ini? Bisa-bisanya ia bersikap secuek ini padanya.

Athrun berjalan pelan menuju belakang meja, tempat Cagalli duduk. Cagalli masih menatapnya datar.

"Ah, kau kemari mau membawakan berkas kepindahanmu kesini?" tebak Cagalli asal.

"Berhenti memperlakukanku seperti ini Cagalli!" Athrun menunduk, memutar kursi Cagalli menghadapnya, lalu meletakkan tangannya di kedua sisi pegangan kursi Cagalli. Menatap gadis itu marah.

Cagalli terbelalak. Tidak menyangka Athrun akan bereaksi seperti ini. Apa sikapnya berlebihan? Ia ingin lari dari posisi ini, tapi cengkraman Athrun di pegangan kursi terlalu kuat.

Athrun perlahan mendekatkan wajahnya pada Cagalli.

"A, Athrun? Mau apa kau?" Cagalli yang mulai panik menahan bahu Athrun dengan kedua tangannya.

"Kau tahu apa mauku." Athrun makin mendekat.

"Me, menjauhlah dariku! Kita bisa bicara baik-baik." Cengkramannya di bahu Athrun makin menguat.

Melihat kepanikan Cagalli, Athrun mengalah. Ia sedikit menjauhkan wajahnya dari Cagalli, tapi kedua tangannya masih berada di pegangan kursi. Cagalli menurunkan tangannya dari bahu Athrun.

"Aku ingin bicara tentang... Kita..." Pandangan mata Athrun yang tadinya memancarkan kemarahan kini melembut.

Lama mereka saling bertatapan, tidak ada yang berniat memecah keheningan. Athrun menunggu balasan dari Cagalli dengan sabar.

Setelah lama terdiam, akhirnya Cagalli menanggapi dengan hembusan napas panjang, "Sudah aku bilang kalau tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan soal itu," Cagalli menatap Athrun tajam. Kembali menguatkan hati agar tidak menghancurkan semua rencananya.

"Beri aku alasan!" nada bicara Athrun kembali meninggi. Gadis ini suka sekali membuatnya marah. "Beri aku alasan yang jelas kenapa kau memutuskan hubungan kita! Kau tahu benar aku begitu mencintaimu Cagalli. Kenapa... Kenapa kau mengakhiri hubungan kita?!" ujar Athrun putus asa. Nada bicaranya kembali melembut di akhir kalimatnya.

Sejenak Cagalli menatap Athrun nanar. Tidak boleh! Ia harus tegas!

"Aku tidak pernah mencintaimu," ujar Cagalli dingin. "Kurasa itu alasan yang sangat kuat," sambungnya.

Athrun terdiam. Tidak bisa berkata-kata. Ia tidak menyangka mendengarnya secara langsung bisa sesakit ini. Ia melepaskan tangannya dari pegangan kursi, kemudian berdiri tegak. Namun pandangan matanya masih terpaku pada gadis yang ada di depannya. Sorot matanya memancarkan kekecewaan yang amat sangat.

"Kalau memang demikian, kenapa dulu kau mau menerimaku?"

"Karena waktu itu aku merasa kalau aku memang menyukaimu. Tapi setelah kupikirkan, ternyata itu bukan cinta." Cagalli menatap Athrun mantap. "Kumohon mengertilah Athrun..."

Athrun tidak membalas ucapan Cagalli. Ia menatap mata amber Cagalli dalam-dalam, mencari kesungguhan di dalamnya. Cagalli yang ditatap seperti itu cepat-cepat memalingkan wajahnya. Takut sandiwaranya terbongkar.

Keheningan kembali menyapa. Mereka sama-sama terdiam di posisi masing-masing. Sama-sama bergelut dengan pikirannya sendiri.

Akhirnya Athrun bergerak dari posisinya. Ia berjalan menjauhi Cagalli. Kembali menuju ke depan meja kerja sang representatif.

"Baiklah..." ujar Athrun. "Aku mengerti kalau kau memang tidak mencintaiku."

Cagalli menghela napas lega. Menyangka Athrun sudah menyerah dengan perasaannya. Ia memutar kursinya menghadap Athrun dengan ekspresi puas.

Athrun maju mendekati meja, menumpukan kedua tangannya pada meja sambil menunduk mendekati wajah Cagalli, lalu berbisik, "Kalau begitu, kali ini aku akan benar-benar membuatmu jatuh cinta padaku..."

Pernyataan itu berhasil membuat jantung Cagalli serasa berhenti berdetak.

TBC

Chapter satu selesaaaaiii...

Akhirnya bisa publish fanfic lagi. Kali ini saya kembali membuat multichapter. Semoga nggak bosan ya...

Tolong maafkan saya kalau ada detail yang tidak sesuai dengan cerita aslinya. Saya buat fic ini tanpa menonton ulang GSD. Dan mohon maaf jika ada kesamaan dengan fic lain. Saya beneran nggak nyontek kok. Baca fanfic aja jarang.

Di chapter satu ini apa kelihatannya fic ini bertema agak berat? Sebenarnya nggak begitu kok, tenang aja. Otak saya nggak mampu mikir yang berat-berat, bwahahaha... Setelah kemarin biat fic canon, sekarang jadi pengen buat lagi. Daaan... Akhirnya jadilah fic ini. Belum tahu akan jadi berapa chapter. Sekarang masih ngerjain chapter duanya. Mohon dukungannya ya minna...

Sekarang saya mau bales review dari fic "Precious Ring" dulu.

altea: Makasih udah dibilang manis. Kita semua di sini adalah korban dari kegajean ending GSD, jadi anda tidak sendirian. Fic ini juga sebagai pelampiasan kegajean GSD, ehehe... Terima kasih atas reviewnya...

AlyaZala: Makasih pujiannya. Ini saya sudah buat cerita baru, semoga berminat ya. Dan terima kasih atas reviewnya...

Dewi Natalia: Sebenernya sih pengen buat sequelnya, tapi setelah sekian lama, saya nggak juga dapet idenya. Jadi saya ganti dengan fic yang baru ini aja yah. Isinya juga tentang perjuangan Athrun. Terakhir, terima kasih atas reviewnya...

popcaga: Iya nih, Cagallinya tsundere. Makasih juga udah mereview fic saya...

cagalli atha zala: Ini sudah ada fic lainnya. Semoga suka ya. Dan terima kasih atas reviewnya...

Fuyu Aki: Makasih udah dibilang cute, ehehe... Terima kasih atas reviewnya...

CloudXLightning: Syukurlah anda menyukainya. Iya nih Athrunnya manja banget, cari-cari kesempatan. Terima kasih atas reviewnya...

Lenora Jime: Ahaha, alasan yang membuat saya paling ragu mempublish fic itu adalah karena Athrun-nya saya buat sakit sampai pingsan gitu. Sakitnya juga Cuma demam, sepele banget! Tapi kalau mau buat dia luka parah, berarti harus buat penyebabnya dong, ntar ficnya jadi panjang banget. Jadi akhirnya saya buat Athrunnya Cuma sakit demam. Terima kasih atas pujiannya, dan terima kasih atas reviewnya...

Nah semuanya. Sampai sini dulu. Sampai ketemu di chapter selanjutnya. Jangan lupa tinggalkan reviewnya ya...