LOVE AT FIRST SIGHT

Disclaimer:
Vocaloid bukan milik Suu! Tapi fic ini murni milik Suu! Di fic kali ini, Suu hanya memiliki fic saja.

Rating: T

Genre: Romance, Friendship, School Life, Hurt/Comfort, Drama.

Warning: OOC, TYPO BERTEBARAN, KATA-KATA TIDAK SESUAI DENGAN EYD, ANEH, ALUR KECEPATAN ATAU KELAMBATAN, DAN LAIN-LAIN. MENERIMA FLAME YANG WAJAR.

Note: Maaf kalau ada yang mengira saya meniru fic buatannya. Tapi ini fic buatan saya murni.

Summary:
Rin Kamine adalah seorang gadis pecinta hujan yang tak percaya akan cinta pada pandangan pertama. / "Karena hidupku ini tidak seperti dongeng-dongeng yang ada di buku, dengan akhir yang selalu bahagia."

Author: Minna! Suu datang dengan fic baru, pengganti Darkness! *smile*

Rin: Setidaknya, MUNGKIN ini lebih baik daripada Darkness.

Len: Soalnya berdasarkan pengalaman sendiri?

Author: Um... Ada beberapa yang berdasarkan pengalamanku sendiri :)

Rin: Dijadiin cerita. Parah banget.

Len: Wajar aja, sih.

Author: Oke, deh. Mulai aja?

Rin + Len: Yosh!


Rin's POV

Hujan. Sesuatu yang misterius bagiku. Dengan tenangnya mengalir turun dari langit, membasahi seluruh muka bumi. Mengalir dengan tenang, hingga akhirnya terserap ke tanah. Kemudian menguap dan turun lagi ke bumi. Hujan adalah sesuatu yang misterius. Dari baunya yang khas, caranya mengalir, juga bunyinya yang berisik tapi seperti melodi bagiku.

Namaku Rin Kamine. Aku hanya seorang gadis biasa yang berumur 14 tahun. Kuakui aku ini kuper dan pendiam. Tapi itu tak ada masalah denganku. Aku memang tak berani berteman dengan teman-teman sekolahku.

Aku menyukai dongeng. Mereka berakhir dengan akhir yang bahagia. Seperti Cinderella, Putri Salju, Putri Tidur, dan lain-lain. Semuanya berakhir dengan bahagia seakan tak ada yang membebani hidup mereka. Tidak seperti... hidup ini.

Aku selalu mengenakan pita besar berwarna putih di kepala dan juga empat buah jepit putih di poni. Jadi kalian akan mudah mengenaliku. Aku di kelas biasanya diam. Bukan karena malu, tapi karena memang aku tidak ingin berteman dengan siapa pun. Banyak orang menjulukiku Putri Es. Itu disebabkan karena aku bukan saja diam, tapi dingin. Aku tak begitu peduli dengan julukan itu.

Kehidupanku tidaklah spesial. Tidak seindah yang kalian bayangkan. Tiap hari aku hanya diam. Aku hanya bicara seperlunya saja. Dan tiap kali hujan, aku akan duduk di pinggir jendela sambil melihat keluar. Mendengarkan bunyinya, melihatnya, dan merasakannya. Mereka itu seperti teman-temanku. Ada di saat aku membutuhkan mereka.

.

.

Hari ini hujan. Hujan datang secara tiba-tiba seperti menyiram bumi dan segala isinya. Saat itu aku sedang berada di supermarket untuk membeli beberapa buah jeruk. Aku memang suka sekali pada jeruk. Hujan turun dengan derasnya. Aku terpaksa menunggu sampai hujan mereda. Aku suka sekali dengan hujan. Perlahan aku merasakannya.

Aku membuarkan hujan menitik di tanganku. Kemudian di lenganku. Aku tidak tahu kalau aku begitu suka dengan hujan. Sampai-sampai aku memutuskan untuk pulang dengan berhujan-hujanan.

Kini hujan mengguyur seluruh tubuhku. Tubuhku jadi basah dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tak apa. Aku tak keberatan. Kemudian aku mulai merasa kesepian. Aneh. Padahal hujan datang menemaniku.

Perlahan aku duduk di bawah sebuah pohon yang sangat besar. Di sana aku masih sedikit kehujanan. Aku mulai bersin-bersin. Mungkin aku kena flu? Tak apa. Tidak ada yang peduli padaku. Tak akan ada yang peduli padaku walaupun aku sakit. Tak akan ada yang peduli padaku walau... aku menghilang dari dunia ini.

Aku merasa kesepian. Kesepian yang selama ini kusimpan dalam hati. Air mataku mulai menitik. Aku cepat-cepat menghapusnya. Tidak, aku tak boleh menangis. Tapi semakin aku tak ingin menangis, air mataku malah semakin cepat mengalir.

Biarlah. Tak ada yang peduli kalau aku menghilang dari dunia ini, kan? Kita hanya bisa menunggu. Aku masih terus mengusap mataku untuk menghapus air mata yang terus mengalir. Sementara hujan masih terus mengguyur tubuhku.

Tiba-tiba aku merasa hujan berhenti mengguyurku. Aku membuka mataku yang ditutupi dengan kedua tangan.

Di hadapanku ada seorang anak laki-laki yang membawa payung dan memayungiku. Di wajahnya tertampang senyuman yang jelas dapat kulihat. Pertama kalinya ada seseorang tersenyum padaku.

"Kamu tidak apa-apa?" sapanya lembut.

Aku mengusap mataku dan mengangguk pelan. "Tidak apa-apa, aku suka pada hujan."

Anak laki-laki itu menaruh payungnya. Kemudian ia menghapus air mataku dengan ibu jarinya dan memelukku. Aku hanya bisa diam dalam pelukannya.

"Sebaiknya kamu cepat pulang, nanti kamu masuk angin," ujarnya. Rambutnya yang berwarna honey blonde tertiup lembut oleh angin.

Aku menatap matanya yang berwarna biru azure itu dalam-dalam lalu mengangguk kecil. Anak itu tersenyum lagi.

"Jaga diri baik-baik," katanya sambil berdiri, kemudian mengambil payungnya.

"Tunggu!" cegahku sambil berdiri. Anak laki-laki itu menoleh.

"Apa?" tanyanya.

"Na-Nama. Namamu siapa?" tanyaku terbata-bata. Pertama kali aku dapat berbicara dengan seseorang yang tidak akrab denganku.

"Len Kagamine," jawabnya singkat. "Ah! Aku ditunggu. Sampai jumpa!" serunya. Tanpa menunggu balasanku, ia berlari meninggalkanku.

Aku hanya dapat menatap sosoknya yang berlari di tengah hujan.

Len Kagamine, ya... Len Kagamine...


Itu kejadian delapan tahun yang lalu. Tapi sampai sekarang aku belum bisa melupakannya. Aku tak bisa melupakan kehangatannya. Aku masih ingat bagaimana ia memelukku dan menghapus air mataku. Tapi yang terpenting, aku masih ingat bagaimana caranya ia tersenyum dan berbicara denganku.

Sampai sekarang aku masih ingat namanya. Len Kagamine. Tak mungkin aku melupakan nama itu.

Aku duduk di pinggir ranjangku kemudian menghela napas dalam-dalam. Kapan aku bisa bertemu dengannya lagi? Sungguh, aku merindukan sikapnya yang lembut padaku itu.

Apa? Perasaan apa ini? Aku cinta padanya? Tidak. Aku tak akan pernah jatuh cinta pada seseorang, apalagi seseorang yang baru kukenal alias jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku tak percaya akan jatuh cinta pada pandangan pertama, karena hidupku ini tidak seperti buku-buku dongeng yang selalu kubaca, dengan akhir yang selalu bahagia.


Aku mendengar penjelasan Meiko-sensei dengan terkantuk-kantuk. Sungguh, aku ngantuk sekali. Mungkin kemarin malam aku kurang tidur. Jadi beginilah akibatnya. Penjelasan Meiko-sensei sangatlah sulit ditangkap. Bagaimana caranya aku menghafalkan rumus aljabar hanya dengan tiga puluh menit lamanya? Setelah itu kami akan mengadakan tes kecil.

"Meiko-sensei," seseorang menjengukkan kepalanya dari balik pintu kelas. Aku menatap ke arah pintu. Aku dapat melihat salah seorang guru di situ, Luka-sensei.

Meiko-sensei menutup spidol yang sedari tadi dipakainya untuk mengajar kami. Lalu dengan tenang guruku itu berjalan menghampiri Luka-sensei. Luka-sensei membisikkan sesuatu yang tak terdengar olehku. Kemudian Meiko-sensei hanya mengangguk. Luka-sensei membalasnya dengan senyuman. Selanjutnya Luka-sensei keluar dari balik pintu dan seorang anak laki-laki masuk.

Meiko-sensei tersenyum pada anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu membalas senyumnya. Rambutnya berwarna honey blonde dan matanya berwarna biru azure yang cerah. Wajahnya menunjukkan keramah. Siapa dia? Apa mungkin murid baru?

"Minna-san, kita kedatangan murid baru," seru Meiko-sensei lantang di depan kelas. Aku memerhatikan guruku itu. Lima detik kemudian si anak baru itu menatap ke arahku dan teman-teman dengan senyum yang tersungging di wajahnya. Spontan teman-temanku yang perempuan berteriak kegirangan. Yah, wajar saja. Ia memang cukup keren, menurutku. Tapi aku sama sekali tak tertarik padanya.

"Perkenalkan dirimu pada teman-teman," perintah Meiko-sensei pelan padanya. Tapi aku masih bisa mendengar ucapannya yang lebih mirip bisikan itu. Anak baru itu mengangguk pelan.

"Minna, namaku Len Kagamine. Aku murid pindahan dari Utau Academy. Mulai sekarang aku akan bersekolah di Voca Academy. Yoroshiku onegaishimasu," ujarnya lantang di depan kelas dengan senyuman yang tetap tersungging di wajahnya.

Aku yang sedang menulis memalingkan wajahnya ketika mendengar sesuatu yang familiar. Apa? Len Kagamine? Apa dia anak laki-laki yang menemaniku waktu itu saat hujan? Seorang anak laki-laki yang menghiburku dengan kata-katanya, tindakannya, dan juga senyumannya yang indah. Tidak, aku tak percaya. Mungkin bukan dia. Yah, lihat saja nanti. Aku tak begitu peduli. Sedangkan aku dapat melihat teman-temanku yang perempuan berteriak sana-sini karena kegirangan.


Len's POV

Aku menatap ke sekeliling kelas. Um... Sampai kapan aku harus tersenyum seperti ini? Tampaknya banyak sekali gadis yang terpikat padaku. Buktinya mereka berteriak-teriak histeris. Aku menganggap itu wajar karena setiap kali aku masuk ke sekolah yang baru, pasti ada saja kejadian semacam ini.

Namaku Len Kagamine. Aku berumur 14 tahun dan baru hari ini memasuki Voca Academy. Ayahku bekerja sebagai sutradara film yang bekerja berpindah-pindah. Maka aku harus berpindah-pindah sekolah juga. Mungkin ini sekolah ketujuhku. Dan tiap kali masuk, aku pasti mendapat perlakuan seperti ini dari gadis-gadis.

Mataku tertuju kepada seorang anak perempuan yang berambut honey blonde itu. Ia menunduk, sepertinya sedang menulis sesuatu. Beda dengan yang lain, ia satu-satunya anak perempuan yang tidak berteriak-teriak seperti anak-anak perempuan lainnya. Mungkin ia tak terkecoh olehku. Misterius. Aku jadi agak tertarik dengannya.

"Len Kagamine, ya. Kamu mau duduk di mana?" tanya Meiko-sensei.

Aku menatap sekeliling. Beberapa anak perempuan yang sebelahnya kosong sudah menatapku dengan penuh harap.

"Di sana saja, Sensei," ujarku sambil menunjuk ke arah sebelah anak perempuan berambut honey blonde yang menarik perhatianku itu. Sebelahnya kosong. Dan sepertinya ia tak peduli. Mungkin ia tak peduli aku duduk di mana.

"APA?" teriak anak-anak perempuan lainnya. Aku hanya tersenyum sambil sedikit nyengir. Salahkah?

"Tak ada salahnya, kan? Baiklah, kamu boleh duduk di sana," ujar Meiko-sensei pelan. Aku hanya mengangguk kemudian berjalan ke arah anak itu.

Anak-anak perempuan lainnya menatapku yang sedang berjalan menujunya.

"Um... Permisi," ujarku pelan padanya. Anak perempuan itu menatapku dengan pandangan kaget. Ia cukup manis, menurutku. Rambutnya honey blonde dan matanya biru azure, serupa dengan milikku.

"Kenapa?" tanyanya dengan nada datar.

"Um... Kalau boleh, aku ingin duduk di sebelahmu," ujarku ragu-ragu ketika mendengarnya berbicara denganku dengan nada yang sedikit dingin. Mungkin ia anak yang dingin?

"Silahkan. Tak ada yang melarang," jawabnya singkat kemudian kembali berkutat pada buku-bukunya. Aku tersenyum kecil dan menarik kursi yang berada di sebelahnya.

.

.

"Namamu siapa?" sapaku pada anak perempuan yang duduk di sebelahku itu. Banyak sekali yang ingin berkenalan padaku, akhirnya setelah mereka puas, aku dapat bicara padanya.

"Rin Kamine," jawabnya singkat.

"Rin?" balasku lagi.

Rin mengangguk kecil.

"Salam kenal. Namaku Len Kagamine," ujarku sambil tersenyum sambil memperkenalkan diri.

Rin hanya mengangguk kecil. "Salam kenal," balasnya.

Aku merasa dekat dengannya. Seakan pernah bertemu. Pernah kenal dengannya. Tapi di mana?

"Um... Apa kita pernah bertemu?" tanyaku setengah basa-basi padanya.

Rin tersentak kaget. "A-Apa? Kagamine-kun, kamu, kan..."

"Panggil Len saja," kataku menyela ucapannya. Rin mengangguk pelan.

"Len, kamu baru saja datang ke sini. Bukankah itu hal yang tidak mungkin?" balasnya dengan nada datar. Pertama kalinya aku mendengar ia berbicara sepanjang ini.

Aku hanya mengangkat bahu. "Bisa saja," balasku.

Rin tidak membalas. Ia hanya memperhatikan keadaan di luar jendela. Hujan. Hujan turun dengan derasnya.

"Len-kun! Kenapa harus dengan Rin, sih?" seru seorang anak perempuan. Aku menoleh. Sedangkan Rin tetap cuek.

"Kamu bisa tahan dengan Putri Es ini? Bukankah dia sangat dingin? Jangankan nanti kamu ketularan dengannya!" seru yang lain dengan nada mengejek. Aku memperhatikan ketiga anak perempuan di hadapanku dengan pandangan tidak enak. Kemudia berbalik menatap Rin. Rin masih tetap melihat keluar jendela. Memerhatikan hujan.

"Tidak, Rin tidak sedingin yang kalian lihat, kok," jawabku tenang. Ketika anak itu tersentak.

"A-Apa maksudmu..." ujar yang pertama.

"Kalian tidak usah mengganggu, deh. Neru, ajak teman-temanmu pergi," akhirnya Rin angkat bicara. Gadis pertama yang bernama Neru itu mengajak teman-temannya meninggalkanku. Sedangkan Rin mendengus dan menatap keluar jendela lagi.

"Kenapa? Kau tidak perlu membelaku," ujarnya dingin, masih menatap keluar. Ia bicara tanpa menatapku.

Aku menghela napas dan tersenyum.

"Aku tidak membela, itu kenyataan," jawabku.

Rin hanya diam, memerhatikan hujan. Sungguh gadis yang misterius...

.

.

Hujan terus mengguyur bumi sampai pulang sekolah. Ah, hujan begini, bagaimana caranya aku pulang? Aku terpaksa menunggu di sekolah hingga hujan reda.

Tak lama kemudian aku melihat sosok seorang anak perempuan yang berjalan di tengah hujan, tanpa payung atau pun jas hujan. Hujan seakan mengguyur tubuhnya. Aku merasa kenal dengannya. Kemudian aku berlari dan menyapanya.

"Rin?" panggilku.

Anak itu menoleh. Dan benar, itu adalah Rin.

"Kenapa?" balasnya.

"Kenapa kau berhujan-hujanan?" tanyaku padanya. Rin diam tak menjawab. "Nanti sakit, lho," lanjutku.

"Tidak apa-apa. Aku suka pada hujan," balas Rin. Suaranya kini dipenuhi oleh kehangatan.

Suka pada hujan? Tunggu... Kata-kata ini mengingatkanku pada sesuatu. Pada kejadian delapan tahun yang lalu... Saat itu aku bertemu dengan seorang anak yang kehujanan. Apa mungkin anak itu Rin?

"Aku merasa pernah bertemu denganmu," aku mengulangi ucapanku ketika istirahat tadi.

"Tidak mungkin." Rin mengelak. Aku menghela napas lalu menariknya ke pelukanku.

"Len..." Ucapan Rin terputus.

"Kamu kedinginan, kan?" kataku sambil terus memeluknya. Ya, suhu tubuhnya terasa dingin. Aku dapat merasakannya. Tak lama kemudian aku melepaskan Rin. Aku dapat melihat wajahnya memerah.

"Jangan hujan-hujanan. Cepatlah pulang. Nanti kau masuk angin."Aku tersenyum padanya.

"A-Arigatou," ujar Rin pelan dengan wajah yang memerah. Ia menundukkan kepala. Tiga detik kemudian ia berlari dan menghilang dari penglihatanku.

Rin Kamine... Apa aku kenal denganmu?

.

.

TO BE CONTINUED


Author: Update!

Rin: Minna, sangat dibutuhkan review-nya~

Author: Betul betul. Kalau nggak, mungkin fic ini akan saya discontinued.

Len: Review, ya~