standard disclaimer applied.


|| 0068 || 779910 || 217 || 61412 || 9488 ||

May, 11th 2012

"Hei, Bodoh! Kenapa kau memandang pemuda itu tanpa berkedip? Jangan-jangan kau benar menyukainya!" suara seorang pemuda dengan wajah cantik mengusik pemuda lain yang sedang duduk di sampingnya.

"Diamlah, Hyung!" Pemuda tampan yang dipanggil 'Bodoh' itu mendengus tanpa mengalihkan pandangannya dari sosok yang tengah duduk tak jauh darinya.

"Kau jangan berpikir untuk ingin memiliki dia, Kai. Dia tidak selevel denganmu." Pemuda lain yang berambut caramel bernama ChanYeol mencoba berpetuah sok bijak.

"Apa maksudmu?" Kali ini JongIn menoleh dan menatap ChanYeol.

"Dia itu mahasiswa beasiswa, Kai. Jelas tidak selevel denganmu yang memiliki Umma sebagai penyumbang terbesar di kampus ini."

"Aku tak peduli!" JongIn a.k.a Kai bangkit dan meraih tas yang tergeletak di belakangnya. Tak biasanya pemuda tinggi itu mengurusi hal seperti ini, kalau pemuda bernama LuHan itu sih biasa. Kemudian pemuda pemilik bola mata obsidian itu bangkit meninggalkan ChanYeol dan LuHan yang belum sepenuhnya sadar apa yang terjadi.

"Eh! Hei, Kim JongIn! Kau mau kemana?" teriak LuHan ketika JongIn sudah hampir sampai di depan.

"Bolos!" jawab JongIn singkat.

Sesaat langkah lebarnya terhenti di meja paling depan tepat di samping meja si mahasiswa beasiswa. Sepertinya ingin mengatakan sesuatu, namun sesaat kemudian pemuda berisik itu memilih melanjutkan langkah setelah pemuda itu menatapnya dengan wajah heran.

"Aneh!" ucap LuHan pelan. Sementara ChanYeol hanya mengangkat bahu dan kembali telungkup di meja dan mulai memejamkan matanya.

JongIn keluar dengan memainkan kunci mobil di tangan kanannya. Diabaikannya tatapan teman-temannya yang menatap setiap langkah pemuda tampan itu.

Kim JongIn.

Siapa pun pasti tahu dengan sosok pemuda tampan nan kaya bermarga Kim itu. Pemuda misterius yang sekejap merebut posisi salah satu makhluk populer di Universitas Seoul, sejak kepindahannya dari UK, sebulan yang lalu. Tapi, tak seorang pun tahu kecuali LuHan dan teman-teman sekelompoknya di Perfect Boys, bahwa pemuda yang nyaris sempurna itu memendam rasa terhadap Do KyungSoo. KyungSoo, mahasiswa pendiam nan pintar berambut magenta yang notabene adalah mahasiswa beasiswa, singkatnya adalah mahasiswa dari kalangan bawah.

Namun, teman-temannya pun juga tak mengerti alasan JongIn bisa suka bahkan terobsesi dengan pemuda itu. Otak miring para pemuda kaya itu pun mulai berpikir KyungSoo memakai jimat pemikat.

Oke, mereka mengakui KyungSoo memang pintar, pendiam, dan baik hati. Mungkin imut juga, walau tidak dalam kategori tampan. Tapi, sekali lagi, KyungSoo bukan pemuda high class seperti mereka. Teramat sangat aneh JongIn yang merupakan pemuda terkaya di antara Perfect Boys –dan paling sering meremehkan kaum lower class jatuh cinta, ah bukan, JongIn terobsesi dengan pemuda itu. Jimat apa yang KyungSoo pakai, sampai-sampai pangeran seperti JongIn yang telah menolak putri tunggal rektor di Seoul University dan juga belasan gadis itu begitu mudah jatuh cinta pada Do KyungSoo. Mereka memang tidak tahu sejak kapan pemuda yang biasanya ceria dan berkharisma itu mendadak menjadi pendiam dan mulai menatapi sang mahasiswa beasiswa seperti induk macan yang takut anaknya lepas dari pengawasannya dan hilang.

Tapi, JongIn sendiri mengakui, mendapatkan pemuda itu tidak mudah. Sulit, dan teramat sangat sulit. Bagi JongIn, ia terlihat begitu tinggi dan bahkan untuk sekedar menyapanya. Padahal ia terkenal sebagai pemuda yang ramah. Tapi, tatapan pemilik iris hazel teduh itu selalu bisa membuat JongIn terdiam, menembus ke dalam lautan black hole di matanya, mengobrak-abrik isi kepalanya. Senyumnya pun mampu membuat JongIn serasa ingin bersimpuh di hadapan pemuda itu. Menukar apa pun demi sepotong tawanya. Gerak-geriknya, tingkah lakunya saat berjalan, bercanda dengan teman-temannya, bertanya pada sang dosen, semua itu bagaikan film yang tak ingin JongIn lewatkan barang per-scene. Semua menarik, memikat, dan menghipnotis.

Tak ada yang mengerti tentang semua kegilaan ini.

Ya, teman-temanya memang tidak mengerti. Cukup dia sendiri. Cukup JongIn sendiri yang mengerti alasannya memberi rasa istimewa kepada pemuda itu. Mungkin suatu saat KyungSoo juga akan mengerti.

Langkah JongIn terhenti di samping Ferrari merah miliknya. Dia tak segera memasuki mobil mewah itu dan memilih berdiri di samping pintu kemudi dengan tangan di saku celana dan kaki kanan terlipat ke belakang. Semilir angin menggoyangkan beberapa helai rambutnya yang menutupi dahinya. Obsidian-nya menerawang, berharap satu ilham jatuh memberinya jalan untuk menuntaskan kegilaan ini.

Kegilaan yang menyiksa namun sangat dinikmatinya.

"Aku agak heran, sepertinya Pangeran Kim yang misterius itu akhir-akhir ini selalu memerhatikanmu…" Seorang pemuda berlesung pipi membuka percakapan baru, sesaat setelah JongIn berjalan di samping tempat mereka ngobrol.

"Itu hanya perasaanmu saja. Lagipula kurang kerjaan sekali Pangeran Sombong itu memerhatikanku." KyungSoo menimpali. "Dia memerhatikanku juga tak ada pengaruhnya buatku."

Tak akan mengubah apa pun.

"Terserah kaulah." Si pemuda berlesung pipi bernama Lay mengangkat bahu, pasrah.

KyungSoo tak peduli dan tak berniat untuk memperpanjang topik yang dikeluarkan si Dimple.

Do KyungSoo.

Pemuda berambut warna magenta yang tengah duduk dan bercanda dengan teman-temannya. Sesekali temannya yang sama-sama bertubuh mungil melemparkan guyonan yang membuat pemuda itu mengulum senyum dan kadang tertawa. Ia terlihat paling berbeda dengan teman-temannya. Ya, pemuda manis itulah obsesi sang Pageran Kim. Pemuda berpenampilan sederhana yang kadang membuat dosen terdiam saat ia meyatakan teori dan argumennya dengan lugas, telak, dan masuk akal. Pemuda yang lebih suka berkutat dengan bentodan diktat saat teman-temannya berbondong-bondong ke kantin. Pemuda yang sibuk dengan buku memasak saat teman-temannya memamerkan komputer tablet baru.

Sosok itu, Do KyungSoo.

"KyungSoo-hyung!"

Seseorang memanggilnya ketika pemuda itu tengah asyik mendengarkan lelucon dari JongDae.

KyungSoo menoleh dan melihat SeHun, yang ia ketahui salah satu anggota dari Perfect Boys berjalan ke arahnya.

"Ne? Ada apa, SeHunie?" KyungSoo bertanya ramah.

"Bisa tolong kau sampaikan ini pada JongIn?" SeHun menunjukkan satu buku tebal pada KyungSoo. "Dia baru saja bolos, dan lupa bahwa tugas untuk besok pagi ada di buku ini."

KyungSoo mengernyit heran, "Kenapa harus aku? Lagipula aku tidak tahu ada di mana JongIn sekarang…"

"Ayolah, Hyung. Dia pasti masih di sekitar tempat parkir. Belum keluar dari wilayah sini," ucap SeHun memohon. "Aku harus mengerjakan tugas untuk jam ke dua nanti."

KyungSoo hanya berpandangan heran dengan Lay yang terdiam di sampingnya.

"Ne?" SeHun menyerahkan buku itu pada KyungSoo—nyaris mengeluarkan aegyo-nya.

Perlahan KyungSoo bangkit dan menerima buku itu.

"Baiklah. Rasanya tidak salah kalau aku membantumu," ucap KyungSoo seraya mulai berjalan. "Tapi, aku tetap tak mengerti kenapa kau memintaku."

"Gomawo, Hyung!" ucap SeHun senang.

"Hei, Kau!" suara seseorang yang sempat terlupakan oleh SeHun terdengar beberapa saat setelah KyungSoo lenyap dari pandangan.

"Kau memanggilku?" SeHun bertanya dan memandang pemuda bernama Tao itu.

"Ya, Tuan Oh. Aku memanggilmu!" Tao berucap sambil menatap SeHun.

"Ada apa?"

"Aku yang seharusnya bertanya 'ada apa'. Ada apa di balik tujuanmu menyuruh KyungSoo menyerahkan buku itu pada JongIn. Kau 'kan bisa menyerahkannya sendiri," ucap Tao tajam.

SeHun hanya melengos mendengar pertanyaan pemuda bermata panda di depannya.

"Itu bukan urusanmu. Lagipula sedikit bersenang-senang rasanya asyik juga," ucap SeHun seraya berbalik meninggalkan Tao.

"Yah! Apa maksudmu?" teriak Tao keras.

Percuma. Pemuda itu hanya melambaikan tangan sebagai jawaban dia tak peduli atas kata-kata Tao.

'Sial!' umpat Tao dalam hati.

"Pangeran Sombong!"

JongIn sudah hampir menyalakan mobilnya ketika sebuah teriakan menahan gerakannya.

Panggilan itu. Tak ada yang menjulukinya dengan panggilan itu kecuali satu orang, si namja beasiswa.

Dibukanya jendela yang tepat di sampingnya. Matanya mencari sosok yang memanggilnya dan akhirnya menemukan KyungSoo yang terengah berlari ke arahnya dengan buku teracung-acung di tangannya.

"A-ada apa, KyungSoo-hyung?" JongIn gugup sendiri ketika melihat pemuda itu di samping mobilnya. KyungSoo setengah membungkuk di samping JongIn, mencoba mengatur napas sebelum menjawab pertanyaan pemuda di dalam mobil.

"Ini," KyungSoo menunjukkan buku di tangannya,"kau meninggalkan buku ini. Bodoh. Bukankah tugasmu besok di sini!"

JongIn terdiam menatap KyungSoo yang masih berdiri di sampingnya.

"Hei, Kim JongIn!" KyungSoo mengibas-ibaskan tangannya di depan wajah JongIn yang terpaku menatapnya.

JongIn tersadar dengan wajah merona, "Ah. Iya bu-buku. Gomawo, ne."

Diraihnya buku dari tangan KyungSoo dengan gugup.

Segera ia mengalihkan tatapannya pada buku tebal itu.

"Kau ceroboh sekali meninggalkan buku itu di kelas," omel KyungSoo tanpa sadar. "Tapi sudahlah. Aku harus kembali ke kelas."

Pemuda itu segera berbalik meninggalkan JongIn yang masih terbengong menatap buku di tangannya. JongIn tak menyadari berapa lama KyungSoo telah pergi, dia hanya menggelengkan kepalanya setelah mengamati buku itu baik-baik.

"Apa KyungSoo lupa, kita kan tidak ada tugas dari buku ini," bisik JongIn pelan.


April, 01st 2012

Jam menunjukkan pukul satu tepat ketika KyungSoo ikut para mahasiswa berbondong-bondong keluar dari ruang kelas yang baru saja menyita waktu mereka selama tiga jam penuh.

Pemuda itu bergegas berjalan ke arah tempat parkir sepeda, sesekali tubuhnya menyenggol mahasiswa lain yang juga tengah bergerak ke arah parkir. Parkir mobil tentunya.

Para mahasiswa elite itu tentu lebih memilih menikmati memacu mobil mahal daripada berpanas-panasan dengan sepeda.

Benar saja, tempat parkir sepeda itu nyaris kosong, hanya ada beberapa sepeda yang terparkir di dalamnya.

KyungSoo tak ingin menyiakan waktu dan segera mengeluarkan sepedanya.

Dikayuhnya pelan-pelan kendaraan ramah lingkungan itu. Sesekali tangannya menyeka peluh yang lancang meluncur ke wajah putihnya.

'Tinnnn!'

Suara klakson yang kencang membuat KyungSoo sejenak kehilangan keseimbangan. Sepedanya oleng sebelum akhirnya ia mampu mengendalikannya dan berhenti. Wajahnya menoleh untuk melihat siapa pelaku yang hampir membuatnya terjatuh.

Sebuah sedan metalik berhenti tepat di sampingnya. Jendela penumpang yang terbuka memperlihatkan seraut wajah milik Kim JongDae.

"Butuh tumpangan?" JongDae nyengir menatap KyungSoo yang bengong di samping sepedanya.

"Kau tidak lihat aku bawa sepeda?" KyungSoo menatap JongDae dengan wajah cemberut.

"Hahaha betul juga," kekeh JongDae melihat wajah ekpresi wajah KyungSoo, "kalau begitu nanti telepon aku kalau kau ke rumah sakit. Oke."

Tanpa menunggu jawaban KyungSoo, JongDae segera melajukan kembali sedan itu meninggalkan KyungSoo yang terbatuk mendapat sisa polusi dari mobil itu.

KyungSoo memarkir sepedanya dan segera bergegas memasuki café mewah di depannya. Dibukanya pintu belakang pelan, dan melangkah menuju tempat ganti waitress.

Dia tidak ingin terlambat. Pekerjaan ini sangat berarti baginya. Sangat berarti.

"KyungSoo-sshi, besok adalah hari terakhir Anda memutuskan hal ini. Karena jika tidak segera melakukan operasi… nyawa ibu Anda, tidak akan tertolong," suara seseorang yang mengenakan jas putih khas dokter di atas kemeja biru langitnya seolah menjadi meriam yang seketika meremukkan hati KyungSoo. "Dan operasi adalah jalan satu-satunya."

KyungSoo tentu saja tidak ingin kehilangan ibunya. Siapa anak yang ingin kehilangan ibunya?

"Ta-tapi, Dokter…" ragu-ragu KyungSoo ingin mengungkapkan sesuatu.

"Kami mengerti. Sebenarnya kami bisa saja meniadakan biaya dokter dan rumah sakit selama ini. Tapi, alat operasi dan obat-obatan… kami tidak bisa…" ucap sang Dokter dengan nada prihatin.

"Iya, saya mengerti, Dokter…" jawab KyungSoo lemah.

"Bukan maksud kami memaksa Anda. Tapi, saya harap besok Anda sudah menandatangani surat kesediaan melakukan operasi. Ini menyangkut nyawa ibu Anda."

"Baik, Dokter…"

"Dua ratus juta…" desah KyungSoo pelan di sela-sela kegiatannya menyusun gelas-gelas untuk tamunya. Walau jemarinya bergerak lincah, pandangan pemudaitu sayu, teramat sangan sayu. "Bagaimana bisa aku mendapat uang sebanyak itu… hari ini?"

Sangat tidak mungkin mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu sehari. Bahkan tabungannya pun tak ada sepersepuluh dari uang tersebut.

Bagaimana ini?

"Hei, KyungSoo-hyung!" sebuah panggilan membuat pemuda itu tersadar dari lamunannya dan menoleh ke arah pintu. Dilihatnya sosok yang memanggilnya, TaeMin, teman sekerjanya, tengah melongokkan kepala ke arahnya.

"Ya, ada apa?" KyungSoo mengangkat alisnya.

"Kau dipanggil Direktur," jawab TaeMin pelan seraya mengedipkan mata.

"A-apa? Direktur ke sini?" tanya KyungSoo kaget.

"Iya. Aku sendiri juga heran. Tidak biasanya Direktur datang ke sini mendadak seperti ini." TaeMin mengedikkan bahunya. "Cepat, Hyung. Temui Direktur!"

"A-ah i-iya. Aku segera ke sana!" KyungSoo segera melepas sarung tangannya dan tergesa menemui sang Direktur.

"Hanya aku yang dipanggil?" tanyanya pada TaeMin yang masih berdiri di luar pintu.

TaeMin hanya mengangguk sebagai jawaban. Tanpa bertanya lebih lanjut KyungSoo segera mempercepat langkahnya.

Satu pertanyaan terngiang dalam kepalanya.

Kenapa Direktur memanggilnya?

KyungSoo menunduk, tak berani menatap wajah sang Direktur di depannya.

Jung SooJung a.k.a Krystal, direktur kaya yang masih cantik mengingat usianya yang tidak jauh berbeda dengan KyungSoo. Café tempat KyungSoo bekerja ini pun hanya sebagian kecil dari usahanya. Berbagai café, dan rumah-rumah real estate miliknya tersebar di dalam dan di luar negeri.

Krystal juga terkenal sebagai pengusaha yang dermawan. Puluhan panti asuhan telah mendapat uluran tangannya.

Sosok cantik ini benar-benar sempurna. Mungkin jika mencari kekurangan, hanya satu; tak pernah ada yang melihat sang Direktur ini bersama seorang pria.

"Jadi, bagaimana, KyungSoo-sshi?" pertanyaan Krystal memecahkan keheningan yang sesaat mengalun di antara mereka.

"Sa-saya… tidak bisa menerimanya. Apa lagi jumlah itu terlalu banyak," jawab KyungSoo pelan.

"Kalau begitu, kau bisa anggap ini pinjaman. Jadi kau tidak merasa berhutang budi padaku," bujuk Krystal lagi.

"Tapi, saya juga takut. Saya takut jika saya nanti tidak bisa mengembalikan uang tersebut." KyungSoo meremas tangannya dengan gelisah.

Krystal tersenyum kecil mendengar jawaban pemuda di depannya.

"Nyawa ibumu lebih penting dari semua ini, bukan? Yang harus kau pikirkan sekarang adalah nyawa ibumu," ucap Krystal bijak.

"Tapi…"

Keraguan dan bayangan ibunya yang tengah tergolek lemah melawan maut di ruang ICU berputar-putar dalam kepalanya bagai kaset rusak.

Ditambahi dengan perkataan dokter yang seolah memaksanya untuk melakukan operasi itu. Tapi, operasi memang jalan satu-satunya. Dokter hanya menyarankan.

"Baiklah, begini saja, KyungSoo-sshi," Krystal berucap seraya memperbaiki posisi duduknya, "kalau kau tidak mau menerima uang ini sebgai pinjaman atau pemberian, aku akan mengulangi lagi saja tawaranku yang kemarin. Dan kali ini aku tidak ingin mendengar kalimat penolakan darimu, KyungSoo-sshi. "

"Eh?" KyungSoo menatap Krystal terkejut.

Caramel-nya segera bertemu dengan mata sang Direktur yang menatapnya lembut.

Apakah ini jalan terbaik?

Do KyungSoo. Nama yang indah, teramat indah untuk pemuda pendiam. Garis bibir yang selalu tertarik membentuk satu garis melengkung, senyum, senyum yang selalu terukir di wajahnya.

Namun garis hidup yang diberikan sang takdir tak seindah saat tubuh itu berpijak di atas bumi. Tak selurus jalan raya yang selalu ia lalui.

Tikungan. Banyak tikungan tajam yang selalu ada di depan matanya. Tikungan terjal yang mungkin saja bisa menghentikan langkahnya.

Terlahir di tengah keluarga sederhana tak membuat KyungSoo menjadi pemuda yang manja.

KyungSoo tumbuh menjadi sosok yang kuat. Yang berusaha untuk berdiri di atas kakinya.

Pemuda yang hanya mengenal sang Ibu ini, sekarang berjuang mati-matian, sejak ibunya jatuh sakit dan tak mampu untuk bekerja lagi.

Ya, sang ibulah yang mampu membuatnya tersenyum, saat ia terpaksa harus menangis. Sang ibulah tongkatnya, saat ia terjatuh tanpa ampun dalam lelah pada sang hidup.

Tapi kini, sang Ibu sedang tak sadarkan diri di rumah sakit.

Saat sang Ibu berjuang melawan maut, saat inilah ia berjuang melawan harga diri.

Nyawa ibunya, lebih berarti dari apa pun. Sekuat-kuatnya KyungSoo bertahan, ia tetap pemuda kecil yang membutuhkan sang Ibu saat sang takdir mempermainkannya dengan begitu kejam.

Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul tiga tepat, saat pemuda itu berjalan setengah berlari menuju kamarnya di lantai dua, apartemen sederhana di pinggiran kota. Tas selempamg yang bergelayut pada bahunya bergoyang seirama langkahnya.

Setelah melewati dua kamar yang tertutup, ia sampai di kamarnya sendiri. Kamar dengan sebuah pintu yang bercat biru kusam, beberapa bagiannya bahkan sudah terkelupas. Namun, sebelum tangannya sempat membuka pintu dengan kunci yang tergantung di tangan kanannya, matanya menangkap sebuah kertas memo terselip di bawah pintu. Sedikit menelengkan kepalanya, KyungSoo membungkuk untuk meraih memo itu.

Sebuah tulisan tangan yang sangat dikenalinya, tergores rapi di kertas memo kecil itu.

Aku tahu kau tidak sempat makan atau memasak. Kutinggalkan makanan di atas meja. Kau bisa membawanya, dan memakannya di rumah sakit.

Membaca memo singkat itu senyum terukir di bibir ranum KyungSoo.

Memo itu dari tetangganya, yang tinggal tepat di kamar yang ada di samping kamarnya.

Tetangga yang baik hati.

Tanpa membuang waktu, KyungSoo segera tersadar untuk masuk ke kamarnya, dan terbang ke rumah sakit. Ibunya menunggunya di sana.

"Saya yakin kau akan datang, KyungSoo-sshi," ucap seorang dokter yang kini tengah duduk di depan KyungSoo.

"Saya tak akan membiarkan Umma saya begitu saja, Dokter," jawab KyungSoo setelah meletakkan ballpoin yang baru saja digunakannya untuk menggoreskan tanda tangan kesediaan untuk melakukan operasi.

Dokter berambut ebony itu tersenyum ramah mendengar ucapan KyungSoo.

"Kau memang namja yang luar biasa," pujinya dengan tulus. "Operasi akan dilakukan dua hari lagi. Terima kasih atas kerjasamanya."

Dokter itu segera menjabat tangan KyungSoo setelah membereskan berkas-berkas di meja dan memasukkannya ke dalam sebuah map.

"Kamsahamnida. Dokter," ucapan KyungSoo lebih seperti sebuah panggilan.

"Ne?" respon Dokter itu ramah. Ia menatap KyungSoo dengan sepasang onyx miliknya.

"Sembuhkan Umma saya…"


May, 22nd 2012

Seoul, di malam-malam terakhir musim semi.

Malam mengelam.

Tak terlihat cahaya di balik awan hitam yang menutup langit.

Kontras dengan semua itu, sebuah rumah besar bak istana dalam dongeng bercahaya redup di tengah malam.

Istana yang tengah menyembunyikan sang pangerandi dalamnya. Pangeran yang setampan Romeo.

Sang pangeran yang kini tengah berkutat dengan peralatan makan di tangannya.

KyungSoo menata meja makan. Beberapa peralatan makan mewah tersentuh oleh jemari porselennya.

Walaupun menyiapkan makan malam seperti ini sudah menjadi kebiasaannya, namun tak ayal rasa gugup sedikit melandanya.

"KyungSoo-hyung?"

KyungSoo baru saja mengambil mangkuk untuk puding coctail sebagai dessert nanti ketika sebuah suara yang sangat familiar di telinganya, mendadak menyentuh gendang telinganya. Memanggil namanya, yang segera membuat gerak tanpa melalui otak tercipta. Kepalanya menoleh, dan menemukan sosok itu…

Wajah tampan.

Kulit eksotisnya. Mata sewarna permata onyx yang sendu namun menusuk.

"K-Kai…" desah KyungSoo tergagap.

"Kau, kenapa kau ada di sini?" tanya JongIn dengan wajah bingung dan terkejut yang begitu kentara.

"Aku…" KyungSoo meletakkan mangkok di meja, dan menunduk. Entah kenapa dia mendadak kehilangan kata. "Kau sendiri kenapa juga ada di sini, JongIn?"

JongIn mengernyitkan dahinya. Aneh rasanya mendengar KyungSoo memanggilnya 'JongIn'. "Ini 'kan rumahku…" jawabnya singkat. "Rumah umma-ku lebih tepatnya…"

"Eh?" KyungSoo mengangkat wajahnya dan menatap JongIn. Terkejut.

"KyungSoo-oppa."

Lagi-lagi sebuah suara yang memanggil namanya menyadarkan KyungSoo di mana ia berada sekarang. Dilepas pandangannya dari JongIn di depannya dan menatap Krystal yang baru muncul di ruang makan, menarik sebuah kursi dan duduk.

"Ini seseorang yang ingin aku kenalkan padamu, Oppa." Krystal menatap keduanya bergantian. "Kalian sudah berkenalan?"

"Baru saja. Benar 'kan, Hyung?" JongIn berkata dengan suara aneh.

Sementara KyungSoo hanya menunduk dan menjawab lemah, "…ne."

Setelah semuanya duduk, Krystal kembali menatap KyungSoo yang kini tak berani lagi untuk sekedar mengangkat wajahnya.

"Jadi, KyungSoo-oppa. JongIn ini adalah anakku. Anakku satu-satunya," pandangannya kini beralih pada JongIn yang ada di sampingnya, "dan JongIn, ini adalah KyungSoo. Suamiku."

Deg.

Mendadak ekpresi terkejut melanda wajah JongIn lagi dengan telak. Ditatapnya Krystal tak percaya.

"EH? Su-suami?"

Krystal tersenyum kecil sambil menatap KyungSoo, "Ya suamiku. Mungkin agak canggung, tapi mulai sekarang kau harus memanggil KyungSoo… 'Appa'…"

"Kaubercanda!" JongIn tercekat. Obsidian-nya menatap obsidian Krystal tak percaya.

"Aniyo. Aku serius, JongIn," jawab Krystal, matanya membalas tatapan JongIn lembut. "Mianhae tidak memberitahumu. Aku tidak ingin mengganggu kesibukanmu di Inggris."

"Ck. Kau memang egois. Bahkan kau tidak memikirkan perasaan Appa," ucap JongIn sinis.

" Appa-mu sudah meninggal, JongIn. Dan kurasa kau sudah cukup dewasa untuk bisa menerima hal ini dengan kepala dingin," ucap Krystal tegas.

'Brak'

JongIn berdiri dan menggebrak meja, membuat KyungSoo yang dari tadi terdiam mendadak terlonjak karena terkejut.

"Kau ibu yang egois." JongIn mendorong kursinya ke belakang seraya berdiri dan meninggalkan meja makan. "Padahal gara-gara kau juga Appa meninggal," ucapnya terakhir kali sebelum bayangannya menghilang di balik pintu.

Sepeninggalan JongIn, keheningan pun mengalun pelan melanda pasangan suami istri itu.

Pagi telah tiba.

Sang surya ceria menatap atom-atom yang bergerak-gerak di bawahnya. Sinar cerahnya menerobos jendela-jendela tinggi di dapur.

Krystal menyiapkan sarapan.

KyungSoo masih berpakaian di kamar.

JongIn melintas di ruang makan tanpa menoleh. Kaosnya basah. Ia baru selesai berolahraga.

Krystal menyiapkan sandwich dan omelete. KyungSoo lebih suka omelete. Sandwich disiapkan Krystal untuk JongIn.

Tak lama, KyungSoo muncul di ruang makan. Ia kelihatan segar dan rapi. Krystal menarik sebuah kursi dan membuka-buka surat kabar pagi.

"Sandwich atau omelete?" Krystal memandang suaminya.

"Omelete saja…" KyungSoo sejenak mengalihkan pandangannya. Krystal meletakkan sepiring omelete dan segelas air putih.

"Gomawo…" KyungSoo tersenyum menatapnya.

JongIn datang tak lama kemudian dan mengucapkan 'selamat paginya' dengan kaku.

Tak ada yang memulai pembicaraan. KyungSoo lebih banyak menunduk. Sementara JongIn biasa-biasa saja. Kejadian semalam masih mempengaruhi KyungSoo.

Krystal melirik jam di pergelangan tangannya, hampir jam delapan.

"Oh, aku lupa ada janji dengan Tuan Yong Ha jam sembilan!" serunya terkejut.

Krystal menghabiskan sarapannya, meneguk air putihnya lalu bergegas bangkit.

KyungSoo mengikutinya.

"Aku berangkat dulu." Krystal menepuk bahu JongIn pelan yang hanya direspon JongIn dengan desahan malas.

"Aku pergi dulu, Oppa."

Krystal mengecup dahi KyungSoo lembut dan melambaikan tangan sebelum mobilnya meninggalkan halaman.

JongIn masih asyik menikmati sarapannya ketika KyungSoo kembali ke ruang makan. KyungSoo meneruskan makan. Masih ada potongan omelete di piringnya.

JongIn menghentikan suapannya sejenak ketika KyungSoo masuk.

Obsidian- nya memandang KyungSoo tajam. KyungSoo menghindari tatapan JongIn, menunduk. KyungSoo baru mulai menyuap ketika JongIn tiba-tiba berbicara.

"Bagaimana, KyungSoo-sshi, senang tinggal di sini? Menjadi Tuan Kim menyenangkan, bukan?"

KyungSoo tercekat. JongIn masih memandangnya sinis.

"Berapa kau dibayar untuk melayani Krystal? Sepuluh juta? Lima belas juta? Ayolah, Hyung, jangan pura-pura… untuk itu 'kan kau menikah dengan Krystal? Uang! Pasti dia tidak bisa membahagiakanmu. Ck, kasihan sekali!" JongIn menggelengkan kepalanya mengejek.

Keterlaluan sekali! JongIn benar-benar keterlaluan dan tidak menghargainya.

"Namja yang menyedihkan! Menjual diri demi uang!" kata-kata JongIn semakin menusuk.

KyungSoo merasa tersinggung. Wajahnya merah menahan marah.

"Cukup, Kim JongIn!" sentaknya. "Kau tidak berhak mengejekku seperti itu! Mungkin aku bukan namja baik-baik di matamu. Tapi di mana kau saat Umma-mu menghabiskan malam yang sepi di rumah ini selama bertahun-tahun? Ke mana kau saat ia terus dihantui perasaan bersalahnya padamu, dan berharap kau bisa memaafkannya dan menerimanya secara dewasa? Di mana, Tuan Besar? Bersembunyi dan melarikan diri dari kenyataan seperti seorang pengecut!" sentak KyungSoo tajam.

JongIn terpana. Ia tidak menyangka KyungSoo akan bereaksi seperti ini. Ia belum sempat berkata apa-apa saat pemudaitu mengangkat piringnya dan berlalu.

KyungSoo tergesa memasuki kamarnya.

Air matanya hampir runtuh. Ia tidak ingin menangis di depan JongIn. Dia tidak ingin lemah di hadapan pemuda itu. KyungSoo duduk di tempat tidur. Dadanya terasa sesak. Namja itu merasa terhina dengan perkataan JongIn.

"Uang! Untuk itu 'kan kau menikah dengan Krystal?"

Suara JongIn yang sinis dan sorot mata yang biasanya lembut namun sekarang berubah menusuk itu kini terbayang. Seperti itukah aku di mata, JongIn-hyung?

Sosok namja materialistis yang menjual dirinya demi uang.

Aku memang menikah untuk mendapatkan uang supaya bisa menyembuhkan umma-ku. Tapi bukan berarti dia boleh menghinaku dan menganggapku seperti namja murahan.

Kemarahan itu bergolak lagi. Sebenarnya ia ingin sekali menampar pemuda tampan itu. Tapi KyungSoo masih bisa mengendalikan diri. Ia tidak ingin memperburuk hubungannya dengan JongIn.

KyungSoo menarik napas panjang beberapa kali.

Berusaha menenangkan diri.

Kemarahannya mereda.

Ia bangkit dan berjalan menuju kamar mandi.

Kuliah dimulai jam sepuluh pagi ini. KyungSoo tidak ingin terlambat. Sore nanti dia harus ke rumah sakit menengok ibunya. Setelah tidak bekerja di café itu, KyungSoo lebih punya banyak waktu untuk sang Ibu.

Samar-samar KyungSoo mendengar pintu gerbang terbuka dan suara mesin mobil menderu. JongIn pergi, mungkin duluan ke kampus.

Di ruang kelasnya, KyungSoo lebih memilih memandang bentuk-bentuk awan di luar jendela. Sang dosen tidak ada, sama halnya dengan JongIn yang tidak terlihat batang hidungnya dari tadi.

KyungSoo mendesah pelan. Teman-temannya sibuk ngobrol di tengah ruangan, sementara KyungSoo memilih berdiam dan menjauh dari mereka.

Kata-kata JongIn tadi pagi terus bermain-main di benaknya.

"Berapa kau dibayar untuk melayani Krystal?"

Kalimat JongIn menohoknya telak.

"Pasti Umma tidak bisa membahagiakanmu!"

KyungSoo resah. Memang ada masalah dalam hubungannya dengan suaminya.

Hampir dua bulan menikah, mereka tidak pernah berhubungan intim. Ya, Krystal memang belum pernah menyentuh KyungSoo. Yang mereka lakukan hanya sekedar pelukan, tidur bersama, dan kecupan. Tak lebih.

Bayangan malam pertama setelah menikah menari-nari dalam kepala KyungSoo.

Malam itu…

Mengapa ia harus terpengaruh dengan ucapan JongIn?

KyungSoo memejamkan matanya semakin rapat. Mencoba membuang jauh-jauh perasaan buruk itu dari otaknya.

'Drttt' getaran handphone-nya menyadarkan KyungSoo.

Pemuda itu tergagap mencari benda mungil kesayangannya.

Dibukanya benda yang bergantungan bintang perak kecil itu.

Nomor tak dikenal.

"Selamat siang," suara seorang laki-laki terdengar dari seberang.

"Selamat siang," jawab KyungSoo gugup.

"Benar ini Tuan Do?"

KyungSoo melirik sekelilingnya berharap tidak ada yang mendengar panggilan laki-laki yang sedang meleponnya. Selamat. Suara gaduh cukup untuk menyamarkan suara teleponnya.

"Iya, saya sendiri. Dengan siapa ini?" KyungSoo merasa sebuah perasaan aneh perlahan menyelinap dalam hatinya.

"Tolong segera ke rumah sakit. Umma Anda, Tuan Do—"

"Ada apa dengan umma saya?"

"Do-sshi mendadak kondisinya memburuk dan tidak sadarkan diri. Beliau dalam keadaan kritis. Anda harus ke sana sekarang."

Deg.

Mendadak beban berton-ton serasa menghantam kepala KyungSoo telak. " "Umma …"

Onyx pemuda tampan itu tak lepas dari pemudayang tengah telungkup di sisi ranjang seseorang yang tengah ditutupi kain putih. Tak ada suara di antara mereka kecuali isak tangis lirih pemuda mungil itu. Waktu seolah berjalan lambat. Memberi kesempatan pada pemuda yang tak lain adalah KyungSoo untuk lebih lama menangisi sang Umma yang kini terdiam tak bernyawa.

Di sisinya Krystal mencoba menenangkannya.

Berbanding terbalik dengan JongIn yang hanya mampu menatap tak bersuara. Pemuda itu tentu sangat ingin menggantikan Krystal menenangkan KyungSoo. Memeluk pemuda yang terlihat sangat rapuh. Sangat ingin. Namun ia tahu, bukan tempatnya melakukan semua itu. Beruntung kesadaran masih menyertainya, walau ia sempat putus asa melihat sosok KyungSoo yang begitu terluka dan kehilangan.

Upacara pemakaman baru saja usai.

KyungSoo telah kembali ke mansion besar JongIn.

"Hyung—!"

"Kau senang 'kan sekarang?!" KyungSoo menyambut pemuda yang tengah memasuki kamarnya dengan kata-kata tajam.

"Aku…"

"Bagaimana? Bukankah sekarang ejekan untukku sudah begitu sempurna, Kim JongIn?" KyungSoo menangis. Tetes air mata terlihat jelas di pipi pucat pemuda itu. JongIn terdiam. Dia sungguh tak mengira jika kedatangannya akan disambut dengan kata-kata setajam ini.

"Aku hanya ingin minta maaf, Hyung," ucap JongIn lirih. Ditatapnya KyungSoo yang tengah membelakanginya, nanar.

"Maaf? Maaf untuk apa? Kau pikir dengan maafmu, Umma-ku akan hidup kembali?!"

"Do KyungSoo!" JongIn tercekat. "Bukan aku yang membunuh Umma-mu."

"Kalau begitu berhentilah memandang rendah diriku, Kim JongIn." KyungSoo berbalik, iris caramel berair pemuda itu menantang iris onyx JongIn tajam. "Kau yang tidak pernah merasakan kehilangan mana mengerti perasaanku, Bodoh!"

JongIn menahan napas. Kesabarannya habis sudah.

"Aku sama sepertimu! Aku juga kehilangan kedua orang tuaku! Dan Krystal bukan ibu kandungku! Asal kau tahu itu, Do KyungSoo!" Napas JongIn memburu. Ia tak mengira jika pada akhirnya akan membuka luka yang ia sembunyikan mati-matian pada pemuda di depannya.

"Kita berbeda! Kau yang tidak mengenal orang tuamu sejak kecil mana tahu perasaanku!" KyungSoo bersikeras.

JongIn tersenyum getir.

"Bukankah dalam hal ini kita sama? Kita sama-sama kehilangan orang tua. Namun kau lebih beruntung, Hyung. Kau sempat merasakan bagaimana memanggil mereka Umma dan Appa. Kau sempat merasakan berjuang untuk mereka." JongIn berjalan mendekat ke arah jendela tinggi yang ada di kamar KyungSoo. Tangan berkulit eksotisnya mengusap pelan kaca jendela yang memburam. "Bagaimana denganku…? Yang bahkan tidak sempat memanggil mereka Umma dan Appa?!"

KyungSoo terdiam. Air mata masih mengalir di pipinya. Hanya saja ia tak tahu darimana dan kenapa air mata itu tak mau berhenti… Ada rasa kasihan menyeruak dari dalam dirinya. Sebuah rasa yang bertarung mati-matian dengan keegoisannya. Dan kata-kata JongIn berikutnya mengejutkannya.

"Aku menyukaimu, Do KyungSoo. Sejak pertama melihatmu. Jeongmal saranghae…"

JongIn berbalik dan matanya kembali bersiborok dengan caramel basah KyungSoo.

"Dan kau pikir aku tidak merasa gila, harus memanggil orang yang kusukai dengan panggilan 'appa'? Dan seharusnya aku bisa memeluknya saat ia terluka, namun kenyataan yang harus kulihat adalah ia yang memeluk sosok yang kupanggil 'Umma'? Kaupikir semua itu mudah bagiku, eoh?"

JongIn beranjak, mendekati pemuda yang terdiam mendengar semua kata-katanya.

"Melihatmu di sini membuatku sakit, Hyung." Tangan itu terangkat. Mengusap pipi KyungSoo pelan, mencoba menghapus jejak air mata yang terlihat jelas di wajah KyungSoo. KyungSoo terdiam, tak memberi respon atas tindakan JongIn. "Sakit sekali saat harus memperebutkan orang yang kucintai dengan satu-satunya orang yang kupanggil 'Umma'."

KyungSoo menjatuhkan dirinya di atas tempat tidur kecilnya.

Matanya menatap karpet cokelat yang menjadi alas di kamar kecil itu. Akhirnya pemuda itu kembali juga ke kontrakannya. Sebuah apartment murah di pinggiran kota. Namun KyungSoo menyukai suasana hening yang tercipta di kawasan ini. Mata caramel namja itu menatap nanar sudut-sudut beku kamarnya yang tanpa jendela. Sebuah perasaan bersalah menyeruak dalam dirinya, ia telah pergi tanpa pamit pada Krystal. Bisa dipastikan yeoja aegyo yang perhatian dan lembut itu sangat khawatir padanya. Namun bukan itu yang menjadi fokus pikirannya sekarang.

Ada sosok lain.

Sosok yang memenuhi kepalanya dengan sikapnya yang tidak bisa ditebak.

Sosok itu… Kim JongIn.

KyungSoo benar-benar tak habis pikir dengan pemuda yang berada dua tingkat di bawahnya itu. Tadi siang ia menyatakan cintanya. Sebuah pernyataan cinta yang aneh menurut KyungSoo. Yang ia tahu selama ini JongIn sangat membencinya dan tidak menyukai keberadaannya di rumahnya. Tapi kemudian tiba-tiba ia menyatakan cinta. KyungSoo benar-benar bingung, untuk apa priaitu mengusirnya dengan cara menyatakan cintanya, eoh?

Sebuah cara pengusiran yang halus namun sangat menyakitkan.

"BabySoo…"Suara seorang pemuda terdengar dibarengi ketukan lembut di pintu kamarnya. KyungSoo bangkit. Dirinya sudah hafal satu-satunya pemuda yang memanggil dengan nama itu.

KyungSoo membuka pintu dan menemukan wajah tampan Kris, tetangganya yang tengah tersenyum lembut ke arahnya. Di tangannya terdapat seloyang macaroni schotel hangat yang sangat menggoda indra penciuman KyungSoo.

"Kris!" sambut KyungSoo ceria.

KyungSoo membuka pintu lebih lebar dan membiarkan sosok tinggi Kris masuk ke dalam kamarnya.

"Kupikir kau belum makan, jadi aku membawakan sedikit eksperimen dari masakanku." Kris berdiri di samping nakas. "Semoga rasanya tidak terlalu mengecewakan."

KyungSoo meraih nampan itu dan segera duduk untuk melahap makanan yang terlihat sangat menggoda itu.

"Enak?" tanya Kris. Pria yang tengah bersandar di nakas itu tersenyum melihat cara makan KyungSoo yang seperti sudah berhari-hari tidak makan.

KyungSoo mengangguk singkat. Mulutnya sudah penuh makanan untuk sekedar menjawab pertanyaan Kris.

"Kau sekarang jarang sekali pulang…" komentar Kris tiba-tiba. "Maaf, aku tadi siang tidak menemuimu."

"Tidak apa-apa." KyungSoo menghentikan makannya. Diletakkannya nampan itu di sisinya.

"Kau di mana?" Kris menatap KyungSoo, meminta penjelasan dari pemuda yang telah bertahun-tahun menjadi tetangga kamarnya itu.

"Aku—"

"Kurasa bukan di rumah sakit, hm?" potong Kris.

KyungSoo menunduk.

Kris bergerak dan berdiri di depan pemuda itu. Tubuhnya sedikit membungkuk. Tangannya meraih wajah KyungSoo, memaksa mata pemuda itu menemukan matanya. Jemarinya bergerak pelan, mengusap remah macaroni yang tertinggal di sudut bibir KyungSoo.

"Kau biasanya bilang padaku saat ada masalah?" Kris berucap pelan. Napas hangatnya membelai hidung KyungSoo. Sosok tinggi itu menunduk. Mengeliminasi jarak dan menutup bibir KyungSoo dengan bibirnya. Melumatnya lembut.

"Aku mencintaimu, Do KyungSoo. Butuh banyak waktu untuk menyadari semua rasa itu," kata-kata Kris bagai oase di tengah gersangnya hati KyungSoo.

Bagaikan mantra yang membawa sihir kebahagiaan.

Caramel-nya menatap mata itu.

Saling bertatapan tanpa perlu nada, tanpa suara, menciptakan kekekalan yang terasa di antara mereka.

Kata-kata Kris mampu menembus kekacauan rasanya.

Perlahan dikecupnya kening KyungSoo dengan lembut.

Pemuda itu memejamkan mata, mempererat pelukan di antara mereka.

Setitik asanya memohon agar malam ini tak berakhir.

Karena, jika mentari muncul, mereka akan berjalan sendiri.

Rasa cinta yang seharusnya indah.

Kris yang akhirnya menyatakan perasaanya justru mengalirkan friksi rasa menyakitkan dalam diri seorang Do KyungSoo.

Cinta yang ia pendam untuk Kris kini menjadi cinta terlarang.

Cinta terlarang dengan adanya sosok Krystal di sisinya.

"Kris…" panggil KyungSoo pelan.

"Kenapa?" Kris melepaskan pelukannya dan menatap pemuda itu intens.

KyungSoo menggeleng. "Tidak..."

Kris tersenyum lembut.

"Aku berjanji. Mulai sekarang aku akan lebih berusaha keras untuk melindungimu. Dan tak akan membiarkan orang lain menyakitimu. Kau tidak sendirian lagi," bisik Kris.

KyungSoo memejamkan matanya. Seandainya Kris tahu semuanya. Seandainya ia bisa bercerita dengan seseorang mengenai keadaannya sekarang.

Seandainya…

Berkali-kali mata Krystal melirik kesal sosok yang tengah makan dengan lahap di depannya. Namun pemuda itu seolah tak peduli dan memilih fokus pada makanan di depannya.

"JongIn-ah…" pangil Krystal lembut.

Sosok bernama JongIn itu tak peduli. Dirinya sudah tahu apa yang akan dikatakan Krystal selanjutnya.

"Kim JongIn!" teriak Krystal dengan suara melengkingnya. Kesabarannya habis sudah untuk pemuda yang memilih tetap menyandang marga 'Kim' dalam namanya itu.

"Waeyo?" JongIn mengangkat wajahnya malas.

"Dengarkan Umma-mu saat berbicara!" Krystal menatap JongIn tajam. "Di mana KyungSoo?!"

"Aku tidak tahu dan tidak mau tahu di mana namja itu." JongIn membalas tatapan Krystal. "Dan berhentilah bersikap seolah kau 'Umma-ku'."

"Aku satu-satunya orang yang kau miliki, Kim JongIn. Belajarlah menghargai dan menghormati orang!"

JongIn berdiri. Tangannya bergerak meraih tissue. "Ne, kau satu-satunya orang yang kumiliki dan aku berterimakasih soal itu. Aku juga berusaha memanggilmu 'Umma', walau itu terdengar canggung karena usia kita yang bahkan tidak jauh berbeda. Tapi untuk memanggil namja itu 'appa'. Sayang sekali kau perlu usaha lebih."

Krystal bangkit dan mendekat ke arah pemuda yang lebih tinggi darinya itu.

"Jika kau tidak bisa memanggilnya 'appa', setidaknya kau bisa menghargainya, Kim JongIn!" ucap Krystal tajam.

JongIn tersenyum sinis.

"Menghargai? Berapa aku harus menghargai namja itu, eoh? Sepuluh juta? Lima belas juta won? Atau sama sepertimu… dua ratus juta?"

'Plak!'

Tangan Krystal mendarat dengan kasar di pipi JongIn. Wanita itu kecewa. Sangat kecewa dengan kata-kata JongIn yang sangat merendahkan KyungSoo maupun dirinya.

"Apa yang ada di otakmu sebenarnya?" suara Krystal bergetar. Menahan emosi dan air mata yang meluap keluar. "Selalu merasa kau yang paling benar. Dan menyalahkan orang lain atas semua kesalahan yang bahkan tidak ada."

"Dan untuk apa kau membela namja itu?" tanya JongIn lamat-lamat. Tangannya mengusap pipi yang barusan menjadi tempat mendarat jemari halus Krystal.

"Dia suamiku! Kau lupa?" Krystal kembali menantang onyx JongIn. "Suami sekaligus appa-mu!"

"Kau tidak mencintainya, 'kan? Kau menikahinya hanya karena rasa kasihan?!"

"Aku—"

JongIn menahan napas.

"—mencintainya. Aku mencintai Do KyungSoo…"

.

.

.

.

.

KyungSoo tercenung memandang pintu yang tertutup di depannya.

Bayangan sosok tinggi Kris seolah masih tertinggal dalam pintu kusam itu. Berbagai pikiran berkecamuk dalam dirinya. Di satu sisi ia senang dengan Kris yang ternyata membalas perasaannya, namun sisi yang lain ia merasa berdosa telah mengkhianati Krystal, yang tak lain telah menjadi istri sahnya. Ia tak bisa terus-terusan menyembunyikan pernikahannya, lambat laun pasti orang-orang toh akan tahu. Apalagi dengan sosok Kim JongIn yang menjadi teman sekelasnya dalam beberapa mata kuliah. Pasti Kris pun akan tahu. KyungSoo bahkan tak sanggup membayangkan bagaimana reaksi Kris, jika tahu bahwa ia telah beristri. Ia menikah karena uang. Uang dan pengorbanan yang tersia-sia, karena sang Umma pada akhirnya meninggalkannya juga.

KyungSoo meremas helaian ikalnya frustasi.

Sebagian hatinya tak ingin kembali ke tempat Krystal, apalagi dengan sosok Kim JongIn yang tinggal di atap yang sama. Namun ia bukan pemuda rendah yang akan pergi begitu saja setelah semuanya usai. Kematian sang Umma bukan berarti ia lepas dari status hubungannya dengan Krystal. Sebuah ikatan masih ada di antara mereka. Sebuah ikatan yang harus ia jalani dan pertanggung jawabkan.

'Kriett.'

Pintu kusam di depannya mendadak terbuka.

KyungSoo mengangkat wajahnya dan menemukan seraut wajah dingin Kim JongIn yang kini berdiri di depan pintu.

"Apa yang—!"

"Cepat kemasi barangmu," potong JongIn tak sabar. "Aku tunggu di luar."

JongIn tak mengizinkan KyungSoo bertanya lebih jauh. Pemuda itu menutup pintu kembali, membiarkan KyungSoo bangkit dari duduknya dan dengan malas-malasan mulai mengambil beberapa barang seperti diklat-diklat kuliahnya. Tak perlu waktu lama bagi KyungSoo untuk berkemas, toh ia tak membawa banyak barang saat pulang ke kontrakan, dan banyak barangnya yang masih tertinggal di mansion milik JongIn.

Pemuda itu bergegas keluar dan mengunci pintu kontrakan yang sebenarnya tak begitu perlu karena tak ada barang berharga di dalamnya. Ia melihat JongIn yang tengah melipat tangan tak sabar. Tanpa menunggu ajakan dari JongIn untuk kedua kalinya, ia segera melangkah menuju tangga yang akan membawanya ke bawah, tempat mobil milik JongIn terparkir.

'Kriett.'

Pintu lain terbuka.

Keduanya reflek berhenti dan menemukan sosok Kris yang memandang KyungSoo dengan raut bertanya. KyungSoo terdiam. Dengan menunduk ia melewati Kris begitu saja dan meneruskan langkahnya. Meninggalkan JongIn yang kini melempar tatapan tajam dan meremehkan pada Kris, sebelum mengikuti jejak KyungSoo meninggalkan pemuda berambut merah itu tanpa suara.

"Siapa dia?" tanya JongIn ketika mereka akhirnya berada dalam mobil yang tengah melaju kencang.

"Kau buta? Dia tetanggaku," jawab KyungSoo sarkastis.

"Bukan itu maksudku. Ada apa di antara kalian?"

"Memang kau lihat ada apa di antara kami? Berhentilah bersikap seolah kau peduli padaku," sentak KyungSoo ketus.

Pemuda itu memandang jalanan yang sepi dan memilih mengabaikan JongIn yang sepertinya belum puas dengan jawabannya. Tak ada yang tahu, bahkan JongIn sekalipun bahwa ia sakit saat melewati Kris tanpa suara. Meninggalkan rasa bersalah atas pemuda yang baru saja menyatakan cinta padanya, dan ia membalasnya.

"Kau menyukainya, 'kan?"

"Nugu?" respon KyungSoo acuh. JongIn tak menjawab, ia tahu KyungSoo paham sosok yang ia maksud.

KyungSoo mengepalkan tangannya erat. Raut kecewa Kris terbayang dalam iris cokelatnya, menari-menari seolah memaksanya kembali dan menjelaskan semuanya pada pemuda itu. Menjelaskan pada Kris tentang keadaannya, berharap pemuda itu mengerti, seperti biasanya. Kris yang selalu mengerti tentang seorang Do KyungSoo. Karena ia tak tahu kapan lagi akan bertemu dengan Kris.

Satu yang ia sadari, begitu ia menapak kembali ke rumah itu, maka ia tak akan bisa pergi. KyungSoo tak akan bisa keluar dari rumah itu.

Pemuda itu menghela napas kesal. Angin yang membelai kulit pucatnya dari jendela mobil yang terbuka seolah mengejeknya.

Mengejek seorang Do KyungSoo yang tak berdaya.

"Jangan senang dulu, karena aku mau datang menjemputmu. Kalau bukan karena yeoja itu, aku bahkan tak sudi melihatmu lagi." JongIn memutus keheningan dengan sarkastis. Suaranya bersaing dengan bunyi mobil yang mengalun lembut. Mansion milik keluarga Kim mulai terlihat menjulang di depan mereka.

"Sama. Kau juga jangan terlalu senang karena aku dengan mudah kau ajak kembali ke rumah itu," balas KyungSoo tak kalah sarkastis. "Aku kembali untuk 'istriku' asal kau tahu saja."

'Cit.'

JongIn menghentikan mobilnya dengan kasar. Pandangan pemuda itu lurus ke depan kaca mobil yang buram. Wajah tampan itu memerah. Sebuah emosi tak beralasan merasuki dirinya tanpa permisi.

"Cih! Kau terlalu sombong. Berhentilah bersikap berpura-pura kau menganggap yeoja itu istrimu. Kau bahkan tidak mencintainya, Do KyungSoo."

KyungSoo tersenyum sinis mendengar vonis JongIn.

"Aku juga tidak mencintaimu. Tapi, bagaimanapun aku sekarang 'appa-mu', jadi hormati aku sebagaimana mestinya, Kim JongIn."

JongIn terhenyak. KyungSoo mengabaikannya, tangannya meraih pintu mobil dan membukanya.

"Ah! Satu lagi." KyungSoo berdiri di luar mobil. "Kalau kau cukup berani memperjuangkan cintamu. Cobalah… untuk merebutku dari Umma-mu."

KyungSoo melirik pemuda sombong itu tajam, sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya memasuki mansion besar di depannya. Meninggalkan JongIn yang masih terpaku di dalam mobil mendengar kata-katanya.

Do KyungSoo telah menantang seorang Kim JongIn.

Sebuah tantangan yang tanpa ia sadari akan menjadi masalah nantinya. Sayang, KyungSoo tidak tahu, bahwa Kim JongIn bukanlah pemuda yang mudah menyerah apalagi mengalah!

JongIn memasuki mansion dan menutup pintu bangunan megah itu dengan kasar. Pemuda itu berniat melajutkan langkahnya menuju kamarnya di lantai dua, sebelum sebuah pemandangan yang tertangkap matanya menghentikannya. Sebuah pemandangan memuakkan yang mengganggunya. Sangat mengganggu malah.

Terlihat Do KyungSoo yang tengah berciuman panas dengan sang Umma, Krystal di ruang tengah.

JongIn menyeringai.

'Kau benar-benar sialan, Do KyungSoo!'

Sebuah Lamborghini Reventon berwarna putih mengkilat terlihat memasuki area parkir Universitas Seoul keesokan harinya.

Mata-mata yang memandang sudah bisa menebak siapa pemilik mobil mahal itu. Kim JongIn, putra tunggal penyumbang dana terbesar di Universitas mereka. Namun kali ini mata-mata itu menemukan sebuah pemandangan yang berbeda. Ada sosok lain yang juga keluar dari mobil yang terparkir sempurna itu. Sosok Do KyungSoo, sang mahasiswa beasiswa. Berbagai spekulasi mulai memenuhi kepala-kepala haus gosip itu. Namun Kim JongIn seolah tak memedulikannya, pemuda itu melangkah dengan santai menuju kelasnya, membuat para gadis yang tengah bergosip terdiam saat pemuda tampan itu melewati mereka.

Begitu juga dengan Do KyungSoo yang berjalan melawan arah dengan JongIn. Pemuda itu bergegas ke bangunan berjuluk perpustakaan di ujung kampus. Masih ada waktu dua puluh menit sebelum jam pertama dimulai. Ia memutuskan untuk ke perpustakaan daripada menghadapi pertanyaan yang pastinya akan diterimanya begitu anak-anak tahu bahwa pagi ini ia ke kampus dengan Kim JongIn, sosok yang mereka tahu sangat dijauhi oleh KyungSoo selama ini. Dan seandainya mereka juga tahu, jika karena bukan ancaman Krystal mereka tidak akan pergi dalam satu mobil. KyungSoo memilih pergi dengan sepedanya atau dengan taksi. Namun Krystal memaksa, dan untuk menghindari kecurigaan sang istri itulah, KyungSoo mau menghabiskan sepuluh menit dalam satu neraka bersama JongIn.

"Kau menyukai pemuda Kim itu, 'kan?"

Seseorang menginterupsi SeHun yang tengah berdiri di balkon lantai dua seraya menatap adegan KaiSoo barusan.

"Apa maksudmu?" SeHun melirik tidak suka pada pemuda yang seolah tak peduli dengan lirikannya dan tengah tersenyum dengan wajah panda di sampingnya itu.

"Jangan kau kira aku tidak tahu. Seolah kau mendekatkan KyungSoo dengan Kim JongIn, padahal kau sendiri juga suka pada JongIn." Pemuda bernama Huang ZiTao itu berucap tanpa beban. "Hal itu mudah terlihat olehku."

SeHun menyeringai. "Ck, kau itu benar-benar pemuda dengan wajah menipu. Kupikir kau begitu polos seperti wajahmu. Ternyata kau itu sangat sok tahu dan merepotkan, Huang ZiTao."

Tao tersenyum lebar mendengar kalimat sarkastis pemuda bersuara indah di sampingnya.

"Tapi aku benar 'kan, Oh SeHun?!" Tao menatap SeHun geli. "Kau benar-benar menyukai Kim JongIn."

SeHun menoleh dan membalas tatapan anak kecil di wajah milik Tao dengan mata sipitnya yang menyorot tajam.

"Saranku, berhentilah sok tahu dan mengurusi urusan orang. Terutama urusanku, arraseo?!"

SeHun beranjak dan berjalan menjauh dari pemuda Cina itu.

"Tapi aku menyukaimu, Oh SeHun!" teriak Tao keras. Dia tahu, percuma berpura-pura untuk saat ini.

Tek.

SeHun berhenti sejenak.

"Lebih baik kau hilangkan perasaanmu itu, Tao," balas SeHun pelan. "Kau tahu semua itu sia-sia. Aku ragu, apa kau pemuda yang siap terluka."

Kaki SeHun kembali melanjutkan langkahnya, meninggalkan ZiTao yang kini menatap punggungnya tak percaya. Namun, tak lama senyum polos kembali terpahat di wajah manisnya.

"Aku akan mendapatkanmu, Oh SeHun. Dan itu pasti!"

Suasana kelas khusus tempat mahasiswa tingkat satu dan tiga digabung benar-benar riuh seperti biasanya.

Dosen yang datang terlambat memaksa beberapa mahasiswa berkumpul untuk sekedar bergosip dengan teman sekelompok mereka, termasuk lima anggota Perfect Boys. Terlihat LuHan, pemuda tercantik yang tengah sibuk dengan ponsel di tangannya. Sementara ia juga bergelanyut manja pada sang kekasih, MinSeok. Anggota lain; Oh SeHun, Park ChanYeol, dan Kim JongIn yang tengah membicarakan sesuatu yang bisa dipastikan tak jauh dari tempat hiburan malam terbaru. Apalagi dengan SeHun yang paling semangat. SeHun yang tak bisa minum-minum tentu datang bukan untuk minum, pemuda itu akan menari. Yang tentu saja sangat ditunggu oleh para pengunjung café. Pemilik café tidak perlu membayar karena, SeHun sudah cukup kaya untuk mencari uang dengan cara seperti itu hanya senang-senang saja menerima kunjungan dan hiburan itu.

Di sisi lain terlihat JongDae dan BaekHyun yang tengah sibuk bertanding game di psp masing-masing untuk menyelesaikan level tertinggi dari game itu. Juga Lay dan Tao yang tengah mengganggu KyungSoo agar berhenti membaca buku serta berhenti mengabaikan mereka.

Kericuhan itu terus berlanjut, sampai sebuah suara lembut menghentikan mereka.

"Annyeonghaseyo…"

Mata-mata itu menatap ke depan dan menemukan pemuda tampan nan tinggi tengah berdiri di depan mereka.

"Aku dosen baru kalian untuk kelas khusus ini. Menggantikan Yong Ha-sshi. Kris Wu imnida…"

KyungSoo tercekat.

Bukunya hampir saja mata Kris yang menyusur mencari akhirnya berhenti. Mata itu menemukan sosok Do KyungSoo yang kini tengah terpaku padanya di balik kacamata bacanya. Tersenyum lembut, ia mengangguk pada pemuda itu. Lalu kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas.

KyungSoo berpikir cepat, inikah kejutan yang dikatakan Kris, bahwa pemuda itu akan melindunginya dan tak membiarkan siapa pun mengganggunya?

Di sudut lain terlihat sepasang mata onyx yang menatap tak suka. Kilatan iris sehitam black hole itu melirik KyungSoo tajam. Sebuah lirikan yang seharusnya dihindari KyungSoo seandainya pemuda itu menyadari tatapan membunuh seorang Kim JongIn.

"KyungSoo. Sepertinya aku jatuh cinta pada dosen itu…"

Suara polos Lay yang mendadak terdengar, menyadarkan KyungSoo sekaligus menjatuhkan batu besar ke dalam dadanya.

Hari ini KyungSoo kembali ke café milik Krystal.

Namun kali ini bukan untuk bekerja melainkan untuk menemani Krystal yang berencana melihat keadaan café sekaligus bertemu dengan salah satu karyawan baru yang menggantikan KyungSoo.

Tak lama mobil yang dikemudikan Krystal dengan anggun mulai memasuki area parkir café. Dan langkah indah Krystal serta sosok KyungSoo di sampingnya menyempurnakan dua sosok yang tengah berjalan masuk ke dalam café.

Berkali-kali pemuda itu menghela napas pelan.

Mencoba menenangkan hatinya yang berdebar menunggu pertemuan dengan sang Direktur café yang akan menjadi tempatnya bekerja.

"Kim JunMyeon."

Tak lama sebuah pintu terbuka disertai panggilan untuknya.

Pemuda bernama Kim JunMyeon itu perlahan memasuki ruangan mewah sang Direktur. Dan sepasang bola mata indahnya langsung menemukan sosok manis, Krystal yang tengah memandangnya ramah.

JunMyeon tercekat.

Yang ia tahu, ia jatuh cinta pada pemilik wajah di depannya.

KyungSoo yang tengah menarikan jemari kurusnya di atas ponselnya tentu tak menyadari sosok JongIn yang kini berdiri dan bersedekap dengan angkuh di pintu kamarnya. JongIn menunggu beberapa saat, namun KyungSoo tak juga menyadari keberadaannya. JongIn menyerah. Pemuda itu menarik napas berat dan mendekat ke arah KyungSoo.

"Hyung…"

KyungSoo terlonjak. Pemuda itu berdiri dan menatap JongIn dengan pandangan tak suka.

"Apa yang kau lakukan di kamarku?" semprot KyungSoo tajam.

"Kau lupa, ini adalah rumahku. Aku berhak masuk kemana pun aku mau dalam setiap ruangan mansion ini," jawab JongIn kalem. KyungSoo terpekur, JongIn benar.

"Apa yang kau inginkan sebenarnya?" tanya KyungSoo tajam. JongIn tak menjawab. Dan rasa terkejut menerpanya ketika JongIn mendekatinya dengan tatapan aneh.

"Maukah kau jadi namjachingu-ku, Do KyungSoo?" JongIn meraih dagu KyungSoo lembut, tangannya bergerak meraih tangan KyungSoo yang memegang ponsel.

"Apa-apaan ini? Hentikan, Kai!" KyungSoo terpana. Batinnya bergolak.

Didorongnya tubuh JongIn dengan keras hingga terjatuh di tempat tidurnya.

"Waeyo, Hyung?" JongIn menatap KyungSoo. "Bukankah kau yang menantangku untuk merebutmu dari Umma?"

KyungSoo tercekat. Dilemparkannya ponselnya ke lantai hingga terdengar suara 'prak' keras, saat benda hitam itu menyentuh dinginnya lantai.

"Tapi bukan dengan cara ini!" suara KyungSoo bergetar. "Kau merendahkanku!"

JongIn bangkit. Ditatapnya pemuda yang hampir terisak itu tajam.

"Kau bisa menjadi suami Krystal dengan imbalan dua ratus juta. Dan aku…" JongIn mengelus pipi pucat yang memerah itu lembut. "Aku bisa membayarmu lebih untuk mendapatkanmu."

'Plak!'

"Kau benar-benar sakit, Kim JongIn!" KyungSoo menantang mata pemuda yang kini pipinya memerah itu. "Kau gila!"

'Brak!'

KyungSoo keluar dari kamarnya, meninggalkan suara pintu yang terbanting keras.

JongIn ambruk di atas lantai dingin. Jemarinya meremas rambutnya frustasi. Kekalutan hatinya terlihat jelas.

'Apa yang ada di otakmu sebenarnya, Kim JongIn?!' batin pemuda itu getir.

Taman Seoul University terlihat memesona di pagi hari.

Beberapa rumpun mawar dan bunga-bunga lain menebarkan aroma khas musim semi. Tak lupa dengan vegetasi tanaman besar yang memberi keteduhan pada sosok-sosok yang bernaung di bawahnya.

Di sudut yang agak tertutup oleh rimbun semak, terlihat dua pemuda yang tengah berbincang intim. Sesekali salah satu pemuda dengan rambut pirang mengusap surai magenta pemuda lain yag tengah duduk dengan diklat terbuka lebar di depannya.

Agaknya tak terlalu tergganggu jika ada orang lain yang melihat mereka, sosok-sosok yang ternyata Kris dan KyungSoo itu tengah melepas rindu. Wajar, sebagi kekasih mereka tak bisa bertemu kecuali di area kampus yang tak dipungkiri juga tak jauh dari risiko tertangkap mata-mata haus gosip.

"Waeyo?" KyungSoo melepas pandangannya pada diklat di depannya dan beralih menatap mata Kris yang memandangnya tak berkedip. Kris tersenyum. Sebuah senyum yang mampu membuat para gadis terpesona. Bahkan KyungSoo merasa bersyukur ia menjadi pemilik hati dari sosok dengan senyum indah itu.

"Kau cantik, BabySoo…"

'Tuk."

KyungSoo menyambut pujian Kris dengan jitakan kecil di kepala bersurai pirang itu.

"Aku namja, Kris. Jangan sebut aku cantik." KyungSoo mendelik kesal. Telunjuknya bergoyang di depan Kris, membuat Kris tersenyum lebar. Ditangkapnya telunjuk itu sekaligus lengannya yang sontak membuat sang pemilik tangan mendekat ke arahnya.

Wajah KyungSoo memerah. Apalagi dengan jarak yang kini tak lebih dari tiga senti dari wajah Kris. KyungSoo memejamkan matanya. Membiarkan Kris yang kini menyentuh bibirnya lembut dengan bibirnya sendiri. Kris tak pernah bosan dengan rasa bibir pemuda di depannya itu. Ya, pesona seorang Do KyungSoo selalu bisa menjeratnya. Dengan naluri, KyungSoo memiringkan kepalnya. Walau meja yang membatasi tubuh mereka membuat tubuh mereka pegal. Namun rasa indah yang dihadirkan dari ciuman itu mampu menghilangkannya dengan seketika. Ciuman yang dengan rasa indah yang menjalar dalam tiap sel tubuhnya. Melenakan. Gerakan lidah mereka yang saling membelit menimbulkan efek yang memabukkan. Melupakan sejenak di mana mereka berada sekarang.

"Ckckck! Jadi hal ini yang dilakukan appa dari seorang Kim JongIn. Setelah semalam bermain dengan istrinya sekarang jatuh di pelukan pemuda lain. Kau benar-benar pemuda yang hebat, Do KyungSoo."

Sebuah suara sarkastis membuat KyungSoo dan Kris reflek memisahkan diri. Keduanya menoleh dan menemukan sosok Kim JongIn yang tengah berdiri dengan tatapan yang lurus pada dua orang pemuda itu.

"Ah, ani. Sekarang aku harus memanggilmu, KyungSoo-appa…"

KyungSoo melihat sorot cemburu, kecewa, dan marah yang bercampur dengan kebencian di sepasang mata onyx itu.

"Appa…?" terdengar suara Kris mengeja kata itu lamat-lamat, seakan meruntuhkan langit di atas KyungSoo seketika.

.

.

.

.

.

.

BERSAMBUNG...