Panti Asuhan Ham Street, 5 Desember 1980

Gadis kecil berambut merah muda itu berputar-putar kebingungan. Sedangkan api yang besar mulai memakan seluruh bangunan panti asuhan itu.

"Bibi Konan..." suara gadis itu seperti tercekik. Himpitan tenggorokannya karena asap tebal membuatnya kian sesak. Kakinya samar-samar tetap berusaha keluar dari bangunan yang sedang dilahap itu.

"Hei, gadis kecil! Aku akan menyelamatkanmu!" petugas berpakaian polisi itu segera menggendong tubuh Sakura. "Tapi, Bibi Konan―" suara gadis itu terputus dan polisi yang menggendongnya tanpa basa-basi membawa Sakura segera pergi dari tempat itu.

*.*.*.*

"Kotetsu!" pria yang menolong Sakura tadi menengok, "Perasaanku memang benar, kan! ada seorang gadis didalam sana, Izumo." jawabnya. Teman yang memanggilnya tadi segera menghela napas leganya.

"Seharusnya biar petugas pemadam saja, kau tidak perlu kesana. Berbahaya!"

"Bibi...Konan..."

"Sakura!" wanita yang di carinya sedari tadi muncul dan langsung memeluk gadis bermata hijau cerah itu.

"Pergilah!" wanita itu kini berbicara dengan keras, Sakura cukup tegang dengan perlakuan yang baru pertama kali ia terima dari wanita ini. "Kena―"

"Ada seorang yang memaksa ingin mengadopsimu, tapi aku yakin dia bukan orang baik-baik. Pergilah ke London, aku sangat yakin orangtuamu masih hidup!"

"Tapi...bibi Ko―"

"Cepat pergi!" nada itu kian mengeras, Sakura akhirnya berlari meninggalkan panti asuhan yang hampir habis dilalap api.

*.*.*.*

Salju kian lebat, suhu semakin merendah. Sakura berjalan tertatih-tatih tanpa alas kaki menyelusuri jalan kota yang sepi. Tubuhnya yang lelah memutuskan untuk beristirahat di pinggiran stasiun Ashford.

"Tersesat nak?"

Sakura tersentak kaget, dilihatnya pria tua dengan diperban sebelah matanya.

"Tuan...bisakah aku pergi ke London?" pria itu duduk disamping Sakura.

"London? Untuk apa kekota yang penuh tragedi seperti itu?"

"A..aku..."

"Kau tidak punya tempat tinggal?" Sakura mengangguk.

"Tinggalah bersamaku, aku akan memberikan kehidupan yang layak. Anak-anak seumuranmu juga banyak." Pria itu tersenyum, "Be..benarkah tuan?" dia mengangguk. "Namaku Danzo, sebentar kau tunggu disini." Pria itu bergegas meninggalkan Sakura yang tampak senang. Arah pria itu menuju ke telepon umum di stasiun. Dia menekan tombol dengan tangan kakunya sehingga berkali-kali meleset.

"Aku telah menemukannya. Sesuai dengan perjanjian kita." Dia buru-buru menutup telponnya. Dipandangnya sedikit menuju Sakura dengan senyuman yang tidak menyenangkan untuk diartikan.

*.*.*.*


The Cherry Blossom Spreaded in Winter

"Aku hidup diantara orang – orang itu..

Mereka rendah dan selalu bersamaku..

Aku tak tahu harus kemana lagi..

Aku ingin memandang lewat jendela pagi..

Memandang turunnya salju dan Hujan,

Tetapi hidupku disini, bersama semuanya..

Dan aku akan bertahan.." Sakura Haruno


Ashford, 12 Desember 1980

"Bangun semua!" suara Danzo terdengar sangat nyaring di telinga kami. Kami semua langsung bangun dan siap–siap bersikat gigi. Setelah itu kami berjalan menuju meja makan, disana telah tersedia sepotong roti kecil yang tak akan membuat kami tumbuh besar seperti layaknya anak – anak berumur 10 tahun.

"Kita harus berjuang hari ini!" kata Moegi bersemangat.

"Cih...kita tak akan menjadi kaya kalau begini terus!" keluhan Kimimaro membuatku berpikir keras. Kami semua terdiam.

Orang – orang disini memanggilku Sakura. Entah nama itu memang nama pemberian orang tuaku atau karena warna rambut ku senada dengan warna bunga di musim semi. Umurku 11 tahun, tidak bersekolah tapi bekerja sebagai penjual bunga, kadang korek api dan kayu pada saat musim dingin. Tuan Danzo pernah bercerita, sebenarnya kami adalah anak orang – orang kaya dari Jepang. Entahlah siapa yang dimaksud karena beliau tidak pernah melanjutkan ceritanya kemudian..

Kadang aku berpikir, jika aku tahu hidupku seperti ini, lebih baik aku mati...Aku pikir setelah melarikan dari insiden kebakaran itu hidupku akan menjadi lebih baik. Bibi Konan...

"Hari ini kakak ingin pergi kemana?" tanya Moegi lembut kepadaku, aku tidak tahan melihat wajah imutnya yang masih berumur 8 tahun itu.

"Aku belum tahu...tapi aku harus menjual sisa korek api ini. Aku tidak ingin Tuan Danzo marah lagi kepada ku.." jawabku lemah. "Tapi kita harus mendapat uang lebih hari ini!" tambahku bersemangat, Moegi tersenyum. Ini lah ekspresi yang aku nantikan. Terkadang aku harus mengemis atau mencuri kalau ingin mendapat uang lebih, Moegi juga terpaksa harus melakukan hal yang sama. Aku tidak tahan dengan kehidupan seperti ini. Dan aku tahu, aku tak seharusnya melakukan hal itu. Ya, aku tahu itu.

Tiba saat jam 5 sore, banyak orang–orang keluar dari gereja. Di depan pagar ini aku duduk dan mengemis. Berharap orang-orang kaya ini memiliki uang lebih dan mau membagi sedikit saja uang untukku. Moegi juga sedang duduk di sampingku.

"Moegi...kamu lapar, kan? Ayo makan! Masih ada sisa 2 Poundsterling 79 sen. Bisa kita berikan ke Tuan Danzo." Ajakku senang. Memang ada beberapa keberuntungan mengajak Moegi mengemis bersama, wajahnya yang imut dan tanpa dosa itu selalu menyentuh hati seseorang yang melihatnya. Tapi fisiknya yang lemah ini, aku tak sanggup membiarkannya berlama–lama mencari uang bersamaku.

Aku memutuskan untuk membeli roti di toko itu. Toko yang selalu ramai oleh pengunjung. Aku tidak sabar membelikan roti kesayangan Moegi.

"Berikan uangmu padaku!" suara itu hampir membuat telingaku tuli.

"Ta...tapi...Ka..Kabuto aku mohon jangan!" aku memohon, Kabuto adalah preman yang benar – benar tidak kenal keadaan. Dia selalu menodongkan pisaunya dalam situasi seperti ini. Sekali bergerak, kami bisa mati. Akhirnya dengan lemah aku memberikan semua sisa uangku yang seharusnya aku setorkan kepada Tuan Danzo. Dan roti itu...aku tidak akan bisa mendapatkannya hari ini. Aku memeluk Moegi yang bergetar ketakutan.

"Kau terlalu cantik untuk mati!" Kabuto menatap nakal mataku yang berwarna hijau terang ini, dan dengan sekejap dia pergi meninggalkan aku yang sedang gemetaran. Aku memutuskan untuk kembali ke gubuk itu.

*.*.*.*

"Uangmu diambil Kabuto?! Lagi?!" Kiba terlihat kaget dan marah.

"Dia selalu menodongkan senjata, aku tidak berani melawan.. " utarku dengan lemah. Ya, aku dan Moegi sudah kembali ke rumah rongsokkan ini. Tempat kami bernaung untuk berlindung dari hujan dan salju.

"Yah...aku menyesal tidak bersamamu saat itu..." kata Kiba sedih. Diantara teman–teman seperjuanganku di sini, Kiba memang selalu memperhatikanku dan juga lainnya.

"Bodoh!" cetus Naruto kesal. Dia menudingku seperti ini lagi. Semuanya tercengang. Naruto kini kembali memandang keluar jendela bekunya. Salju nampak semakin lebat. Dia terus memandangnya dengan wajah yang sangat lelah. Seminggu ini aku kurang memahami sifat Naruto yang agak kasar dan tegas. Mungkin karena aku tidak terlalu mengenalnya.

" Apa–apaan kau, Naruto?!" teriak Kiba seakan membelaku.

"Sakura bodoh! Kenapa dia memberikan uangnya begitu saja?!" jawab Naruto dengan suara semakin kencang. Dia pun berdiri dari tempat duduknya tadi dan menghadap ke Kiba.

"Apa kau mau Sakura di pukuli lagi oleh Tuan Danzo? Hah?!" nada Naruto kini membentak Kiba.

"Kau ini peduli, khawatir atau apa?! Kalau peduli tidak perlu bilang Sakura bodoh! Kau tahu, Kabuto selalu mengancam jiwa!" kali ini Kiba tidak mau kalah.

"Kenapa tidak coba lari atau meminta pertolongan orang lain?!" Naruto marah makin menjadi.

"Zaman sekarang siapa yang mau menolong anak gelandangan seperti kita, Naruto?!" tambah Kiba yang memanas.

"Kabuto menodongkan pisau ke perut Moegi, Naruto." jawabku kali ini dengan suara parau. Naruto melotot kaget, aku bisa lihat wajah nya yang khawatir sangat hebat. Naruto terdiam dan kembali menatap jendela. Dia segera melempar kantung uang berisi 3 poundsterling dan beberapa sen di dalamnya kepadaku.

"Kau tak perlu kena pukulan lagi hari ini." Suara Naruto terdengar serak. Aku ingin sekali menangis, kenapa aku bisa berada dalam kehidupan seperti ini.

"Ti...tidak...Naruto...biar aku saja yang menghadapinya." Kataku sambil mengembalikan kantung uang itu, aku melangkahkan kakiku menuju padanya. Hingga suara gebrakan pintu itu terdengar nyaring. Langkahku berhenti, Tuan Danzo segera menghampiri kami. Kantung uang milik Naruto yang sedang aku pegang itu dengan cepat diraihnya.

"Mana setoranmu hari ini Udon, Kiba?!" teriak beliau. Teman–temanku itu segera menyerahkan kantung uang. Kali ini Tuan Danzo berbalik arah menuju Naruto.

"Kau?" tanyanya dengan keras. Naruto biasanya memberi setoran kepada tuan Danzo dengan jumlah lebih, namun kali ini Naruto diam.

"Mana?!" tanyanya lebih keras lagi. Naruto tetap diam. Tuan Danzo langsung menarik baju tipis Naruto. aku tidak sanggup membayangkan kejadian setelah ini. Tuan Danzo segera meninju wajah muda Naruto. Aku ingin menangis. Teman – teman yang lain hanya menutup mata, dan Kiba...walaupun kadang ribut bersama Naruto, dia juga sangat khawatir.

Pukulan bertubi–tubi itu melayang ke perut Naruto. Aku tidak bisa melihat ini lagi, aku segera berlari dan menahan tangan Tuan Danzo yang hendak menampar Naruto lagi. Aku berteriak, tapi sulit untuk mengeluarkan air mata saking sakitnya rasa di hati.

"Tuan Danzo, tolong hentikan..." aku meronta meminta sedikit ampunannya untuk Naruto.

"Sa..kura, per...gilah!" suaranya parau. Dengan seluruh kekuatan orang dewasa yang di miliki Tuan Danzo, tangan itu berhasil menepasku hingga aku terjatuh di sudut ruangan itu. Pinggangku terasa sakit. Tangan Tuan Danzo itu kini akan memukuli Naruto lagi. Dengan seluruh sisa kekuatan yang aku punya, aku berlari untuk menahan tangan Tuan Danzo.

"Apa–apaan kau, Sakura?! Kau tidak bisa melihat kekasihmu aku pukuli seperti ini?!" teriak Tuan Danzo kepadaku. Aku sedikit melihat Naruto yang tak berdaya menahan pukulan itu.

"Itu uang Naruto, Tuan. Bukan uang hasil kerja ku.." akhirnya kata–kata ini keluar dari mulutku. Aku merasa agak tenang, walau jawaban yang aku dapatkan bukanlah sebuat pembicaraan. Tangan Tuang Danzo meraih baju ku dan siap menghajarku. Yah, ini lah yang aku terima. Kali ini tamparan dan pukulan yang banyak menuju tubuh dan wajahku. Entahlah, aku tidak peduli. Yang terpenting adalah, Naruto selamat dari tindakan ini. Aku sedikit mellihat Moegi yang menangis. Kiba berlari dan menggendongku. Pukulan itu telah aku hadapi. Darah segar mengalir dari wajahku, Kiba menangkapku yang tergulai lemas hampir menabrak lantai. Naruto? Apa dia baik – baik saja?

*.*.*.*

Aku memeluk tubuhku yang kesakitan. Hawa dingin yang terus menerka menusuk tulang rusuk ku. Malam ini aku bahkan tak bisa tidur. Tiba - tiba Selimut usang itu sedikit menghangatkanku.

"Sakura..." desah Naruto iba. Wajahnya lebam, lukanya sudai mulai mengering. Begitupun pula aku.

Naruto pun duduk disampingku sekarang. Malam ini salju tetap turun dengan lebat namun agak terapung. Aku kembali memeluk tubuhku dengan kencang. Kamar ini kami pakai bersama - sama.

"Suhunya semakin rendah." kata Naruto yang semakin cemas dengan keadaan ku. Aku tak tahan lagi.

"Kau...baru merasakan permulaan." permulaan katanya? Ini saja bisa membunuhku. Tanpa banyak basa-basi di menggerakkan selimut dan memberikannya padaku. Sedangkan dia kembali ketempat alas tidurnya hanya menggunakan jaket yang biasa dia pakai.

Naruto itu...apa orang yang sangat perhatian tapi tidak bisa menunjukkannya secara sederhana?

*.*.*.*

Ashford, 28 Maret 1981

Sudah lebih dari empat bulan yang lalu aku tinggal di tempat ini. Aku mulai terbiasa walaupun berat. Bunga-bunga bewarna merah muda mulai mekar. Aromanya cukup menenangkan dan sangat harum. Setelah mengemis aku selalu menyempatkan datang ke stasiun untuk melihat pohon yang berbunga merah muda.

"Kau...anak dari panti asuhan di Hamstreet kan?" aku sempat kaget.

"An...da...polisi yang menyelamatkan saya saat itu!"

"Aku memang saat itu sedang bertugas di Ham Street. Sebenarnya kantorku di kota ini." pria muda itu tersenyum ramah padaku. "Namaku Kotetsu, kau?"

"Sakura."

"Nama yang bagus dan cocok untukmu. Tapi kau tidak terlihat seperti orang Jepang, ya. Hm mata dan rambutmu." Tuan Kotetsu tersenyum lagi. "Memang Sakura itu apa hubungannya dengan Jepang?" tanyaku penasaran. Dan ada apa dengan mata dan rambutku?

"Hahaha...berapa umurmu, sih?" dia malah tertawa. "Kau bersekolah dimana?"

"Aku tidak sekolah. Waktu di panti asuhan aku hanya belajar bersama bibi Konan." jawabku.

"Bagaimana dengan pemerintahan ini ya, apa mereka tidak memperhatikan pendidikan sehingga membiarkan gadis sepertimu tidak sekolah... Hm..Sakura?" aku menengok padanya.

"Di Jepang pada musim semi seperti ini banyak sekali pohon itu.." Tuan Kotetsu menunjuk pohon berbunga yang aku sukai itu. "Cherry Blossom?" dia sedikit cekikikan.

"Di Jepang, Cherry Blossom di sebut dengan Sakura." lagi-lagi dia tertawa, "Seperti namamu, sangat cocok!"

Kini wajahku sedikit memerah, dan baru saja paham apa yang di maksud sejak awal.

"Aku harus kembali ke kantor sekarang. Jika butuh sesuatu atau pertolongan, kabari aku ya. Kantorku ada di sebelah gereja di sana. Sebagai polisi dan sebagai temanmu, aku akan melindungimu! Sampai jumpa!" dia berlari lagi.

Sekarang, kata Cherry Blossom memutari otakku. Aku suka, aku nyaman dengan kata yang sangat lembut itu.

Aku melangkahkan kakiku lagi untuk pulang, tentu saja melewati gereja. Aku melihat kerumunan orang-orang dan mendengar suara gesekan biola yang cukup indah. Aku cukup penasaran dan segera menuju kesana.

"Naruto?"

Aku melihat pemuda kecil yang setiap hari aku lihat di gubuk. Inikah Naruto? Naruto yang tegas dan suka berbicara dengan nada keras? Dia pemain biola?

Permainan biola itu selesai, orang yang menikmati tadi tepuk tangan dan memberikan sedikit uang untuk Naruto. Aku tersenyum, orang-orang pun mulai meninggalkan tempat itu. Dengan langkah kaki yang cukup cepat dan aku tidak bisa menahannya. Entah apa yang merasuki tubuhku, aku memeluk Naruto dan tersenyum bahagia,

"Sakura?"

"Permainan biolamu bagus sekali! Aku ingin mendengarnya setiap hari!" dan baru pertama kali aku melihat Naruto tersenyum bahagia.

*.*.*.*

Di pekarangan gereja ada satu pohon ceri yang sedang mekar dengan cantiknya. Setelah permainan yang tadi, Naruto membelikanku roti dan mengajakku untuk beristirahat sebentar di bawah pohon ini.

"Sakura.."

"Ya?" aku penasaran dengan kata-kata selanjutnya.

"Apa kau menyukai permainan biolaku?"

"Tentu saja! Kau bisa menjadi pemain biola terhebat!" aku sangat berambisi. Naruto tersenyum lagi.

"Kapan ulang tahunmu?"

Aku berpikir keras, "Bibi Konan pernah bilang...katanya sih 28 Maret. Entahlah aku tidak yakin. Aku saja tidak pernah bertemu orangtua kandungku." aku tersenyum dan memakan roti itu lagi.

"Kalau begitu hari ini?!" Dia sedikit terlihat antusias. Tapi aku tidak terlalu peduli dengan makna ulang tahun.

Naruto berdiri dan mengambil biola tuanya.

"This is for Sakura..Beethoven's Violin Sonata No. 5 Spring..."

Hembusan angin dan musik di sore musim semi membuat aku bergetar.

Naruto, Thank You

Chapter 1: The Cherry Blossom spreaded in Winter - End


Autor's Note :

Yokatta na...aku selesai menulis cerita ini. Terinsirasi dari anime Remi Nobody's Girl dengan banyak modifikasi. Sejujurnya cerita ini sudah lama ku tulis di suatu buku saat aku masih kelas 2 SMP, mengingat aku sekarang kuliah semester 2. Aku ingin sekali cepat mem-publish cerita ini, padahal pagi ini aku test kanji lho T_T)

selama masih punya semangat menulis, aku akan segera menyelesaikan cerita ini. Tidak sebanyak Naruto: Schooldays, ini mungkin lebih pendek. Aku akan menyelesaikannya sepulang kuliah nanti. See Ya!