Two Hearts
.
.
.
Pairing: Kim Jongin x Do Kyungsoo
Rating: T+
Warning: yaoi. Bahasanya agak dimix sedikit sama slang, menyesuaikan dengan keadaan dan suasana di cerita.
P.S.: story fully belongs to daisywither. Fully. Fully. Fully. FULLY.
.
.
.
Happy reading!
.
.
.
.
.
Chapter 1
.
.
.
Jongin menutup lokernya sembari menyampirkan ranselnya pada sebelah bahunya, seringai tipis diukir bibirnya manakala mata elangnya menangkap dua orang temannya yang berjalan ke arahnya.
Sambil melayangkan sebelah tangannya—untuk melakukan high-five—Sehun menyapa temannya itu dengan sapaan yang biasa salah satu dari mereka lontarkan setiap kali bertemu di sekolah. "Woy, pagi,"
Setelah melakukan high-five dengan satu lagi teman yang ditemuinya pagi ini, Jongin memiringkan sedikit kepalanya sebagai balasan atas sapaan Sehun dan tersenyum segaris.
"Kalian punya nomor Kris tidak?" tanya Jongin sambil menatap kedua temannya.
"Ponselku di kelas," jawab Jongdae.
"Aku lupa membawa ponselku," susul Sehun. "Ada apa?"
"Aku ingin menanyakan soal taruhan waktu itu—" Sehun memutar kedua bola matanya dan belum selesai Jongin menghabiskan kalimatnya, lelaki putih itu sudah terlebih dulu merangkul Jongin di bagian leher secara paksa sehingga membuat Jongin sedikit kesulitan dan membawanya berjalan menjauh dari tempat yang mereka pijak sebelumnya.
"Hei! Apa yang kau lakukan, lepaskan!" ronta Jongin namun seketika tangannya yang berusaha melepaskan lengan Sehun—yang nyaris mencekiknya—diambil alih oleh Jongdae sehingga dia tidak bisa berkelit.
"Berhenti membicarakan soal balapan di sini itu lebih menyebalkan daripada mendengarkan guru mengoceh kau tahu."
Seperti biasa Jongin tidak mendengarkan dengan baik apa yang disampaikan guru mata pelajaran di depan kelas, lelaki itu lebih memilih melamun sambil memandangi langit luar melewati kaca jendela di sebelah kirinya. Itulah yang selalu dia lakukan apabila bosan di kelas.
Jongin dikenal sebagai figur yang tak banyak timbul saat di sekolah, ia cenderung cuek dan jarang bicara. Walau begitu, pengagum Jongin di sekolah tak bisa dibilang sedikit. Ia disukai karena aura yang terpancar dari dirinya menarik sedikit banyak perhatian murid di sekolah. Ia pun dikenal berbarengan dengan ketiga temannya yang lain—Kris, Sehun, dan Jongdae.
Maksud dikenal berbarengan di sini adalah—mereka berempat ini satu rangkap. Jarang sekali terjadi apabila seorang murid mengenal Sehun, namun orang tersebut tak mengenal Kris, Jongin, ataupun Jongdae. Orang itu pasti akan mengenal tiga sisanya karena mereka ini, well, cukup terkenal di Jungdok High School.
Bukan sekolah menengah atas ternama memang, namun setidaknya bukan sekolah ugal-ugalan.
Mereka berempat punya penggemar masing-masing, karena masing-masing dari mereka pun mempunyai daya tarik tersendiri.
Mereka tidak masalah apabila orang-orang menganggap mereka adalah sebuah geng atau semacamnya.
Namun siapa sangka bahwa mereka berempat ini baru sebagian dari apa yang orang-orang sebut dengan geng karena—masih banyak orang lain di luar sana.
Mereka memang populer, mereka memang keren, tapi tak ada satupun murid yang tahu bahwa mereka ini terlibat balapan.
Kris, sebagai ketua. Ia memang yang paling kaya di sini. Balapan, taruhan. Memanglah hobinya. Kris suka hal-hal yang menantang, minimbulkan kesenangan tersendiri baginya. Umurnya di sini lebih tua dua tahun. Tidak naik kelas dua kali saking urakannya.
Oh Sehun, yang termuda di sini. Well, Sehun lah yang akan mencari bahan taruhan yang akan dibawa di setiap balapan yang mereka ajukan duluan.
Kim Jongdae, bisa dibilang dia ini penguntit. Dia merupakan penyelidik lawan yang akan diadu balap. Ia juga merupakan pencair suasana dalam geng apabila keadaan berubah sengit. Jangan salah, begitu-begitu geng balap yang diketuai oleh Kris ini memiliki solidaritas dan rasa pertemanan yang cukup tinggi. Mereka tidak suka suasana tegang.
And last, but not least, Kim Jongin. He is the ace of the team. Dia lah yang paling sering melakukan balapan, karena Kris begitu percaya padanya. Kris akan turun tangan apabila Jongin tidak yakin dapat melawan, namun sejauh ini, Jongin tetap berada di posisi amat baik. Kris yakin betul dengan kemampuan lelaki yang satu ini, Jongin tidak pernah mengecewakannya.
Dan sisanya adalah antek-antek untuk meramaikan. Kalau sudah sampai urusan tawuran sih, mereka siap!
Dan kalau ditanya soal mengapa kegiatan di luar sekolah mereka ini tidak ketahuan, jawabannya adalah karena mereka melakukannya di tempat yang agak sedikit terpencil. Setidaknya jangan sampai tempat yang sering mereka gunakan untuk balapan ini tercium oleh pihak sekolah. Bisa habis mereka.
Dan kalau ditanya—lagi—soal apakah Kris masih bersekolah di Jungdok High School atau tidak, jawabannya adalah tidak.
Ia dikeluarkan tepat satu bulan yang lalu.
Ulah yang dibuat olehnya waktu itu benar-benar keterlaluan sehingga tidak ada lagi toleransi yang diberikan. Kris pun terpaksa pindah sekolah, dan untungnya sekolah lain masih mau menerima murid seperti dia. Well, dia kaya. Jadi itu bukan masalah besar baginya.
Jongin menoleh saat segumpal kertas mengenai kepalanya, ternyata Jongdae.
Jongdae menunjuk pintu kelas yang terbuka dengan jempol dan juga kepalanya, ia menyapukan pandangannya pada Sehun yang sedari tadi juga memandangnya.
Jongin menjawab 'ajakan' itu dengan anggukan kecil beberapa kali sebelum Sehun cabut duluan.
Setelah melihat kondisi yang cukup aman—gurunya yang sedang asyik menulis di papan tulis—Sehun berdiri dan mulai mengendap-endap. Disusul Jongdae, lalu Jongin.
Mereka terus mengendap hingga melewati dua kelas, setelah dirasa cukup, mereka menegakkan badan lalu melepas gelegak tawa yang sudah mereka tahan sejak mencapai pintu kelas tadi.
Tawa menggelegar di sepanjang koridor tanpa si pemilik tawa berpikir apa yang akan terjadi selanjutnya.
"JANGAN BERISIK, BOCAH BRANDAL!"
Hardikan keras langsung mereka terima dari guru yang mengajar di kelas yang dekat dengan tempat mereka berdiri.
Otomatis mereka langsung ngibrit.
Ingar-bingar begitu mendominasi tempat asing yang amat luas dan sepi itu, bunyi yang dihasilkan dari mesin mobil yang dihidupkan dan suara banyak orang yang berbicara sambil berteriak adalah penyebab utama kebisingan itu tetap hidup.
Jongin telah siap di belakang kemudi, sembari menunggu aba-aba lelaki itu menoleh ke sebelah kanan—dimana terdapat sedan putih beserta lawannya kali ini di dalamnya.
Jongin menghadapkan pandangannya ke depan lagi, hingga dua detik setelahnya aba-aba mulai dicetuskan dan dua sedan yang sedari tadi siap di posisinya kini melaju kencang.
Seperti biasa Jongin melajukan kendaraannya dengan kecepatan yang paling tinggi, begitu pula dengan lawannya. Namun keahlian Jongin memanglah yang terbaik, ia begitu lihai ketika melewati belokan tanpa harus tersendat atau mengalami perlambatan drastis atau bahkan meleset sehingga menumbur pembatas jalan yang—kalau parah—bisa menyebabkan kecelakaan maut.
Jongin terus melajukan mobilnya tanpa beban—meskipun masih dengan konsentrasi penuh—hingga kedua sedan yang beradu balap itu kembali ke tempat asal.
Dengan perbedaan jarak yang tidak bisa dibilang jauh, Jongin kembali memenangkan pertandingan.
Jongin keluar dari mobil dengan senyum kemenangan yang biasa ia tunjukkan setelah memenangkan tanding balap, disambut oleh teman-temannya yang lain.
"You are great as always," puji Kris.
"For sure," balasnya, masih mengembangkan senyum—yang bisa dibilang lebih mirip seringai.
Sehun tiba-tiba melemparkan sesuatu yang dengan sigap langsung ditangkap Jongin. Tidak perlu waktu sedetik untuk melihatnya Jongin sudah tahu apa itu, kunci mobil.
Sesaat setelahnya kunci tersebut berpindah tangan ke tangan Kris. "Aku bosan mengoleksi mobil," ucap Jongin. "Lagipula itu tidak terpakai,"
"Kau bisa menjualnya,"
"Ya, benar, hanya saja aku bosan hadiah mobil."
Kris menaikkan sebelah alisnya, "Kau memberiku kode?"
Seketika Jongin tertawa. "Apa yang kau maksud dengan kode? Aku tidak mengerti,"
"Sudahlah, aku tahu apa maksudmu," todongnya. "Mau yang seperti apa? Putih? Cantik? Imut? Langsing? Atau sedikit berisi? Tinggi semampai? Atau pendek... sehingga kau bisa lebih mudah—"
"Stop it, bastard," sergah Jongin. Kris terkekeh.
"Tenang saja, akan kukabulkan apapun yang kau minta supaya kau lebih bersemangat," ucapnya sambil sedikit meledek Jongin.
Jongin mengukir senyum yang terlihat mau-tak-mau seolah mengiyakan.
Jongin berjalan menyusuri koridor sekolah yang sepi, berekspresi santai dan memasukkan salah satu tangan ke dalam saku celana.
Agaknya ia kaget ketika seseorang menghentikan langkahnya dengan muncul di hadapannya secara tiba-tiba.
Jongin melengos dan mengambil jalan sebelah kanan—mendekat pada dinding. Akan tetapi orang itu kembali menghentikannya sampai-sampai merapatkan tangan kirinya ke dinding sehingga tidak ada jalan bagi Jongin untuk lewat kecuali kembali mengambil jalan ke tengah.
Aksi blokir orang tersebut yang menyentak—dan sedikit berani—membuat jarak antara wajah mereka terlampau dekat saat ini.
Dari ekspresi wajahnya serta rambut panjang coklat mudanya yang sedikit berantakan Jongin dapat menyimpulkan bahwa perempuan di hadapannya ini sedang ingin 'bermain'.
Jongin membalas tatapan penuh orang itu terhadapnya, napas mereka bertubrukan. Lain halnya dengan napas Jongin yang terembus teratur, napas perempuan itu terkesan tersendat-sendat seolah sedang menahan gejolak yang secepatnya ingin dilepaskan.
Hani, murid kelas 2-4.
Perlahan tangan Hani menyentuh kedua lengan Jongin dan menuntunnya—dengan Hani yang berjalan mundur—menuju toilet wanita yang sangat dekat dengan tempat mereka berdiri.
Jongin hanya mengikuti dan saat keduanya berhasil masuk ke dalam toilet, Hani buru-buru menutup pintu dan dengan nafsu yang mengepul mengalungkan kedua lengannya di leher Jongin untuk kemudian melumat bibir di depannya dengan penuh gairah.
Jongin sempat terdorong sedikit namun dengan cepat ia melingkarkan kedua tangannya di sekitar pinggang Hani yang ramping.
Jongin membalas ciuman itu dengan ciuman yang hampir seluruh orang yang mengenalnya idam-idamkan. Semua orang ingin merasakan bibirnya.
Hani yang sedikit brutal dan Jongin yang kuat, membuat mereka terlihat seolah sedang dorong-dorongan.
Saling lumat, saling gigit, saling kecap. Garis keras. Hani nyaris melayang dibuatnya. Ia tidak ingin melepaskan bibir ini sampai kapanpun kalau bisa.
Posisi tubuh mereka yang sangat rapat membuat libido Hani makin naik dan mulai membuat Jongin sedikit bangun.
Dengan jalan mundur Jongin menuntun Hani memasuki salah satu bilik toilet. Menutup pintu, Jongin duduk di atas kloset yang tertutup dengan Hani yang duduk di pangkuannya.
Ciuman terlepas, menghasilkan deru napas cepat dan menggila keluar dari masing-masing mulut dan hidung mereka.
Hani melonggarkan dasi Jongin, mulai membuka kancing kemejanya hingga Jongin menepis tangan itu lalu balik melucuti seragam bagian atas Hani sampai bra hitamnya yang tertinggal.
Hani kembali menyambar bibir itu dan dibalas kilat oleh Jongin, hingga mulut Jongin sudah merambat ke bagian lehernya yang terlihat jelas walau sedikit tertutupi oleh rambut panjangnya.
Tangan Jongin meraba bagian tubuh Hani yang terbuka, membuat perempuan itu melenguh penuh gairah. Si pria hendak melepas kaitan bra yang telah dicapainya saat pandangan dua orang yang sedang bercumbu itu teralih paksa pada seseorang yang membuka pintu—shit, mereka lupa mengunci pintu—
—lalu berteriak histeris.
"What the fuck, man, masih untung tu cewek nggak pingsan." Ucap Sehun sesaat setelah menduduki bangku di depan Jongin.
Jongdae terkekeh, "Lagipula bagaimana bisa kalian lupa mengunci pintu?"
Jongin menyeringai geli sambil menjawab, "Sudah tak ingat lagi,"
"Dan, please, kalau mau berbuat mesum itu tahu tempat. Jangan asal,"
"Bukan aku yang mulai, dia yang mencegatku duluan."
"Dia tidak perlu lagi membuat ajakan duluan, orang yang akan langsung datang kepadanya, menawarkan diri dengan sukarela." Ucap Jongdae pada Sehun.
"Aku jadi penasaran seperti apa servismu," ucap Sehun gerah pada Jongin.
Jongin seketika melemparnya dengan sedotan di atas meja. "Jangan harap kau akan merasakannya, aku lebih baik mati." Seketika tawa jahil Sehun dan Jongdae meledak.
"Brengsek, kau pikir aku mau? Lebih baik aku perjaka seumur hidup," balas Sehun masih dengan sisa tawanya.
"Oh ya, omong-omong, ada yang mau menemaniku ke pusat perbelanjaan nanti sore?" tanya Jongin kemudian.
"Untuk apa?"
"Ada yang harus kubeli,"
Seketika kedua teman yang duduk di depannya kini saling lempar pandang. Lalu memasang cengiran bodoh.
"Nanti sore kami mau pergi ke bar langganan Sehun," cetus Jongdae.
Sontak Sehun membungkam mulut Jongdae dengan sebelah tangannya. "Tidak, bar langganan Jongdae, bukan Sehun."
Sesaat dua makhluk yang saat ini terlihat bodoh di depan Jongin saling berkelut, membuat Jongin jengah.
"Sudah, hentikan," Suara dingin yang menginterupsi kegiatan saling kelut mereka membuat pergerakan mereka seketika terhenti. "Aku bisa pergi sendiri,"
Cengiran bodoh kembali diberikan Jongdae, "Tak apa kan?"
"Iya," jawab Jongin.
Jongin memang jarang datang ke bar, karena dia kurang suka minum alkohol. Ia baru akan minum apabila sedang dilanda banyak masalah dan merasa depresi karenanya.
"Sekali-sekali ikut kita," kata Jongdae.
"Kalau aku ikut kalian artinya pertanda buruk,"
"Iya sih," balas Jongdae setuju. "Tapi kau tak perlu minum, dan kalau kau mau, kau bisa memesan minuman non alkohol. Walaupun agak lucu,"
"Lagipula di sana banyak yang bisa digoda, bahkan ditiduri," tambah Sehun tanpa memedulikan risiko ucapannya akan terdengar oleh orang lain.
"Lalu setelah itu isi dompetmu kosong," tambah Jongin kemudian. "Sebenarnya kalian bisa 'bermain' dengan murid di sini kalau kalian mau, kalian itu tampan."
Seketika Sehun mencondongkan tubuhnya lebih dekat seolah tidak ada seorang lainpun yang boleh mendengar ucapan yang akan dia lontarkan selanjutnya, kemudian berbicara dengan volume suara kecil kepada dua temannya. Sebenarnya, ucapan ini ditujukan lebih kepada Jongin.
"Jangan salah, meniduri orang bar dan murid sekolahan itu beda rasanya,"
"Betul!" Jongdae mendukung. "Murid sekolahan banyak yang belum mengerti, walaupun masih ada sih yang iya, malah sangat mahir."
Jongin memutar kedua bola matanya, mulai malas menanggapi topik pembicaraan kali ini.
"Sudahlah, aku kenyang. Aku duluan, bye!"
"Jongin!"
Jongin meniti langkahnya menyusuri lantai gedung yang super besar itu, setelah membeli barang yang dibutuhkannya, laki-laki itu memutuskan untuk membeli minum.
Ia memutuskan untuk tidak tetap tinggal di kafe sambil meminum ice choco mint miliknya dan memilih untuk meminumnya sambil berjalan dengan tujuan ingin langsung pulang ke rumah.
Jongin mengecek ponselnya yang sesaat lalu bergetar di tangannya, pesan dari Kris rupanya.
Saat sedang asyik membalas pesan, tanpa sengaja ia menabrak seseorang sehingga minuman di genggaman tangan kirinya tumpah mengenai baju kausnya.
Jongin terkejut melihat baju kausnya yang terkena cukup banyak cairan lengket berwarna coklat yang dua menit lalu berhasil menyegarkan tenggorokannya yang sedikit kering.
Namun ternyata reaksi orang yang menabraknya lebih terkejut lagi.
"Astaga! Maaf." Ucapnya panik.
Jongin hanya diam sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, ia juga bingung bagaimana caranya pulang dengan keadaan lengket seperti ini.
Orang itu menumburkan pandangannya ke kedua mata Jongin, merasa sangat bersalah sekaligus tidak enak.
"Ah, tidak apa," balas Jongin, tidak ingin memperpanjang masalah.
Orang itupun memencarkan seluruh perhatiannya ke sekeliling, ia merasa lega saat matanya menemukan sebuah toko pakaian.
"Akan kubelikan kaus baru, ayo," ajaknya sambil menggamit tangan Jongin.
"Ah, tidak usah," cegah Jongin sambil menahan pergelangan tangannya yang digamit oleh lelaki pendek di depannya.
"Tidak apa-apa, ayolah, aku sungguh merasa tidak enak." Ucap orang itu dengan perasaan bersalah. "Apa kau tidak lihat? Kausmu ketumpahan cukup banyak cairan,"
Jongin akhirnya diam—menuruti permintaan orang itu.
"Kau bisa pilih kaus mana yang kau mau," ucap orang itu saat mereka sampai di dalam toko.
Dengan cepat Jongin mengambil kaus berwarna putih yang di bagian dada sebelah kirinya terdapat lambang lingkaran dengan tulisan-tulisan tidak jelas berwarna hitam serta bagian belakangnya terdapat simbol-simbol yang tidak begitu dimengerti.
Jongin segera membawa dirinya—beserta kaus barunya—ke kamar pas. Tidak sampai setengah menit Jongin keluar dengan kaus putih yang melekat di tubuhnya.
Orang itu tersenyum kemudian menuju kasir untuk melakukan pembayaran, segera Jongin menyusul dan berdiri tepat di sebelahnya.
Sambil menunggu, mata orang itu menyusuri seisi toko, hingga pandangannya jatuh pada bagian tengkuk leher Jongin—agak ke bawah—dan terkekeh saat melihat label harga masih menempel pada kaus.
"Kau lupa melepas label harganya," ucap orang itu sambil tangannya terangkat. "Biar kulepas,"
Jongin tersengat saat jemari salah satu tangannya mengenai kulit tengkuk Jongin, begitu lembut dan dingin.
Hingga terdengar bunyi 'Crak!' barulah Jongin berhenti sedikit menundukkan kepalanya.
Orang itu tersenyum sambil mengayun-ayun label harga yang baru dilepasnya.
Sedetik Jongin merasa senyum laki-laki ini sangatlah lucu.
Setelah selesai melakukan pembayaran dan memasukkan kaus kotor Jongin ke dalam kantung plastik toko, mereka berdua keluar dari toko itu.
"Setelah ini kau mau kemana?" tanya orang itu.
"Oh, langsung pulang." Jawabnya, sedikit kaget ditanyai. "Kau?"
"Aku masih mau ke toko buku di lantai atas," jawabnya tanpa beban. "Kalau begitu, dah,"
Jongin membalas lambaian tangan orang itu dengan mengangkat salah satu telapak tangannya, dan sedikit membalas senyumnya.
Jongin mengembus napas lega, ia bisa pulang sekarang.
.
.
.
.
.
TBC
.
.
.
Author's Note: halo, daisywither ngepost fic lagi. Tolong disupport yaaa. Aduh sebenernya aku sama sekali ngga tau sama hal-hal berbau balapan, ini sama sekali ngarang. Ngarang banget. Jadi maaf kalo ada yg ngelantur karna aku emg nulis yg aku tau aja wkwk. Ini ff chaptered yg pertama kali kupost di sini, doain aja setiap chapternya bagus terus dan cepet selesai. Untuk kelanjutannya aku liat dari respon pembaca, kalo responnya lumayan, bakal kulanjut secepatnya. Kalau enggak, yaa...ngga tau deh. Mungkin kudelete aja kali ya? Jadi semuanya tergantung pada minat para pembaca ff ini^_^
.
.
.
Last, mind to review?
©daisywither
