Disclaimer:
Naruto © Kishimoto Masashi
Marriage Simulation © Haruno Aoi
Rated: T – M
Setting: AU
Warning: mungkin sangat OOC, mungkin masih ada TYPO atau MISSTYPO
Kurs yang saya gunakan: ¥ 1 = Rp. 100
Langsung saja…
Silahkan membaca…
.
.
.
*[ Marriage Simulation ]*
.
.
.
September. Bulan ini menggantikan musim panas dengan musim gugur. Dengan datangnya bulan ini, temperatur udara di Tokyo turun secara perlahan dan hujan kerap mengguyur ibu kota yang selalu sibuk ini. Daun yang menguning dan momiji semerah darah turut menghiasi datangnya musim ini. Angin musim gugur perlahan menyapa pepohonan yang merelakan daun-daunnya berguguran ke tanah. Sungguh keindahan tersendiri yang hanya bisa dijumpai di musim gugur.
Langit sudah berwarna gelap. Lampu-lampu di pinggir jalan sudah dinyalakan. Cahaya yang dihasilkannya menemani satu dua orang yang masih berlalu lalang di jalanan yang lengang. Di kawasan pemukiman ini, berdiri kokoh beberapa gedung yang hanya diisi oleh para pemuda-pemudi berstatus mahasiswa dan mahasiswi. Mereka yang tinggal di sini adalah mereka yang ingin mendapatkan tempat tinggal yang lebih terjangkau. Bukannya mereka tidak sanggup untuk membayar biaya sewa apartemen, hanya saja tempat ini dekat dengan tempat belajar mereka. Ini adalah asrama Todai yang hanya ditujukan kepada para pelajar Universitas Tokyo. Tidak sedikit dari mereka yang tinggal di sini berasal dari keluarga yang berada. Yang terbanyak adalah mereka yang merantau dari luar kota dan luar negeri.
Semakin petang terasa semakin dingin, padahal ini baru awal musim gugur. Dalam keadaan seperti ini, paling nyaman jika membenamkan diri di selimut yang hangat. Tapi dinginnya malam tidak menghalangi seorang gadis berambut panjang untuk tetap membuka matanya. Di kamarnya yang masih terang, ia sedang duduk di depan sebuah meja kayu dengan tumpukan buku-buku bergambar tuts hitam dan putih. Sesekali ia menggerakkan sebuah alat tulis di tangan kanannya, di atas selembar kertas yang tidak bersih lagi. Sejauh ini goresannya hanya membentuk angka-angka. Ia berhenti dan memandangi apa yang dituliskannya. Sepertinya ia sudah selesai dengan pekerjaannya semula, karena alat tulisnya sudah dicampakkan di atas meja.
"Uang tabunganku akan habis hanya untuk bulan Oktober. Itu saja masih kurang 60.000 yen lagi. Kalau tetap mempertahankan pekerjaan yang sekarang, kekurangannya akan menjadi 285.000 yen untuk setiap bulannya. Itu lebih besar dari gaji kerja paruh waktuku selama dua bulan…" gumamnya dengan kedua tangan memegangi kertas yang berhiaskan coretannya. Kedua matanya seolah memandang tak percaya dengan banyaknya angka yang mengotori kertas yang semula putih bersih. Ia berharap ada kesalahan hitung atau kelebihan jumlah nol. Tapi, sudah berkali-kali ia menghitungnya dan hasilnya tetap sama. Tidak berubah. Akhirnya ia menyerah dengan ditandai hembusan napas panjangnya.
Ia beranjak dari kursi yang berbahan sama dengan mejanya. Langkah kakinya mendekati tempat tidur tunggal yang ada di pusat ruangan yang memang tidak luas. Mungkin istirahat akan membantu meringankan masalah yang sedang dihadapinya, dan besok saat bangun akan bisa memikirkan cara untuk mengatasinya. Perlahan ia membaringkan tubuh di kasurnya yang berseprei biru muda. Dengan mata terpejam, tangan kanannya bergerak menekan saklar yang tidak jauh dari bantalnya. Ia benar-benar berharap agar besok menemukan pemecahan atas masalahnya.
.
.
.
Ruang makan yang luas dengan meja lebar dan beberapa pasang kursi mengelilinginya, tidak seimbang dengan jumlah manusia yang hanya menduduki tiga kursinya. Suasana sarapan yang selalu sepi, sudah terbiasa mereka rasakan. Tapi, ada saat yang mereka gunakan untuk memecah keheningan. Mereka selalu menyempatkan untuk berbincang setelah menyelesaikan makannya. Ini adalah cara mereka untuk mempertahankan keharmonisan hubungan di antara ketiganya. Bukankah komunikasi memang penting dalam hubungan apapun?
"Sasuke, ada yang ingin—" percakapan diawali oleh seorang pria yang duduk di salah satu ujung meja makan. Dilihat dari garis-garis yang menghiasi wajahnya, jelas tidak bisa dikatakan bahwa ia masih muda. Meskipun begitu, tidak bisa ditemukan warna lain di rambut hitamnya.
"Aku tahu apa yang akan Ojiisama bicarakan," potong Sasuke, yang duduk di sebelah kanan orang yang ternyata adalah kakeknya.
"Kau tidak sopan, Sasuke-kun!" tegur wanita yang duduk berseberangan dengan Sasuke. "Maaf, Otousama," lanjutnya dengan suara melembut dan sedikit menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat kepada ayahnya.
"Tidak apa-apa, Mikoto." Pria yang yang duduk di pusat meja itu, menyunggingkan senyumnya pada Mikoto. Selanjutnya, pandangannya mengarah pada Sasuke yang memasang tampang dingin.
Sasuke tidak mau membalas tatapan kakeknya. Ia bahkan terlihat angkuh dengan kedua tangan dilipat di dada dan punggung yang dijatuhkan pada sandaran kursi makannya.
"Aku sudah katakan kalau aku masih kuliah, Okaan. Tapi, Ojiisama terus memaksaku—"
"Aku punya alasan untuk itu, Sasuke," sekarang giliran sang kakek yang memotong kalimat Sasuke. Gambaran seorang kakek yang tidak mau kalah dari cucunya. Sebuah senyum kemenangan terukir di bibirnya karena melihat Sasuke yang sudah kehilangan kata-kata untuk membalasnya.
Sasuke yang merasa bukan tandingan kakeknya, meninggalkan ruang makan dengan bungkam. Ia mengalah tapi tidak pernah merasa kalah. Ia tahu kalau melawan kakeknya, ujung-ujungnya hanya bisa menimbulkan keributan. Daripada mendapatkan ceramah dari ibu dan kakeknya, sebaiknya menghindar sebelum telinganya panas.
"Otousama, Sasuke-kun memang masih terlalu muda untuk menikah," bela Mikoto yang merasa bahwa Sasuke tidak lagi berada di sekitar ruang makan.
"Terlalu muda? Satu semester lagi dia akan menyandang gelar sarjana," sebuah sanggahan atas pembelaan Mikoto.
"Lalu, apa hubungannya dengan pernikahan?" tanya Mikoto yang memang terlihat belum mengerti dengan maksud ayahnya.
"Dia harus menikah sebelum meneruskan usahaku," ucap pria yang sudah bercucu itu, dengan penuh ketenangan.
"Kenapa begitu?"
"Seharusnya kau tahu kalau pemuda jaman sekarang cenderung lupa menikah kalau sudah sibuk bekerja."
Banyak yang bilang bahwa kebanyakan pria di Jepang memang gila kerja dan terkadang belum berumah tangga di usianya yang sudah matang. Sepertinya kakek Sasuke menggunakan asumsi itu sebagai alasan untuk memaksa cucunya menikah sesegera mungkin. Tentunya ditambah dengan pengalaman pribadinya, yang memang menikah di usia berkepala tiga. Tapi, kemungkinan besar alasannya bukan hanya itu.
Tinggal bertiga di rumah yang besar? Terlalu sepi. Itulah yang dipikirkan oleh kakek Sasuke.
"Benar juga, tapi dia tidak mungkin mau dijodohkan…"
"Siapa bilang akan ada perjodohan? Aku akan menerima siapapun pilihannya."
Mikoto masih memandang tak percaya pada ayahnya. Muncul berbagai pertanyaan di kepalanya. Apa benar Otousama akan menerima siapa saja yang dipilih Sasuke-kun? Sepertinya ini adalah salah satu kalimat tanya yang ditujukan pada dirinya sendiri.
"Kau harus percaya padaku," lanjut pria tua yang masih terlihat enerjik itu. Ia seolah mengetahui tentang apa yang dipikirkan oleh putri tunggalnya. Kalau sudah seperti ini, Mikoto juga tidak mau membantah.
.
.
.
Pagi ini tidak terlalu dingin. Ada lima pemuda-pemudi bersepeda di jalurnya. Melihat mereka yang mengayuh dengan ceria dan dihujani daun-daun momiji yang digugurkan pohonnya, seperti menonton sebuah film yang bertemakan musim gugur. Suara khas dari daun-daun yang tergilas roda sepeda, menambah kesan bahwa yang seperti ini hanya dapat ditemukan di musim gugur. Sesekali mereka akan menghirup udara dalam-dalam dan menghembuskannya dengan senyum mengembang. Udara yang sejuk di musim gugur memang patut digemari oleh para pengembara udara.
Jalur sepeda memang sedikit lengang, jadi ada di antara mereka yang sesekali mendahului yang lainnya. Seorang perempuan berambut panjang mengayuh sepedanya dengan semangat, tidak mau tertinggal dari teman-temannya. Rambutnya yang tergerai dibiarkan diterbangkan angin, seolah ada kipas angin besar di depannya. Senyum terus saja terukir di bibirnya. Senyum adalah hal termudah yang bisa dilakukan dalam situasi apapun. Mungkin kalimat itu sedikit mirip dengan kalimat yang pernah diucapkan salah satu tokoh kartun yang sangat digemarinya. Seberat apapun masalah yang dihadapi, setidaknya ia masih bisa menunjukkan senyumnya. Sungguh topeng yang sangat berhasil menyembunyikan perasaannya saat ini.
Seringkali hidup diibaratkan roda yang berputar. Kadang di atas dan kadang di bawah. Memang benar adanya, kadang kita yang berada di puncak kejayaan bisa menjadi orang yang paling terpuruk. Tapi, tidak menutup kemungkinan bahwa kejadiannya juga bisa sebaliknya. Pastinya tidak ada yang bersedia terus-terusan dijungkir balikkan seperti roda yang diputar. Ketika roda berjalan, yang di dasar pun akan berusaha meraih puncak. Jika melihat pada kenyataan, kita yang sudah meraih puncak senantiasa ingin mempertahankan posisi kita. Harus diakui jika mempertahankan memang lebih sulit daripada meraih. Dan, untuk dasar atau puncak yang dimaksud, tentu akan menjadi hal yang relatif bagi setiap manusia.
"Kita berpisah di sini, ya!" teriak perempuan berambut coklat, yang mengayuh sepedanya berdampingan dengan perempuan berambut pirang. Mereka semakin menjauh dari tiga orang lainnya yang belum memasuki gerbang merah Universitas Tokyo, atau yang sering juga disebut Todai.
"Aku juga belok di sini," kata seorang laki-laki berambut coklat jabrik dengan semangat.
"Seperti biasa Hinata, kita hanya akan berdua jika sudah memasuki gerbang," ucap laki-laki berambut hitam yang selalu terukir senyum di wajahnya.
"Kita balapan," ajak perempuan berambut panjang yang ternyata bernama Hinata. Belum sempat ada jawaban, ia sudah mengayuh kembali sepedanya dengan kecepatan di atas rata-rata. Mungkin karena mereka berangkat kepagian hari ini, sehingga jalan menuju fakultas mereka masih sepi. Laki-laki di belakangnya yang merasa tidak mau kalah, ikut mempercepat gerakan kakinya. Ternyata usaha laki-laki itu sia-sia, dan mereka sudah mencapai finalnya, yaitu tempat parkir sepeda di fakultas mereka. Fakultas Seni Todai.
"Kau kalah, Sai-kun." Hinata menunjukkan senyum puas pada Sai yang masih ngos-ngosan.
"Kau kan curang," ujar Sai setelah berhasil mengatur napasnya menjadi normal kembali. Hinata hanya membalas Sai dengan senyum tipis dan langsung memarkirkan sepedanya di area yang masih kosong. Sai memarkirkan sepedanya di samping sepeda pink Hinata, selanjutnya mengikuti langkah Hinata yang mulai meninggalkan tempat parkir.
"Bagaimana pekerjaan paruh waktumu dengan Kiba dan Temari?" tanya Sai yang sudah berjalan sejajar dengan Hinata.
"Sebenarnya masih kurang untuk menutupi kebutuhanku bulan depan dan selanjutnya," jawab Hinata yang tidak lagi menunjukkan senyumnya.
"Kau sendiri yang tidak mau kubantu," sahut Sai.
"Kau boleh membantuku, tapi aku juga harus melakukan sesuatu." Mereka berdua berjalan berdampingan dengan mata yang tetap lurus ke depan.
"Apa kau mau membersihkan apartemen sepupuku? Otousama bilang, sepupuku itu akan segera pindah ke sana," kata Sai tenang.
"Bukannya Apartemen Uchiha menggunakan jasa kebersihan outsourcing?" tanya Hinata yang tahu bahwa jaman sekarang lebih banyak kantor atau gedung yang menggunakan jasa dari para penyedia jasa dengan sistem outsourcing, yang sering juga disebut dengan sistem kontrak. Setahunya, itu adalah suatu sistem yang menguntungkan untuk para penggunanya, tetapi tidak untuk tenaga kontraknya yang memiliki ancaman penghentian pemakaian jasanya. Biasanya para pekerja di perusahaan atau buruh di pabrik tidak senang dengan sistem ini, bahkan ada yang menentangnya.
"Ya, sih…" gumam Sai. "Tapi, aku bisa bilang pada Otousama kalau ada temanku yang membutuhkan pekerjaan itu. Imbalannya tentu lebih besar dari pekerjaan paruh waktumu sebelumnya," imbuhnya panjang lebar, yang sebenarnya sudah membicarakan masalah ini dengan ayahnya.
"Aku mau," ucap Hinata cepat dengan senyum mengembang. Ia tidak mau melewatkan peluang yang sudah diberikan kepadanya. Setidaknya kebutuhan untuk bulan depan akan tertutupi. Untuk bulan selanjutnya akan kupikirkan nanti. Hinata melanjutkan ucapannya dalam hati.
"Nanti, kau bisa mengambil kunci kamarnya di ruangan Otousama," kata Sai yang ikut tersenyum melihat Hinata yang sudah kembali menunjukkan wajah berserinya.
.
.
.
Hinata berjalan menyusuri koridor yang lengang. Saat ini memang sudah masuk jam makan siang, tentu saja kantin akan lebih ramai daripada kantor dosen. Ini pertama kalinya Hinata memasuki kantor dosen, apalagi bukan kantor dosen dari fakultasnya. Kata Sai, saat ini ayahnya masih ada di ruangannya. Karena itu, Hinata nekat mengambil kunci apartemen yang dikatakan Sai. Hinata berjalan dengan ragu-ragu dan sesekali menggenggam erat tas selempangnya. Seharusnya ia menunggu Sai yang masih ada di kelasnya, atau mungkin minta diambilkan oleh Sai. Tapi dipikir-pikir lagi, itu sepertinya kelakuan orang yang tidak tahu diri. Sudah ditolong seharusnya tidak terus-terusan merepotkan.
Hinata sebenarnya sudah pernah memasuki kawasan Fakultas Teknik Todai, karena Tenten dan Temari yang menjadi teman satu asramanya menempuh pendidikannya di sini. Tapi, ia belum pernah memasuki kantor dosennya. Tadi, waktu Hinata menanyakannya pada Temari, ia mendapatkan informasi kalau ruangan ayah Sai ada di lantai satu dan berada di koridor sebelah kanan dari pintu masuk. Sekarang Hinata sudah berjalan di koridor ini. Ia menolehkan kepalanya ke kanan dan sesekali ke kiri, membaca papan yang ditempelkan di masing-masing pintu yang ada di koridor tersebut.
Uchiha Fugaku
Hinata berhenti setelah menemukan sederetan huruf yang membentuk nama tersebut. Sebenarnya ada beberapa huruf lagi yang menurut Hinata adalah gelar dari orang yang ingin ditemuinya. Tapi, yang perlu Hinata ketahui hanyalah namanya saja. Ia yakin itu adalah nama ayah Sai dan nama dosen kedua temannya.
Sepertinya ayah Sai memang masih ada di dalam ruangannya, karena pintunya dibiarkan sedikit terbuka. Hinata mengangkat tangan kanannya untuk mengetuk pintu, tapi diurungkannya karena mendengar ada yang sedang bercakap-cakap di dalam. Mungkin saja itu adalah pembicaraan sesama dosen atau antara dosen dan mahasiswanya. Hinata tidak ingin mengganggu. Ia memutuskan untuk duduk di deretan kursi yang ada di samping kiri pintu ruangan dosen yang dicarinya. Ia sempat berpikir kalau koridor ini seperti koridor rumah sakit saja, karena ada kursi tunggunya.
Sebenarnya Hinata tidak ingin mendengar pembicaraan orang lain atau mencampuri urusan orang lain. Tapi, tetap saja suara-suara yang ada di dalam ruangan terdengar samar karena pintunya tidak tertutup sempurna.
"Kau datang ke sini tentu saja ada alasan lain, selain menanyakan kabarku."
Hinata dapat mendengar suara berat khas bapak-bapak. Hinata menduga kalau orang yang memiliki suara ini adalah orang yang selalu tenang dengan apa yang dikatakannya.
"Aku minta kunci apartemenku."
Menurut Hinata, suara yang ini dimiliki oleh seseorang yang lebih muda dari yang sebelumnya. Harus diakui bahwa suara yang didengar Hinata kali ini merdu dan membuat Hinata ingin terus mendengarnya.
Hinata jadi menyimpulkan bahwa suara yang pertama didengarnya adalah suara orang yang ingin ditemuinya. Kalau tidak salah, Hinata mendengar yang seorang lagi menyebut kunci apartemen. Apa dia sepupu Sai-kun? Hinata bertanya dalam hati.
"Aku kira kau akan sabar menungguku menyuruh sopirku, untuk mengantarkannya ke kampusmu."
"Aku tidak suka menunggu." Hinata yang mendengar suara ini lagi, berpendapat bahwa si pemilik suara tidak cocok jika harus menyanyi atau membaca puisi. Intonasinya datar dan tidak ada perubahan dari yang pertama kali didengarnya.
"Sebenarnya kau bisa mengambilnya di resepsionis, kenapa malah meminta langsung dariku?"
"Resepsionis di sana terlalu berisik."
"Ya sudah, ini." Hinata seolah tahu kalau saat ini kunci sudah berpindah tangan.
"Terima kasih, Otousan."
Hinata sudah terlanjur mendengar percakapan di dalam ruangan. Mau tidak mau ia tetap bisa mendengarnya. Perkiraan awal Hinata, yang ada di dalam ruangan adalah ayah dan sepupu Sai, yang kamarnya akan dibersihkannya. Tapi suara terakhir yang didengarnya, membuatnya sedikit bingung. Setahu Hinata, Sai hanya memiliki seorang kakak laki-laki yang sekarang menempuh pendidikan hukum di kampus yang sama.
Yang di dalam tidak mungkin Sai-kun. Sepertinya juga bukan Itachi-senpai, karena suaranya tidak sama. Hinata membatin. Ia bisa mengira begitu karena pernah mendengar Sai berbincang dengan Itachi, yang pada saat itu menghadiri pameran lukisan di Fakultas Seni. Apa Sai-kun punya saudara lagi? Hinata masih bingung dengan pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya sendiri.
Hinata yang berkutat dengan pikirannya sendiri, dikagetkan oleh suara pintu di sebelah kanannya yang dibuka. Hinata yang masih duduk, mencoba menolehkan kepalanya ke kanan. Celana jeans gelap dan kemeja bermotif kotak-kotak dengan perpaduan warna antara biru tua, hitam serta putih. Jelas itu bukan penampilan seorang dosen. Hinata memberanikan diri melihat wajah orang yang mengagetkannya. Ia memang bukan Itachi, tapi menurutnya ada kemiripan antara keduanya. Yang membedakan mereka adalah potongan rambut, dan yang ini terlihat lebih muda. Walaupun ini pertama kali Hinata melihatnya, ia dapat memastikan bahwa pemuda di depannya memiliki banyak fangirls, seperti Itachi atau Sai.
"Apa lihat-lihat," desis pemuda itu, masih dengan nada tenang dan datarnya. Mata hitamnya menatap Hinata dengan tajam.
Hinata yang mengira bahwa si pemilik suara berbicara padanya, segera mengalihkan pandangannya dan berdiri dari duduknya. Hinata membungkukkan badannya sedikit dan setelahnya tidak berani mengangkat wajahnya. "Ma..maaf, aku hanya—"
"Menguping?" potong pemuda di depan Hinata dengan tarikan sudut bibirnya.
"Ti..tidak, aku hanya ingin menemui Fugaku-sensei," jawab Hinata dengan suara yang terdengar bergetar.
"Ada apa, Sasuke?" Hinata dapat mendengar suara berat yang semakin mendekat sembari menimbulkan suara dari sepatunya.
"Tidak tahu." Sosok tinggi yang bernama Sasuke itu segera melangkahkan kakinya menjauhi tempatnya berdiri semula. Sepertinya menuju ke pintu yang akan membawanya keluar dari gedung ini.
Pada saat ini, Hinata sudah bisa kembali mengangkat kepalanya dan menghela napas lega. Hinata sempat berpikir tidak akan bisa keluar hidup-hidup dari gedung ini. Dia itu menyeramkan. Aku tarik kata-kataku tentang fangirls.
"Kau mencariku?" kali ini suara berat kembali mengagetkan Hinata.
"I..iya, saya teman Sai-kun," jawab Hinata yang sedikit gugup berhadapan dengan orang yang pertama kali ditemuinya. Hinata membungkukkan badannya dan mencoba mengangkat wajahnya untuk memandang lawan bicaranya.
"Sai sudah bilang kalau kau akan datang. Kau sudah bisa memulai pekerjaan hari ini dan ini kuncinya." Fugaku menyerahkan kunci kepada Hinata. Kunci yang sama persis dengan yang dipegang Sasuke saat keluar dari ruangannya.
"Terima kasih," ucap Hinata dengan sekali lagi membungkukkan badannya.
.
.
.
"Okaan, aku tidur di Apartemen Uchiha," suara dengan nada tenang ini terdengar jauh di seberang.
"Kau mau menghindar dari kakekmu?" tanya wanita yang sedang menempelkan gagang telepon di telinga kanannya dengan menghadap televisi berlayar flat yang terlihat gelap dan polos. Ia sekarang duduk di salah satu sofa hitam di ruang keluarga yang lantainya sepenuhnya terlapisi karpet abu-abu. Di ruangan ini, tembok putihnya dihiasi beberapa pigura besar yang di dalamnya memperlihatkan gambar tiga orang yang berbeda usia. Dua orang laki-laki dan seorang wanita. Di bawah salah satu pigura yang paling besar, terdapat perapian yang sepertinya tidak dinyalakan saat musim ini.
"Hn," jawaban singkat dari lawan bicaranya sebelum terdengar bunyi khas telepon ditutup.
Wanita itu hanya bisa menghela napas lelah. Tanpa berdiri dari duduknya, ia mengembalikan gagang telepon ke meja di samping kanan sofanya.
"Sasuke, ya?" suara berat berasal dari ambang pintu.
Mikoto berdiri dari duduknya dan membungkukkan badannya kepada pemilik suara. "Benar, Otousama," jawabnya. Mikoto kembali duduk setelah memastikan bahwa ayahnya sudah menduduki sofa yang ada di seberangnya.
"Aku punya rencana dan kau harus membantuku."
Mikoto bingung dengan seringai aneh yang tiba-tiba muncul di wajah tenang ayahnya.
.
.
.
Matahari sudah mulai condong ke barat. Hinata memarkirkan sepedanya di tempat parkir khusus sepeda yang ada di samping sebuah gedung yang sepertinya memiliki lebih dari dua puluh lantai. Pakaian yang dikenakannya tidak sama dengan pakaian kuliahnya. Sepertinya ia pulang ke asrama dulu sebelum ke sini. Ia mengenakan celana jeans biru selutut dipadukan bolero pink yang berlengan tanggung dengan dalaman putih. Rambutnya diikat ke belakang sepenuhnya, dengan poni lebat masih menutupi keningnya. Penampilannya terlihat biasa dengan sepatu kainnya yang tanpa hak.
Hinata sudah mulai memasuki Apartemen Uchiha. Untuk kesekian kalinya, ia melihat gantungan pada kunci yang ada di tangannya.
2327
"Kalau tidak salah, dua digit pertama menunjukkan lantai dan yang selanjutnya adalah nomor kamar," gumam Hinata yang sudah mulai memasuki lift. Tangan kanannya bergerak menekan tombol bercetakkan angka untuk lantai yang menjadi tujuannya. Sebenarnya ia sedikit takut jika harus menuju lantai yang begitu tingginya dengan menggunakan lift.
Bagaimana jika terjebak di dalam lift? Atau, bagaimana jika lift rusak dan harus naik turun tangga? Yang memilih lantai ini pasti tidak memikirkan kemungkinan itu. Hinata berpikir sambil membatin dalam hati, yang sebenarnya masih menyimpan kekhawatiran untuk dirinya sendiri. Tapi, ia harus terbiasa dengan ini. Karena mulai hari ini, Hinata yang akan membersihkan apartemen bernomor 27 di lantai 23, yang setahunya milik sepupu Sai.
Hinata sudah berdiri di depan pintu yang menjadi tujuannya. Ia berpikir untuk menekan bel, karena mungkin penghuninya sudah ada di dalam. Tapi kalau seperti itu, kenapa aku diberi kunci cadangannya? Itu yang menjadi perdebatan di otak Hinata. Karena tidak mau dianggap lancang, Hinata memutuskan untuk tidak langsung membukanya.
Belum sempat tangannya memencet bel, tapi ia dapat merasakan pantatnya membentur lantai. Pundaknya juga nyeri karena sepertinya ada sesuatu yang menghantamnya. Tanpa sadar, air bening mengalir dari kedua mata Hinata.
"Kau bukan anak kecil lagi, kan. Jangan nangis."
Hinata merasa tidak asing dengan suara datar itu. Hinata mencoba mendongakkan kepalanya. Ia mengarahkan kedua matanya yang basah untuk melihat wajah si pemilik suara. Ternyata memang orang yang sama dengan yang ditemuinya tadi siang di depan ruangan Uchiha Fugaku.
Sekarang Hinata baru sadar kalau masih terduduk karena jatuh saat ditabrak sosok yang berdiri di depannya. Rasanya ia masih belum sanggup untuk berdiri. Tulang ekornya masih sakit. Orang yang berdiri itu bahkan tidak mau hanya sekedar mengulurkan tangannya. Jangankan mengulurkan tangan, minta maaf pun tidak. Akhirnya dengan usahanya sendiri, Hinata berhasil bangkit. Tangan kanannya memegangi pundak kirinya yang memang masih nyeri karena terbentur badan yang tadi menabraknya.
"Kau menghalangi jalanku." Sekarang Hinata dapat melihat ekspresi lain dari wajah yang sebelumnya hanya terlihat datar. Kalau dilihat dari dekat seperti yang dilakukan Hinata saat ini, maka dapat melihat kekhawatiran di sana.
"Ma..maaf Uchiha-san. Aku ke sini untuk membersihkan apartemenmu," kata Hinata to the point seraya memberi jalan kepada salah satu anggota keluarga Uchiha tersebut.
"Bersihkan saja," ucap si penghuni apartemen nomor 27 dengan tenangnya. Setelahnya, ia berlari menjauh dari koridor yang semula hanya ada dirinya dan Hinata.
Keadaan ini membuat Hinata tak mengerti. "Kenapa dia bisa tenang meninggalkan apartemennya kepada orang yang baru ditemuinya?" Hinata bertanya pada dirinya sendiri.
Hinata yang tidak mau ambil pusing, langsung masuk ke dalam apartemen dan ingin segera memulai pekerjaannya. Begitu memasukinya, ia melihat sekeliling ruangan yang diterangi lampu putih. Menurut Hinata, apartemen yang dimasukinya terlalu luas kalau hanya ditinggali seorang diri. Di tengah ruangan ada seperangkat sofa dan televisi. Dari tengah ruangan akan menemui dapur jika berjalan ke arah kiri, dan jika ke kanan akan menemui dua pintu yang sepertinya kamar tidur. Jika terus ke depan, akan menemui pintu kaca yang mengarah pada balkon.
Hinata langsung mengambil seperangkat alat pembersih yang diletakkan di ruangan kecil di samping dapur, sesuai petunjuk Sai. Hinata ingin menyelesaikannya dengan cepat karena ingin pulang sebelum petang. Saat membersihkan meja di depan sofa, Hinata menemukan benda yang tidak asing lagi. Kunci yang sama dengan yang ada di saku celananya.
"Kenapa dia meninggalkan kunci apartemennya? Kalau begini, aku terpaksa menunggunya pulang," gumam Hinata yang diikuti helaan napas panjangnya.
.
.
.
Menjadi seorang mahasiswa atau mahasiswi yang tinggal jauh dari orang tua, memang seharusnya bisa mengatur uang saku. Apalagi kalau masih menggantungkan diri sepenuhnya pada orang tua. Sepertinya penghematan dilakukan empat orang yang sedang duduk mengelilingi meja sebuah kantin asrama, dengan makanan di hadapannya masing-masing. Mereka gemar makan di sana bukan hanya karena harganya yang terjangkau, tapi juga karena kebersihannya. Biasanya mereka selalu berlima, tapi tumben sekali makan malam kali ini hanya dilakukan berempat.
"Hinata kerja apa sih, Sai? Kok belum pulang jam segini?" seorang perempuan berambut pirang mengawali percakapan malam ini.
"Bersihin apartemen sepupuku," jawab Sai tenang dengan tangan yang masih bergerak menyuapkan nasi ke mulutnya.
"Kenapa sampai malam? Apartemennya kotor banget, ya?" sahut laki-laki yang berambut coklat.
"Nggak juga," jawab Sai yang sekarang sudah menghentikan makannya sejenak. "Apa aku perlu menjemputnya?" lanjut Sai yang matanya bergerak melihat temannya satu per satu, seolah mencari jawaban dari ketiga temannya.
"Kayaknya perlu," jawaban dari perempuan berambut coklat mewakili kedua temannya, karena mereka berdua mengangguk setelahnya.
"Aku akan selesaikan makanku dulu," kata Sai yang kembali memfokuskan matanya pada makanan di hadapannya. Ketiga temannya hanya mengangguk dan meneruskan makannya lagi.
.
.
.
Sasuke sudah berdiri di depan pintu apartemennya. Ia memutar kenop pintu, tidak terkunci. Ia baru ingat kalau tadi meninggalkannya terbuka dengan seorang cleaning service yang akan membersihkan kamarnya. Ia membuka pintunya lebih lebar. Lampunya masih bersinar terang seperti saat ditinggalkannya. Sasuke melangkahkan kakinya dengan malas menuju sofa putih yang ada di tengah ruangan.
Ternyata memang ketinggalan. Sasuke melihat kunci apartemennya tergeletak di atas meja depan televisi. Setelah mendudukkan dirinya di sofa, ia menyandarkan kepalanya sepenuhnya di bantalan sofa dan memejamkan mata.
"Ternyata sudah pulang."
Sasuke yang mendengar suara lembut khas perempuan, segera membuka matanya dan melihat ke sumber suara.
"Kenapa masih di sini?" tanya Sasuke dingin kepada Hinata yang datang dari arah dapur.
"Kuncimu ketinggalan dan aku tidak bisa meninggalkan apartemenmu tanpa menguncinya," jawab Hinata yang sudah berwajah lelah.
"Apa yang kau lakukan di dapurku?" Sasuke kembali menengadah di bantalan sofa dan memejamkan matanya.
"Aku hanya membersihkannya," Hinata sudah mulai santai saat berbicara dengan Sasuke. "Aku pulang sekarang," lanjutnya sambil melangkahkan kakinya ke arah pintu apartemen.
"Kau sangat membutuhkan uang?" suara Sasuke menghentikan langkah Hinata seketika.
"Memangnya kenapa?" tanya Hinata, tanpa membalikkan tubuhnya yang sudah berhadapan dengan pintu.
"Aku bisa menaikkan kedudukanmu, kalau kau mau," lanjut Sasuke yang kini sudah berdiri dan hanya bisa menatap punggung Hinata.
Hinata memang sangat membutuhkan uang saat ini. Waktu mendengar menaikkan kedudukan, yang terpikirkan Hinata adalah, bahwa gaji yang akan diterimanya juga meningkat. Sepertinya apapun pekerjaan itu akan diterimanya, asalkan mendapatkan imbalan yang lebih besar dari sebelumnya.
"Aku mau," seru Hinata antusias, seraya membalikkan badannya hingga membuatnya menemukan senyum tipis Sasuke yang untuk pertama kali dilihatnya. "Jadi apa?" tanya Hinata yang sebenarnya penasaran dengan pekerjaan yang akan diberikan Sasuke.
"Istriku," jawab Sasuke tenang tanpa ekspresi, dengan kedua tangan dilipat di dada.
Sepertinya Hinata belum nyambung dengan jawaban Sasuke, karena ia diam untuk waktu yang cukup lama. Jika diibaratkan internet, mungkin kecepatan download hanya sekitar satu kilobyte per sekon atau mungkin lebih lambat lagi. Kelihatan sekali kalau Sasuke mulai tidak sabar dengan Hinata yang belum juga memberikan respon.
Hinata kembali memfokuskan pikirannya dengan percakapan sebelumnya. Tentang pekerjaan yang akan diberikan Sasuke. Saat Hinata bertanya tentang pekerjaannya, Sasuke menjawab… istriku.
Istriku. Istri? ISTRI? Maksudnya, menjadi istrinya? Sepertinya Hinata belum bisa mempercayai pendengarannya.
"I..ISTRI?"
.
.
.
*[ To Be Continued ]*
.
.
.
Thanks to:
Amuchan. Hinamori, SoraHinase, zephyphanda, Masahiro 'Night' Seiran, Norikonori-chan, cherrysakusasu, Hikari, Sanada, Ciaxx, Aidou Yuukihara, sambalpedasindofood (maaf sebelumnya, kalau anda masih membaca fanfic saya, saya hanya akan mengatakan bahwa walaupun di translate, judul ini tidak sama dengan fanfic dari fandom sebelah yang anda maksud, milik saya artinya simulasi pernikahan, bukan pernikahan simulasi, karena menurut saya yang benar adalah simulasi pernikahan), acchan lawliet, Illyasviel, Michle, Upe Jun, KatouChii, teichi, Youichi Hikari, Lyner Croix Rosenkrantz, Chai Mol, yuryujav, kuraishi cha22dhen, zhezhiey love itachi, Uzumaki uchiha, lily poli, Merai Alixya Kudo, Namikaze-Tania-Chan, lollytha-chan
Maaf tidak bisa membalas satu-satu…
Masih mau review kan?
Terima kasih juga untuk para silent readers…
Special thanks to:
Miss Japanese (yang memberikan informasi all about Japan, yang memberikan ide-ide, yang ikutan berbingung-bingung ria, yang masih saya mintai pendapat sebelum mempublish fanfic ini karena tiba-tiba bingung) *kayaknya saya memang selalu bingung*
Master Min Mie (yang membantu menentukan judul dan informasi berharga lainnya)
Wonder Girls (para ladies yang mau mendengar ocehan saya tentang fanfic geje ini)
.
.
.
Masih banyak misteri di chapter awal ini… *sok misterius*
Apa masih layak dilanjutkan?
.
.
.
*[ Arigatou Gozaimashita ]*
.
.
.
R
E
V
I
E
W
