Yosh! Ini adalah fic baru dari author gila dengan genre yang tidak biasa. Author absurd ini lagi coba bikin fic bergenre horor, jadi mohon maklum kalau banyak kekurangannya.


'Tokyo Ghoul' © Sui Ishida

Warning! Typo(s), AU, cerita yang super gaje, karakter dengan tingkat OOC tinggi, bahasa tidak baku, alur yang mungkin susah dimengerti serta berbagai kesalahan lainnya. Mohon dimaafkan~


Silentium

'Yang bersamaku'

'Sial! Kenapa malam ini begitu dingin?'

Remaja itu semakin merapatkan mantel biru tuanya, memeluk diri sendiri yang mulai bergetar akibat terpaan angin malam yang luar biasa menusuk. Sesekali kedua telapak tangannya yang telah terlapisi oleh sarung tangan hitam itu saling bergesekan, berusaha menghangatkan diri walau dia tahu itu tidak akan berhasil. Dalam hati ia mengumpat dirinya sendiri, menyesal tidak mendengarkan sang kakak yang bersedia mengantarkannya pagi tadi dan lebih memilih menaiki kereta bawah tanah. Well, dia memang tidak suka menaiki mobil —terjebak macet yang justru akan memperlambatnya. Menaiki kendaraan umum adalah alternatif terbaik menurutnya. Namun jika dia tahu sang dosen akan menyebabkannya pulang sesore ini, tentu dia dengan senang hati akan menerima tawaran sang kakak.

'Ini benar-benar dingin. Kuharap Kuro sudah pulang dan membuatkanku secangkir teh hangat.'

Shironeki melangkah menyusuri sebuah jalan setapak, langkah yang cepat membuatnya percaya akan segera sampai di rumahnya. Berbelok ke kanan, remaja bersurai putih itu mengambil sebuah jalan pintas. Tak berapa lama, langkah kakinya terhenti tepat didepan sebuah rumah —tidak besar namun juga tidak kecil. Membuka gerbang, remaja itu segera memasuki taman depan lalu mengetuk daun pintu berwarna cokelat disana.

"Tadaima."

Shiro mengucap salam, merangsek masuk lalu melepaskan alas kakinya dan berganti dengan sandal rumah. Pemuda itu berjalan menuju ruang tengah, melempar tas miliknya sembarang lalu berselonjor diatas sofa empuk disana. Kedua matanya terpejam rapat, berusaha merasakan suhu nyaman yang berasal dari penghangat ruangan disana.

"Okaerinasai, Shiro."

Suara lain menyahut, sangat familiar di telinga si surai putih. Shiro segera menegakkan tubuhnya, meregangkan otot-ototnya sebentar lalu berjalan pelan menuju dapur yang merupakan sumber dari suara yang didengarnya. Iris asap itu menangkap sosok lain menyerupainya tengah berdiri di depan meja makan, mengaduk sesuatu di dalam cangkir putih yang mengepulkan asap hangat sembari tersenyum manis.

"Apa yang kau buat, Kuro?" sosok dengan surai putih itu bertanya.

"Teh. Kau mau juga?" lawan bicaranya membalas.

"Boleh. Tolong buatkan satu untukku juga," Shiro menjawab, tersenyum kecil dengan kaki yang mulai bergerak mendekati sang adik.

"Lebih baik kau mandi dan ganti pakaian itu. Kau bisa sakit, Shiro. Aku akan membuatkannya untukmu."

Kuroneki tersenyum, membuat sang kakak mengangguk dan berpaling menuju kamarnya. Ia mengambil tasnya yang tergeletak diatas sofa, memungutnya lalu mulai menapaki anak tangga satu persatu. Begitu sampai diatas, ia segera menuju sebuah daun pintu dan membukanya.

Kamarnya.

'Niisan tidak akan pulang malam ini. Apa yang sebaiknya kumasak untuk nanti?'

Shiro melepas mantelnya yang sedaritadi masih membalut tubuhnya. Selesai, ia segera menyalakan penghangat ruangan dan turun ke lantai bawah, memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri. Jam dinding yang tertempel menunjukkan pukul 17:38, belum termasuk jam malam. Ia segera membasuh dirinya secepat yang dia bisa, sama sekali tidak ingin menikmati teh buatan sang adik dalam kondisi dingin. Dan begitu selesai, ia segera keluar dan mendapati sebuah cangkir putih telah berada diatas meja kecil di ruang tengah. Tanpa sadar Shiro tersenyum.

"Cepat sekali kau mandi."

Kuro memotong lamuan sang kakak, berjalan dari dapur lalu duduk tenang pada sofa disana. Shiro bergumam tak jelas, ikut duduk bersama sang adik lalu mulai menyeruput minuman buatan si kembar. Cairan itu mengalir melalui kerongkongannya —terasa hangat begitu sampai di perutnya. Benar-benar nikmat.

"Arigatou. Teh buatanmu benar-benar enak—seperti yang biasa dibuatkan niisan."

"Ahahaha... Aku selalu mengamati niisan jika ia sedang membuat teh atau kopi untuk kita."

"Kau bisa sesempurna ini hanya dengan melihat?"

"Ya! Melihat dan mempelajari. Bukan hal yang sulit. Kau juga bisa melakukannya, Shiro."

"Aku meragukannya."

"Ahahaha... Kau belum mencobanya."

Kuro tertawa—Shiro tersenyum. Si surai hitam bangkit berdiri, berjalan menuju dapur dan menghilang disana setelah sekilas memperhatikan sang kakak yang begitu syahdu menikmati teh buatannya. Apakah seenak itu?

"Aku akan memasak makan malam untuk kita," Kuro berteriak kecil dari dapur.

"Tidak usah. Biar aku yang memasaknya," Shiro balas menjawab dari ruang tengah, masih menikmati teh hangatnya. Selesai dengan beberapa teguk, Shiro segera bangkit berdiri menuju dapur untuk meletakkan cangkir tersebut sekaligus menggantikan sang adik memasak—

KRING KRING KRING~

—sebelum langkahnya terhenti begitu dering telepon rumahnya berbunyi begitu nyaring. Shiro memutar langkahnya, berbalik menuju benda hitam yang berada dibawah tangga itu. Cangkir putih ia letakkan diatas meja disana lalu berganti mengangkat gagang hitam tersebut.

"Moshi moshi, kediaman Haise Sasaki disini."

("Moshi moshi. Shiro, kau sudah pulang?")

"Eh?"

("Kau tidak jadi ke apartemen Hide?")

"Niisan?"

("Ini aku, Kuro—bukan niisan. Jadi bagaimana? Hide sudah menelponku sejak kemarin dan dia sangat ingin kita menginap disana malam ini. Aku juga sudah meminta izin pada niisan.")

"Kuro?"

("Kau kenapa, Shiro? Suaramu terdengar aneh. Apa kau sakit?")

"Apa benar ini Kuro?"

("Iya, ini aku. Ada apa?")

"Tidak mungkin!"

("Ada apa?")

"Jangan bercanda, niisan!"

("Kau kenapa, Shiro? Aku Kuro—saudara kembarmu! Apa kau sakit?")

"NIISAN!"

("Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Shiro?! Aku akan pulang sekarang jika kau sakit! Aku akan mengatakannya pada Hide, tunggulah sebentar!")

"..."

("Shiro? Kau mendengarku? Hey! Aku akan pulang sekarang dan menelpon niisan jika kau benar-benar sakit!")

"Bukankah kau berada di rumah? Kau bersamaku disini, bukan?"

("Ada apa? Aku masih dijalan, aku langsung ke rumah Hide jadi tidak pulang. Kau juga jika tidak sakit cepatlah berangkat, Shiro.")

"Kau di jalan?"

("Ya, aku baru saja turun dari kereta. Aku menelpon handphonemu tapi tidak diangkat. Kau kehabisan baterai?")

"Jangan bercanda, Kuro!"

("Hey! Kenapa kau membentakku, Shiro?!")

"Kau bergurau 'kan?"

("Apa maksudmu?")

"Kau sekarang sedang berada di dapur! Kau sekarang sedang memasak makanan untuk malam ini!"

("Memasak? Ahahaha... Aku sedang dijalan, Shiro. Apa perlu aku menunjukkan foto kendaraan yang berlalu lalang disini?")

"Kau baru saja membuatkanku teh hangat!"

("Sebenarnya apa yang terjadi padamu, Shiro? Aku tidak berada di rumah!")

"Kau baru saja tertawa bersamaku di ruang tengah!"

("Baiklah. Sekarang kau membuatku takut, Shiro. Kau bersama siapa di rumah?")

"...a—aku tidak yakin..."

("Shiro? Kau baik-baik saja?")

"...ka—kalau begitu..."

("Berhenti berbicara dengan gemetar seperti itu, Shiro! Kau benar-benar membuatku takut!")

"...si—siapa dia..."

("Shiro?")

"..."

("Shiro! Kau masih disana 'kan?")

"..."

("SHI—")

PIP PIP PIP!

The End


Terimakasih untuk readers yang sudah menyempatkan diri untuk membaca hasil uji coba (?) author. Mohon maaf kalau ceritanya kurang menarik atau yang lainnya. Ini diambil berdasarkan pengalaman pribadi adik author, dengan diubah seperlunya (tentu). Author tahu ini mainstream banget. Author cuma ingin membangun sesuatu dari sudut pandang author aja, jadi kalau agak kacau atau apalah itu author mohon maaf.

Author ingatkan, ini adalah kumpulan drabble. Jadi kata 'The End' di setiap chapternya bukan berarti drabble ini berakhir ya! Kalau ada yang kurang ngerti atau lainnya, boleh coret-coret di kolom reviewauthor pemula ini sangat menghargainya!

Yosh! Akhir kata, arigatou minna-san~