Terkadang kenyataan itu harus diterima, meski sulit, atau rasanya tidak mungkin. Barangkali terasa seperti mimpi, hanya mimpi buruk di tengah siang bolong yang tiba-tiba lewat karena oksigen yang dirasa kurang cukup, melamun karena alasan yang mendekati angka nol, atau apapun itu.
Terkadang juga, itu bukan mimpi. Terkadang juga, itu memang nyata.
Jaebum tersenyum senang sampai kedua matanya membentuk bulat sabit, jarang ia tunjukkan pada orang sembarangan. Terlihat sekali ia sedang duduk di sofa ruang tengah apartemennya, tangannya mengelus-elus kepala seseorang yang bersandar pada pangkuannya. Terkadang Jaebum terkekeh pelan sambil bicara sendiri.
Sepertinya Yugyeom sedang tidur, maka dari itu Jaebum bermonolog sedari tadi.
"Yugyeom-oppa, kau tahu kan aku sangat menyayangimu,"
Ada yang aneh? Ah, maksudnya panggilan Jaebum untuk Yugyeom yang merupakan sesama laki-laki, dan terpantau lebih muda dari pemilik rambut coklat itu? Oppa. Yah, memang lumayan aneh, sebenarnya itu hanya panggilan sayang untuk Yugyeomnya.
Melihat ada yang lebih aneh dibanding panggilan itu? Apa pandangan kalian tidak sampai pada pisau yang ada di tangan lain Jaebum?
Jaebum kembali terkikik pelan ketika jemari halusnya mengusap pelan pipi Yugyeom yang pucat, "Kau tidur cukup lama, Yugyeom-oppa. Hm, apa jangan-jangan mimpimu lebih menarik dariku, ya?" tanya pemilik marga Im itu entah pada siapa. Secara nyata, hanya ada satu jiwa disana. Raga satunya mendingin. Jaebum mengerjapkan matanya, sedikit merenggut karena Yugyeom tak kunjung membalas perkataannya yang secara wajar justru aneh bila Yugyeom bicara. Jelas. Tapi menurut Jaebum, itu benar-benar hal yang buruk.
Apalagi kalau dilakukan oleh Yugyeom, "Yugyeom-oppa!" teriaknya sambil mencekik leher Yugyeom.
"Kenapa. Kau. Tak. Kunjung. Bangun?!" jerit Jaebum sedikit serak. Ia terus bicara daritadi dan menerima tatapan kosong tanpa nyawa dari Yugyeom sangat menyakitkan. Terlebih kalau mengingat sebenarnya mata pemuda Kim malang itu yang sedikit mengeluarkan darah.
Oh, bukan salah Jaebum. Itu pisaunya. Jaebum tertawa kencang, berhenti mencekik Yugyeom dan mulai mengalirkan air mata. Berteriak lagi, menangis lagi, berteriak lagi, menangis lagi.
Lalu melayangkan pisau lagi, pada Yugyeomnya.
Jaebum mendudukkan Yugyeom di sofa, memperhatikan pemuda yang sedikit lebih tinggi darinya itu.
Tatapan netra Jaebum sangat polos.
"Yugyeom-oppa, kenapa kulitmu robek begini?"
"Yugyeom-oppa, apa kau yang mengecat lantai dan dinding ini jadi merah?"
"Yugyeom-oppa,"
"Hei,"
"Bangun,"
Jaebum mendekatkan pisaunya pada lehernya sendiri. Tak ada sahutan atapun respon dari Yugyeom, tentu saja.
"Aku mencintaimu,"
"Sangat,"
"Sangat,"
"... Sangat." Smiles.
Tawa terakhir Jaebum terdengar jelas sebelum cairan merah lebih banyak lagi melapisinya.
Terkadang juga, kenyataan bisa menjadi kematian.
END.
