Disclaimer : Disclaimed!
Pairing : Xiuhan, hint other pairs.
Warning : suggestive scene(s)? not sure… mungkin akan ada Lime. Not sure again. AU and Genderswitch. Typos.
.
.
.
.
.
.
.
.
Jika kita membalikkan halaman terakhir di novel kita, seperti apa cerita yang tergurat?
.
.
.
.
.
.
.
.
"Aku akan menjagamu. Jadi, jangan pakai wajah seperti itu."
Minseok sudah lelah. Karena senyumnya seperti terpahat di wajahnya yang kaku oleh foundation serta make up yang biasanya dihindari oleh Minseok seperti virus menular berbahaya. Pelipisnya berdetak keras, memukul-mukul kedua sisi kepalanya dengan brutal, dan yang Minseok inginkan sekarang adalah melepaskan seluruh pakaiannya dan mendapatkan tidur yang tenang.
Hanbok yang Minseok pakai bergesekan dengan lantai yang dihampari oleh karpet yang menenggelamkan telapak kakinya. Minseok menoleh, menatap cermin raksasa. Sebayang wanita cantik bertubuh mungil menatapnya balik, sinar rembulan membut kecantikannya semakin kaya. Minseok tidak bisa membawa dirinya kedepan cermin—ataupun kemanapun.
Karena, sekarang dia sudah resmi terkungkung. Dibawah sehelai kertas. Bertanda tangan dia dan suaminya.
Minseok berumur 16 tahun dan dia sudah bersuami.
Oh, tidak. Ini bukan cerita tentang anak perempuan bodoh yang menyerahkan dirinya ke pria asing dan mempunyai buah tidak diinginkan tiga bulan kemudian. Minseok jelas lebih terhormat dan lebih pintar daripada gadis itu. Ini cerita tentang kekonservatifan orang tua, anak yang terlalu patuh, dan juga uang.
Ini cerita tentang intrik perusahaan. Tentang banyaknya hal yang diinginkan orangtua tersebut dari anak gadisnya yang baru menginjak kedewasaan. Tentang betapa baik, betapa cantik, betapa pengertian-nya sang gadis untuk menerima pertunangan tersebut.
Ini bukan cerita tentang cinta yang bersemi. Apalagi cerita tentang senyum malu-malu dari sang suami yang lembut.
Ini bukan cerita tentang kebahagian seorang perawan.
—bukan cerita tentang Kim Minseok.
Minseok memandang kaki telanjangnya dan tenggorokannya terasa terikat. Besok dia tidak lagi bisa pergi bersama teman-temannya—dia punya suami yang harus dia tunggu dan sambut, entah dengan senyum atau tidak. Besok dia tidak lagi bisa menonton TV larut malam atau belajar sampai malam—dia punya suami untuk ditemani sampai pagi, dalam arti harfiah atau tidak. Besok dia tidak lagi bisa memandang Kai dengan pandangan yang sama lagi, karena, demi tuhan—dia sudah punya suami, untuk apa dia mengerling malu-malu pada pria lain?
Besok, dia bukan lagi Minseok yang bebas. Dia sudah punya suami yang—
"Buka bajumu dan bergantilah."
Minseok hamper terloncat tiga meter dari tempatnya dan membeku. Suara itu sudah tidak familiar lagi, karena dia sudah berdiri disamping si pemilik suara selama hampir lima jam hari ini. Bukan karena dia memang sudah mengenalnya. Minseok bahkan baru bertemu dengannya hari ini.
Minseok tidak sedih. Dia tidak marah. Dia harus tahu diri. Minseok harus menyerahkan dirinya seutuhnya hari ini, karena itulah poin dari seluruh bullshit ini—untuk mendapat pewaris dengan gen terbaik dan otak terbaik.
Minseok harus rela.
—pikirnya, tapi dia tidak bisa berbalik dan ketika figur itu melewati badannya dan menjatuhkan diri di atas tempat tidur memunggungi Minseok—Minseok merasa campura perasaan menghantamnya. Lega, bingung, dan senang bercampur jadi satu. Tanpa Minseok sadari—
—dia sudah menyeret hanbok nya dan menutup pintu kamar mandi sehalus mungkin. Dia menanggalkan pita hanbok dan menatap tubuh telanjangnya yang berkeringat. Mandi mungkin merupakan hal yang baik. Dia membuka pintu shower dan menutupnya, menyalakan air panas dan membiarkan air panas memijat tubuhnya yang tegang. Tunggu, suaminya belum mandi. Minseok melebarkan mata dan cepat-cepat—hampir terpeleset—mengunci pintu setidak terdengar mungkin, karena… mungkin saja pria itu akan masuk dan…
Minseok menggelengkan rambut panjangnya yang sudah basah dan menutup mata.
Air panas membuatnya sadar.
Kalau dia menangis diantara aliran air panas, dia tidak akan merasa terlalu pengecut.
Dan pagi itu, Minseok sudah bangun. Dia sudah memakai baju seragamnya dan memasak dua porsi omelette untuknya dan—suaminya. Dia bahkan tidak tahu siapa nama suaminya.
Setidaknya belum.
Wangi telur menginvasi udara, serta suara material telur padat dengan minyak panasa terdengar. Dengan keahlian setingkat chef di Kitchen's Hell, Minseok membalik sepotong telur dadar itu dan menaruhnya diatas piring. Selesai itu dia mencuci piring.
Apa aku harus membangunkan dia?
Bagaimana kalau ternyata dia tidak suka dibangunkan?
Bagaimana kalau dia ternyata sudah bangun dan sedang ganti baju?
Minseok berfikir keras dan akhirnya dia berbalik—
—untuk bertemu dengan Luhan yang duduk diatas kursi meja makan dengan baju lengkap. Minseok hamper menjatuhkan piring yang tengah dia lap.
Ruang makan terdengar—tidak, ruang makan tidak terdengar apa-apa.
Sunyi.
"A-anda suda-sudah bangun?" Minseok pasti terdengar sangat bodoh sekarang. Karena permata hitam itu menusuknya pas diwajah, membuat Minseok semakin khawatir apakah ada sesuatu yang salah dia bicarakan atau lakukan. "Aku selalu bangun jam segini." Minseok tidak percaya pria ini pula yang sudah berkata untuk tidak memasang wajah sedih dan akan menjaganya. Dia terasa… sangat berbeda. Minseok mengerling kearah dasi Luhan yang kurang rapih dan kembali memandang lantai dibawah kakinya.
"Duduklah."
Serentak, Minseok langsung menarik kursi mahogani didepan suaminya dan duduk dengan tangan meremas roknya yang pas selutut, telapak tangannya dingin dan berkeringat. Jam berdetak sangat kuat, suaranya bagaikan hantu mengisi ruang makan. "Namaku Luhan, Minseok-yang(*)." Pria itu berkata dengan wajah datar. "Umurku 23 tahun. Kau yakin kau belum diberi tahu apa saja yang harus kau lakukan dirumah ini, iya kan?" Tebakan Luhan tidak salah. Minseok tergagap mencari alasan, namun dia mengatupkan mulut dan mengangguk lemah. "N-Nde."
Luhan menghela nafas panjang dan Minseok merasa bodoh.
"Pertama, kau akan diantar ke sekolahmu dengan supir keluargamu seperti biasa." Luhan berkata dengan mata tertutup. "Setiap hari, aka nada tukang masak, tukang bersih-bersih datang kerumah kita." Luhan menatap omelette didepannya dan sekali lagi Minseok merasa sangat tolol. "ketiga, setiap hari jum'at sore kau harus datang ke perusahaan tempat aku bekerja." Minseok memang merasa tolol, tapi dia tidak benar-benar bodoh. Minseok tahu kenapa dia harus datang ke tempat Luhan. Itu karena dia harus menampilkan citra "suami istri bahagia" didepan pekerja Perusahaan Luhan-ssi. "tiap sabtu, akan ada organizer datang ketempat kita dan selama weekend rencana kita akan selalu penuh." Luhan menutup perkataannya dan menatap Minseok dengan mata hitamnya yang mengintimidasi. "Ada pertanyaan?"
Ada.
Tentu ada.
Kapan waktu aku bermain dengan sahabatku?
Kapan aku mengerjakan hal-hal yang harusnya anak SMA lain lakukan?
Tapi Minseok menggeleng, karena dia bodoh.
"Bagus." Luhan berdiri, dan membiarkan Minseok terpaku karena…
Omelettenya tidak dia sentuh.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Minseok!"
Suara itu terdengar sangat menyenangkan dan hamper membuat Minseok menangis karena kangennya. "Kyungsoo-ya, Baekhyun-ah" Minseok menerima pelukan erat dari kedua sahabatnya. "Kenapa minggu kemarin kamu tidak jadi menginap dirumahku, Minseok?" Baekhyun manyun, dan Kyungsoo mengangguk dengan mata besarnya yang indah.
Karena aku menikah. "Ada pernikahan."
"Siapa yang menikah? Apa kak Jongdae akhirnya menikah dengan Beomi?! Ya ampun! Kenapa kami tidak diajak!?" protes Baekhyun, dan lagi-lagi Kyungsoo mengangguk lebih cepat.
Tidak, bukan oppa yang menikah. Tapi aku. "Bukan yang kalian kenal," Minseok memaksakan tertawa. "Hmf. Padahal kalau saja kak Jongdae sudah menikah." Manyun Baekhyun. "kak Jongdae kan pengecut, dia mana bisa menembak Beomi." Kyungsoo, sekalinya sudah bicara, selalu saja tepat sasaran dan tajam.
"Oiya, akhir minggu nanti kita pergi ke toko buku yuk!" Kyungsoo menggamit lengan Minseok dan Baekhyun mengambil handphone-nya. "Mau beli apa?" Baekhyun bertanya. "Novel baru. Kita baru selesai UTS, jadi aku berhak baca novel lagi~" Kyungsoo tersenyum lebar, bibirnya yang berbentuk hati terlihat sangat cantik. Minseok hanya tersenyum dan menjawab, dan saat dia bilang dia akan ikut, lidahnya terasa berat.
Minseok berharap mereka tidak melihatnya—selapis kaca yang terbentuk di mata Minseok.
Juga berharap kedua sahabatnya memaafkannya karena.
Karena.
Karena dia sudah berbohong dengan mudahnya.
"Omong-omong, hari ini kita kedatangan guru baru!" Baekhyun menginfo Kyungsoo dan Minseok. "Ohya?" Minseok tersenyum dan mendengarkan Baekhyun mengoceh soal guru baru tersebut. Kyungsoo juga terdiam, tapi sekali dua dia akan melemparkan komentar yang membuat Baekhyun melotot—dia tidak suka dipotong. Dan mereka sampai didepan kelas Minseok beberapa saat kemudian. Baekhyun berjalan lebih cepat sementara Kyungsoo menahan tangan Minseok.
"Min," Kyungsoo menatap Minseok tajam, dan Minseok tahu Kyungsoo sudah tahu ada yang disembunyikan Minseok darinya. "Kau tahu kan, sahabat bebek akan selalu mengetahui apa yang terjadi pada si bebek."
Minseok menatap Kyungsoo, memasker ketakutannya dan berbohong dengan mudahnya. "Tentu saja. Si bebek bukanlah seorang pembohong."
Kyungsoo melepas tangan Minseok, pada akhirnya—walau dia sedikit tidak rela.
Dikelas, Minseok berjalan menuju perkumpulan klub sepak bola ditengah kelas yang tengah terbahak-bahak dan tersenyum pada para cowok yang ada disana. Sebagai manajer sepak bola, tentu dia tidak lagi asing terhadap para cowok.
"Halo, Min!" sapa Amber dengan ceria, membuat Minseok tertawa kecil terhadap satu-satunya perempuan pemain bola kawakan di klub itu. "Hari ini juga kamu manis ya." Amber memeluk Minseok dan bertanya, "Ada apa, kok tumben mendekati cowok-cowok brutal ini?"
"Sialan," Tao menoyor kepala Amber.
"Nggg, aku mau bicara sama Minho," Minseok berkata halus. "Oh, oke!" Amber menarik kasar sebuah tangan ditengah-tengah dan Minho yang mengomel pun keluar. "Sialan, kau—ah, Minseok? Ada apa, bu manajer?" Minho menaik turunkan alisnya menggoda. Minseok tersenyum malu-malu dengan pipi merah.
Tapi, dia ingin mundur. Dia ingin tidak menjadi bu manajer lagi.
Sekarang juga.
Alasannya…
"Alasannya?" Minho, yang merupakan kapten sepak bola sekaligus defense terbaik di klub tersebut, terlihat tidak rela melepas Minseok. Minseok merupakan manajer yang berdedikasi dan kompeten, dan dia bekerja bukan karena ingin menjadi satu-satunya wanita diantara pria tampan—klub sepak bola memang terkenal dengan kekuatan dan wajah-wajah tampannya—tapi karena dia ingin. Minho tidak ingin mencari pengganti Minseok.
"Aku mau fokus dengan belajar." Simpel. Padat. Jelas. Dan klise.
Minho tahu jelas Minseok merupakan straight A student dan dia pintar. "Bisa kah kamu mempertimbangkan hal ini? Jujur saja, sebentar lagi akan ada tanding anntar daerah, dan kami bisa repot jika tidak ada kamu." Kata Minho pelan. Minseok tersenyum. "Kalau soal itu, aku sudah dapat penggantinya, kok. Namanya Do Kyungsoo, kelas 11-B. maaf ya, kapten." Minseok tersenyum kecil menepuk bahu Minho. Minho terlihat ragu-ragu ketika melihat Minseok berjalan menjauh dari kelas.
Minseok tahu, setelah dia menjadi istri dari Luhan, dia tidak akan punya hidup bebas. Bahkan dia tidak bisa melihat masa depan kuliah lagi setelah lulus dari SMA. Keluarga Kim dan Lu adalah keluarga konservatif, dan mereka kebetulan mempunyai tradisi yang sama untuk mengurung mempelai wanita adalah hal terbaik supaya sang wnaita tidak pergi kemana-mana dari sisi sang pria. Hanya kak Jongdae yang mati-matian mempertahankan hak Minseok sebagai pelajar di sekolahnya dan tidak membuat mereka menjadikan Minseok anak home-schooling.
Mereka akhirnya menangguhkan keharusan mengurung tersebut sampai Minseok lulus SMA. Secara tidak langsung, mereka memberikan waktu untuk Minseok untuk memutus seluruh pengetahuannya dari dunia luar. Mengisolasi dirinya agar tidak kaget setelah SMA-nya selesai.
Minseok tidak protes.
.
.
.
.
.
.
.
Hari ini hari kamis, dan berarti total dia menyandang status istri orang sudah lima hari penuh. Minseok selalu ditemani oleh lagu jazz mengalun dari piringan hitam yang sengaja dia putar atau menonton TV atau belajar. Luhan hampir tidak pernah berada dirumah, atau datang ketika Minseok sudah tidur, dan pergi hampir setelah Minseok bangun. Minseok selalu sendirian didalam rumah besar itu—untunglah Jacqueline, tukang masak yang ceria, selalu menyempatkan dirinya dirumah untuk menemani Minseok bersama-sama.
Seperti sekarang.
"Ini dia untuk Tu(2), Gateau Mille Feuilles a lá Chéf Delacour!" serunya cerita, menampilkan sebuah cake bertumpuk dengan pola marmer diatasnya. Minseok mengerjapkan matanya kaget, menaikan wajahnya dari PR bahasa prancis dibukunya. "Kue? Tapi kan ini bukan Cake day?" kata Minseok ragu. Sebagai istri dari Luhan, dia harus menjaga figur. Makan kue berlemak banyak bukanlah hal yang membantu menjaga figurnya. Kue berbentuk tiga lapis pastry dan dua lapis crème patissière itu terlihat mengundang selera. Apalagi taburan gulanya…
Tidak! Kolesterol kue ini tinggi.
"Itu bukan Je detestés la cagard(3)… 's' nya hapus saja!" Jacqueline tersenyum lebar sambil menunjuk PR minseok. Minseok sadar kesalahannya dan menghapusnya. "Hari ini memang bukan cake day, tapi aku mau regardé(4) senyum Jolie Fille(5) sepertimu." Jacqueline tersenyum lembut, mata langitnya menatap Minseok hangat. Minseok menatap Jacqueline, Jacqueline yang baru bertemu dengannya selama empat hari, yang dengan baik hati membuat makanan dari seluruh dunia, yang dengan manisnya menunggui Minseok dan membantu pelajaran bahasa Minseok…
Minseok tidak boleh menangis.
"Aku sudah tersenyum." Kata Minseok.
"Non. Bukan senyum itu." Jacqueline menggelengkan kepala. "Senyum tulus. Senyum yang Je adore!" Jacquelin melebarkan senyumnya, membuat Minseok spontan ikut tersenyum. Dengan itu mereka tertawa bersama-sama dan memakan Napoleon itu bersama-sama.
Hari itu Minseok belajar kalau sendirian bukanlah kata yang benar-benar akurat untuk menggambarkan keadaan dirinya saat ini.
.
.
.
.
.
.
.
Hari itu hari jum'at, dan untuk kelima kalinya Minseok datang ke ruang kerja Luhan yang luas. Perusahaan milik Luhan—Lu corp.—adalah perusahaan raksasa yang berkutat dibidang wine. Luhan merupakan CEO dari Lu corp. yang membuat Minseok harus benar-benar menjaga sikapnya ketika datang ke perusahaan Luhan.
Minseok tersenyum lembut kepada para pegawai, yang juga melemparkan senyum kepada Minseok. Minseok datang bersama dengan supir—namun supir itu menunggu di parkiran. Minseok naik lift dan berjalan menuju sekretaris Luhan yang sangat cantik, yang awal-awalnya tertawa meremehkan ketika tahu inilah istri dari tuan Lu yang terkenal. Minseok tidak membantah.
"Silahkan masuk," kata nona Kim dengan senyum yang dibuat-buat, dan Minseok membalasnya dengan senyum malas. Tidak usah dibilangi juga, dia akan masuk. Sebelum Minseok masuk, Minseok masih harus menaiki lift dan berhenti tepat disebuah pintu besar tempat sang maha CEO itu bekerja. Sebelum Minseok mengetuk pintu, hal itupun terdengar.
"Kau masih belum melakukannya?"
Minseok membeku, merasa dia mendengarkan hal yang tidak pantas dia dengarkan, tapi dia tetap berada didepan pintu. Suara perempuan itu terdengar bergaung didalam ruangan, tersamarkan oleh pintu yang tebal
"Bukan urusanmu." Suara Luhan.
"Tapi, dia istrimu. Seluruh poin dari pernikahan ini," suara perempuan itu lagi. "Untuk mendapatkan anak! You have to bloody procreate with her, dammit. No need to be a gentleman about that, Lu!"
Aih, dada Minseok mencelos. Ini jelas bukan hal yang harus dia ketahui. Dialah yang dibicarakan—dan mengetahui hal itu, dada Minseok terasa sangat sakit.
"Aku tidak tertarik," lanjut suara datar itu, "Dengan anak kecil."
Oke, Minseok tahu kalau dia masih sangat muda disbanding Luhan. Tapi apakah Luhan perlu berkata seperti itu. Minseok menggigit bibir dan berjalan mundur, tapi rasa penasaran memenuhi kepalanya. Terlanjur basah, sekalian saja mandi diantaranya. "Oh? Setahuku kau tidak peduli dengan bentuk tubuh, Lu."
"Ini beda, Choi." Luhan terdengar stres. "Ini benar-benar berbeda."
Hening.
Minseok tidak tahu kenapa, tapi dadanya terasa sesak, dan hal yang dia ketahui selanjutnya adalah dia ingin pulang dan menangis di pelukan siapapun.
.
.
.
.
Malam itu, Minseok tidak bisa tidur karena tangisan yang terus menerus menangis dan terbatuk-batuk.
Luhan tidak juga pulang.
.
.
.
.
"Selamat pagi, Minseok-yang, dan tuan Lu." Organizer tersebut bernama Kim Junmyeon, dan dia sangat efisien serta padat. Dalam satu hari ini, Minseok dan Luhan punya tiga buah pesta pernikahan yang dihadiri. "Apa kalian sudah siap?" kata Junmyeon dengan senyuma satu miliar dolar nya tersebut. Minseok tersenyum lemah, dan Luhan tidak menjawab. Junmyeon kemudian menyuruh supir untuk segera jalan.
Tidak ada kata sapa ditukar.
Minseok duduk di ujung tempat duduk, begitu pula Luhan.
Tidak ada yang tahu apa yang dipikirkan Luhan.
Minseok memandang kearah jalanan dengan kosong, percakapan didalam ruang kerja Luhan terulang lagi. Kepala Minseok sangat sakit, dan dia pusing sekali.
Luhan bahkan tidak bertanya kenapa Minseok tidak datang ke perusahaan kemarin.
Minseok tidak suka perasaan yang menembus jantungnya kali ini. Rasanya sangat kosong, sendirian. Tanpa sadar mata Minseok menangkap dua sosok yang paling dia rindukan selama sebulan lebih ini terlihat.
Baekhyun dan Kyungsoo sedang tertawa bersama-sama.
Hati Minseok mencelos, dan tanpa sadar dia berbalik ke luar, hanya untuk melihat mereka berdua.
Selama disekolah, Baekhyun dan Kyungsoo terus mengajak Minseok pergi, yang mana direspon positif oleh Minseok namun didetik terakhir selalu dibatalkan oleh dirinya sendiri. Minseok tidak datang ke kelas mereka berdua lagi—bahkan dia sembunyi jika Kyungsoo dan Baekhyun datang ke kelasnya.
Dadanya sakit.
Dia sepi.
"Minseok-yang." Suara keras Luhan terdengar memerintah. Minseok berbalik dan sadar bahwa dia tengah memandang kebelakang dengan lutut di tempat duduk. Minseok mencicit dan duduk dengan tenang.
Hanya saja sekarang dia ingin sekali menangis.
.
.
.
.
"Oh, cantiknya istri tuan Lu,"
"Sangat serasi ya,"
"Istrinya terlihat muda sekali."
Di pesta terakhir ini, sore sudah menjelang—membuat Minseok dan Luhan harus menginap dihotel terdekat. Begitulah bisik-bisik yang bertukar riang diantara para pengunjung, meliaht Minseok dan Luhan berjalan bersisian. Minseok memakai gaun selutut sleeveless berwarna krim pastel memperlihatkan pundaknya yang seputih susu dan rambut diangkat, memperlihatkan leher mungil yang minta—ehem—dihisap. Para pria menatap Minseok, namun tidak berani mendekatinya karena—Luhan.
Luhan terlihat mempesona dengan tuksedo berwarna putih pucat dan rambut dyed-blonde-ash yang membuatnya semakin serasi dengan Minseok. Tangan Luhan melingkari Minseok—walaupun pelukannya terlihat posesif, tapi Minseok hampir tidak merasakan tangannya menyentuh pinggangnya.
Apa sebegitu menjijikannya Minseok untuk Luhan?
Minseok menolak untuk melihat kelantai dan menangis. Dia terus menerus tersenyum seperti orang bodoh padahal dia tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh Luhan dan teman bisnisnya. Minseok harus tersenyum seperti boneka kerajaan Roman—yang cantik, yang anggun, dan yang tidak berotak.
"Minseok-ssi, bagaimana denganmu? Apakah anda setuju?"
Seorang tua didepan Minseok dan Luhan tiba-tiba mengajak bicara Minseok. Minseok terkejut dan hamper saja tergagap, dan dengan mudahnya berkata, "Tentu saja." Walau dia tidak tahu apa yang dikatakan oleh orang tua tersebut. Sang bapak tua tersenyum lebar, yang dikembalikan Minseok dengan ragu—dan Minseok tahu dia sudah melakukan hal yang buruk menatap wajah Luhan yang semakin tegang. Tangan di pinggang Minseok meremas pinggulnya pelan.
Minseok mengerjapkan mata bingung.
"Sepertinya istri saya hendak beristirahat, tuan." Luhan berkata lembut. "Jika anda membiarkan kami permisi sebentar."
Tanpa aba-aba, Luhan menarik Minseok dengan lembut.
"A…aku sudah mengacaukan semuanya, ya?" Tanya Minseok takut-takut ketika mereka sampai didepan mobil—Junmyeon sudah kembali ke hotel mereka untuk menyelesaikan jadwal mereka besok.
Luhan tidak menjawab dan masuk kedalam mobil, dan mobil berjalan dengan sendirinya.
"Lu-Luhan-ssi," Minseok melihat Luhan yang mengambil handphone-nya dan mengetikkan beberapa karakter disana. "Luhan-ssi—"
"Tunggu." Suara datar dan marah Luhan membuat Minseok terdiam. 'Tunggu' dari Luhan berarti 'Diam, dasar berisik'. Minseok merasa sangat bodoh dan tolol. Beberapa saat kemudian, Luhan menutup handphone-nya dan berkata, "Besok pagi-pagi, kita akan berangkat. Aku sudah meliburkan tukang masak. Dan kita akan segera pergi jam Sembilan. Junmyeon sedang merapikan jadwal lagi."
"Luhan-ssi—"
"Kau istriku, jangan panggil aku seperti itu lagi."
"M—maaf—Luhan…Luhan-ah."
"Mana sopan santunmu?" Luhan mengerutkan dahi. "Aku tujuh tahun lebih tua dan kau memanggilku Luhan-'ah'?" Minseok mengerjap dan takut-takut berkata, "Aku… boleh memanggilmu ka-kak Luhan?"
Luhan tidak berkata, tapi Minseok menganggapnya sebagai persetujuan.
"Apa yang kau pikirkan?" Tanya Luhan dengan nafas berat. "Ak-aku tidak… aku tidak mendengar apa yang kalian diskusikan sejak tadi," Minseok mengaku dengan bodohnya. Luhan memandang Minseok dengan pandangan datarnya dan berkata, "Kau baru saja setuju untuk pergi ke Grand Hotel pria itu selama empat hari. Itu berarti hingga Rabu. Kamu tidak masuk sekolah, aku sudah menelpon Junmyeon merapikan semuanya." Luhan melanjutkan, "Hotelnya di Paris."
Minseok membulatkan mata. Paris?!
Minseok tidak pernah bepergian keluar negeri, sekaya apapun keluarganya.
"A-apa hal itu hal buruk?" Tanya Minseok.
"Buruk," geram Luhan. Minseok terlihat kaget mendengar jawaban Luhan yang jauh dari kata sopan yang selama ini Luhan tawarkan pada Minseok. "Kau tahu, aku mengenal Pria itu—Monsieour Thomas—sejak lama. Dan aku tahu apa yang dia inginkan darimu."
"Apa?" Minseok mengerutkan dahi—takut.
Luhan tidak menjawab, membuat Minseok semakin takut. Dia malah menatap wajah Minseok yang terlihat astral saking cantiknya ia hari ini. "Ugh." Luhan menghela nafas. "Ne cherchez plus mignon, bon sang."
"A-apa?" Minseok bengong.
"Tidak." Luhan mundur, tapi Minseok sudah tidak tahan. "Tunggu, Luhan—kakak" Minseok mengerutkan dahi dengan ekspresi keras kepalanya. Luhan tertegun kecil. "Apa yang sebenarnya kakak inginkan? kakak sudah membiarkan aku sendirian—dan membuatku kesepian. Bu-bukankah kakak," Minseok merasa tenggorokannya kering, "y-yang bilang kalau kakak akan membuatku bahagia?"
Hening.
"Lebih baik kita turun—"
"Tidak mau!" jerit Minseok, menarik tangan Luhan. "Aku muak diperlakukan seperti boneka! Aku tidak mau seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Aku istrimu, kak luhan, aku berhak tahu apa yang—"
Perkataan Minseok terhenti.
Bukan karena Luhan memelototinya seperti biasa.
Bukan karena Luhan meninggalkannya seperti biasa.
Tapi karena bibir itu—bibir itu, bibir itu.
Bibir itu menabrak bibir Minseok lembut, dan semuanya hilang, hilang, ditengah nafas yang bercampur dan bau maskulin dari leher Luhan membuat kepala Minseok berkabut dan—apa? Memenuhi kepala Minseok.
Luhan memiringkan kepala Minseok dengan jemarinya dengan mudah dan menyapukan lidahnya di bibir bawah Minseok. Minseok yang kaget membuka mulut dan terjadilah—pagutan seksi diantara suami istri tersebut meninggalkan Minseok tidak dapat bernafas. Dia mencakar punggung Luhan dan Luhan melepaskan bibirnya, meninggalkan benang liur diantara bibir mereka yang semakin tipis dan putus. "Bernafas, Xiao ai." Perintah Luhan serak. "Bernafaslah."
"Unggh," Minseok merasa tangan kokoh itu melingkari pinggangnya, dan tidak seperti tadi—pelukan ini terasa intim dan personal. Jemari Luhan menelusup di rambut Minseok yang ikal dan melepaskan satu demi satu hairclipnya dengan sensual dan lambat, dan—
"Ngh~" Minseok menutup mulutnya ketika bibirnya tanpa sadar mengeluarkan engahan bernada profokatif karena, demi tuhan, lidah Luhan bermain di lehernya dan mengisapnya seakan dia vampir! Minseok meremas pundak Luhan yang lebar, keringat turun dari pelipisnya. "Jangan." Cium. "mengeluarkan." Cium. "suara." Cium. "seperti itu lagi." Ciumciumciumcium.
"Mr. Lu—" supir itu tertegun melihat masternya dan berkata dengan malu, "Ki-kita sudah sampai." Dan menutup gap diantara Luhan dan Minseok.
"Kita sudah sampai." Luhan menatap Minseok yang tidak fokus dan dengan rambut yang jatuh kepundaknya yang berkeringat. "xiao ai." Bisik Luhan dan merapikan jasnya. "Aku tunggu dikamar." Kata Luhan datar, dan meninggalkan Minseok menganga dengan wajah super merah, karena—
APA TADI ITUUUUU…?!
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Yang : nona
Tu : kamu
Je detesté la cagard : saya benci kecoak.
Regardé : melihat
Jolie Fille : cewek manis
Ne cherchez plus mignon, bon sang : BERHENTI TERLIHAT MANIS, DAMMIT.
Xiao ai : saying manisku/darling?
.
.
.
3k+ words. Gimana, Miko?! XDD
Diluar dugaan, saya sangat enjoy nulis cerita ini. Dimaafkan kalo yang Ne herces ada yang salah karena saya bergantung sepenuhnya pada mbah gugel yang selalu meleset. :""" kalau ada perbaikan, silahkan PM saya atau tinggalkan review, saya akan memperbaikinya jika tidak segera, akan. :DDD
Hmmm… ini sekalian apology fic untuk vakum saya dua minggu u_u
